Laman

Rabu, 06 Desember 2017

"WUDHU”

Bismillahirrahmanirrahiim.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Salam tahajjud.

Kuberdo’a agar terbebas dari hadats jasad
Tetapi jiwaku penuh dengan najis yang begitu kotor.
Tanganku kubersihkan dengan Agungkan Nama Tuhan
Tapi tangan ini tak pernah berhenti menzhalimi dan mengambil hak orang lain.
Lisanku kubersihkan dengan air cinta
Agar terjaga dari perkataan sia-sia yang tak berguna.
Kemudian air makrifat kumasukkan kedalam hidungku
Semoga Allah jadikan tiap tarikan nafasku dipenuhi dengan zikir padaNya.
Lalu wajah kotorku kusiram dengan air suci dari telaga al-kautsar
Dengan harapan wajah ini berseri-seri dengan cahaya indah saat berjumpa dengan Sang Kebenaran.
Tak lupa lenganku kucelupkan kedalam air puja dan puji
Sambil berharap agar lengan ini ada hanya untuk membantu sesama.
Selanjutnya telingaku kubasuh dengan air kebesaran Allah,
Aku berharap agar apa yang aku dengar hanyalah keagungan Tuhan dan aku dijauhkan dari pendengaran yang membawa dosa.
Kepalaku kubasahi dengan air tauhid
Agar fikiranku terbebas dari belenggu keduniaan.
Akhirnya kakiku kumasukkan kedalam air taqwa
Semoga Allah SWT membimbing langkah ke jalan yang penuh redha...
Subhanallah….
Alhamdulillah….
Wa la ilah illAllah
Allahu Akbar.
Ya Allah jadikanlah wudhu sebagai perhiasan di kala aku hidup.
Menjadi cahaya saat aku dalam kegelapan barzakh
Dan yang menjadi pembeda saat semua manusia dalam keadaan telanjang.
Aamiin..
Ketika muslim sudah mengetahui hakikat dari jalan syariat yang dia jalani, maka pintu-pintu hikmah akan terbuka, dan muslim tersebut akan lebih menghargai kehidupannya dan mencintai kehidupan dengan menjalankan syariat itu secara kaffah. Ketika kita telah menjalankan syariat dan mengerti makna hakikat dari wudhu itu sendiri, kita akan lebih mencintai ibadah-ibadah syariat tersebut, kita akan terbebas dari belenggu ritual dan pelepasan kewajiban belaka. Dan kita akan menuju fase berikutnya yaitu melepaskan diri dari penyakit-penyakit dalam jiwa yang menjadi penghalang (hijab) antara kita dan Tuhan.

DIRI MAKRIFAT FIRASAT NABI KHIDIR A.S

Bismillahirrahmanirrahiim.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Tuhan mentajallikan Cahaya-Nya.
Cahaya Tuhan itu bernama Nur.
Jadi, Nur itu Cahaya Tuhan. Itulah Rahasia Tuhan. Rahasia Tuhan itulah juga dinamakan Muhammad yang awal dan Nur Muhammad itu juga dinamai titik Nur yang awal. Nur Muhammad sudah "lahir, baru bersuara. Inilah suara Allah langsung pada Muhammad.
.
Dari mana awal suara dari mulut dan lidah kita ini?
Tentulah dari hati.
Dari mana awal suara dari hati ini? Tentulah dari sirr.
Dari mana awal suara dari sirr hati ini? Tentulah dari Dzat.
Dari mana awal suara dari Dzat ini? Tentulah dari Allah.
.
Dari Allah - Dzat (Rahasia Allah) - sirr - hati - lisan Renungkanlah perjalanan suara ini. Dengan sirr ini kita dapat membedakan mana suara dari syaitan, mana suara dari Allah.
.
Tuhan menjadikan kita punya zahir dan punya batin. Yang batin itu ruh dan yang zahir itu tubuh.
.
Ruh ini Dzat; tubuh ini sifat. Kelakuan zahir ini kelakuan dari mana? Dari batin. Kelakuan batin itu kelakuan siapa?
Kelakuan Dzat. Siapa yang berkelakuan pada Dzat itu?
Tentulah Dzat-nya Dzat, itulah Tuhan maka ilham Allah pada Ruh yang musyahadah pastinya benar,,,,namun bukan Dzat Allah bersatu dalam ruh karena Ruh adalah makhluk sedangkan Allah adalah Qadim laisa kamislihi syaiun;
Maka ketika orang tauhid sudah mengetahui jalan ini, dirasakannya semua dari Allah: minallah.
.
Kalau sudah dirasakan oleh batinnya semua dari Allah, berarti batinnya sudah karam musyahadahnya pada Allah dan ketika melihat zahirnya itu, dirasakannya rasa isbat saja.
.
Pengetahan usul ini penting diketahui dan dipahami karena usul itu kesempurnaan.
Kalau tidak ada usul, bagaimana kita akan mendapatkan kesempurnaan?
Jadi, belajar itu hendaklah sampai pada pemahaman yang tidak dimakan oleh usul.
(tidak tertolak atau bertentangan dengan usul)
.
Ketahuilah bahwa Dzat itu Diri Makrifat.
Diri Makrifat itu menghimpunkan semua Af'al, semua Asma, semua Sifat, dan semua Diri. Sederhananya, Diri Makrifat itu menghimpunkan semua tubuh-hati-nyawa-rahasia.
.
Diri Makrifat itulah yang menggerakkan Dzat-Sifat-Asma-Af'al.
Diri Makrifat ini Rahasia Tuhan yang ada pada Adam (kita).
.
Kalau sudah faham ini, bagaimana lagi kita mau menyangkal bahwa tiada perbuatan baharu lagi?
"Jika bukan kerana engkau Muhammad, tiada Ku-ciptakan alam ini."
Apa hikmah perkataan hadits qudsi ini dari sisi hakiki? Kalau tidak ada engkau Diri Makrifat, tidak akan ada pergerakan jasad.
.
Inilah isyarat dua kalimah syahadat.
Jadi Diri Makrifat itu Sifat Tuhan juga Rahasia Tuhan.
Jadi diri Makrifat itu jadi apa pada kita ini? Jadi ruh.
.
Cahaya Diri Makrifat inilah yang menjadi firasatan, sedangkan Nur Muhammad itu menjadi peringatan.
.
Mengapa Nabi Khidr a.s. dapat mengetahui semuanya dan perbuatannya bertentangan dengan syara? Keran Nabi Khidr mengetahui Diri Makrifat itu firasar.Sedangkan Diri Makrifat itu mustahil berbohong.
.
Maka orang tauhid hakiki tidak bingung dengan kelakuan Nabi Khidr a.s.
sebagaimana kisah dalam Q.S. Al-Kahfi kerana orang tauhid hakiki tahu soal firasatan dan per-ingatan ini.
.
Dari sini diketahui bahwa Nabi Khidir itu Allah SWT karuniai firasat yang tinggi (ilmu hikmah).
.
Sebenarnya ilmu firasat ini menggunakan bahasa Cahaya:
Cahaya Ilahi.
Timbulnya ingatan itu dari firasat. Timbulnya firasat itu dari Tuhan.
.
Ciri bahasa Cahaya Ilahi itu:
Laa Raiba Fiihi Hudan Lil Muttaqiin
tidak ada keraguan satu zarah pun!
(Q.S. Al-Baqarah:2)
.
Nabi Khidr a.s. itu ahli bahasa Cahaya ini. Jadi, tidak perlu heran kalau para wali Allah itu banyak mengetahui hal-hal yang tidak diketahui orang awam kerana para wali Allah itu belajar dan menguasai ilmu firasat atau bahasa Cahaya Ilahi ini dari Nabi Khidr a.s.
.
Sang Murabbi.
Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki
(Q.S. Nur:35)
.
"Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang kepadanya, dan hamba-Ku tidak dapat mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan (perkara syariat), jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan kebaikan, maka Aku mencintai dia, jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-Ku, pasti Ku-lindungi. Dan Aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya."
(H.R. Bukhari 6021)

Sesudah Makrifatullah, Loh Mahfuz VII

Bismillahirrahmanirrahiim.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Setelah mencipta langit dan bumi dan di antaranya, Allah SWT berfirman yang Dia duduk atas ArasyNya. Ini menekankan bahawa Loh Mahfuz sudah sempurna dan akan berjalan tanpa campur tangan Allah SWT lagi. Justeru itu tidak akan ada ubahsuai lagi kepada Loh MahfuzNya. Ibarat, pemilik sebuah kilang membuat minimuan dalam tin. Setelah dia menekan butang yang menjalankan jentera yang membuat minuman dalam tin sebanyak yang dikehendakinya sehari, dia pun masuk ke pejabat dan membiarkan jentera itu berjalan sendiri.
Allah SWT ada berfirman yang bermaksud:
Allah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi serta segala yang ada di antara keduanya dalam enam fasa kemudian Dia bersemayam di atas Arasy: As Sajdah (32):4.
Engkau tidak sekali-kali akan mendapati sebarang perubahan bagi “Sunnatullah” dan engkau tidak sekali-kali akan mendapati sebarang penukaran bagi perjalanan “Sunnatullah” itu: Faathir (35):43
Sebelum terjadinya langit, bumi dan di antaranya dalam enam fasa sudahpun terjadi Tirai Nur, Arasy, Air (di bawah Arasy), Sidratul Muntaha, Kalam dan Roh Nabi Muhammad (saw). Selain daripada itu, kesemua tindak tanduk ciptaanNya juga sudah terlakar di dalam Loh MahfuzNya. Namun begitu, Allah swt bukanlah ciptaan dan dengan itu, kita tidak boleh menempatkanNya di dalam Loh Mahfuz. Justeru itu, seseorang itu tidak boleh mengatakan bahawa matahati kita, “Tidak nampak yang wujud melainkan Allah”. Dengan lafaz ini, kita telah menempatkanNya di dalam Loh Mahfuz kerana apa jua yang kita nampak (walaupun dengan matahati) berada di dalam Loh Mahfuz. Namun begitu, Allah SWT tidak terkandung di dalam Loh Mahfuz. Maka sebaiknya kita melafazkan, “Tiada yang wujud melainkan DzatNya (yang sedikit)!” kerana hakikat kesemua ciptaan ataupun Loh Mahfuz adalah DzatNya (yang sedikit).
Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam gengaman-Nya. Az Zumar (39):67-68.
Maka demi Dzat Yang jiwaku berada dalam gengamannya. Terjemahan Sunan Ibnu Majah Bk.1, 62 (1992).
Dengan ini, adalah aneh bagi mereka yang mengaku diri mereka itu menjadi Allah SWT semasa dalam keadaan fana ataupun dalam “kemabukan”. Kerana apa yang mereka lafazkan dan juga keadaan mereka pada masa itu sudah terkandung di dalam Loh Mahfuz. Apa yang sebenarnya berlaku ialah mereka meluahkan apa yang sudah terkandung dalam Loh Mahfuz. Dengan ini, mereka tidak menjadi Allah swt malahan mereka sebenarnya adalah “Seniman” mengikut “skrip” dalam Loh Mahfuz dan dengan lafaz itu mereka sudah menempatkan diri ke Neraka. Rasulullah (saw) ada bersabda yang bermaksud:
Adakalanya seseorang mengucapkan sepatah kata yang menyebabkan ia tergelincir ke neraka jarak antara timur dan barat. Terjemahan Sahih Muslim Bk. 4, 1022 (1994).
Allah SWT ada berfirman yang bermaksud:
Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang sebesar-besarnya. Al Israa (17)43.
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabnya. Al Israa (17)36.
Berkenaan Tirai Nur, Rasulullah (saw) ada bersabda yang yang bermaksud:
Tirai-Nya adalah Nur dan seandainya terangkat pasti keagungan Dzat-Nya akan membakar makhluk yang terpandang oleh-Nya: Terjemahan Sahih Muslim Bk.1, 228 (1994).
Malaikat Jibrail a.s. berkata bahawa ada 70 tirai Nur yang meniraikan Dzat dan sekiranya dia mendekati tirai Nur yang pertama sahaja, dia akan binasa: Al Hadis (Miskatul Masabih) Vol 4, 226 (1994).
Allah SWT ada berfirman yang bermaksud:
Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahawa Allah berkata dengannya kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau mengutus utusan (malaikat): Asy Syura (42):51.
Bolehkah Tirai Nur meniraikan Allah swt yang Maha Besar? Jawapannya ialah Tirai (yang berwarna merah di dalam contoh di bawah ini) itu meniraikan kesemua ciptaan (berwarna putih di dalam contoh) daripada DzatNya. Justeru itu, kesemua ciptaan terselamat dari kebinasaan. Dengan ini, tidak secara langsung, Tirai Nur itu meniraikan DzatNya (tetapi daripada kesemua ciptaan). Contoh:
Bolehkah Arasy itu menampung Allah SWT Yang Maha Besar? Jawapannya ialah Arasy itu meliputi ciptaan dan Arasy pula diliputi oleh DzatNya. Kerana ArasyNya itu diliputi oleh DzatNya maka DzatNya (yang berwarna hijau di dalam contoh dibawah ini) seolah-olah terduduk di atas Arasy (yang berwarna putih di dalam contoh). Walaupun di antara DzatNya dengan Arasy ada Tirai Nur (yang berwarna merah di dalam contoh) namun ini tidak dapat menafikan bahawa DzatNya seolah-olah terduduk atas ArasyNya. Tirai Nur itu ibarat kusyen atas kerusi; kita tidak mengatakan kita duduk atas kusyen tetapi kita duduk atas kerusi. Begitu juga Allah swt, Dia tidak berfirman Dia duduk di atas Tirai Nur di atas ArasyNya tetapi Dia berfirman yang Dia duduk di atas ArasyNya.
Benarkah Arasy Allah SWT ada di atas air.
Allah SWT berfirman yang bermaksud:
Dan Dialah yang menjadikan langit dan bumi dalam enam masa, sedang ArasyNya berada di atas air. Hud (11):7.
Mengikut saintis sebelum terjadinya ciptaan, di Angkasa Lepas dipenuhi dengan wap air. Vincent Kotwicki Dr., Journal of Hydrological Sciences (1991)
Nabi Muhammad (saw) ada bersabda yang bermaksud:
Di atas langit ketujuh ada lautan yang besarnya seperti jarak langit dan bumi. Mustafa Asyur (Cairo), Rahsia Alam Malaikat 115 (?)
Berkenaan Sidratul Muntaha dan Pena, Nabi Muhammad (saw), Allah ada berfirman yang bermaksud:
Dan demi sesungguhnya! (Nabi Muhammad) telah melihat (malaikat Jibril, dalam bentuk rupanya yang asal) sekali lagi, Di sisi “Sidratul-Muntaha” yang di sisinya terletak Syurga “Jannatul-Makwa”. An Najm (53):13-14.
Nabi Muhammad (saw) ada bersabda yang bermaksud:
Selepas (Langit ketujuh) aku dibawah naik ke Sidratul Muntaha Sahih Al Bukhari Vol.5, 147 (1984).
Selepas itu Jibril naik bersama ku ke satu tempat di mana aku terdengar bunyi Pena. Sahih Al Bukhari Vol.1, 213 (1984).
Selepas itu Jibril naik bersamaku sehingga aku ternampak Al Mustawa. Di situ aku terdengar bunyi Pena. Sahih Muslim Bk.1, 213 (1994).

BEDA ANTARA TAHU, KENAL DAN PAHAM

Bismillahirrahmanirrahiim.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Apa beda antara ‘tahu Tuhan’, ‘kenal Tuhan’ dan ‘paham Tuhan’?
Pertama kita kena paham maksud tahu, kenal dan faham dulu. Ketiganya berbeda. Kenal lebih tinggi dari tahu, dan mengerti adalah lebih tinggi dari kenal. Yang paling atas adalah faham, kemudian kenal dan kemudian barulah tahu.
Biasanya disebut ilmu yaqin, ainul yaqin dan haqqul yaqin. Ada juga yang menambahkan ke satu tingkat lagi yaitu kamal yaqin.
Contoh.
Seorang pelancong dari Barat yang datang ke Malaysia diberitahu tentang sambal tumis ikan bilis. Sebelum ini dia tidak pernah dengar pun masakan bernama ‘sambal tumis ikan bilis’. Ketika diberitahu, itulah kali pertama dia TAHU adanya masakan yang disebut ‘sambal tumis ikan bilis’.
Ilmu tingkat ini dinamakan ilmu tingkat TAHU atau ILMU YAQIN – tahu cerita tapi tidak pernah melihat dan belum pernah merasa.
Kemudian si pelancong diajak makan siang oleh hidangan orang-orang Melayu. Dalam hidangan itu ada sambal tumis ikan bilis. Orang lokal menunjukkan kepadanya, “This is sambal tumis ikan bilis”. Itulah kali pertama si pelancong melihat sambal tumis ikan bilis. Dilihatnya sebagai sejenis masakan lauk berkuah, berwarna merah dan ada ikan-ikan kecil di dalamnya.
Ilmu tingkat ini dinamakan ilmu tingkat KENAL atau AINUL YAQIN-tahu cerita dan sudah melihat tetapi belum merasa.
Selanjutnya si pelancong dipersilakan menjamu hidangan bersama sambal tumis ikan bilis. Barulah dirasanya pedas, manis, asin, lemak, asam dan lain-lain adonan rasa sambal tumis ikan bilis itu. Itulah sambal tumis sebenarnya.
Ketika ini ilmunya berada di tingkat FAHAM atau disebut haqqul yaqin-sudah tahu cerita, sudah disaksikan dan sudah dirasa / dialami.
Contoh kedua …
Datang beberapa orang berkata pada kita ada pohon tumbang merentang jalan raya. Kita hanya tahu ada pohon tumbang dari cerita mereka dan kita belum melihat pohon tumbang itu. Ilmu tingkat ini adalah ilmu tingkat TAHU atau ILMU YAQIN saja.
Kemudian kita pergi melihat pohon yang tumbang itu. Memang betullah ada pohon besar tumbang merentang jalan raya, kita lihat dengan mata sendiri. Ilmu tingkat ini adalah ilmu tingkat KENAL atau AINUL YAQIN saja, sudah melihat tapi belum tahu urusan ketumbangan pohon itu.
Kemudian kita meneliti perihal pohon tumbang itu sampai kita mengerti bagaimana ia boleh tumbang, bila ia tumbang, apa yang menyebabkannya tumbang, apa akibat dari tumbangnya itu, benarkah ia tumbang dan lain-lain. Ketika ini ilmu kita adalah di tingkat FAHAM atau haqqul yaqin.
Contoh ketiga …
Para sahabat berdakwah sampai ke negara Cina. Mereka perkenalkan Tuhan kepada orang-orang Cina-“Tuhan kita ada satu saja yaitu Allah”. Ada orang-orang Cina yang percaya. Ketika ini iman mereka adalah di tingkat TAHU atau ILMU YAQIN saja. Mereka baru tahu Siapa yang seharusnya disembah tetapi belum tahu bagaimana situasi yang Disembah itu.
Orang yang belajar ilmu Tauhid Uluhiyyah dan Tauhid Rubbubiyyah saja biasanya sampai ke tingkat ini.
Kemudian orang-orang Cina tadi belajar sampai mereka tahu situasi/keadaan yang Disembah itu. Mereka tahu Allah itu ada sejak awal, tidak boleh mati, tidak terpengaruh dengan warna, ruang, arah, bentuk dan tempat, menguasai segala-galanya, tidak sama dengan makhluk, menciptakan surga dan neraka, menciptakan semua makhluk, memberi wahyu dan sebagainya. Mereka juga tahu sifat-sifat yang mustahil untuk Allah. Iman tingkat ini adalah iman tingkat KENAL atau AINUL YAQIN.
Melalui penelitian atau pembelajaran mereka, mereka sudah menyaksikan bukti-bukti tentang Yang Disembah itu tetapi belum ‘MENYAKSIKAN’ Yang Disembah itu sendiri. Tingkat ini dinamakan FAHAM atau haqqul yaqin.
(* Kata ‘MENYAKSIKAN’ Yang Disembah dalam ayat tadi adalah istilah sufi yang tidak dapat dihurai dengan kata. Ia tidak sama dengan kata ‘menyaksikan’ sebagaimana yang biasa kita guna.
Orang yang belajar Tauhid Sifat 20 biasanya sampai ke tingkat ini.
Tingkat berikutnya, mereka yang dikaruniai kemampuan oleh Allah SWT dapat pula ‘MENYAKSIKAN’ Allah, atau ‘MEMANDANG WAJAH ALLAH’ atau ‘merasakan SENDIRI’ Allah. Inilah yang dikatakan beriman kepada Allah sampai ke tingkat Haqqul Yaqin.
(* Kata-kata berhuruf besar adalah istilah sufi yang tidak dapat dihurai dengan kata melainkan pemahaman. Maksud kata-kata itu tidaklah sama dengan maksud kata-kata yang biasa kita gunakan)
Orang yang belajar ilmu tasawuf atau ilmu hakikat BOLEH mencapai tingkat ini.
Sebab itu ada ungkapan berbunyi:
Ahli fiqh menemukan Allah dengan jalan mengkaji dalil-dalil al-Quran.
Anggota ilmu kalam menemukan Allah dengan jalan berpikir
Dan anggota tasawuf menemukan Allah dengan jalan ‘MERASA SENDIRI’.
Manakah yang terbaik?
Yang terbaik adalah yang mengambil ketiga jalan dan menguasai ketiganya.
Jadi, dengan penjelasan singkat lagi dhaif itu tadi, diharapkan dapatlah memahamkan para pembaca akan perbedaan antara tahu, kenal dan faham. Selanjutnya dapat pula memahamkan pembaca akan perbedaan antara ilmu yaqin, ainul yaqin dan haqqul yaqin.
Salam sayang selalu....

~~Ruh, Akal, Nafsu dan Qalbu~~

Bismillahirrahmanirrahiim.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Apabila dimusyahadahkan akan kejadian diri sama ada diri yang zahir atau diri yang batin, maka tak sampai akal manusia untuk memikirkannya seperti Ruh, Akal, Nafsu dan Qalbu. Maka sukar hendak memberi gambaran atau takrif yang mensifatkan daripada jenis apa.
Al-Quran memberi pengajaran sebagaimana firman Allah SWT yang bermaksud :
“Akan ditanya akan engkau hai Muhammad tentang ruh; Kata olehmu Ruh itu adalah daripada urusan Tuhanku.”
(Al-Isra’ : 85)
Oleh kerana sukar hendak membuat takrif, maka digelar oleh orang-orang ‘Ariffin dengan nama Lathifatul Rabaaniyah.
Walau bagaimanapun, Imam al-Ghazali telah berjaya menghampirkan faham kepada makna dan rahsia ruh ini mengikut tingkat tertinggi kemampuan manusia dalam sebuah kitabnya yang bernama “Risalatul li-Duniyyah”. Ikutilah kajian dan huraian yang dibuat secara ilmiah pada tajuk iaitu “Keistimewaan Ruh Insani”
Ruh, Akal, Nafsu dan Qalbu pada hakikatnya adalah satu makna bahkan bersalahan pada mafhum maknanya jua. Maka Rasulullah membuat bandingan akan Qalbu sebagai raja yang memerintah yang ditaati oleh anggota-anggota lahir seperti sabdanya :
“Sesungguhnya dalam tubuh anak Adam itu ada seketul daging bila baik ia nescaya baiklah seluruh anggotanya dan bila jahat ia nescaya jahatlah seluruh anggotanya. Ketahuilah itu adalah Qalbu.” (Bukhari & Muslim)
Qalbu dibaratkan pemerintah atau raja yang ditaati oleh segala rakyat. Jika pemerintah atau raja itu baik, maka baiklah sekalian rakyatnya. Yakni hati apabila disucikan atau dibersihkan daripada karat-karat dosa dan maksiat dengan diasuh dan dididik mengikut jalan tariqat Sufiah dengan sentiasa bermujahadah, maka akan timbul pada hati itu sinaran cahaya Nur yang dipertaruhkan oleh Allah kepadanya. Inilah maksud Imam al-Ghazali dengan katanya :
“Adalah hati itu makbul disisi Allah SWT; Jika sejahtera ia daripada barang yang lain daripada Allah SWT.”
Ini adalah diisyaratkan kepada hati yang bersih yang mempunyai pancaran Nur. Maka hasil atas segala anggota yang zahir daripada ibadat atau lain daripada segala sifat-sifat mahmudah. Sebaliknya jika hati itu dibiar yakni mengikut hawa nafsu dan sentiasa membuat derhaka dan maksiat, maka hati itu terhijab daripada Nur dan terdinding dengan sebab karat dosa.
Inilah maksud kata Imam al-Ghazali dengan katanya
“Dan adalah hati itu terdinding daripada Allah SWT jadilah ia karam dengan lain daripada Allah SWT, maka kejahatan dan celaka itu pun zahir atas segala anggota sebab mesra daripada karat hati yang Zulumah.”
Maka dengan sebab itulah bersungguh-sungguhlah wahai saudaraku, mengikuti jalan para ‘ArifbiLlah kerana :
~ Tiada mengetahui kebaikan hati dan kejahatannya selagi tidak merasai “Zauk” kemanisan ibadat yang warid (dikurniakan oleh Allah SWT) daripada hasil zikir dan ;
~ Tiada boleh membeza antara yang hak dengan yang batil (makna sebenar hakikat makrifat disisi Ahli Muhaqqiqin) selagi belum dapat Ilham hasil daripada-Nya dan ;
~ Jauh sekali dari mengenal Tuhannya sebelum dapat Tajalli dan Kasyaf yang hasil daripada-Nya.
Dan tak dapat tidak, awal-awal mereka yang hendak mengenal Tuhannya dengan jalan ‘zauk’ dan Wujdan perlu mengenali dirinya dahulu, seperti bahawa :
~ apabila mengenal dirinya bersifat dengan lemah nescaya mengenal Tuhannya bersifat dengan Kuasa dan;
~ apabila mengenal dirinya bersifat dengan papa nescaya mengenal Tuhannya bersifat dengan Kaya dan;
~ apabila mengenal dirinya bersifat dengan sifat fana nescaya mengenal Tuhannya bersifat dengan Baqa dan;
~ apabila mengenal dirinya bersifat dengan baru nescaya mengenal Tuhannya bersifat dengan Qadim.
#Alhamdulillah#
Salam sayang....


~~Kepentingan Ilmu Tasawwuf~~

Bismillahirrahmanirrahiim.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Pengenalan tentang Tuhan diatas landasan ilmu semata-mata belum menjamin keselamatan (dalam) kesempurnaan makrifat. Ia bagaikan pengenalan tentang Kaabah tetapi diri belum sampai kepada Kaabah yang sebenarnya. Apa yang ada ditangan hanya maklumat dan gambar bukannya hakikatnya. Bicara KeTuhanan tidak boleh hanya pada lisan dan akal. Demi untuk keselamatan akhirat, seharusnya kita terjun dan menyelami lautan KeTuhanan yang dalam melalui jalan para ahli sufi, jalan ahli tasawuf.
Berkata Imam al-Ghazali :“Aku menyeberangi lautan fekah, aku sampai ke seberang, aku menyelami lautan tauhid, aku sampai ke seberang, aku menyeberangi lautan falsafah, aku sampai ke seberangnya, (tetapi) apabila aku menyeberangi lautan tasawuf, aku tenggelam dalam lautannya tanpa penghujung.
Sesungguhnya kepentingan mendalami lautan tauhid melalui jalan tasawuf amatlah ditekan oleh para ulama yang telah mengecapi hasilnya.
Para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW : “Wahai Rasululah, apakah amal yang lebih afdhal?”
Rasulullah SAW menjawab : ”Mengenal Allah azza Wa Jalla…”.
Mereka bertanya lagi : “Apakah segala amal yang lebih pahalanya…?”
Rasulullah SAW menjawab : ”Mengenal Allah Azza Wa Jalla…”.
Sahabat tersebut bertanya lagi : ”Ya Rasulullah, kami bertanya tentang amal, mengapa tuan menjawab dengan ilmu…?”
Rasululah SAW bersabda : ”Bahawa sedikit amal dengan mengenal Allah adalah lebih baik daripada banyak amal tetapi tidak mengenal Allah. Kerana amal yang seperti itu tidak bermanfaat”.
Imam al-Ghazali menyatakan dalam kitab beliau ‘Jawahir al-Quran’ : “Bahawasanya ilmu tariqah dan suluk yang dinamakan dengan ilmu tasawuf itu adalah lebih tinggi dan lebih mulia daripada ilmu fiqh dan ilmu kalam, dan yang lebih tinggi daripada semuanya itu adalah ilmu makrifat yang dinamakan juga ilmu hakikat”.
Ilmu tariqah dan suluk itu adalah jalan bagi mengetahui ilmu hakikat, yang dinamakan dengan “ilm al-Nafi’, yakni ilmu yang memberi manfaat di akhirat kelak. Selain itu juga dinamakan dengan ilmu tasawuf sebagaimana yang akan dihuraikan kelak pada bahagian lain dalam kitab ini.
Al-‘Arif Billah al-Sayid ‘Abd Allah ibn ‘Alawi al-Haddad, di dalam kitab beliau yang berjudul ‘Kitab al-Ilmiah wa Usul al-Hikmah’, menyatakan sebagai berikut :
“Kemudian daripada itu, apabila engkau tilik kepada karangan Aimmat al-Din, yakni ulama ahli tasawuf daripada segala kitab yang memberi manfaat pada agama dia akhirat kelak, nescaya tiada engkau lihat sebuah kitab pun yang lebih menghimpunkan sebagai ilmu yang memberi manfaat itu daripada segala kitab yang ditulis oleh Imam al-Ghazali, seperti ‘Ihya ‘Ulum al-Din’, ‘Arba’in al-Ushul’, ‘Minhaj al-‘Abidin’, ‘Bidayat al-Hidayah’.”
“Semua kitab ini telah dikenal oleh orang-orang al-Haqq dan al-Inshaf, yakni orang yang adil dan mempunyai mata hati di dalam agama, tidak ada yang akan mengingkarinya melainkan orang-orang yang dungu lagi jahil, atau orang yang tergolong kepada ulama zahir yang telah memperdayakan dirinya dan lalai daripada kembali kepada jalan kebenaran. Mudah-mudahan Allah Taala memberi ilham akan kami dengan petunjukNya dan memelihara kami daripada kejahatan diri kami sendiri dan kejahatan amal kami. Sesungguhnya tiada daya menjauhi maksiat dan tiada upaya melakukan ketaatan melainkan dengan pertolongan Allah Taala”.
Syaikh Ibn ‘Ibad menukilkan di dalam kitab beliau Syarah Hikam daripada Ibn ‘Athaillah, katanya :
“Ketahuilah olehmu, bahawasanya yang dimaksudkan dengan kelebihan ilmu yang dinyatakan secara berulang-ulang di dalam al-Quran dan As-Sunnah ialah ilmu yang memberi manfaat yang disertai dengan perasaan takut kepada Allah, serta dilengkapi dengan kegerunan kepada Allah dan firmanNya. Adapun yang takut kepada Allah itu hanyalah dari kalangan ulama, takut itu melazimkan akan ilmu”.
Dalam kitab Sirras Salikin disebut : “Adapun yang dimaksudkan dengan ilmu itu sebagaimana yang diutarakan di atas, yakni ilmu yang tersebut di dalam al-Quran dan As-Sunnah ialah ilmu yang memberi manfaat pada agama akhirat kelak, ilmu-ilmu tersebut telah dinukilkan oleh Imam al-Ghazali di dalam kitab-kitab beliau seperti Minhajul ‘Abidin dan lain-lainnya. Demikian juga segala ilmu tasawuf itu adalah ilmu yang memberi manfaat di dunia dan akhirat kerana ilmu tasawuf sekarang terhimpun di dalam ilmu usuluddin, ilmu fiqh dan ilmu tariqah sebagaimana yang tersebut di dalam kitab ini dan kitab mukhtashar ihya’ ulum al-Din dan lain-lainnya daripada beberapa kitab ilmu tasawuf yang memperkatakan ilmu suluk dan ilmu tariqah.”
Oleh yang demikian, al-Sayid Syaikh Abu al-Hassan al- Syadzili mengatakan :“Barangsiapa yang tiada masuk dan mengetahui akan ilmu ini, yakni ilmu tasawuf nescaya ia mati dalam keadaan mengekalkan dosa-dosa tanpa diketahuinya”.
Sehubungan dengan itu, Syaikh Ibn ‘Ibad menyatakan di dalam kitab beliau Syarah Hikam sebagai tersebut :“Dan segala ilmu ini, yakni ilmu tasawuf, sepatutnya manusia meleburkan diri di dalam menuntutnya sepanjang usianya, dan janganlah ia memadai dengan banyak atau sedikitnya. Manakala ilmu yang lain daripada ilmu tasawuf, adakalanya tidak diperlukan di dalam kehidupan dan adakalanya ia memberi mudharat kepada orang yang memilikinya, jika ia berterusan mendalami ilmu itu. Rasulullah SAW telah bermohon kepada Allah agar dijauhkan daripada ilmu yang tidak bermanfaat, baginda bersabda : ‘Kami berlindung kepada Allah daripada ilmu yang tidak bermanfaat’.”
Selanjutnya Syaikh Ibnu ‘Ibad mengatakan :“Ketahuilah olehmu, bahawasanya telah termaktub dengan banyaknya di dalam al-Quran dan As-Sunnah yang menyatakan kelebihan ilmu dan ulama dengan tidak terhingga. Dan tidaklah diharapkan kelebihan yang demikian itu melainkan oleh orang-orang yang lurus niatnya. Dan tiada lain tujuannya menuntut ilmu selain daripada semata-mata mengharapkan keredhaan Ilahi, dan untuk mengamalkannya dan kerana hendak keluar daripada kejahilan kepada cahaya. Inilah yang dikatakan sebagai niat yang lurus, yang akan diberi penilaian oleh Allah di akhirat kelak dan memperolehi faedahnya di dunia dalam melakukan ibadah. Maksudnya disegerakan faedah ilmu di dunia dengan berbuat ibadah dan ditangguhkan faedahnya pada hari akhirat kelak dengan beberapa pahala”.
Demikian juga segala kitab Ilmu Tasawuf yang tertera di dalamnya adalah ilmu yang memberi manfaat, kerana dalam kitab tasawuf itu telah terkandung ilmu usuluddin dan ilmu fiqh yang fardhu ‘ain, yang perlu diketahui oleh orang yang suluk, yakni orang yang menjalani jalan akhirat yang menyampaikan ke dalam syurga dan meyampaikan kepada makrifat akan Allah dengan mengetahui sebenar-benarnya perkara yang mendatangkan perasaan takut kepada Allah.
Oleh yang demikian, Imam Malik rahimahuLlah pernah berkata :“Barangsiapa yang menuntut ilmu tasawuf dan tiada mengetahui ilmu fiqh yang fardhu ‘ain, maka sesungguhnya jadi zindiqlah dia, dan barangsiapa yang menuntut ilmu fiqh tapi dia tidak menuntut ilmu tasawuf, maka sesungguhnya jadi fasiqlah dia dan barang siapa yang menghimpunkan kedua-duanya maka jadilah dia ulama yang muhaqqiq yang mengenal Allah, dan merekalah yang bernama ulama sufi yang menghimpunkan antara syariat, tariqah dan hakikat.”
Adapun segala kitab Imam al-Ghazali yang dinukilkan di atas, telah terhimpun di dalamnya ilmu usuluddin (I’tiqad) dan ilmu fiqah (ibadat) serta adat. Selanjutnya ilmu tasawuf itu dinamakan dengan ilmu batin yang keseluruhannya dinamakan dengan ilmu suluk dan ilmu tariqah seperti yang akan dihuraikan pada bahagian lain di dalam kitab ini. Insya Allah. Itulah yang dinamakan ilmu yang memberi manfaat di alam akhirat kelak. Ia juga dinamakan dengan ilmu taqwa yakni suatu ilmu yang diperintahkan oleh Allah untuk menuntutnya, untuk dijadikan bekalan menuju akhirat sebagaimana firmanNya yang berbunyi :
“Dan hendaklah kamu mencari perbekalan, maka sesungguhnya perbekalan yang paling baik adalah taqwa”. (Al-Baqarah : 107)
Seseorang itu tidak akan pernah takut kepada Allah melainkan dengan mengetahui segala ilmu, sebagaimana yang termaktub di dalam al-Quran bahawa Allah Taala berfirman :
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah itu dari kalangan hambaNya ialah para ulama”. (Faathir : 28)
Adapun yang dimaksudkan dengan ulama itu ialah ulama yang menjalani jalan tasawuf sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh ‘Ibad sebelum ini.
Adapun ilmu yang menghimpunkan segala cabang ilmu Islam itu dinamakan dengan ilmu tasawuf yang hakiki. Oleh yang demikian maka barangsiapa yang tiada menceburkan dirinya untuk menuntut ilmu tasawuf maka adalah sebagai pertanda bahawa orang tersebut adalah orang yang kurang imannya, kurang akalnya dan kurang agamanya”.
Demikianlah dijelaskan oleh Syaikh Husain ibn Abdullah di dalam kitabnya tersebut. Sehubungan dengan itu, sepatutnya orang yang mengingini kemenangan di akhirat itu menuntut ilmu tasawuf dan mengajarkannya seperti orang-orang yang menuntut dan mengajarkan ilmu-ilmu yang lainnya. Kerana barangsiapa yang menuntut ilmu tasawuf itu nescaya ia lebih kaya daripada ilmu-ilmu yang lainnya. Adapun ilmu-ilmu selain ilmu tasawuf itu tidaklah lebih utama daripada ilmu tasawuf walaupun orang tersebut dikenal sebesar-besar ulama.
Syaikh Waliyullah yang amat besar Sayyid al-Syaikh Ibrahim al-Dusuqi berkata : “Adapun menuntut ilmu tariqah, yakni ilmu tasawuf wajib hukumnya bagi tiap-tiap murid yakni setiap orang yang menjalani akan jalan akhirat yang mengingini kemenangan di alam akhirat, walaupun ia sebesar-besar ulama pada bidang pengetahuan yang lain daripada ilmu tasawuf ini”.
Sehubungan dengan itu, para ahli sufi mengatakan :“Setiap ahli sufi itu adalah faqih dan bukanlah setiap faqih itu ahli sufi”.
Ini adalah kerana setiap ahli sufi (yang benar-benar ahli sufi) itu memiliki pengetahuan yang mendalam dalam bidang fiqh dan tidak semestinya setiap ulama yang mahir di bidang fiqh itu mengetahui ilmu tasawuf. Kerana ilmu fiqh itu diumpamakan oleh ulama seperti kulit kelapa bahagian luar, manakala ilmu tasawuf (tariqah) bagaikan kulit kelapa bahagian dalam (tempurung) manakala ilmu hakikat adalah bagaikan isinya. Bahkan lebih jauh lagi dapat dikatakan bahawa ilmu fiqh itu bagaikan kulit kelapa, ilmu tasawuf itu bagaikan isinya sedangkan ilmu hakikat itu adalah seumpama minyaknya.
Ilmu yang lain dari ilmu tauhid dan tasawuf adalah menjadi hujah kepada manusia sedangkan ilmu tauhid dan kebersihan jiwalah yang akan menjadi kebenaranmu disisi Tuhan.
Firman Allah :“Dan (orang-orang yang beriman kepada Allah), kebanyakan mereka tidak beriman kepada Allah melainkan mereka mempersekutukannya juga dengan yang lain.” (Yusuf :106)
Makrifat para ahli sufi atau Al-Khossah terhasil secara zauqi melalui Tajribah Al-Sufiyyah. Dalam perkataan lain zauqi atau kecapan terhadap pelbagai pengertian makrifat diperolehi secara langsung hasil tajalli di dalam hati (Qalbu) mereka. Mereka yang mengalaminya menjadi tenggelam dan fana’ daripada dirinya sendiri dan daripada segala sesuatu selain daripada Allah. Oleh itu apa yang tersyuhud kepadanya cumalah Allah sahaja. Kesedaran dan perasaannya dilimpahi dengan Qudrah Ilahi yang terlihat pada sesuatu, dengan Iradah Ilahi yang melaksana segala sesuatu; juga dengan perbuatan Ilahi yang kenyataannya dapat dilihat pada gerak dan diamnya segala yang wujud di alam ini. Inilah yang dinukilkan oleh Syaikh ibnu ‘Athaillah dalam Syarah Al-Hikam :
“Bagaimanakah Ia dapat dihijab oleh sesuatu sedangkan Ia yang menzahirkan segala sesuatu.
“Bagaimanakah akan mungkin akan dihijab oleh sesuatu padahal Ia lebih jelas dari sesuatu.
”Bagaimanakah mungkin akan dihijab oleh sesuatu, padahal Ia yang Esa yang tidak ada disampingNya sesuatu apapun.
“Bagaimanakah akan mungkin dihijab oleh sesuatu, padahal andaikan tidak ada Allah, nescaya tidak akan ada segala sesuatu.”
Inilah lautan makrifat Ahli Sufi, makrifat yang ada didalam qalbu mereka tidak boleh difahami oleh kebanyakan orang awam, oleh para ahli ilmu kalam. Makrifat mereka adalah melalui penghayatan jiwa yang berjelira, memperkayakan pengalaman keruhanian mereka sehinggakan membuahkan makrifat yang kehalusannya sukar difahami oleh pandangan biasa yang tumpul.
Inilah apa yang dikatakan oleh Al-Tahanawi bahawa orang yang mengalami makrifat melalui jalan kesufian, mereka melihat setiap zat, pelbagai sifat dan pelbagai perbuatan, tenggelam hapus dalam pancaran cahaya Zat Allah, pelbagai Sifat KesempurnaanNya dan PerbuatanNya.
Syaikh Al-Junaid mengatakan :
"... daripada makrifat ahli sufi, ia wujud tanpa kemahuan berdiri di hadapan Allah dalam keadaan melihat tadbiran Allah terus atas dirinya, ia melihat Allah dalam QudrahNya menentukannya. Dan dia menjadi tenggelam dalam lautan kesatuan Allah, benar-benar fana’ daripada dirinya dan daripada seruan Allah kepadanya serta daripada jawapannya kepada Allah, iaitu merupakan satu kenyataan yang sejati terhadap Wahdaniyyah Allah dalam kehampirannya yang sejati dengan Allah. Lalu kesedaran dan aksinya menjadi hilang kerana Allah melaksanakan di dalam dirinya apa yang diKehendaki olehNya. Ilmu tentang hal yang demikian diperolehi apabila telah kembalilah seseorang hamba dari akhir ke awalnya, supaya ianya menjadi sebagaimana semula; iaitu sebelum ia menjadi seperti sekarang. Dalil dalam hal ini ialah firman Allah :
"Dan (ingatlah wahai Muhammad) ketika Tuhanmu mengeluarkan Zuriat anak-anak Adam (turun-temurun) dari (tulang) belakang mereka, dan ia jadikan mereka saksi terhadap diri mereka sendiri, (sambil Ia bertanya dengan firmanya-Nya): ‘Bukankah Aku Tuhan kamu?’ Mereka semua menjawab, ‘Benar …’." (al-‘Araf :172)
Mendalami lautan Ilmu KeTuhanan melalui jalan ahli sufi adalah yang bersih dan sempurna, ia mempelajari tentang Tuhannya dengan Tuhannya sendiri. Ia memperolehi melalui jalan tajalli ke dalam qalbinya.
Dalam kitab Siraj Tholibin Syaikh Al-Junaid berkata :“Tidak ada yang (dapat) mengenal Allah kecuali Allah sendiri.”
Telah berkata Abu Bakar r.a, pada sebahagian khutbah beliau di atas mimbar :“Segala puja-puji hanya untuk Allah yang tidak pernah menciptakan jalan apapun bagi makhluk untuk makrifat kepadaNya kecuali (makhluk itu sendiri) dapat merasakan kelemahan untuk makrifat kepadaNya.”
Siapakah yang lebih mengetahui tentang diriNya melainkan diriNya. Akal amat terbatas dalam mengenal Tuhannya, namun disana dalam diri insan, insan memiliki ruh yang memiliki kekuatan untuk menangkap rahsia Tuhannya yang tak mampu difahami oleh akal. Ia sudah makrifat dengan Tuhannya sebelum ia berada dalam jasad ini, ia memiliki keistimewaan yang hebat mengatasi makhlukNya lain. Namun kebanyakan ruh ini telah lupa akan asalnya apabila berada di alam ini, sehingga ia diselaputi hijab-hijab yang tebal antara ia dengan Tuhannya. Ini disebabkan dosa-dosa yang dilakukan, terhijab dengan jasad kasar yang dicipta dari tanah, terhijab dengan dunia yang diperlihat indah, terhijab dengan makhluk disekelilingnya. Ia menjadi lupa asalnya, ia menjadi jahil, menjadi buta, menjadi pekak, menjadi bisu, ia tidak kenal dirinya siapa, ia hidup bertuhankan hawa nafsu dan syaitan, syaitan membawa ia kepada neraka kegelapan ketuhanan.
Berkata syaikh Al Junaid :“Ruhnya perlu dikembalikan kembali ke alam asalnya, kepada sifat kesucian asalnya…”
dan tiada jalan lain untuk mengembalikan kesedaran ruh ini melainkan melalui jalan tariqah para ahli sufi. Apabila ruhnya suci, ia akan mengenal Tuhannya kembali dengan jalan limpahan yang berlaku kedalam qalbinya.
Mempelajari ilmu makrifat adalah amat penting. Ulama Tasawuf menghukumkan “fardu ain” untuk setiap mukallaf mempelajari atau menuntut secara “ijmali” (global/pokok) dan “fardu kifayah” mempelajarinya secara “tafsili” (terperinci).
Syed Amin Al-Kurdi menegaskan :
“Ketahuilah bahawa pengenalan diri adalah suatu urusan yang penting untuk setiap peribadi. Kerana sesungguhnya siapa yang mengenal dirinya, nescaya ia dapat mengenal Tuhannya. Yaitu mengenal dirinya yang hina, lemah serta fana’. Dengan itu, dia dapat mengenal Tuhannya yang bersifat mulia, kuasa dan kekal abadi. Siapa yang jahil terhadap dirinya bererti dia jahil terhadap Tuhannya”. (Tanw. Qulub : ms 464)
“Amal soleh yang dilakukan tanpa makrifat kepada Allah akan berkesudahan pada kesia-siaan, gugur tidak bernilai, laksana abu yang ditiup angin di Hari Angin Badai”.
“Makrifat itu memastikan datangnya tenteram pada hati seperti juga ilmu membawa ketenteraman pada akal. Siapa yang bertambah nilai makrifatnya, bertambah pulalah rasa tenteram pada hatinya.” (ucapan Ad-Daqqaq : Risalah Qusyairaiyah).
“Maka sayogianya bagi orang yang berakal agar mengerahkan seluruh kemampuannya dalam menuntut Ilmu Makrifat para ahli sufi dan tidak menunda-nunda dalam hal itu. Janganlah terjadi, bila maut datang menjelang, kebutaan kerana kebodohan datang menimpa (akhirnya) tidak ada lagi jalan untuk melihat cerah.
Allah berfirman :“Dan sesiapa yang buta di dunia (nescaya) ia buta di akhirat.” (Al-Isra’ : 72)
Imam al-Ghazali rahimahuLlah belum merasakan nikmatnya ilmu ini meskipun sudah menjadi ulama ikutan para zamannya sebagai seorang Pembesar Negeri. Beliau mendapat kepuasan batin setelah beliau menyediakan sebahagian umurnya untuk beruzlah sambil beliau menyusun beberapa kitab dimana sebuah kitab beliau yang terkenal ialah Ihya ‘Ulumuddin.
Sebahagian para ‘ArifbiLlah mengatakan (termasuk Imam al-Ghazali) :
“Siapa yang tidak kebagian ilmu ini (ilmu batin), saya khawatir atasnya akan menemukan “su-ul khatimah” dan tidak ada jalan yang dapat mengenalNya kecuali dengan perasaan murni”. (Sirajut Tholibin)
Yang dimaksudkan mengenal diri ialah dengan menegakkan sifat kehambaan (Ubudiyah) rasa hina (di hadapan Allah) dan selalu berhajat kepada Allah. Mengenal Allah yang bersifat Kemuliaan, Keagungan dan Kuasa. Dan mengenal diri sebagai seorang yang asing di alam dunia ini hanya sebagai seorang musafir dari dunia menuju akhirat”. (Sirajut Tholibin)
“Hanya sanya, mereka yang telah mencapai tingkat MAKRIFAT adalah mereka yang (dalam batin) tidak menghiraukan sesuatu yang ada pada mereka dan bertahan pada apa yang ada pada Allah SWT”. (Risalah Al-Qusyairiyah)
Dunia para ‘ArifbiLlah adalah dunia kebatinan dengan ‘ asyik wal ma’syuk. Mereka tenggelam dalam dunianya yang mereka rasa lebih nikmat dan suci berbanding dengan dunia material yang sedang dihadapinya. Demikian pula ungkapan oleh Syaikh Junaid yang sama sekali tidak menghiraukan apapun jua kecuali yang mereka cintai. Kalau dunia material itu ada pada mereka, sama sekali tidak tersangkut di dalam hatinya – meskipun hanya selembar sapu tangan. Hati hanyalah tempat zikrullah. Akal dan nafsu melaksanakan tugasnya tetapi jangan membawa hati yang berperasaan murni ke dalam kancah dunia yang menggiurkan.
“Demikianlah, sesungguhnya terdapat perbedaan tingkat makhluk dalam hal makrifat kepada Allah Taala, menurut ukuran apa yang terbuka buat mereka dari pemberian-pemberian Allah (ilmu-ilmu yang halus), keajaiban-keajaiban segala yang dikuasaiNya, dan keindahan-keindahan ayat-ayatNya di dunia dan akhirat, di alam nyata maupun di alam ghaib (malakut). Bertambah makrifat mereka dengan Allah SWT dan bertambah dekat pula tingkat makrifat mereka menuju makrifat yang sebenarnya / hakiki”. (Siraj Tholibin)


HAKEKAT SEMBAHYANG :

Bismillahirrahmanirrahiim.
Berdiri menyaksikan diri sendiri, kita bersaksi dengan diri kita sendiri, bahwa tiada yang nyata pada diri kita… hanya diri bathin (Allah) dan diri zahir kita (Muhammad) adalah yang membawa dan menanggung rahasia Allah SWT.
Hal ini terkandung dalam surat Al-Fatehah yaitu :
Alhamdu (Alif, Lam, Ha, Mim, Dal)
Kalimat alhamdu ini diterima ketika rasulullah isra’ dan mi’raj dan mengambil pengertian akan hakekat manusia pertama yang diciptakan Allah SWT. Yaitu : Adam AS. Tatkala Roh (diri bathin) Adam AS. Sampai ketahap dada, Adam AS pun bersin dan berkata alhamdulillah artinya : segala puji bagi Allah
Apa yang di puji…. Adalah : zat (Allah) , Sifat (Muhammad), Asma’ (Adam) dan Af’al (Manusia):
Jadi sembahyang itu bukan sekali-kali berarti :
Menyembah, tapi suatu istiadat penyaksian diri sendiri dan sesungguhnya tiada diri kita itu adalah diri Allah semata.Kita menyaksikan bahwa diri kitalah yang membawa dan menanggung rahasia Allah SWT. Dan tiada sesuatu pada diri kita hanya rahasia Allah semata serta.. tiada sesuatu yang kita punya : kecuali Hak Allah semata.
Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Ahzab 72 Inna ‘aradnal amanata ‘alas samawati wal ardi wal jibal. Fa abaina anyah milnaha wa’asfakna minha wahamalahal insanu.
Artinya :
“sesungguhnya kami telah menawarkan suatu amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung tapi mereka enggan menerimannya (memikulnya) karena merasa tidak akan sanggup, lantas hanya manusia yang sanggup menerimanya”
Dan karena firman Allah inilah kita mengucap :
“Asyahadualla Ilaaha Illallah Wa Asyahadu Anna Muhammadar Rasulullah”
Yang berarti :
Kita bersaksi dengan diri kita sendiri bahwa tiada yang nyata pada diri kita sendiri hanya Allah Semata dengan tubuh zahir kita sebagai tempat menanggung rahasia Allah dan akan menjaganya sampai dengan tanggal yang telah ditentukan.
Manusia akan berguna disisi Allah jika ia dapat menjaga amanah Rahasia Allah dan berusaha mengenal dirinya sendiri.
Karena bila manusia dapat mengenal dirinya, maka dengan itu pulalah ia dapat mengenal Allah.
Hadits Qudsi….
“MAN ARAFA NAFSAHU FAKAT ARAFA RABBAHU”
Artinya : Barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Allah
ALIF ITU ARTINYA : NIAT SEMBAHYANG
LAM ITU ARTINYA : BERDIRI
HA ITU ARTINYA : RUKU’
MIM ITU ARTINYA : DUDUK
Perkataan pertama dalam sembahyang itu adalah : Allahu Akbar (Allah Maha Besar) Perkata ini diambil dari peringatan ketika sempurnanya roh diri Rahasia Allah itu dimasukkan kedalam tubuh Adam AS. Adam AS. Pun berusaha berdiri sambil menyaksikan keindahan tubuhnya dan berkata : Allahu Akbar (Allah Maha Besar).
Dalam sembahyang harus memenuhi 3 syarat :
Fiqli (perbuatan)
Qauli (bacaan)
Qalbi (Hati atau roh atau qalbu)
Mengapa kita sembahyang sehari semalam 17 rakaat :
Adalah mengambil pengertian sebagai berikut :
Hawa, Adam, Muhammad, Allah dan Ah
Ah Itu Menandakan Sembahyang Subuh
Rakaat Yaitu Zat Dan Sifat
Allah Itu Menandakan Sembahyang Zohor
Rakaat Yaitu : Wujud, Alam, Nur Dan Shahadat.
Muhammad Itu Menandakan Sembahyang Asar
Rakaat Yaitu : Tanah, Air, Api, Dan Angin
Adam Itu Menandakan Sembahyang Maghrib
Rakaat Yaitu : Ahda, Wahda, Dan Wahdia
Hawa Itu Menandakan Sembahyang Isya
Rakaat Yaitu : Mani’, Manikam, Madi, Dan Di
MENGAPA KITA SEMBAHYANG SEHARI SEMALAM 17 RAKAAT :
Adalah mengambil pengertian sebagai berikut :
Hawa, Adam, Muhammad, Allah dan Ah ( )
1. AH ( ) itu menandakan sembahyang subuh.......”2”rakaat yaitu…Zat dan Sifat
2. ALLAH itu menandakan sembahyang Zohor “4” rakaat yaitu :Wujud,Alam,Nur dan Syahadat.
3. MUHAMMAD itu menandakan sembahyang Asar “4” rakaat yaitu : Tanah,Air,Api dan Angin.
4. Adam itu menandakan sembahyang Magrib “3” rakaat yaitu :Ahda,Wahda,dan Wahdia.
5. HAWA itu menandakan sembahyang Isya “4” rakaat yaitu : Mani,Manikam,Madi dan DI.
MENGAPA KITA MENGUCAP DUA KALIMAH SYAHADAT 9 KALI DALAM 5 WAKTU SEMBAHYANG
Sebab diri bathin manusia mempunyai 9 wajah.
Dua kalimah syahadat pada :
Sembahyang SUBUH 1 kali itu memberi kesaksian pada wajah kita pada martabat SIRUSIR (Rahasia didalam Rahasia)
Sembahyang ZOHOR 2 kali memberi kesaksian pada wajah kita pada martabat SIR dan AHDAH
Sembahyang ASAR 2 kali memberi kesaksian pada wajah kita pada martabat WAHDA dan WAHDIA
Sembahyang MAGHRIB 2 kali memberi kesaksian pada wajah kita pada martabat AHAD dan MUHAMMAD
Sembahyang ISYA 2 kali memberi kesaksian pada wajah kita pada martabat MUSTAFA dan MUHAMMAD
MENGAPA KITA HARUS BERNIAT DALAM SEMBAHYANG
Karena : niat itu merupakan kepala sembahyang.
Hakekat niat letaknya pada martabat alif dan ataupun kalbu manusia didalam sembahyang itu kita lapazkan didalam hati :
Niat sbb :
“aku hendak sembahyang menyaksikan diriku karena Allah semata-mata.”
Dalilnya :
LA SHALATAN ILLA BI HUDURIL QALBI
Artinya : Tidak Sah Shalat Nya Kalau Tidak Hadir Hatinya (Qalbunya)
LAYASUL SHALAT ILLA BIN MA’RIFATULLAH
Artinya : Tidak Syah Sholat Tanpa Mengenal Allah
WAKALBUL MU’MININ BAITULLAH
Artinya : Jiwa Orang Mu’min Itu Rumahnya Allah
WANAHNU AKRABI MIN HABIL WARIZ
Artinya : Aku (Allah) Lebih Dekat Dari Urat Nadi Lehermu
IN NAMAS SHALATU TAMAS KUNU TAWADU’U
Artinya : Hubungan Antara Manusia Dengan Tuhannya Adalah Cinta. Cintailah Allah Yang Karena Allah Engkau Hidup Dan Kepada Allah Engkau Kembali. (H.R. Tarmizi)
AKI MIS SHALATA LI ZIKRI
Artinya : Dirikan Shalat Untuk Mengingat Allah (QS. Taha : 145)
Sedangkan :
Al-Fatehah ialah merupakan tubuh sembahyang
Tahayat ialah merupakan hati sembahyang
Salam ialah merupakan kaki tangan sembahyan
HAKEKAT AL-FATEHA DALAM SHALAT
Membersihkan hati dari syirik kepada Allah SWT
Mengingat kita bahwa tubuh manusia itu mempunyai 7 lapis susunan jasad yaitu :
Bulu
Kulit
Daging
Darah
Tulang
Lemak
Lendir
7 ayat dalam Al-Fatehah merupakan tawaf 7 kali keliling ka’bah.
HAKEKAT ALLAHU AKBAR DALAM SHALAT IALAH :
“Mengambil magna ucapan Nabi Adam AS. Ketika berdiri menyaksikan dirinya sendiri dan Nabi Adam AS. Mengucap kalimah Allahu Akbar.
Peristiwa ini merupakan tajali (perpindahan) diri rahasia Allah sehingga dapat di tanggung oleh manusia dengan 4 perkara yaitu :
1. Wujud 2. Ilmu 3. Nur 4. Syahadat
Perkataan Allah pada Allahu Akbar mengandung magna atau martabat zat sedangkan perkataan “Akbar” pada Allahu Akbar mengandung magna atau martabat : sifat.
Jadi zat dan sifat itu tidak boleh berpisah, zat dan sifat sama-sama saling puji memuji
DALAM SHALAT ITU JUGA MENGANDUNG HAKEKAT ZAKAT.
Hakekat zakat dalam shalat ialah :
Mengandung makna “ Pembersih hati “ dari pada syirik kepada Allah SWT.
“ Iiya Kanak Budu Wa Iiya Kanasta’in”
Hanya kepada Allah lah aku menyembah dan hanya kepada Allah lah aku mohon pertolongan
HAKEKAT PUASA DALAM SHALAT :
Tidak Boleh Makan Dan Minum
Mata Berpuasa
Telinga Berpuasa
Kulit Berpuasa
Hati Berpuasa
Salam sayang...