Sebagaimana telah
diterangkan di atas, bahwa Ma’rifat itu merupakan tujuan pokok, yakni
mengenal Allah yang sebenar-benarnya dengan keyakinan yang penuh tanpa
ada keraguan sedikitpun (haqqul yaqin). Menurut Imam Al-Ghazali : “
Ma’rifat adalah pengetahuan yang tidak menerima keraguan terhadap Zat
dan Sifat Allah SWT “. Ma’rifat terhadap Zat Allah adalah mengetahui
bahwa sesungguhnya Allah adalah wujud Esa, Tunggal dan sesuatu Yang Maha
Agung, Mandiri dengan sendiri-Nya dan tiada satupun yang
menyerupai-Nya. Sedangkan ma’rifat Sifat adalah mengetahui dengan
sesungguhnya Allah itu Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha
Mendengar dan Maha Melihat dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya.
Dari mengetahui tentang Zat dan Sifat Allah, maka selanjutnya
Al-Ghazalipun memberi kesimpulan bahwa : “ Ma’rifat adalah mengetahui
akan rahasia-rahasia Allah, dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan
tentang segala yang ada “ lebih lanjut ditegaskannya bahwa : “ Ma’rifat
itu adalah memandang kepada wajah Allah SWT “.
Ma’rifat itu sendiri
tidak dapat dipisahkan dengan Hakekat. Dengan kata lain datangnya
ma’rifat adalah karena terbukanya Hakekat.
Taftazany menerangkan
dalam kitab “Syarhul Maqasid” : “Apabila seseorang telah mencapai tujuan
akhir dalam pekerjaan suluknya (ilallah dan fillah), pasti ia akan
tenggelam dalam lautan tauhid dan irfan sehingga zatnya selalu dalam
pengawasan zat Tuhan (tauhid zat) dan sifatnya selalu dalam pengawasan
sifat Tuhan (tauhid sifat). Ketika itu orang tersebut fana (lenyap dari
sifat keinsanan). Ia tidak melihat dalam wujud alam ini kecuali Allah
(laa maujud ilallah).”
Dalam hal ini, seperti apa yang dialami oleh
Imam Al-Ghazali dimana ketika orang mengira bahwa Imam Al-Ghazali telah
wusul – mencapai tujuannya yang terakhir ke derajat yang begitu dekat
kepada Tuhan, maka Imam Al-Ghazali berkata : “Barangsiapa mengalaminya,
hanya akan dapat mengatakan bahwa itu suatu hal yang tak dapat
diterangkan, indah, utama dan jangan lagi bertanya”. Selanjutnya Imam
Al-Ghazali menerangkan : “Bahwa hatilah yang dapat mencapai hakekat
sebagaimana yang tertulis pada Lauhin Mahfud, yaitu hati yang sudah
bersih dan murni. Tegasnya tempat untuk melihat dan Ma’rifat kepada
Allah ialah hati.”
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya
“Madarijus Salikin “ : “Ma’rifat adalah suatu kedudukan yang tinggi dari
kedudukan orang-orang mu’min (disisi Allah) dan derajat yang tertinggi
dari derajat orang-orang yang mendaki menuju alam surgawi “. Selanjutnya
beliau berkata : “Bahwa seseorang tidak dikatakan memiliki ma’rifat
terkecuali mengetahui Allah SWT melalui jalan yang mengantarkannya
kepada Allah, mengetahui segala bentuk penyakit atau penghalang yang ada
pada sisinya, yang mengakibatkan terhambatnya hubungan dirinya dengan
Allah, yang mana kesemuanya itu ia saksikan dengan ma’rifatnya. Jadi,
orang ma’rifat adalah orang yang mengetahui Allah melalui media
nama-nama-Nya, sifat-sifat dan perbuatan-Nya. Kemudian berhubungan
dengan Allah secara tulus, bersikap ikhlas dan sabar terhadap-Nya dalam
menjauhi segala bentuk perbuatan maksiat serta meneguhkan niatnya.
Berusaha untuk menanggalkan budi pekerti yang buruk serta penyakit yang
merusak. Mensucikan dirinya dari berbagai bentuk kotoran dan
kemaksiatan. Bersabar atas hukum-hukum Allah dalam menghadapi segala
nikmat-Nya (tidak terlena), dan musibah yang menimpanya (tidak putus
asa). Lalu berdakwah menuju jalan Allah berdasarkan
pengetahuannya
terhadap agama dan ayat-ayat-Nya. Berdakwah hanya menuju kepada-Nya
dengan apa yang dibawa utusan-Nya (yaitu Nabi Muhammad SAW), dengan
tidak ditambahi dengan pandangan-pandangan akal manusia yang sesat,
kecendrungan-kecendrungan mereka dan hasil kreasi mereka, kaidah-kaidah
dan logika-logika mereka yang menyesatkan. Dengan kata lain tidak
mengukur risalah yang dibawa oleh Rasulullah dari Allah dengan
kesemuanya itu diatas. Orang seperti inilah yang layak menyandang gelar
sebagai orang yang ma’rifat kepada Allah, sekalipun banyak orang
memberikan panggilan atau julukan yang lain kepadanya”.
Dibawah ini
kami cantumkan beberapa khazanah perbendaharaan ma’rifat yang dihimpun
oleh Prof. Dr. M. Faiz Al-Math dalam bukunya yang berjudul “Puncak
Ruhani Kaum Sufi” diantaranya sebagai berikut :
1. Pendekatan kita
kepada Allah adalah pendekatan ilmu, sebab mustahil terjadi suatu
pendekatan kepada kebenaran Allah tanpa ilmu.
2. Barangsiapa yang
mengenal Allah, maka ia akan menangkap kebesaran kuasa Allah dalam
segala sesuatu. Jika ia yang selalu ingat (berzikir) kepada Allah, maka
ia akan melupakan yang lain kecuali Allah. Dan siapa saja yang mencintai
Allah, maka ia akan mencintai dan melaksanakan ajaran-Nya dan
mencampakkan ajaran lain
3. Jika kita menginginkan pintu rahmat
terbuka luas, resapilah dalam sanubari akan nikmat yang dianugerahkan
Allah kepadamu. Dan jika kita berharap agar hati kita merasa takut akan
siksa, renungilah kelalaian kita dalam mengabdi kepada – Nya.
4.
Tanda-tanda seseorang ‘aulia’ yang arif adalah senantiasa memelihara
rahasia antara dia dengan Allah, tangguh dalam menghadapi cobaan yang
merintangi kehidupannya. Lebih-lebih pada cobaan yang diciptakan manusia
ia selalu membalasnya dengan cara yang lebih bijaksana. Mengingat
tingkat intelektual mereka (tiap orang) tidak sama.
5. Barangsiapa
menyadari, bahwa Allah senantiasa mengingin kan kita menjadi orang baik
dan Allah lebih memahami tentang hal-hal yang mengundang kemaslahatan,
maka artinya kita mampu mensyukuri nikmat Allah dan berhati tentram.
6. Bila kita berkeinginan melacak sampai dimana derajat kita di sisi
Allah, maka renungilah perbuatan kita sendiri kegigihan kita dalam
beribadah dan sebagainya.
7. Ma’rifat terbangun atas tiga fondasi ; Takut kepada Allah, Malu kepada Allah dan Cinta kepada Allah.
8. Orang Arif adalah orang yang tidak pernah berhenti untuk berdzikir,
tak enggan dalam menunaikan ibadah dan senang berdialog dengan Allah.
Sehingga tercetak dalam lubuk hatinya sikap enggan bercengkrama dengan
hal sia-sia yang tidak dilatarbelakangi manfaat agama.
9. Alangkah
janggalnya jika seseorang yang telah menyaksikan ke Maha Kuasaan Allah,
namun dia mendurhakai-Nya. Kemanakah dia akan lari untuk mencari tempat
perlindu ngan, sedangkan ia menganggap bahwa Allah selalu mengawasi
sepak terjangnya. Bagaimana akan berlalai-lalai jika ia merasakan nikmat
Allah selalu datang silih berganti kepadanya.
10. Kearifan laksana
tanah yang bisa diinjak-injak oleh orang baik dan buruk. Ia bagaikan
awan yang mampu mengayomi segala sesuatu, dan bagaikan hujan yang akan
jatuh kepada teman maupun lawan.
11. Kearifan, adalah bukanlah apa
yang dapat dikeruhkan oleh segala sesuatu. Justru sebaliknya segala
sesuatu akan tampak jernih.
12. Ma’rifat kepada Allah sebagai
intensitas seseorang hingga menimbulkan rasa malu dalam hatinya, rasa
malu kepada Allah yang didasarkan pada rasa mengagungkan. Sebagaimana
tauhid merupaka pembangkit rasa puas (rela) terhadap takdir dan timbul
rasa berserah diri kepada Zat Yang Maha Pengatur.
13. Ma’rifat, bila
telah mendarah daging, maka menjadikan kehidupan seseorang akan jernih
(tidak tertindih oleh kepedihan-kepedihan hidup) pencariannya akan
bersih dari hal-hal atau unsur-unsur yang haram. Segala sesuatu akan
segan kepadanya. Rasa takut kepada sesama mahluk akan lenyap dari
hatinya dan akan cenderung untuk menyibukkan diri dalam ibadah kepada
Allah.
14. Orang yang memandang sesuatu di dunia ini dari kaca mata
ma’rifatnya, walau sesuatu itu dipandang, namun yang tergambar dalam
benaknya adalah kekuasaan Allah. Oleh karena itu, mata boleh menangis
lantaran melihat cobaan yang menimpa, namun hatinya bersukacita lantaran
dosa-dosa yang telah lampau terhapuskan oleh musibah itu.
15. Belum
merasa puas orang arif ketika ia meninggalkan dunia terhadap dua
perkara, yaitu ; Meratapi terhadap kekurangan dalam beribadah dan
Kurangnya banyak memuji Tuhannya.
Selanjutnya mengenai perjalanan
menuju Allah sebagaimana tersebut di atas, dengan tahapan-tahapan atau
tingkatan-tingkatan yaitu Syari’at, Thariqat, Hakekat, dan Ma’rifat M.
S. Resa menyimpulkan dalam bukunya yang berjudul “Mencari Kemurnian
Tauhid (Keesaan Allah)” sebagai berikut :
· Syari’at adalah perbuatan (jasad) si hamba dalam melaksanakan ibadah kepada Allah harus dengan semurni-murninya ibadah.
· Thariqat adalah jalan (hati) untuk menuju kesuatu tujuan yang
diridhai Allah, dengan hati yang bersih dan ikhlas atas segala perbuatan
dan menerima cobaan Allah SWT.
· Hakekat (nyawa) adalah tujuan
untuk mencapai keridhaan Allah sehingga terbukti adanya “diri yang
hakiki” yang kita hanya dapat merasakan dan sadari, bahwa diri yang yang
keluar dari diri, sehingga kita dapat membuktikan dengan kesadaran yang
hakiki tentang Kekuasaan Allah, tentang Rahasia Alam, tentang Alam
Ghaib dan lain-lainnya.
· Ma’rifat (Rahasia Allah), adalah sampainya
suatu tujuan sehingga terwujud suatu kenyataan dan terbukti kebe
narannya (tidak diragukan lagi).
Dari bahasan tersebut diatas maka
dapat kita simpulkan bahwa hamba yang akan berjalan menuju Allah swt,
harus melalui tahapan-tahapan (marhalah-marhalah) yaitu melalui :
Syari’at, Thariqat, Hakikat dan Ma’rifat, atau dengan kata lain harus
menempuh proses empat tahapan diantaranya :
– Pertama : Marhalah
Amal Lahir artinya berkekalan melakukan amal ibadah baik yang wajib
ataupun yang sunnah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw
atau disebut usaha menghias diri dengan Syari’at.
– Kedua : Marhalah
Amal Bathin atau Muraqabah yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh
mensucikan diri dari maksiat lahir dan bathin (takhalli) dengan cara
taubat dan istighfar, memperbanyak dzikir dan shalawat, menunduk kan
hawa nafsu dan menghiasi diri dengan amal terpuji/mahmudah lahir dan
bathin (tahalli) atau disebut menjalankan Thariqah.
Pada tahap ini,
setelah hati dan rohani telah bersih karena terisi oleh taubat dan
istighfar, dzikir-dzikir dan shalawat, maka dengan rahmat Allah
datanglah Nur yang dinamakan Nur Kesadaran.
– Ketiga : Marhalah
Riyadhah dan Mujahadah yaitu berusaha melatih diri dan melakukan jihad
lahir dan bathin untuk menambah kuatnya kekuasaan rohani atas jasmani,
guna membebaskan jiwa dari belenggu nafsu duniawi, supaya jiwa itu
menjadi suci bersih bagaikan kaca yang segera dapat menangkap apa-apa
yang bersifat suci, sehingga akan beroleh berbagai pengetahuan yang
hakiki tentang Allah dan kebesaran-Nya. Pada tahap ini, mulailah jiwa
sedikit demi sedikit merasakan hal-hal yang halus serta rahasia,
merasakan kelezatan dan kedamaian, dan merasakan nikmatnya iman dan
taqwa dalam jiwanya. Kemudian selanjutnya datanglah kasyaf/keterbukaan
mata hati, menyusul terbuka hijab sedikit demi sedikit sehingga
sampailah ia kepada Nur Yang Maha Agung sebagai puncak tahap/marhalah
ketiga. Nur ini dinamakan Nur Kesiagaan yakni kesiagaan dalam muhadarah
bersama Allah. Tahap ini juga disebut Tahap Hakikat.
-Keempat :
Marhalah Fana-Kamil yaitu jiwa si salik telah sampai kepada martabat
syuhudul haqqi bil haqqi yakni melihat hakekat kebenaran. Kemudian
terbukalah dengan terang berbagai alam rahasia baginya yaitu
rahasia-rahasia ke-Tuhanan/Rabbani. Dalam pada itu berolehlah dia nikmat
besar dalam mendekati Hadrat Ilahi Yang Maha Tinggi. Tahap ini juga
disebut dengan Tahap Ma’rifat. Dalam situasi seperti inilah dia
menemukan puncak mahabbah dengan Allah, puncak kelezatan yang tiada
pernah dilihat mata, tiada pernah di dengar telinga, dan tiada pernah
terlintas dalam hati sanubari manusia, tidak mungkin disifati atau
dinyatakan dengan kata-kata. Pada marhalah ini sebagai puncak segala
perjalanan, maka datanglah Nur yang dinamakan Nur Kehadiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar