Laman

Selasa, 26 April 2016

"PARA PEMBURU SUBUH"


📜 Pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Dua rakaat shalat sunnah sebelum subuh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.” (HR. Muslim725).
Bahasa singkat namun tersirat, dua rakaat sebelum shalat subuh nilainya lebih baik dari dunia dan isinya. Orang yang bisa melakukan ini bener-bener kaya raya!!
Sebuah pesan lagi, orang yang sholat subuh berjamaah di masjid seolah-olah dia sudah sholat sepanjang malam...
💦 Bayangkan ketika hari masih gelap, dingiiin, orang-orang ini rela ke masjid lebih dahulu, sholat sunnah 2 rakaat sebelum subuh, pertanda dia datang lebih dulu. Ketika Allah Yang Maha Pemilik Rezeki memanggil di pagi hari, dia berangkat menyambutnya... "ini dia Tuhanku, yang memberiku hidup hari ini, yang menjamin rejekiku hari ini.. Subuh ini kuratakan kepalaku dengan tanah hanya menyembahMu"
===
Tahun 2008, ada finalis Wirausaha Muda Mandiri menyapa saya di JCC senayan. Mengenalkan namanya Denni Delyandri, pengusaha muda cake pisang Villa dari Batam. Akhirnya kami bersahabat. Beberapa kali saya ke Batam, begitu juga Denni ke Jogja. Di awal usaha dulu hanya naik motor menjual kue pisang yang dibuat oleh Selvi istrinya. Dari rumah kontrakan mereka membangun bisnisnya. Jatuh bangun dijalani, susah payah dihadapi, sekarang bisnisnya merajalela dimana-mana. Cabang banyak di berbagai kota, dengan brand berbeda-beda, sebagai cake oleh-oleh dari masing-masing kota. Di Batam, Padang, Aceh, Pekanbaru, Balikpapan, terakhir dia membuat strudel di kota Malang yang langsung melejit laris manis.
Yang saya tau dari sosok sukses ini ketika saya menginap di rumahnya di Batam, dia tidak pernah meninggalkan sholat berjamaah di Masjid. Bahkan ketika waktu subuh, masjid yang lokasinya jauh dari komplek rumahnya pun selalu disambangi. Naik mobil, diajaklah Fathan anak lelakinya ikut ke masjid, rutin tiap hari.
"Kamu tiap subuh gini sudah manasin mobil Den? Ke masjid jauh disana?"
"Alhamdulillah..
Sudah rutin beberapa tahun ini Sap, karena gak ada masjid di dekat sini, ya harus pakai mobil ke luar sana"
Masya Allah..
Hebatnya dia melawan kemalasan, berapa banyak yang rumahnya dekat masjid, bahkan tinggal melangkah ketika subuh pun berat menyambut panggilan Allah.
Tidak heran ketika dunia seisinya menjadi tidak berharga, Allah memudahkan rejekinya.
Sekali waktu saya ke Batam lagi, dia sudah menjemput dengan BMW seri terbaru miliknya..
⏰ Di lain waktu,
Ustadz Yusuf Mansur bercerita di satu ceramah,
"Saya kalo di Jogja nginep di rumah Mas Jodi rasanya adem dan seneng aja..
Kalo subuh mas Jodi, Mbak Aniek, dan anak-anaknya berangkat barengan ke masjid. Hari masih gelap, orang masih banyak nyaman berselimut, mereka sudah bersama-sama menyambut panggilan Allah.. Merapat ke masjid. Seneng bener ngelihatnya"
🌟👍🏼 Bener kata Nabi, dunia dan seisinya gak ada harganya, mudah bagi Allah menjadikan mas Jodi sukses dengan jaringan Waroeng Steak and Shake-nya yang rame dimana-mana.. lah tiap subuh sudah menyambut Dia Yang Maha Kaya.
Rumah saya kebetulan di bagian depan perumahan, suara gerbang yang dibuka di malam hari kadang terdengar.
Sekali waktu sebelum waktu subuh gerbang dibuka, sudah ada lelaki naik motor yang membukanya, lengkap dengan baju koko, sarung dan pecinya...
Aaah dia pak Fulan, pemilik dealer mobil terbesar di daerah sini.. Rajinnya dia subuhan di masjid, bahkan ketika azan belum berkumandang, dia sudah berangkat duluan.
🗓 Lain waktu saya sering melihat mas Arul dan istrinya berjalan ke masjid, kadang boncengan motor dengan mesranya di subuh buta. Juragan tempe yang punya sales hingga 30 orang lebih. Konsisten tiap pagi menyambut Yang Maha Pemberi Rezeki. Dan pesan Kanjeng Nabi benar adanya.. Dunia dan seisinya gak ada harganya, ketika Allah sudah ridho gampang bagi Allah memberi rejeki yang berkelimpahan bagi hamba-hambanya yang percaya..
🚙💎 Ketika minggu lalu dia lewat depan rumah menyapa, plat putih masih menempel di mobil Pajero Sport yang baru dibelinya..
Lain hari..
Lelaki itu berjalan dalam gelap sendirian dari rumahnya menuju masjid yang berjarak 200 meter, saya pernah beberapa kali memboncengkannya. Namanya Pak Pri, GM area maskapai penerbangan terbaik di negeri ini..
🕌 Adzan subuh menggema menembus kabut dan embun pagi, panggilan Illahi yang menyapa semua makhluk, termasuk semua binatang di kanan kiri sawah ini. Suara parau seorang muadzin tua, yang setiap pagi naik sepeda karatan menjemput rejekinya, dialah yang mewakafkah tanah yang sekarang menjadi masjid yang dipenuhi jamaah itu..
Dialah orang kaya yang sesungguhnya, sudah lebih dulu membangun rumahnya nanti di surga.
Sungguh saya IRI kepada para pemburu subuh.. Orang-orang yang bergegas ketika Tuhannya memanggil..
Memilih meratakan jidatnya ke bumi menyembah Yang Maha Pemilik Rejeki.
Meninggalkan jauuuuh orang-orang yang selalu terlambat, sholat subuh terburu-buru ketika matahari sudah terang benderang menggeliat...

Ternyata, Orang Sakit Didatangi Empat Malaikat


Sakit merupakan kondisi yang tidak dinginkan semua orang. Terlebih jika sakit yang dialami parah dan susah mendapatkan obatnya. Selain membutuhkan biaya yang mahal, penyakit yang dialami seseorang bisa menyebabkan seluruh keluarga dan kerabat menjadi cemas.
Memang, rasa sakit yang menyerang tubuh sehingga membuat kita terkulai lemas adalah sesuatu yang menakutkan. Namun dalam Islam, ada banyak hal yang tersembunyi di balik rasa sakit itu. Sehingga tidak ada alasan untuk mengeluh atas kondisi tersebut.
Dalam sebuah hadist, Rasulullah SAW mengatakan bahwa sakit merupakan bentuk kasih sayang Allah SWT kepada hamba-Nya. Karena ketika sakit itulah Allah SWT mengutus empat malaikat secara khusus untuk menjenguk manusia. Tidak hanya sekedar melihat, malaikat ini melakukan hal yang justru akan membuat manusia bersyukur diberi musibah sakit tersebut.
Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seorang hamba yang beriman menderita sakit, maka Allah memerintahkan kepada para malaikat agar menulis perbuatan yang terbaik yang dikerjakan hamba mukmin itu pada saat sehat dan pada saat waktu senangnya.” (Abu Imamah al Bahili)
Dalam hadist yang lain Rasulullah juga bersabda yang artinya “Apabila seorang hamba mukmin sakit, maka Allah mengutus 4 malaikat untuk datang padanya.”
Pada keempat malaikat ini Allah memberikan perintah diantaranya:
Malaikat pertama bertugas mengambil kekuatan orang yang sakit sehingga Ia menjadi lemah.
Malaikat kedua untuk mengambil rasa lezatnya makanan dari mulutnya.
Malaikat ketiga untuk mengambil cahaya terang di wajahnya sehingga berubahlah wajah si sakit menjadi pucat pasi.
Malaikat keempat untuk mengambil semua dosanya , maka berubahlah si sakit menjadi suci dari dosa. Namun ketika Allah SWT akan menyembuhkan orang yang sakit tersebut, malaikat 1,2 dan 3 diperintahkan untuk mengembalikan apa yang sudah mereka ambil. Seperti kekuatannya, rasa lezat dilidah, serta cahaya orang yang sakit sehingga kembali terlihat kembali bersemangat.
Namun Allah tidak meminta malaikat keempat yang sudah mengambil dosa-dosanya untuk mengembalikan dosa orang yang sakit tersebut. Maka bersujudlah para malaikat itu kepada Allah seraya berkata : “Ya Allah mengapa dosa-dosa ini tidak Engkau kembalikan?”
Allah menjawab: “Tidak baik bagi kemuliaan-Ku jika Aku mengembalikan dosa-dosanya setelah Aku menyulitkan keadaan dirinya ketika sakit. Pergilah dan buanglah dosa-dosa tersebut ke dalam laut.”
Dengan ini, maka kelak si sakit itu berangkat ke alam akhirat dan keluar dari dunia dalam keadaan suci dari dosa sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Sakit panas dalam sehari semalam, dapat menghilangkan dosa selama setahun.”
“Tiada seorang mu’min yang ditimpa oleh lelah atau pe¬nyakit, atau risau fikiran atau sedih hati, sampaipun jika terkena duri, melainkan semua penderitaan itu akan di¬jadikan penebus dosanya oleh Allah,” (HR Bukhari-Muslim).
“Jika sakit seorang hamba hingga tiga hari, maka keluar dari dosa-dosanya sebagaimana keadaannya ketika baru lahir dari kandungan ibunya,” (HR Ath-Thabarani).
“Penyakit panas itu menjaga tiap mu’min dari neraka, dan panas semalam cukup dapat menebus dosa setahun,” (HR Al-Qadha’i).
Jika saat ini anda atau keluarga sedang sakit, lebih baik berhentilah untuk mengeluh. Mungkin musibah sakit ini menjadi alarm bagi kita agar tidak bekerja terlalu keras. Saat sakit kita diberi waktu untuk mengingat kembali, bahwa dunia hanyalah sementara

Cara-Cara Melihat Allah


1)Pandang Makhluk terlihat Makhluk.
Kebanyakkan dari kalangan kita, malahan jika tidak keterlalun, boleh dikatakan hampir keseluruhan masyarakat kita sekarang ini, beriktidah, beranggapan, berpandangan atau berpegang kepada istilah ” makhluk yang memandang dan makhluk yang melihat “.
Bilamana makhluk yang memandang, pastinya yang terlihat itu, adalah juga makhluk!. Sifat makhluk itu, hanya akan dapat melihat makhluk. Sifat makhluk, mana mungkin dapat melihat Allah!. Allah itu, hanya dapat dilihat melalui Allah sendiri!. Hanya Allah yang boleh melihat Allah dan hanya Allah yang dapat melihat Allah!.
Sifat makhluk adalah nyata, mana mungkin dapat melihat yang ghaib. Zahir memandang hanya kepada yang zahir manakala hanya batin boleh memandang zahir dan batin..
Kita masih lagi beranggapan bahawa yang melihat itu, adalah mata kita, yang megangkat berat itu, adalah tangan kita, yang bercakap itu, adalah kata-kata kita dan yang mendengar itu, adalah telinga kita!. Bilamana mata diri kita sebagai yang bersifat makhuk melihat itu makhluk, maka yang terlihat dan yang terpandang itu, adalah juga makhluk. Maka jadilah makhluk melihat makhluk!. Bilamana makhluk melihat makhluk maka yang terpandang itu, pastinya adalah makhluk!.
Seumpama mata memandang pokok, bilamana mata memandang pokok, maka pokoklah yang kita lihat!. Mana mungkin melihat pokok terpandang bukit dan mana mungkin memandang bukit, terlihat pokok!. Pada hukum akal, apa yang terpandang, itulah yang terlihat dan apa yang terlihat, itulah yang terpandang!.
Tahap ini, adalah tahap kita memandang kita atau tahap makhluk memandang makhluk. Tahap ini, adalah tahap makhluk manusia yang belum mengenal diri dan tahap belum sampai kepada penyerahan diri!. Tahap dimana makhluk manusia tidak pernah memandang yang bahaswasanya kelakuan, pergerakkan atau kelakuan yang kita perbuat itu, adalah milik Allah swt.
Mari pula kita belajar pelajaran bagaimana cara makhluk memandang makhluk, tiba-tiba saja boleh sampai kepada tahap terlihat Allah?;. Tuan-tuan dan puan-puan yang dirahmati Allah sekalian. Pada peringkat pertama pelajaran kita, kita telah belajar ilmu “pandang makhluk terlihat makhluk dan lihat makhluk terpandang makhluk.. Namun pada hari ini tanggal 15hb Nor, jam 9.29 malam, mari kita sama-sama melangkah keperingkat pelajaran yang kedua atau mari kita naikkan lagi sedikit ilmu kita kepada tahap yang lebih tinggi, iaitu tingakatan ilmuPandang makhluk terlihat Allah dan lihat makhluk terpandang Allah!.
Sekarang tanggal 16hb NOv. jam 5.15 pagi, saya nak bersiap-siap ke lapangan terbang Subang untuk Kota Bharau, untuk menemuai Menteri Besar Kelantan Dato Nik Abd. Aziz dan Dato Haji Adi Awang pada majlis persidangan muktamar Parti Pas. Atas jemputan Dato Nik Aziz untuk berjumpa beliau pada lebih kurang jam 11 pagi. nanti kita sambung.
Sabtu, 17 Nov 2012
Semalam tanggal 16hb Nov, jam 7.10 pagi, saya bertolak dari lapangan terbang Subang Kuala Lumpur ke Kota Bharu. Sesampainya disana, sepatutnya saya dijemput oleh tuan guru Ustaz Sikal dan sahabat-sahabat lain. Malangnya pada ketika itu, semua talian telefon tiada liputan. Saya naik kereta sewa (prebet sapu) dengan tambang RM10.00 ke tempat persidangan Muktamar parti Pas di “PUTIK” pengkalan Cepa, yangn tidak berapa jauh dari lapangan terbang .
Sesampainya saya disana, saya melihat begitu ramai para pengunjung. Terlintas difikiran saya, berkemungkinan itulah makanya talian telefon tidak ada liputan. Kereta yang saya naiki telah mendapat kebenaran dengan izin Allah Taala, untuk masuk sehingga kepintu besar muktamar. Jika tidak dibenarkan masuk, mungkin saya kena berjalan hampir satu setengah kilometer.
Tujuan saya datang kemuktamar PAS, adalah bertujuan untuk berjumpa dengan Tuan Guru Nik Abd Aziz sebagaimana yang dijanjikan dipertemuan sebelumnya, untuk temukan saya dengan Tuan Guru Hj Hadi Awang dan Tuanku Sultan Kelantan. Saya bukan penyokong PAS dan saya juga bukan penyokong UMNO. Saya tidak menyokong mana-mana parti dan saya juga tidak suka bermain parti. Mana-mana partipun, saya suka dan saya bersetuju, asal saja bertuhankan kepada Tuhan yang satu!.
Sesampainya saya, Tuan Guru Hj.Hadi Awang selaku presiden parti, sedang memeriksa barisan kehormat. Selepas selesai pemeriksaan barisan, Tuan Guru Hj, Hadi diarak masuk kedewan. Dikala mengiringi masuk kedewan, disitulah diperdendangkan dengan paluan gendang silat. Terdengar sahaja paluan itu, menyebabkan air mata saya tidak lagi terbendung dan dengan deras bercucuran membasahi pipi, mengenangkan ibu saya yang suka sangat dengan muzik itu.
Selepas itu saya menuju ketempat pamerah dan expo jualan. Saya tidak dibenarkan masuk kedewan perwakilan kerana saya bukan perwakilan. Saya mengambil kesempatan mendengar ucapan presiden melalui speaker. Sambil itu saya pergi berlegar-legar dipusat jualan.
Selepas ucapan preseden tamat, mereka ketempat jamuan makan. Saya melihat tuan gru Nik Azia bergegas keluar dengan tidak sempat makan. Saya meluru ketempat beliau lalu dia menyapa saya dan sempat juga saya bercakap-cakap seketika dan beliau terpasa bergegas pergi, katanya untuk meyembahyang jenazah. Dia mengarahkan saya berjumpa dengan tuan guru Hj Hadi untuk meyampaikan kitab. Dengan kawalan ketat diruangan makan, tidak memungkinkan saya masuk. Dengan izin Allah, saya dibawa oleh Timbalan Menteri Besar Kelantan, Dato’ Husham Musa untuk berjumpa presiden Hj. Hadi dan sesudah majlis makan tengah hari, Presiden Parti Dato’ Hj Hadi berjumpa saya bagi meyampaikan 2 naskah kitab.
Dibelakang saya, saya terlihat Datin Seri Wan Azizah selaku ketua parti Keadilan, sedang mengadakan press conference. Saya meminta izin untuk meyampaikan kitab. Datin Seri Azizah bersetuju dan mengalu-alukan pemberian itu.
Lebih kurang jam 1.00 tengah hari saya dan sahabat yang datang menemui saya disitu, beredar dari pusat persidangan kerana untuk menunaikan sembahyang jumaat..
Jam8.20 pesawat dari Kota Bharu bertolak ke Kuala Lumpur. Sesampainya saya di lapangan terbang Subang, hati kecil saya mula berkata-kata sendiri. Dulu, semasa dua puluh tahun yang lepas, saya teruja melihat orang lain menaiki kapal terbang kesana kemari. Meraka minum pagi di Kuala Lumpur, manakala petang pula minum kopi di kelantan dan malam pula sampai semula di Kuala Lumpur. Sekarang sampai juga giliran saya, sebagaimana mereka. Entah esok lusa saya juga sebagaimana mereka. Tetapi entah-entah juga tidak sempat merasa sebagaimana mereka, kerana berkemungkinan saya mati dulu, sebelum sempat merasa!. Apa-apapun sekarang ini, saya merasa sudah cukup bertuah earana sudah dapat rasa sebagaimana yang tidak dapat saya rasa sebelum ini!.
Segala gambar pertemuan saya dengan pemimpin PAS akan saya masukkan dalam blog tidak lama lagi!. Mari kita berbalik semula kepada tajuk ilmu kita pada pagi ini, iaitu dengan memperbincangkan tajuk, pandangn makhluk terlihat Allah.
Peringkat kedua;
2) Pandang Makhluk Terlihat Allah dan lihat makhluk terpandang Allah!.

TUJUH NUR


Dinamakan tujuh Nur kepada ahli batin yang beramal dengan ilmunya terhadap keEsaan Allah, iaitu :
1. NUR HIDAYAH Nur Hidayah adalah cahaya petunjuk daripada Allah kepada seseorang yang beramal dengan keimanan yang luhur melalui jalan zikir (mengingat Allah) dengan mengamalkan zikir itu, Allah akan memberi petunjuk dan panduan terhadapNya. kebiasaannya mereka akan melakukan dengan jalan bersuluk(menguzlahkan diri).
------------------------------------------
INAYAH Nur Inayah adalah cahaya petunjuk yang didatangkan kepada sesiapa yang dikehendaki oleh Allah dengan cara tiba-tiba kepada seseorang yang sentiasa mengingati keAgungan dan kebesaranNya. ada pandangan yang mengatakan berlaku majuzub terhadap seseorang itu adalah kepada manusia Kamil yang menjadi pilihan. kebiasaannya berlaku kepada selain nabi dan rasul. kepada nabi dan rasul disebut mikraj.
------------------------------------------
3. NUR TAQWA Orang yang mendapat cahaya ketaqwaan, apabila mereka mendapat petunjuk daripada Allah tentang sesuatu yang diniatkan. Ahli taqwa melakukan semua jenis ibadat dengan cara taqwa. Orang yang bertaqwa adalah orang yang beriman dan beramal dengan ilmunya dengan bersungguh-sungguh. Maksud taqwa itu ialah taat setia kepada hukum Tuhan dan meninggalkan laranganNya.
------------------------------------------
4. NURUL IMAN Cahaya keimanan itu adalah cahaya kepercayaan kepada perkara rukun iman dan kepada perkara yang ghaib yang dijadikan Tuhan dan beramal dengan kepercayaan itu. Jika tidak mengamalkan apa yang mereka percaya maka mereka tidak akan mendapat apa-apa dari keimanan yang mereka percaya, malah mereka mendapat kemurkaan dari Allah.
------------------------------------------
5. NURUL YAKIN Seseorang yang mendapat cahaya keyakinan, maka orang itu dinamakan orang yang beriman dan beramal dengan sebaik-baiknya. Selepas keimanannya bulat kepada keimanan (Haqqul Yakin), hatinya tidak dapat dipengaruhi oleh habuan Madiyah (keduniaan), Hubbu Dunya (habuan dunia) dengan cara tidak halal dan hak. Fikirannya tidak dapat dipengaruhi oleh sesuatu yang batil.
------------------------------------------
6. NURUL HAKIKI Cahaya keyakinan yang benar dari keimanan dan ketaqwaan yang diamalkannya mengikut aturan ibadat dan setelah mendapat petunjuk yang membawa kepada keyakinan yang bersungguh-sungguh, pintu hatinya (Fuad) dan Qalbun serta Qalbi telah difahaminya menyebabkan fahaman pendiriannya sebagai seorang Islam yang beriman tidak dapat digugat oleh apa-apa pengaruh pun kerana mata hatinya telah celik.
------------------------------------------
7. NURUL MUSTAIED Cahaya akal yang ilmu didalamnya adalah datang dari alam Samawi. dia adalah seorang Islam yang sebenar dan mendapat petunjuk. Akalnya diisi hanya dengan Al-Qur’an dan hadis semata-mata serta memahami tugasnya sebagai khalifah

LINTASAN HATI

LINTASAN HATI
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسۡـــــــــمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡـمَـٰنِ ٱلرَّحِـــــــيمِ
- اَللَّهُمَّ أَجِرْنِي مِنَ النَّارِ
- اَللَّهُمَّ أَجِرْنِي مِنَ النَّارِ
- اَللَّهُمَّ أَجِرْنِي مِنَ النَّارِ
Segala puji bagi Allah SWT pencipta langit dan bumi, pencipta cahaya dan kegelapan, yang mengumpulkan para makhluk di hari perhitungan, hari kemenangan bagi orang yang berbuat baik dan kesengsaraan bagi ahli maksiat. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya melainkan Allah tiada sekutu baginya, dengan persaksian yang bakal membawa kepada kebahagiaan di hari kiamat.
Selawat serta salam buat junjungan mulia Nabi Muhammad S.A.W. keluarga serta para sahabat, pengikut-pengikut sahabat dan mereka yang istiqamah menuruti baginda dari masa kesemasa hingga ke hari kiamat.
Sedekahkanlah Al Fatihah kpd ibu bapa kita, keluarga dan muslimin muslimat yg masih hidup maupun yang telah kembali ke rahmatullah...
بسم ٱللهِ الرحمن الرحيم
الْحَمْدُ ٱللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْـمُسْتَقِيمَ
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
آمِين
“Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari nafsu yang tidak pernah kenyang, dan dari doa yang tidak dikabulkan.”(HR Muslim ..4899)
Sahabatku kaum muslimin yang dirahmati Allah sekalian...........
Lintasan hati yang datang kedalam hati manusia ada empat jenis :
■ 1. Lintasan Hati Datang Ilham Daripada Allah SWT ■
Ia adalah lintasan ilahi yang datang dengan begitu kuat kedalam hati seseorang yang tidak dapat ditolak olehnya sama sekali. Ilham atau petunjuk daripada Allah SWT. Hadis yang menjelaskan tentang fadhilah Umar bin Khattab, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda.
قَدْ كَانَ يَكُونُ فِي الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ مُحَدَّثُونَ فَإِنْ يَكُنْ فِي أُمَّتِي مِنْهُمْ أَحَدٌ فَإِنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ مِنْهُمْ قَالَ ابْنُ وَهْبٍ تَفْسِيرُ مُحَدَّثُونَ مُلْهَمُونَ
Sesungguhnya telah ada pada umat-umat sebelummu muhaddatsun, dan kalau ada pada umatku seorang darinya, maka Umar bin Al Khattab adalah orangnya.
Ibnu Wahb berkata: makna muhaddatsun adalah mulhamun (orang yang mendapatkan ilham). (HR.Muslim )
Sabda Rasulullah S.A.W. maksudnya : "Mimpi yang benar itu ialah sebahagian daripada empat puluh enam sifat kenabian." (Hadis Riwayat Muslim)
■ 2. Lintasan Hati Datang Perasaan Kedamaian , Ketenangan dan Kegembiraan Sehingga Mengalirkan Air Mata ■
Ia adalah lintasan yang datang disertai oleh rasa tuma'ninah dan ketenteraman serta menjadi lebih kuat dengan kita berzikir kepaad Allah SWT, perasaan ini mengajak kepada kebaikan dan melarang dari kejahatan serta membuka pintu-pintu ma'rifah dan memberikan kefahaman terhadap wahyu Allah dan ayat-ayat Nya. Allah SWT akan memberi kefahaman terhadap agama Islam dan mampu pula menghayatinya sebagai satu cara hidup yang lengkap dan sempurna.
Rasulullah SAW bersabda maksudnya : “Sesiapa yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya, pasti Allah menganugerahinya pemahaman dalam agama.” (Hadis Riwayat Bukhari, Muhammad bin Ismail. Sahih al-Bukhari, Dar Ibn Kathir, Beirut, 1987, jil. 1, hlm. 39, no. hadis : 71.)
■ 3. Lintasan Hati Daripada Gangguan Syaitan ■
Lintasan ini selalu berubah-ubah, ia menyuruh kepada banyak kejahatan, tidak bermaksud untuk menyuruh kejahatan tertentu, tapi maksudnya agar seseorang terjerumus ke dalam kejahatan apapun.
Tandanya, lintasan tersebut menjadi lemah tatkala kita berzikir kepada Allah dan wajib bagi orang yang diserang oleh hal ini untuk berlindung dengan berzikir kepada Allah SWT dan meminta pertolongan-Nya serta membenci lintasan hati ini dan menolaknya. Lintasan semacam ini akan cair dengan zikrullah.
Utsman bin Abil ‘Ash datang kepada Rasulullah dan mengadu,“Wahai Rasulullah, sesungguhnya syaitan telah hadir dalam solatku dan membuat bacaanku salah dan rancu”. Rasulullah SAW menjawab, “Itulah syaitan yang disebut dengan Khinzib. Apabila kamu merasakan kehadirannya, maka meludahlah ke kiri tiga kali dan berlindunglah kepada Allah SWT (mengucap Audzu billahi minas syaithanir rajim ) Aku pun melakukan hal itu dan Allah SWT menghilangkan gangguan itu dariku”. (HR. Muslim)
■ 4. Lintasan Hati Daripada Nafsu ■
Lintasan ini berhubungan dengan tujuan-tujuan nafsu dan syahwat. Tandanya iaitu, orang tersebut akan selalu terus menerus menggapai tujuan tertentu yang berlawanan dengan syariat. Lintasan ini tidak akan melemah kecuali dengan mengingat Allah SWT dan mengingati kematian.
Wajib bagi seseorang yang diserang oleh lintasan hati ini untuk menolaknya dengan mengingat tempat kembalinya kepada Allah SWT, mengingat kematiannya dan kepulangannya kepada Allah SWT, serta menyibukkan dirinya dengan membaca al-Quran, solat malam dan zikrullah dan merenungi hari akhirat.
Hal ini dapat membimbing seseorang untuk menuju jalan yang baik dan menjauhkannya dari kejahatan lintasan hati.
Semoga Allah sentiasa menjaga hati-hati kita dari lintasan hati yang dapat menjerumuskan kepada jurang kebinasaan dan menyinarinya dengan cahaya-Nya yang dapat membangkitkan semangat dalam ketaatan dan berbuat kebajikan.
Shadaqallahul’azhim.
والله أعلم بالصواب
Waallahu A’lam Bish Shawab
(Hanya Allah Maha Mengetahui apa yang sebenarnya)
Tak perlu minta izin untuk share posting saya.... segala ilmu yang bermanfaat memang saya izinkan untuk dikongsi bersama... semoga mendapat keberkatan dariNya..
Sahabat2 boleh save dan share, sama2 kita cari saham akhirat. Inshaa Allah .
Jika sekiranya kalian ingin mengumpul saham akhirat, sampaikanlah ilmu ini kepada sahabat² yang lain. Sepertimana sabda Rasulullah SAW:
❝ Sampaikanlah pesananku walaupun satu ayat. ❞
Hadis Riwayat Ahmad, Bukhari, Tarmidzi.
Sabda Rasulullah S.A.W. bermaksud:
Barangsiapa ditanya mengenai sesuatu ilmu lalu disembunyikannya maka Allah akan mengekangnya nanti dengan kekangan daripada api neraka pada Hari Kiamat kelak.
(Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tarmizi)
Sesungguhnya apabila matinya seseorang anak Adam itu, hanya 3 perkara yang akan dibawanya bersama :
① Sedekah/amal jariahnya.
② Doa anak²nya yang soleh.
③ Ilmu yang bermanfaat yang disampaikannya kepada orang lain.
Marilah kita berusaha untuk
Menjadi Hamba-NYA yang baik..

BEGITU KEMAHAAN ALLAH TANPA BATAS....


Tangisan Rasulullah SAW Menggetarkan Arasy
“Dikisahkan, bahawasanya di waktu Rasulullah s.a.w. sedang asyik bertawaf di Ka’bah, beliau mendengar seseorang di hadapannya bertawaf, sambil berzikir: “Ya Karim! Ya Karim!”
Rasulullah s.a.w. menirunya membaca “Ya Karim! Ya Karim!” Orang itu lalu berhenti di salah satu sudut Ka’bah, dan berzikir lagi: “Ya Karim! Ya Karim!” Rasulullah s.a.w. yang berada di belakangnya mengikut zikirnya “Ya Karim! Ya Karim!”
Merasa seperti diolok-olokkan, orang itu menoleh ke belakang dan terlihat olehnya seorang laki-laki yang gagah, lagi tampan yang belum pernah dikenalinya.
Orang itu lalu berkata: “Wahai orang tampan! Apakah engkau memang sengaja memperolok-olokkanku, kerana aku ini adalah orang Arab badwi? Kalaulah bukan kerana ketampananmu dan kegagahanmu, pasti engkau akan aku laporkan kepada kekasihku, Muhammad Rasulullah.”
Mendengar kata-kata orang badwi itu, Rasulullah s.a.w. tersenyum, lalu
bertanya: “Tidakkah engkau mengenali Nabimu, wahai orang Arab?”
“Belum,”jawab orang itu. “Jadi bagaimana kau beriman kepadanya?”
“Saya percaya dengan mantap atas kenabiannya, sekalipun saya belum
pernah melihatnya, dan membenarkan perutusannya,sekalipun saya belum pernah bertemu dengannya,” kata orang Arab badwi itu pula.
Rasulullah s.a.w. pun berkata kepadanya: “Wahai orang Arab! Ketahuilah aku inilah Nabimu di dunia dan penolongmu nanti di akhirat!” Melihat Nabi dihadapannya, dia tercengang, seperti tidak percaya kepada dirinya.
“Tuan ini Nabi Muhammad?!” “Ya” jawab Nabi s.a.w. Dia segera tunduk
untuk mencium kedua kaki Rasulullah s.a.w. Melihat hal itu, Rasulullah s.a.w.menarik tubuh orang Arab itu, seraya berkata kepadanya:
“Wahal orang Arab! janganlah berbuat serupa itu. Perbuatan serupa itu
biasanya dilakukan oleh hamba sahaya kepada tuannya, Ketahuilah, Allah mengutusku bukan untuk menjadi seorang yang takabbur yang meminta dihormati, atau diagungkan, tetapi demi membawa berita gembira bagi orang yang beriman, dan membawa berita menakutkan bagi yang mengingkarinya.”
Ketika itulah, Malaikat Jibril a.s. turun membawa berita dari langit
dia berkata: “Ya Muhammad! Tuhan As-Salam mengucapkan salam kepadamu dan bersabda: “Katakanlah kepada orang Arab itu, agar dia tidak terpesona dengan belas kasih Allah. Ketahuilah bahawa Allah akan menghisabnya di hari Mahsyar nanti, akan menimbang semua amalannya, baik yang kecil mahupun yang besar!” Setelah menyampaikan berita itu, Jibril kemudian pergi.
Maka orang Arab itu pula berkata:
“Demi keagungan serta kemuliaan Tuhan, jika Tuhan akan membuat
perhitungan atas amalan hamba, maka hamba pun akan membuat perhitungan dengannya!”kata orang Arab badwi itu.
“Apakah yang akan engkau perhitungkan dengan Tuhan?” Rasulullah bertanya kepadanya. ‘Jika Tuhan akan memperhitungkan dosa-dosa hamba, maka hamba akan memperhitungkan betapa kebesaran maghfirahnya,’ jawab orang itu. ‘Jika Dia memperhitungkan kemaksiatan hamba, maka hamba akan memperhitungkan betapa keluasan
pengampunan-Nya.Jika Dia memperhitungkan kekikiran hamba, maka hamba akan memperhitungkan
pula betapa kedermawanannya!’
Mendengar ucapan orang Arab badwi itu, maka Rasulullah s.a.w. pun menangis mengingatkan betapa benarnya kata-kata orang Arab badwi itu, air mata beliau meleleh membasahi Janggutnya.
Lantaran itu Malaikat Jibril turun lagi seraya berkata:
“Ya Muhammad! Tuhan As-Salam menyampaikan salam kepadamu, dan bersabda: Berhentilah engkau dari menangis! Sesungguhnya kerana tangismu, penjaga Arasy lupa dari bacaan tasbih dan tahmidnya, sehingga la bergoncang.Katakan kepada temanmu itu, bahawa Allah tidak akan menghisab dirinya,juga tidak akan memperhitungkan kemaksiatannya.
Allah sudah mengampuni semua kesalahannya dan la akan menjadi temanmu di syurga nanti!” Betapa sukanya orang Arab badwi itu, apabila mendengar berita tersebut. la lalu menangis kerana tidak berdaya menahan keharuan dirinya.

HIJAB YANG PALING BESAR


أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Para ahli makrifat menyebutkan, bahwa "ilmu adalah hijab yang paling besar" sehingga seseorang tidak boleh berlama-lama dalam kedudukan (maqam) ini.
Yang dimaksud "ilmu" disini adalah pengetahuan yang diperoleh melalui akal.
Hijab ini adalah hijab yang khas bagi manusia yang mampu ia ketahui secara rasional, sehingga segala sesuatu yang telah ia ketahui dengan akalnya, harus segera ia luluhkan, ia torehkan pada instrumen jiwa yang lain.
Instrumen jiwa yang memiliki kapasitas dan kemampuan untuk mencapai jenis pengetahuan lain yang tak dapat dijangkau oleh pemahaman akal.
Dengan begitu seseorang akan dapat melepaskan dirinya dari semua ikatan atau hijab ilmu yang diperolehnya.
Kalau pendengaran dan penglihatan adalah sarana bagi akal untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan, maka instrumen jiwa lainnya yang memiliki kapasitas untuk memperoleh ilmu atau hikmah adalah "hati".
Al-Qur'an menggunakan tiga istilah yang berbeda yang menunjukkan tentang hati, yaitu al fuâd, al qalb, dan al shudr.
Ketiganya merupakan istilah yang berbeda tetapi mengacu pada satu hakikat, yaitu hakikat dasar manusia, hati. Masing-masing menunjukkan perbedaan "karakter" sesuai dengan perbedaan keadaan hati.
Dalam tulisan ini cukuplah untuk sementara kita menggunakan istilah hati. "Dan Allah mengeluarkan kalian dari keadaan tidak mengetahui sesuatupun. Dan dia memberi kalian pendengaran, penglihatan dan hati, semoga kalian bersyukur". (Surat An-Nahl [16] : 78)
Ayat ini menunjukkan kepada kita, bahwa sarana bagi jiwa untuk memperoleh pengetahuan sebagai bekal kesempurnaannya adalah melalui pendengaran, penglihatan, dan hati.
Dan orang-orang yang bersyukur adalah mereka yang menggunakan sarana tersebut untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan mencapai pemahaman mengenai hakikat penciptaannya.
Dengan demikian akal bukanlah satu-satunya cara atau sarana untuk mengetahui sesuatu. Dalam tasawuf atau di kalangan ahli makrifat, sebagaimana kita maklum, seseorang bisa mengetahui sesuatu dengan tidak melalui akal, tidak pula lewat penginderaan, tetapi lewat cara yang disebut "riyadhah", pendekatan diri kepada Allah, dimana jiwa mengerahkan seluruh kemampuan dan "potensi positif" hati dengan kedisiplinan dan ke"ajeg"an (istiqomah) untuk memperoleh limpahan karunia sesuai kehendak-Nya.
Menurut ahli makrifat, hati adalah tempat perubahan dan pasang surut yang konstan.
Di dalam hati terjadi pertempuran antara dorongan hawa nafsu (hawâ) yang menjerembabkan jiwa (nafs) ke dalam kehinaan dengan tarikan ruh yang membawa jiwa kepada kesucian.
Hubungan saling mempengaruhi antara jiwa dengan hawa nafsu adalah melalui hati, sebagaimana hubungan antara jiwa dengan limpahan manifestasi Ilahiah (rûh) juga melalui hati.
Ini berarti limpahan ruh Ilahi ke dalam hati akan mempengaruhi aktivitas jiwa dan perwujudan sifat-sifat terpuji dan kesuciannya, dan sebaliknya kesucian jiwa, tidak akan membiarkan sedikitpun "ruang" di dalam hati disusupi oleh hawa nafsu. Jiwa akan selalu memperkuat hati dengan selalu membukanya untuk menerima limpahan ruh dan pengajaran dari-Nya. "Dan segala yang Kami sampaikan kepadamu dari cerita Rasul-Rasul yang dengannya Kami kuatkan hatimu, dan dalam cerita itu telah datang kepadamu kebenaran, pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman". (Surat Huud [11] : 120)
Demikian pula dengan jiwa yang menampakkan aktivitas dan perwujudan sifat-sifat yang rendah adalah cermin dari pengaruh hati yang diisi dan ditundukkan oleh hawa nafsu, dan sebaliknya hati yang dikuasai hawa nafsu akan menutup dirinya dari cahaya petunjuk, karena jiwa yang selalu mengajaknya kepada kegelapan.
"Dan mereka berkata, "Hati kami tertutup dari apa yang kamu seru kami kepada-Nya ... " (Surat Fushshilat [41] : 5) Dengan demikian, bisa kita pahami bahwa hati adalah instrumen jiwa yang sanggup mencapai pengetahuan dan limpahan ruh Ilahi, sepanjang ia -hanya selalu- membuka dirinya untuk menerima pancaran cahaya-Nya.
Ketika cahaya ini masuk ke dalam hati, maka ia akan menghilangkan tabir yang menutupi mata batin, sehingga pengetahuan tentang Allah (makrifat) -Sang Sumber Ilmu- dapat singgah di dalam hati. Para ahli makrifat menyebut keadaan hati seperti ini dengan istilah kasyf (penyingkapan). Dengan rahmat-Nya yang tak terbatas, Allah melimpahkan kepada hamba-Nya pengungkapan diri-Nya (tajalli) ke dalam hati hamba-Nya. Ada sebuah hadis qudsi yang menyatakan, "Meskipun langit dan bumi tidak sanggup memuat-Nya, tapi hati manusia -hamba-Nya- justru sanggup memuat-Nya".
Hati semacam ini adalah hati seorang hamba yang dipenuhi oleh berbagai hakikat Ilahiah, manifestasi Ilahiah dalam bentuk penyingkapan Nama-Nama-Nya dan Sifat-Sifat-Nya. Pengungkapan diri-Nya ke dalam hati hamba-Nya, merupakan anugerah, yang Allah limpahkan kepada manusia agar Ia dapat disaksikan. Ahli makrifat mengatakan bahwa terjadi berbagai penyingkapan yang merasuk ke dalam hati. Atas kehendak-Nya, Allah mengungkapkan diri-Nya lewat satu Nama Keindahan-Nya yang akan menimbulkan kemanisan dan kesenangan, atau lewat salah satu Nama Keagungan-Nya yang akan melahirkan ketakziman dan ketakutan. Singkatnya, karena Dia adalah Yang Maha Takterbatas, maka penyingkapan ini tidak pernah berulang secara sama dan tidak pula pernah berakhir. Setiap orang adalah unik, oleh karena itu masing-masing penyingkapan juga unik. Jadi tidak ada dua orang yang merasakan pengalaman tajalli yang sama.
Hanyalah yang "merasakan" yang mengetahuinya, dan mereka yang "tidak merasakan" tidak bakal mengetahui. Tajalli melampaui ungkapan kata-kata. Namun demikian -bagaimana pun- penyaksian hati ini tetaplah menunjukkan bahwa "yang melihat", "Yang Dilihat", dan "cahaya yang menghubungkan" keduanya, merupakan tiga hal yang berbeda dan melahirkan keberagaman.
Padahal "Penyaksian di dalam ke -Esa- an-Nya" tidak mengizinkan keragaman seperti itu. Jadi mesti ada "langkah pelampauan" sampai pada satu titik yang dengannya tauhid (penyatuan) bisa dicapai. Karena itu, titik tauhid (sejati) ini hanya bisa dicapai melalui penghancuran (fana'i) "diri yang mengetahui" di di dalam "Dzat yang diketahui.”

ALAM INSAN


Amalan Syareat mengharapkan Surga, Amalan Hakekat mengenal Diri kita, jaganlah dibanding-bandingkan ilmu yang ada agar bisa bertambah ilmu didada
Adapun Alam Insan atau disebut juga dengan Alam ke-tujuh sudah terkandung didalam surah Al-Ikhlas, di mana surah Al-Ikhlas di dalam Al Quran telah menceritakan tentang ke-wujud-an Allah s.w.t. yang menjadikan Rahasia manusia itu sendiri dan menceritakan pula ke-wujud-an Allah untuk ditanggung oleh manusia sebagai Rahasianya.
Proses pemindahan atau tajalli Zat Allah itu bermula dari alam Gaibul Gaib kealam Gaib hingga membentuk diri Lahir dan Batin.
Pada tahap martabat Alam Gaibul Gaib, keadaan ini merupakan suatu martabat yang paling tinggi dan suci disisi Allah s.w.t. dan inilah martabat yang paling benar-benar di-ridhoi oleh Allah s.w.t.
Diri manusia pada martabat INSANUL KAMIL adalah sebatang diri yang suci mutlak pada zahir dan batin. Tiada cacat dan celanya dengan Allah s.w.t. yaitu tuan Empunya Rahasia, sebab itu Rasulullah s.a.w pernah menegaskan dalam sabdanya, bahwa kelahiran seorang bayi itu dalam kedaan yang suci, tetapi yang membuatnya menjadi kotor itu adalah ibu bapaknya dan masyarakat, serta hanyutnya manusia itu sendiri di dalam gelombang godaan kehidupan di dunia ini.
Adalah menjadi tanggung jawab seorang manusia yang ingin menuju ke jalan kesucian dan makrifat kepada Tuhan-nya untuk mengembalikan dirinya ke suatu tahap yang bernama manusia KAMIL AL-KAMIL (sempurna) ataupun dinamakan tahap martabat Alam INSAN.
Adapun martabat pe-WUJUD-an Diri Rahasia Allah s.w.t. itu terbagi dalam tujuh kategori atau peringkat tajalinya, yaitu :
Ahdah
Wahda
Wahdiah
Alam Roh
Alam Misal
Alam Ijsam
Alam Insan
Ketujuh-tujuh ini terkandung di dalam Surah Al- Ikhlas, yaitu :
Qulhuawallahu ahad = Ahdah
Allahussamad = Wahdah
Lamyalid = Wahdiah
Walamyulad = Alam Roh
Walamyakullahu = Alam Misal
Kuffuan = Alam Ijsam
Ahad = Alam Insan
Dalam proses menyucikan diri dan mengembalikan Rahasia kepada tuan Empunya Rahasia, maka seorang manusia itu haruslah meningkatkan kesuciannya sampai ke peringkat asal kejadian Rahasia Allah Ta’ala.
Manusia harus melewati beberapa tahapan mulai alam insan ke martabat Zat Allah Azzawajalla yaitu martabat AHDAH. Sebab itulah tugas kita manusia mengenal hakekat ini dan berusaha sedaya-upaya untuk mengembalikan amanah Allah s.w.t. tersebut sebagaimana proses penerimaan amanah-Nya pada peringkat awalnya.
Sesudah lahir ke dunia manusia dihijab dengan nafsu-nafsu dan haruslah manusia itu menyucikan kembali agar dapat menembus satu martabat nafsu ke satu martabat nafsu yang lain sampailah benar-benar tahu dengan Allah s.w.t.
Sesungguhnya Allah s.w.t. dalam usaha untuk memperkenalkan diri-Nya melalui lidah dan hati, maka Allah telah mentajalikan dirinya menjadi rahasia kepada diri manusia.
Pada alam Gaibul Gaib yaitu pada martabat Ahdah, kondisi ini dikatakan belum ada awal dan belum ada akhir, belum ada SIFAT, belum ada ASMA dan belum ada apa-apa satupun jua yaitu pada martabat ZATUL HAQ, disini telah di putuskan untuk memperkenalkan diri-Nya dan untuk diberikan tanggung jawab berat ini kepada manusia, maka ditajalikan-lah diri-Nya itu dari satu peringkat ke peringkat berikutnya hingga sampai zahirnya manusia yang berbadan Rohani dan Jasmani.
Adapun martabat Ahdah ini terkandung didalam ayat Qulhuallahu Ahad yaitu pada zat semata-mata dan inilah dinamakan martabat ZAT.
Pada martabat ini kedudukan diri Empunya Diri (Zat Al-Haq) adalah dengan DIA semata-mata yaitu dinamakan Diri Sendiri.
Pada masa ini, tiada SIFAT, tiada ASMA dan tiada AFA’AL dan tiada apa-apa, kecuali zat mutlak semata-mata, maka berdirilah zat itu dengan DIA SEMATA-MATA, dan diri zat tersebut dinamakan Esa atau AHAD atau dinamakan KUN ZAT.
Pada peringkat yang kedua dalam proses mentajalilkan diri-Nya, Diri Empunya Diri telah mentajalilkan diri ke suatu martabat sifat yaitu SABIT NYATA PERTAMA.
Pada martabat ini dinamakan martabat Noktah Mutlak (Noktah Ghaib) ataupun dipanggilkan juga sifat Muhammadiah
Pada martabat ini juga dinamakan martabat WAHDAH yang terkandung didalam ayat Allahussamad yaitu tempatnya zat allah s.w.t., tiada terang sedikitpun hal ini meliputi tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi.
Pada peringkat ini Zat Allah Ta’ala mulai bersifat. Sifatnya itu adalah sifat batin, jauh dari nyata dan hal ini bisa diibaratkan seperti sebatang pohon yang masih didalam biji, pohon tersebut telah wujud, tapi tidak nyata, sebab itulah dinamakan Sabit Nyata Pertama pada martabat La ta’yan Awal.
Oleh karena itu didalam martabat ini keadaan-nya NYATA TAPI TIDAK NYATA (wujud pada hakiki) sama sekali tidak zahir. Maka pada peringkat ini tuan Empunya Diri tidaklah ber-ASMA, dan di peringkat inilah terkumpul zat mutlak (ZatulHaq) dan sifat Batin. Maka disaat ini tidaklah berbau, belum ada rasa, belum nyata didalam nyata, pada peringkat ini sebenarnya pada hakiki sifat (kesempurnaan sifat), ZatulHaq yang ditajallikan itu telah sempurna, sudah lengkap segala-galanya. Hai ini semua terhimpun dan sembunyi tapi sesungguhnya telah zahir pada hakekatnya.
Peringkat ketiga setelah di-tajalli-kan Dirinya pada peringkat WAHDAH maka Empunya Diri yang ada pada Diri Rahasia manusia men-tajalli-kan lagi Diri-Nya ke satu martabat ASMA yakni pada martabat Nama-nama atau dinamakan martabat WAHDIAH.
Martabat ini terkandung didalam ayat Lamyalid yaitu sifat yang Qadim lagi Baqa tak-kala menilik wujud Allah s.w.t.
Pada martabat ini keadaan tubuh Diri Rahasia telah yang terhimpun adalah ZAT, SIFAT Batin dan ASMA Batin. Adapun yang dinamakan berhimpun tapi belum bersatu karena pada peringkat ini sudah dapat ditentukan bangsa masing-masing (langit, bumi, gunung ..), tetapi perlu diingatkan pada peringkat ini semuanya belum zahir di dalam ilmu Allah s.w.t, yaitu di dalam keadaan (…) artinya suatu keadaan yang tetap didalam alam rahasia (ilmu Allah) yang belum zahir.
Pada peringkat ini juga telah terbentuk Diri Rahasia Allah s.w.t. yang hakiki dalam batin yaitu boleh dikatakan juga Diri Roh didalam Roh yaitu didalam keadaan nyata tetapi tidak nyata.
Peringkat keempat didalam usaha Diri Empunya Diri untuk menyatakan Dirinya, maka DIA mengolah dirinya untuk membentuk satu batang tubuh halus yang dinamakan ROH. Pada peringkat ini dinamakan martabat ROH pada Alam ROH.
ROH ini adalah merupakan tubuh batin hakiki-nya manusia, dimana batin ini sudah nyata Zat-Nya, Sifat-Nya, Asma-Nya, dan Afa’al-Nya. semuanya sempurna dan lengkap, seluruh anggota-anggota batinnya tiada cacat, tiada cela dan keadaan ini dinamakan ALAM KHARIJAH yaitu nyata dan zahirnya pada hakekatnya daripada Ilmu Allah Ta’ala.
ROH ini juga dinamakan Jisim Latif yaitu suatu bentuk tubuh yang halus. Tubuh Roh ini tidak akan mengalami suka-duka, sakit, menangis, senang dan hancur dan inilah yang dinamakan (…)
Martabat ini terkandung didalam ayat Walamyulad dan berdirilah Dia dengan Diri Tajalli Allah s.w.t. dan hiduplah Dia buat selama-lamanya. Inilah yang dinamakan keadaan tubuh hakekat insan yang mempunyai awal dan tiada berkesudahan dan Dialah sebenar-benarnya yang dikatakan diri Nyata Hakiki Allah pada diri manusia.
Untuk menyatakan DIRINYA ini, Allah s.w.t terus menyatakan Dirinya melalui Diri Rahasianya itu secara Nyata dengan membawa Diri Rahasianya itu untuk dikandung pada diri Bapak, maka dalam keadaan ini dinamakan Alam MISAL
Alam Misal ini terkandung didalam ayat Walamyakullahu yaitu dalam keadaan yang tidak bisa digambarkan.
Dalam keadaan ini tubuh Rahasia Diri Allah adalah masih sama halus seperti di Alam Roh dan tubuh itu telah terbentuk dengan sempurna pada seluruh anggota batin-nya seperti, Rupa dan bentuk kasar diri seorang manusia itu, keadaan ini dinamakan keadaan ke-sempurna-an sifat Roh yang sempurna pada ZAT pada SIFAT pada ASMA dan pada AFA’AL hakikinya masing-masing.
Diri Rahasia Allah pada martabat Wujud Allah ini, kemudian tajalikan lagi ke ubun-ubun bapak dan seterusnya ke Mani Wadi Di untuk disalurkan kesuatu tempat dan bergabung dengan Diri Rahasia Batin (Roh) dan diri kasar hakiki didalam tempat bernama RAHIM IBU dan terbentuklah Manikam pada saat persetubuhan.
Perlu di-ingat-kan tubuh rahasia pada saat itu hidup sebagaimana awalnya, didalam rupa yang Elok dan tiada binasa dan belum Zahir, dia akan tetap hidup dan tidak mengenal apa arti mati.
Setelah dari alam Misal yang dikandung oleh Bapak maka berpindah-lah Diri Rahasia itu melalui Mani bapak kedalam Rahim ibu, inilah yang dinamakan ALAM IJSAM.
Pada Martabat ini dinamakan martabat INSANUL KAMIL yaitu batang Diri Rahasia Allah yang telah di Kamilkan dengan tubuh diri manusia dan akhirnya dia menjadi KAMIL AL KAMIL menjadi satu pada zahirnya diantara kedua badan yaitu Rohani dan Jasmani, dan lahirlah seorang Insan melalui Rahim ibunya dan sesungguhnya martabat bayi yang baru lahir itu adalah merupakan satu martabat manusia yang paling suci yang dinamakan INSANUL KAMIL.

IMAN DAN HATI


Pada kesempatan ini saya ingin menambahkan uraian yang terdahulu tentang islam, Iman, Tauhid dan Makrifat dimana ke-empat perkara diatas tidak boleh sama sekali dipisahkan antara satu dengan lainya.
Pada uraian yang lalu kita sama-sama telah mengetahui bahwa islam tanpa iman adalah islam yang hampa dan iman tanpa tauhid adalah iman yang rapuh (mudah patah) dan tidak tahan diuji sedangakan tauhid tanpa Makrifat adalah suatu tauhid membabi buta. Oleh karena itu sadarlah kita bahwa islam, iman, tauhid dan makhrifat mempunyai kaitan rapat yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainya.
Ditegaskan juga barang siapa mengambil islam sebagai jalan hidupnya, maka tentunya tidak terlepas dari pada apa yang dinamakan ujian yaitu sesuatu bentuk tekanan, godaan paksaan, rayuan, yang membuat seorang manusia itu melupakan tugasnya yaitu sumpah janjinya dengan Allah s.w.t.
Untuk bisa lulus dalam ujian ini maka manusia yang memilih islam sebagai cara hidupnya haruslah bergantung kepada suatu dahan yang bernama IMAN. Sesungguhnya iman sajalah yang bisa menyelamatkan manusia.
Iman juga yang dapat menyelamatkan manusia itu agar tidak terjerumus kelembah kelalaian, dan hanyut dalam gelombang kehidupan duniawi saja.
Dengan iman-lah kita dapat menguatkan tali perhubungan antara manusia dengan Allah serta membawa manusia petunjuk kejalan yang benar hingga membuat diri rahasianya dapat dikembalikan kepada diri Empunya diri yaitu Tuhan semesta alam.
Didalam Al-Quran Allah s.w.t berkali-kali sudah memberi ingatan kepada kita terhadap bahaya godaan-godaan ini dan manusia sering di-ajar-kan agar bisa tahan diuji dan bisa menerima segala macam bentuk ujian yang menimpanya secara langsung atau tidak langsung dengan lapang dada dan jangan sampai terbawa arus godaan ini.
Sesungguhnya dahan iman tidak mungkin kuat jika tidak mempunyai pedoman yang bernama tauhid karena iman yang tidak berpedoman pada tauhid akan mudah rapuh, patah apabila dilanda gelombang godaan. Oleh karena itu sadarlah bahwa keyakinan (iman) tanpa pegangan (tauhid) tidak mungkin dapat mempertahankan wadah islam.
Kuatnya suatu keyakinan karena adanya pegangan, tanpa pegangan sudah tentu hancurlah keyakinan, maka timbulah perasaan was-was dan sebagainya yang bisa membawa kita syirik kepada Allah s.w.t, oleh karena itu maka se-orang islam seharusnya mempunyai iman, dan iman pula harus berpedoman kepada tauhid dan sesungguhnya tauhid pun tidak mugkin terlepas dari suatu tindakan yang bernama makrifat.
Sejak lahirnya islam sebagai cara hidup manusia mulai zaman nabi adam a.s dan terus bersambung hingga sekarang ini maka islam menekankan hidupnya dengan sesuatu yang bernaman Iman.
Adam a.s mengajak manusia supaya mempunyai iman. Idris a.s mengajak manusia supaya beriman. Ibrahim a.s mengajak manusia supaya beriman, singkat kata imanlah yang menjadi pokok perjuangan wadah islam itu sendiri sejak awal sampai akhirnya. Bahkan Allah s.w.t sendiri dalam firmanNya tidak pernah “ bicara “ dengan manusia walaupun dia beragama islam, tetapi Allah hanya berfirman khusus kepada manusia beriman saja.
Sesungguhnya manusia yang beriman saja dapat menerima sesuatu yang tidak bisa diterima dengan menggunakan akal fikiran dan dengan iman juga kita dapat menerima sesuatu yang wujud diluar jangkauan pemikiran manusia itu sendiri.
Tanpa iman, manusia tidak dapat menerima hakekat wujudnya Allah oleh karena itu betapa jelasnya kepada kita bahwa alangkah pentingnya peranan iman kepada kehidupan seorang manusia.
Jika ilmu kalam dapat diterima dan dapat dikaji oleh akal fikira manusia maka ilmu gaib dan ilmu syahadah Allah s.w.t hanya bisa diterima oleh daya keimanan yang kuat. Sesungguhnya otak yang cerdas dapat dengan mudah menerima ilmu kalam yang diajarkan oleh guru atau masyarakatnya, tapi bagaimana dengan otak yang lemah, tentu orang tersebut tidak dapat menerima suatu ilmu kalam maka sudah tentu juga manusia tersebut akan menjadi bodoh dan sebagianya.
Jika ilmu kalam dapat diterima oleh akal pemikiran manusia maka ilmu gaib dan ilmu Syahadah tidaklah sekali-kali dapat diterima oleh akal pemikiran manusia, tapi sebaliknya hanya dapat diterima oleh batin yang bernama iman.
Untuk menerima ilmu kalam manusia harus mengasah otaknya supaya menjadi tajam dan pintar tetapi untuk menerima ilmu Gaib dan ilmu syahadah manusia harus menguatkan kuasa imanya dengan jalan manusia tersebut harus membersihkan hatinya dengan Allah s.w.t.
Semakin bersih hatinya dengan Allah, maka semakin kuatlah kuasa penerimaan ilmu Gaib dan ilmu Syahadah, sesungguhnya tanpa otak batin yang bernama iman maka manusia tidak akan dapat menerima petunjuk dari Allah.
Didalam uraian yang lalu telah diartikan iman sebagai sesuatu keyakinan yang mutlak terhadap sesuatu tanpa mensyirikkanya pada yang lain, suatu keyakinan yang tidak boleh diubah-ubah dimana harus tetap teguh dan berpegangan tauhid atau pegangan yang mutlak.
Sesungguhnya keyakinan yang dimaksudkan ini bukan sekali-kali keyakinan paksaan dan sebagainya, sebaliknya keyakinan ini muncul dari diri itu sendiri tanpa dibuat-buat. Sesungguhnya keyakinan yang sebenarnya terbit dari cahaya kesucian nafsu (derajat) manusia itu dengan Allah s.w.t.
Berawal IMAN itu adalah terdiri dari huruf yaitu : Alif Ya, Mim, Alif, Nun
Sesunggnya (Alif) petama didalam perkataan iman itu adalah diisyaratkan kepada hati. Huruf (Ya) didalam perkataan iman itu diisyaratkan kepada mata hati (Mata Batin) .. Huruf (Nun) didalam perkataan iman itu adalah mengisyaratkan pula kepada cahaya Mata hati ( Cahaya Mata Batin)…
Jadi dapatlah disimpulkan bahwa perkataan IMAN itu akan membicarakan 5 pekara yang mempunyai kaitan diantara satu dengan yang lainya yaitu :
-
Diri Batin
Hati
Mata Hati
Hakekat Insan
Cahaya Mata Hati
Oleh sebab itu untuk menghasilkan suatu bentuk pemahaman yang sebenarnya terhadap iman, maka seseorang itu perlu memahami secara mendalam tentang lima perkara di atas. Sesungguhnya diri batin manusia itu adalah diri rahasia Allah s.w.t. dan manusia itu adalah sifat Allah, dan nama manusia itu adalah nama Allah s.w.t. dan kelakuan manusia itu adalah kelakuan Allah s.w.t. jua. Sesungguhnya tiada kelakuan manusia pada manusia kecuali kelakuan Allah s.w.t.
Manusia datang dari alam gaibul gaib dan harus kembali kealam gaibul gaib dan zahirnya diri manusia adalah sekedar untuk menyatakan sifat Allah s.w.t. karena Allah s.w.t. Tuhan semesta alam menyatakan dirinya dengan sifat-Nya dan memuji diri-Nya dengan nama-Nya dan menguji sifat-Nya dengan afa’al-Nya. Sesungguhnya diri manusia itu dari diri yang satu dan kembali pada yang satu, apabila sifat dapat menyatakan zat dan sesungguhnya zat akan kembali menjadi zat. Ini adalah sesuai dengan firman Allah s.w.t. didalam Al Quran :
Surah Al Qasnash : ayat 88
Maknanya ( Mengikut pandangan Tassauf )
“Tiada yang wujud hanya zat-Nya semata-mata, maka setiap sesuatu(yang zahir) adalah terhapus (tiada sebenarnya) kecuali semua yang zahir itu adalah wajah-Nya semata-mata. Dialah yang berhak dan kepada-Nya haruslah dikembalikan”
Oleh karena kita menyadari bahwa diri kita adalah sifat Allah s.w.t. dan sifat Allah s.w.t. akan diuji dengan afa’alNya bagi tujuan menentukan sumpah penyaksian sifat dan zat di alam roh dahulu, selama sumpah janji masih teguh dipegang, maka diri kita sudah tentu tidak terlepas daripada ujian. Seperti firman Allah s.w.t. didalam Al Quran :
Surah Al Ankabut ayat : 2
Artinya :
Apakah manusia mengira bahwa mereka mengaku kami telah beriman, sedang mereka tidak di uji lagi.
Sesungguhnya manusia dan ujian tidak dapat dipisahkan, manusia tetap akan diuji selagi menjadi manusia dan menggunakan nafas (nyawa) untuk hidup. selagi masih berjasad dan diri rahasia-Nya masih dikandung oleh jasad, maka selama itulah sifat Allah s.w.t. ini akan tetap diuji dengan berbagai ujian.
Ujian bukan saja bermakna “susah”, tetapi tidak kurang juga ujian Allah s.w.t. dengan apa yang dinamakan “kesenangan”, sesungguhnya susah dan senang, miskin dan kaya, hina mulia dan sebagainya yang melanda diri manusia adalah bahagian daripada bentuk ujian afa’al Allah s.w.t. terhadap dirinya.
Dewasa ini jarang sekali manusia yang menyadari hakekat ini, sebaliknya banyak dikalangan manusia tidak mengenal dirinya. Mereka mengaku dengan lidah mereka saja bahwa mereka ini adalah hak Allah s.w.t., tetapi pada kenyataannya sebenarnya mereka benar-benar masih berpegang bahwa dirinya itu adalah haknya sendiri, disamping mereka merasakan bahwa mereka harus memiliki sesuatu dan berhak pula untuk memilikinya.

Sum’ah


Secara bahasa sum’ah adalah diperdengarkan kepada orang lain, adapun secara istilah yaitu beribadah dengan benar dan ikhlas karena Allah, kemudian menceritakan amal perbuatannya kepada orang lain[1]. Perbedaan antara riya’ dan sum’ah menurut Al-Hafizh yaitu: riya’ adalah memperlihatkan amal dan perbuatan dengan maksud mendapatkan pujian seperti shalat, adapun sum’ah merupakan amalan yang diperdengarkan kemudian menceritakan perbuatannya (sudah dikerjakan dengan penuh keikhlasan, namun pada akhirnya mengharapkan pujian yang sifatnya duniawi). Perbedaan riya’dan sum’ah ialah: Riya’ berarti beramal karena diperlihatkan kepada orang lain, sedangkan sum’ah beramal supaya diperdengarkan kepada orang lain, Riya’ berkaitan dengan indra mata, sedangkan sum’ah berkaitan dengan indra telinga[2]. Kata sum’ah berasal dari kata samma’a (memperdengarkan). Kalimat samma’an naasa bi ‘amalihi digunakan jika seseorang menampakkan amalnya kepada manusia yang semula tidak mengetahuinya[3].

DEFINISI SUM’AH SECARA TERMINOLOGI
Pengertian sum’ah secara istilah adalah sikap seorang muslim yang membicarakan atau memberitahukan amal shalihnya, yang sebelumnya tidak diketahui atau tersembunyi kepada orang lain, supaya dirinya mendapatkan kedudukan, penghargaan, atau mengharapkan keuntungan materi. Syeikh Ahmad Rifa’I dalam kitabnya Ri’ayah Himmah, Juz 2 menjelaskan:
لَا تَظْهَرِ الْفَضْلَةَ كَا لْعِلْمِ وَالطَّاعَةِ
“Janganlah kalian menunjukkan keutamaan (kepandaianmu), seperti ilmu dan ketaatan karena banyak melaksanakan amal sholih kepada orang lain supaya mereka memuliakanmu”.
Dalam makalahnya, beliau menjelaskan bahwa adakalanya kita menunjukkan ketaatan kita pada orang lain, tetapi dalam hal-hal tertentu, seperti[4]:
وَأَمَّا إِظْهَارُهَا لِيُقْتَدَى بِهِ وَلِيَرْ غَبَ النَّاسَ فِى الْخَيْرِ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ إِسْرَارِهَا اِنْ أَمَنَ شَوَائِبُ الرِّياَءِ
“Adapun menunjukkan ketaatan kita kepada orang lain dengan tujuan supaya orang meniru perbuatan kita (mengajak kepada kebaikan), itu lebih baik (tidak berdosa) daripada kita menyembunyikannya, tetapi jika dalam hati kita merasa hebat maka akan menjadi riya’(sombong)”.
أَمَّا عَلىَ الْإِعْتِرَافِ بِالنِّعْمَةِ فَحَسَنْ
“Dan sekiranya kita memperlihatkan kemuliaan kita (nikmat), sebagai pertanda rasa syukur pada-Nya maka lebih bagus dan tidak termasuk ke dalam perkara ‘ujub, karena kemuliaan yang kita dapatkan adalah anugerah Allah[5]”.

Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan terhadap nikmat Tuhan-Mu, hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur)”.(Q.S. Dhuha: 11).

Ibnu Hajar Al-Asqalani mengetengahkan pendapat Izzudin bin Abdussalam yang membedakan antara riya dan sum’ah. Riya’ adalah sikap seseorang yang beramal bukan untuk Allah (lihat: Definisi Riya’ Dan Penjelasannya), sedangkan sum’ah adalah sikap seseorang yang menyembunyikan amalnya untuk Allah, namun kemudian ia bicarakan hal tersebut kepada manusia. Dengan demikian, dalam pandangannya bahwa semua riya’ tercela, sedangkan sum’ah adalah amal terpuji jika ia melakukannya karena Allah dan untuk memperoleh ridha-Nya, namun jadi tercela jika dia bicarakan amalnya di hadapan manusia[6].

Dalam Al-Qur’an Allah telah mengingatkan kepada kita mengenai sifat sum’ah dan riya’ ini:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُوْا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْاَذَى كَالَّذِىْ يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ …
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia…” (QS. Al-Baqarah : 264).
Di dunia ini, ada banyak hamba pilihan yang di takdirkan oleh Allah sebagai golongan orang-orang yang luhur budi pekertinya, bagus dalam bertutur kata dan dijauhkan dari sifat riya’ dan sum’ah, salah satu diantaranya adalah nabi Muhammad SAW yang dijelaskan dalam salah satu hadisnya:
قَالَ النَّبِيُّ إِنَّا أَكْرَمُ الْأَوَّلِيْنَ وَالْأَخِرِيْنَ لَا فَخْرَ لَنَا
Rasul SAW bersabda: “Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah yang paling mulia diantara nabi-nabi yang terdahulu ataupun yang terakhir, dan tidak berdosa (takabbur) bagiku, karena Allah SWT telah memberikan jaminan sebagai seorang utusan untuk mengajak kepada jalan kebenaran”.
Hadis diatas jangan kita fahami secara etimologi, karena nanti akan timbul penafsiran bahwa rasul SAW menyuruh untuk berbuat riya’ dan sum’ah, tetapi mafhum mukhalafah dari makna tersiratnya adalah karena keluhuran budi pekerti beliau jadi secara otomatis dalam hatinya sudah tidak ada penyakit-penyakit hati (madzmumah).
Kita sebagai umatnya, tidak menutup kemungkinan bisa sampai dalam tahap kesempurnaan (di jauhkan dari sifat-sifat madzmumah: penyakit hati), sebagaimana di jelaskan para ulama:
قَالَ الْعُلَمَاءُ وَمَنْ تَحَلَّى ظَاهِرَهُ بِحَلِيِّ الشَّرِيْعَةِ وَيَغْسِلُ بَاطِنَهُ بِمِيَاهُ الطَّرِيْقَةُ فَقَدْ حَصَلَ بِالْحَقِيْقَةِ
“Barangsiapa yang secara lahirnya (tingkah laku dan perbuatan) memakai perhiasan syari’at (menebarkan pesona kebaikan), kemudian membasuh kotoran batinnya dengan air tarikat (hanya kepada Allah ia memohon), maka ia telah sampai kepada tahap kesempurnaan (meyakini bahwa hakikatnya segala sesuatu yang ia lakukan mengharap keridhoan-Nya saja)”.
Keserasian antara syari’at dengan hakikat harus saling berkaitan dan meyakini bahwa segala anugerah berasal dari Allah SWT, digambarkan ibarat tempat (wadah;bejana) kosong yang hilang isinya, demikian juga sebaliknya perannya hakikat tanpa syari’at maka akan rusak dan hilang manfaatnya:
فَالشَّرِيْعَةُ بِلاَ حَقِيْقَةٍ عَاطِلَهْ وَالْحَقِيْقَةُ بِلاَ شَرِيْعَةٍ بَاطِلَهْ
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB RIYA DAN SUM’AH.
1. Latar Belakang Kehidupan.
Jika seorang anak yang tumbuh dalam asuhan sebuah keluarga yang memiliki suasana atau adat perilaku riya’ dan sum’ah, maka sangat besar kemungkinan dirinya akan dapat terpengaruhi perilaku semacam itu. Jika penyakit itu telah bercokol dan lama berurat akar dan mengkristal dalam jiwa, maka akan sangat sulit untuk mengikisnya. Karena itu, rasulullah selalu menekankan pentingnya faktor agama sebagai landasan utama dalam memilih calon pasangan hidup kita.
2. Persahabatan yang Buruk.
Persahabatan yang buruk hanya akan mengakibatkan sikap riya dan sum’ah, terutama bagi orang yang lemah pribadi dan mentalnya dan mudah terpengaruhi orang lain, dengan mengikuti dan meniru teman-temannya, lama kelamaan berakar umbi dalam jiwanya. Syeikh Ibrahim Bin Sulaiman dalam syarah Ta’lim al-Muta’allim[7] menjelaskan:
عَنِ الْمَرْءِ لَا تَسْأَلْ وَأَبْصِرْ قَرِيْنَهُ فَإِنَّ الْقَرِيْنَ بِالْمُقَارَنِ يَقْتَدِىْ
إِذَاكَانَ ذَا شَرٍّ فَجَنِّبْهُ سُرْعَةً وَإِنْ كَانَ ذَا خَيْرٍ فَقَارِنْهُ تَهْتَدِىْ
“Jangan Tanya seorang tanyakan yang menemani, karena seseungguhnya kawan ikut yang menemani. Jikalau kamu punya kawan buruk (sifatnya) cepat jauhi, dan jika kamu punya kawan baik(perilaku) cepat dekati”.
Sehubungan dengan hal ini, sebagai muslim, kita dituntut agar selektif dalam menjalin persahabatan dengan mereka yang baik, menghormati, dan menjalankan syariah Allah.
3. Tidak Memiliki Hakikat Ma’rifah kepada Allah.
Karena tidak mengenal Allah secara hakiki maka dapat menimbulkan sikap riya’ dan sum’ah, sebab orang yang jahil tidak mampu bersikap yang benar terhadap Allah. Karena itu, berkembanglah dalam pikirannya bahwa ada sebagian manusia yang mampu menolak bahaya dan memberi manfaat. Ia bersikap riya dan sum’ah dalam setiap amalnya dihadapan sekelompok manusia dan yang menurutnya berkuasa dalam menentukan nasib mereka. Islam selalu menegaskan pentingnya mengenal Allah sebagai langkah pertama yang harus ditempuh sebelum melakukan segala sesuatu.
Firman-Nya:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah.” (QS.Muhammad : 19)
Sifat ini lahir karena dalam dirinya merasa paling hebat dan suci, maka Allah SWT mengingatkan kepada kita dalam surat Al-Najm ayat 32:
فَلاَ تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ
“……, Maka Janganlah kamu menganggap dirimu suci,….”
Penafsiran ayat diatas diartikan seperti yang diuraikan oleh Syeikh Ahmad Rifa’i:
أَىْ لاَ تَمْدِحُوْهَا عَلىَ سَبِيْلِ الْإِعْجَابْ
“Jangan memuji karena merasa lebih dari segalanya ( yang mengarah kepada perasaan ‘ujub)”
4. Ambisi Memperoleh Kedudukan dan Kemimpinan.
Inilah salah satu diantara faktor yang dapat memotivasi timbulnya sikap riya’ dan sum’ah. Islam menekankan untuk menyeleksi dan menguji seseorang sebelum ia dilimpahi suatu kepercayaan atau dukungan.
Sebagaimana Firman-Nya:
وَابْتَلُواْ الْيَتَامَى حَتَّىَ إِذَا بَلَغُواْ النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُواْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
“Dan ujilah[8] anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (QS. an-Nisaa’ : 6)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang hijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka.” (QS. al-Mumtahanah:10)
5. Tamak Terhadap yang Dimiliki Orang Lain.
Sikap rakus terhadap apa yang dimiliki orang lain serta ambisi terhadap harta duniawi dapat menyebabkan riya atau sum’ah. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Musa bahwa pada suatu hari rasul SAW ditanya, “Ya Rasulullah, ada seorang yang berperang untuk memperoleh ghanimah, ada yang ingin disebut-sebut, dan ada yang ingin posisinya dilihat oleh manusia, yang manakah diantara mereka yang berperang di jalan Allah?” Rasul SAW bersabda:
“Barangsiapa berperang dengan tujuan meninggikan kalimat Allah, maka dialah yang berperang di jalan Allah.” (HR. Bukhari)
“Barangsiapa yang pergi berperang kemudian ia tidak mengharapkan sesuatu kecuali memperoleh tali kendali, maka baginya apa yang ia niatkan.” (HR. Nasa’i dan Darimi).
6. Lalai Terhadap Dampak Buruk Riya dan Sum’ah.
Ketidaktahuan dan kelalaian seseorang terhadap pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh riya dan sum’ah dapat menjerumuskan seseorang kepada riya atau sum’ah. Imam Bukhori dalam shahihnya dalam bab Ar- Riya’ was Sum’ah dengan membawakan hadits Rasulullah SAW:“Barangsiapa memperdengarkan (menyiarkan) amalnya, maka Allah akan menyiarkan aibnya, dan barangsiapa beramal karena riya’, maka Allah akan membuka niatnya (dihadapan manusia pada hari kiamat kelak)”.[9]
Dengan demikian, semoga kita di jauhkan dari sifat sum’ah dan menjadi insan yang mampu mengamalkan isyarah qur’an surah Fusshilat ayat 34:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّنْ دَعَا إِلىَ اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَّقَالَ إِنَّنِيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata: “Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri)”.
Shollallahu ‘Ala Muhammad Wa Aalihi
Ibnu Dahlan El-Madary
Sumedang, Pondok Pesantren Ulum Al-Qur’an Al-Mustofa,
25 Jumadil Ula 1433H/17 April 2012: 14:00PM
[1] Syeikh Ahmad Rifa’i, Riayah Akhir, Bab Tasawuf, Juz 2, Korasan 23 halaman 2 baris 3
[2] Dr. Sulaiman al-Asyqor, Al Ikhlas, halaman: 95
[3] Kitab lisanul arab, 8/165
[4] Op.Cit,____________________________, halaman 3 baris 4-5
[5] Ibid,____________________________, halaman 5 baris 1
[6] Fathul Bari, Jilid 11 halaman 336
[7] Syeikh Ibrahim Bin Ismail, Syarah Ta’lim al-Muta’allim, al-haramain, halaman 15
[8] Mengadakan penyelidikan terhadap mereka tentang keagamaan, usaha-usaha mereka, kelakuan dan lain-lain sampai diketahui bahwa anak itu dapat dipercaya.
[9] Hadits Riwayat Bukhori Juz 7, halaman :189 dan Hadits Muslim nomer: 2987.





Wudhu Kita Menyelamatkan Kita


Wudhu. Sebuah amalan yang kerap dianggap biasa namun memiliki fadhilah yang amat luar biasa. Wudhu kerap dimaknai hanya sebuah ritual membasuh anggota tubuh sebelum shalat. Padahal, maknanya jauh melebihi itu.
Wudhu mendapat tempat penting dalam kitab-kitab fikih. Biasanya ia diletakkan di awal pembahasan bersama dengan bahasan bersuci. Bersuci khususnya wudhu menjadi pembuka amaliyah yang amat penting yakni shalat. Tanpa bersuci, maka tidak akan sah shalat seorang Muslim. Wudhu menjadi pembuka amal-amal lain yang terlihat lebih besar.
Makna wudhu secara spiritual juga amatlah membekas. Wudhu menjadi terminal seorang Mukmin untuk membersihkan diri. Bersih secara fisik maupun suci secara batin. Basuhan air ke anggota tubuh saat berwudhu akan menghilangkan hadas. Basuhan yang sama juga akan menggugurkan dosa.
Siapakah makhluk yang bernama manusia yang berani mendeklarasikan diri bebas dari dosa? Hanya Nabi Muhammad SAW yang memiliki sifat maksum. Selebihnya, termasuk kita, adalah gudangnya khilaf dan alpa. Dosa-dosa yang amat kotor jikalau ia nampak itu akan mengerak dalam hati. Menutup kalbu hingga hitam pekat. Sehingga sebuah cahaya akan kesulitan menembus dindingnya dan menghantarkan hidayah.
Allah SWT yang Maha Pengampun menyiapkan banyak sarana untuk mencuci dan membilas dosa-dosa kita agar tak makin legam. Wudhu, adalah salah satu diantara sarana penyucian diri.
Adalah Amr bin Abasah yang bertanya kepada Rasulullah SAW dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim. “Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku tentang wudhu?”
Pertanyaan Amr ini akan menjadi sejarah sekaligus kabar gembira bagi umat Islam. Kabar gembira karena jawaban sang Nabi SAW nantinya, akan mengurai panjang fadhilah wudhu dalam menggugurkan dosa-dosa anggota tubuh.
Menggugurkan Dosa Lisan
“Tidaklah salah seorang dari kalian mendekati air wudhunya, kemudian berkumur-kumur, memasukkan air ke hidungnya lalu mengeluarkannya kembali, melainkan gugurlah dosa-dosa di (rongga) mulut dan rongga hidungnya bersama air wudhunya,” terang Rasulullah SAW.
mulut, dan rongga hidung. Betapa banyak dosa yang telah dihasilkan dari kedua organ yang menempel dalam tubuh kita ini. Betapa banyak kata-kata tajam yang menyakiti hati saudara seiman.
Rasanya mudah sekali lisan ini mengucap sumpah serapah hanya karena anak kita berbuat kesalahan. Tak jarang mulut kita membentak orang tua yang sudah uzur saat kesadaran mereka seolah kembali seperti anak kecil. Lisan kita mungkin salah satu anggota tubuh yang amat banyak menghasilkan noda dan dosa.
Wudhu dengan cara berkumur, adalah salah satu ikhtiar kita sebagai manusia untuk menginsyafi. Bertapa mulut adalah anggota tubuh yang harus banyak dibersihkan. Jika kita menyadari sepenuh hati, semoga Allah SWT berkenan mengampuni dosa-dosa lisan lewat wudhu kita.
Menghapus Dosa Wajah
“Kemudian (tidaklah) ia membasuh mukanya sebagaimana yang Allah perintahkan, melainkan gugurlah dosa-dosa wajahnya melalui ujung-ujung janggutnya bersama tetesan air wudhu,” lanjut Nabi SAW bersabda.
Wajah kita adalah etalase. Semua mimik yang kita lakukan tercatat rapi dalam buku amal. Saat kita bermuka masam menghadapi seseorang, saat wajah menipu orang lain dalam tampilan yang mengesankan. Padahal dalam hati tak demikian adanya. Sungguh apa yang wajah ini lakukan, Allah SWT tak akan lepas mengawasinya.
Di wajah kita terdapat sepasang mata. Mata adalah pintu masuk dari berbagai godaan-godaan. Mata kita mungkin banyak “menikmati” hal-hal yang diharamkan oleh Allah SWT. Mata kita mungkin melihat apa-apa yang seharusnya tidak kita lihat. Salah satu panah beracun yang berbahaya adalah pandangan yang tidak pada tempatnya.
Kita berharap, dengan basuhan yang amat kita sadari dalam wudhu itu, Allah SWT berkenan menghapus segala maksiat yang muncul dari wajah kita.
Menghanyutkan Dosa Tangan dan Kaki
“Kemudian,” lanjut Nabi SAW ,”(tidaklah) ia membasuh kedua tangannya sampai ke siku, melainkan gugurlah dasa-dosa tangannya bersama air wudhu melalui jari-jari tangannya.”
Kita yang paling paham seberapa banyak tangan kita berlumuran dosa. Di era media sosial dan gawai yang menyita banyak waktu kita, jemari kita memainkan peranan penting. Apakah kita menggunakannya untuk kesia-siaan atau sebuah kemanfaatan? Kita yang paling tahu. Yang pasti Allah menyiapkan basuhan tangan dan jemari saat wudhu sebagai sarana penggugur dosa. Tinggal kita apakah bersungguh-sungguh ingin dimaafkan dosa-dosa jemari kita atau hanya menggugurkan ritual wudhu yang kerap kita lakukan.
“Kemudian (tidaklah) ia mengusap kepalanya, melainkan gugur dosa-dasa kepalanya bersama air melalui ujung-ujung rambutnya, kemudian (tidaklah) ia membasuh kedua kakinya, melainkan gugur dosa-dasa kakinya bersama air melalui ujung-ujung jari kakinya,” sabda Nabi SAW menutup penjelasannya.
Kepala adalah tempat kita berpikir, tempat lintasan pikiran dan niat muncul. Mungkin lisan kita selamat dari mencerca saudara dan sejawat. Namun belum tentu lintasan pikiran kita selamat dari mencari-cari keburukan orang lain.
Kita juga amat perlu bertanya. Berapa langkah kaki yang kita lakukan setiap hari? berapa yang melangkah ke tempat-tempat baik dan berapa langkah yang menuju tempat-tempat maksiat?
Wudhu, seperti sabda Nabi SAW semoga bisa menggugurkan dosa-dosa anggota tubuh kita yang penuh dosa ini. Jika dalam sehari minimal kita melakukannya lima kali, tentu dengan kesadaran dosa kita yang amat menggunung ini, wudhu bisa menjadi ritual yang dilakukan jauh lebih banyak dari ritual wajib yang lima kali itu.

MENGENAL DIRI JASAD, JIWA, RUH DAN HATi

MENGENAL DIRI JASAD, JIWA, RUH DAN HATi
Pada umumnya orang hanya mengetahui manusia itu hanya terdiri dari jasad dan ruh. Mereka tidak memahami sesungguhnya manusia terdiri dari tiga unsur , iaitu:
Jasad, Jiwa dan Ruh.
Ini dapat dibuktikan dalam firman Allah Taala surah Shaad (38:71-73) yang bermaksud:
Ingatlah ketika Tuhan MU berfirman kepada malaikat: Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Ku sempurnakan kejadiannya, maka Ku tiupkan kepadanya Ruh Ku. Maka hendaklah kamu tunduk bersujud kepadanya. Lalu seluruh malaikat itu bersujud semuannya.
Pada ayat yang lain pula, Allah menjelaskan tentang penciptaan jiwa (nafs). Surah Asy Syams (91:7-10) . Firmanya yang bermaksud:
Dan demi nafs (jiwa) serta penyempurnaannya, maka Allah ilhamkan kepada nafs itu jalan ketaqwaaan dan kefasikannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikannya dan sesungguhnnya rugilah orang yang mengotorinya.
Selain itu, Allah juga berfirman dalam Al Quran tentang proses kejadian jasad (jisim). Surah Al Mukminun (23:12-14):
Dan sesungguhnya Kami telah menciptkan manusia dari saripati dari tanah, Kemudian jadilahlah saripati itu air mani yang disimpan dalam tempat yang kukuh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-tulang, lalu tulang-tulang ini Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk berbentuk lain, maka maha suci Allah. Pencipta yang paling baik.
Jasad
Jasad atau jisim adalah angggota tubuh manusia terdiri dari mata, mulut, telinga, tangan, kaki dan lain-lain. Ia dijadikan dari tanah liat yang termasuk dalam derejat paling rendah. Keadaannya dan sifatnya dapat mecium, meraba, melihat. Dari jasad ini timbullah kecenderungan dan keinginan yang disebut Syahwat. Ini dijelaskan dalam Al Quran Surat Ali Imran, yang bermaksud:
Dijadikan indah pada pandangan manusia , merasa kecintaan apa-apa yang dingininya (syahwat) iaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang bertimbun dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatan ternakan dan sawah ladang, Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah tempat sebaik-baik kembali.
Jiwa (Nafs)
Kebanyakan orang mengaitkannya dengan diri manusia atau jiwa. Padahal ianya berkaitan dengan derejat atau kedudukan manusia yang paling rendah dan yang paling tinggi. Jiwa ini memiliki dua jalan iaitu:
1. Menuju hawa nafsu (nafs sebagai hawa nafsu)
2. Menuju hakikat manusia (nafs sebagai diri manusia)
Hawa nafsu. Hawa nafsu lebih cenderung kepada sifat-sifat tercela, yang menyesatkan dan menjauhkan dari Allah. Sebagaimana Allah Taala berfirman surah (Shaad :26) yang bermaksud:
..... dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, kerana ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah
Kaitan hati dan hawa nafsu.
Hati memainkan peranan yang sangat penting dalam diri manusia ia menjadi sasaran utama kepada Syaitan. Syaitan sedaya upaya menutupi hati manusia dari menerima Nur llahi. Sebagaimana sabda Rasulullah yang bermaksud:
Jikalau tidak kerana syaitan-syaitan itu menutupi hati anak Adam, pasti mereka boleh milihat kerajaan langit Allah
Cara syaitan menutupi hati manusia itu dengan cara –cara tertentu iaitu dengan menghidupkan hawa nafsu tercela dan yang membawa ke arah maksiat. Semuanya sudah tersedia berada adalam diri manusia, ianya dikenali dengan nafsu ammarah bissu, nafsu sawiyah dan nafsu lawammah..
Para ahli tasawwuf mengatakan bahawa syaitan (anak iblis) memasuki hati manusia melalui sembilan lubang anggota manusia iaitu dua lubang mata, dua lubang hidung, kedua lubang kemaluan dan lubang mulut. Buta manusia bukan buta biji matanya tetapi buta hatinya sebagaimana bukti yang dijelaskan dalam Firman Allah dalam surah (Al Hajj :46) bermaksud:
Kerana sesungguhnya bukan mata yang buta, tetapi yang buta ialah hati di dalam dada.
Mereka juga mengatakan yang membutakan hati ialah kejahilan atau tidak memahami tentang hakikat perintah Allah SWT. Kejahilan yang tidak segera diubati akan menjadi semakin bertimbun. Allah SWT berfirman dalam surah (Al Baqarah:2-9) yang bermaksud:
Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka yang menipu diri sendiri, sedangkan mereka tidak menyedarinya.
Demikian bahayanya penyakit hati yang dihembuskan syaitan melalui hawa nafsu manusia. Sehingga Rasulullah pernah berpesan setelah kembali dari perang Badar. Beliau bersabda :
Musuhmu yangterbesar adalah nafsymu yang berada di antara kedua lambungmu (Riwayat Al-Baihaki)
Jihad yang paling utama adalah jihad seseorang untuk dirinya dan hawa nafsunya.(Riwayat Abnu An-Najari)
Diri Manusia
Nafs atau jiwa sebagai diri manusia adalah suatu yang paling berharga kerana ia berkaitan dengan nilai hidup manusia dan nafs yang diberi rahmat dan redha oleh Allah. Sebagaimana firmannya dalam surah (Al-Fajr : 27-30 ) yang bermaksud:
Hai jiwa yang tenang (Nafsu Mutmainnah), kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diredhaiNya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu, masuklah ke dalam syurgaKu.
Dan lagi dalam surah (Yusuf: 53) yang bermaksud:
Dan aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan, kerana sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh ke arah kejahatan, kecuali nafsu yang beri rahmat oleh Tuhanku.
Berkaitan dengan sabda Rasulullah yang berbunyi:
Barang siapa yang mengenal dirinya , maka ia mengenal Tuhannya.
Hadis ini menyatakan syarat untuk mengenal Allah adalah mengenal diri. Diri atau nafs di sini adalah nafs mutmainnah iaitu nafsu yang tidak terpengaruh oleh goncangan hawa nafsu dan syahwat.
Setiap manusia mempunyai nafs yang berbeza. Ada nafs yang menuju jalan cahaya ada nafs yang menuju jalan kegelapan.
Bagi nafs yang menuju kegelapan atau nafs tercela yang tidak sempurna ketenangannya terutama ketika lupa kepada Allah disebut nafsu lawammah. Firman Allah Taala dalam surah
(Al Qiyammah:2) yang bermaksud:
Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat tercela (nafsu lawammah)
Nafsu ini hanya dapat dikenali dan disaksikan dengan kemampuan tertentu manusia iaitu dengan pancaran batin. Sebagaimana firman Allah dalam surah (Al-Araaf:26) yang bermaksud:
Pakaian taqwa yang menjaga mu dari kejahatan itu adalah yang paling baik.
Ruh
Ruh mempunyai dua arah pengertian iaitu :
a. Sebagai nyawa
b. Sebagai suatu yang halus dari menusia (pemberi cahaya kepada jiwa)
Ruh sebagai nyawa kepada jasad atau tubuh . Ia ibarat sebuah lampu yang menerangi ruang. Ruh adalah lampu, ruang adalah sebagai tubuh. Jika lampu menyala maka ruangan menajdi terang. Jadi tubuh kita ini boleh hidup kerana ada ruh (nyawa)
Manakala dalam pengertian yang kedua, Ruh sebagai sesuatu yang merasa, mengerti dan mengetahui. Hal ini sangat berhubung dengan hati yang halus atau hati ruhaniyyah yang disebut sebagai Latifah Rabaniyyah (hati erti kedua)
Dalam Al-Quran kata ruh disebut dengan sebutan Ruhul Amin, Ruhul Awwal dan Ruhul Qudsiyah.
Ruhul Amin yang bermaksud adalah malaikat Jibrail. Firman Allah dalam surah (Asy-Syu’ araa:192-193) yang bermaksud:
Dan sesungguhnya Al- Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, Dia dibawa oleh Ar Ruh Al –Amin (Jibrail)
Ruhul Awwal yang bermaksud nyawa atau sukma bagi tubuh manusia. Sebagaimana firman Allah dalam surah (As-Sajdah:9) yang bermaksud:
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan kedalam tubuhnya ruh Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati , tetapi kamu sedikit sekali bersyukur
Ruh Qudsiyah yang bermaksud ruh yang datang dari Allah (bukan Jibrail), tetapi yang menjdi penunjuk dan pengkhabar gembira bagi orang-orang beriman. Ini adalah ruh yang disucikan dihadirat Allah. Ia bercahaya apabila nafsu mutmainnah telah sempurna.
Hati
Hati merupakan raja bagi seluruh diri manusia dan tubuh. Perilaku dan perangai seseorang merupakan cerminan hatinya. Dari hati inilah pintu dan jalan yang dapat menghubungkan manusia dengan Allah.Dengan demikian untuk mengenal diri harus dimulai dengan mengenal hati sendiri.
Hati mempunyai dua pengertian:
1. Hati jasmani iaitu sepotong daging yang terl;etak di dada sebelsah kiri, hati jenis ini haiwan pun memilinya.
2. Hati Ruhaniyyah iaitu sesuatu yang halus. Hati yang merasa, mengerti, mengetahui, dierpinta dituntut. Dinalai juga dengan Latifah Rabaniyyah.
Hati Ruhaniyyah inilah merupakan tempat iman dan tempat mengenal diri . Sebagaimana firma Allah dalam surah (Ar-Ra’d:28) yang bermaksud:
Iaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tanang dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah hati menjadi tenang.
Hadis qudsi yang bermaksud:
Tidak akan cukup menaggung untuk Ku bumi dan langitKU tetapi cukup bagiKu hanyalah hati (qalb) hambaKu yang nukamin (Riwayat Ad Darimi

HIDAYAH

HIDAYAH .......Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
اَلْهِدَايَةُ هِيَ الْعِلْمُ بِالْحَقِّ مَعَ قَصْدِهِ وَإِيْثَارِهِ عَلَى غَيْرِهِ، فَالْمُهْتَدِيْ هُوَ الْعَامِلُ بِالْحَقِّ الْمُرِيْدُ لَهُ
“Hidayah yaitu mengetahui kebenaran disertai dengan niat untuk mengetahuinya dan mengutamakannya dari pada yang lainnya. Jadi orang yang diberi hidayah yaitu yang melakukan kebenaran dan menginginkannya.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Seorang Muslim dalam kehidupannya sangat membutuhkan hidayah. Ia tidak bisa lepas dari hidayah Allah Azza wa Jalla. Apalagi di zaman yang digambarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana fitnah itu seperti potongan malam yang kelam, paginya seorang beriman namun sore harinya ia menjadi kafir. Sorenya beriman namun di pagi harinya ia menjadi kafir, ia menjual agamanya demi sedikit dari harta dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
بَادِرُوْا بِالْأَعْمَـالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْـمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، أَوْ يُمْسِي مُـؤْمِنًـا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا.
Bersegeralah mengerjakan amal-amal shalih karena fitnah-fitnah itu seperti potongan malam yang gelap; di pagi hari seseorang dalam keadaan beriman dan di sore hari menjadi kafir, atau di sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari menjadi kafir. Ia menjual agamanya dengan keuntungan duniawi yang sedikit. (HR. Muslim dan lainnya).
Manusia membutuhkan hidayah lebih dari kebutuhan mereka terhadap makan dan minum. Bahkan AllahSubahnahu wa Ta’ala memerintahkan kaum Muslimin dalam shalatnya untuk senantiasa memohon hidayah kepada Allah Azza wa Jalla sebanyak tujuh belas kali setiap harinya. Ini menunjukkan betapa pentingnya hidayah itu dalam hidup dan kehidupan manusia.
Betapa pentingnya masalah hidayah, banyak manusia yang memohon dan mengharapkan hidayah menyapa dirinya. Tapi sayang, mereka tidak mau berusaha untuk menjalankan sebab-sebabnya. Hidayah tidak akan datang secara tiba-tiba dan gratis. Hidayah memerlukan perjuangan untuk mendapatkannya. Tidak mungkin AllahSubahnahu wa Ta’ala mengutus malaikat-Nya untuk menuntun tangan seorang hamba agar bergerak menuju masjid untuk menunaikan shalat berjamaah, kalau hamba tersebut bermalas-malasan ketika mendengar adzan dan tidak mau mengambil air wudhu. Tidak mungkin juga Allah Azza wa Jalla mengutus malaikat-Nya untuk menarik tangan seorang hamba dari kemaksiatan dan kemungkaran, kalau hamba tersebut tidak berusaha menjauhinya.
Benarlah ibarat yang sering kita dengar, “hidayah itu mahal”. Ya, hidayah memang mahal. Ia tidak diberikan kepada orang-orang yang hanya bisa mengharap tanpa mau berusaha. Ia diberikan hanya kepada mereka yang mau bersungguh-sungguh mencarinya dan berusaha mendapatkannya
Dalam masalah hidayah ini, Ibnu Rajab rahimahullah telah membagi manusia menjadi tiga bagian :
Pertama, رَاشِدٌ (rasyid) yaitu orang yang mengetahui kebenaran dan mengikutinya.
Kedua, غَاوِيٌ (ghawi) yaitu orang yang mengetahui kebenaran tapi tidak mau mengikutinya.
Dan ketiga, ضّالٌّ (dhal) yaitu orang yang tidak mengetahui hidayah secara menyeluruh.
Setiap rasyid, dia mendapat petunjuk, dan setiap orang yang mendapat petunjuk secara sempurna maka ia dikatakan rasyid. Karena hidayah menjadi sempurna apabila seseorang mengetahui kebenaran dan mengamalkannya.

Benar zikir ingat Allah

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسۡـــــــــمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡـمَـٰنِ ٱلرَّحِـــــــيم.
"Ingat kepada Nafas kita yang turun naik"
Nafas kita yang turun naik siang dan malam itu, sebenarnya zikir (ingat) kepada Allah. Yang turun naik itu tidak tidur, dia sajalah yang ingat kepada Allah, walaupun kita dalam berkeadaan tidur atau dalam keadaan kita lupa atau lalai.
Nafas itulah yang dimaksudkan "Tidak Berhuruf, Tidak Bersuara" dimana ia merupakan 7 sifat Allah yang sebenarnya adalah Roh, terdiri daripada sifat Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama'a, Basyar & Kalam, yang mengerakkan dan menghidupkan Jasad yang padanya terdiri 7 lapis Langit, merujuk kepada 2 mata, 2 telinga, 2 lubang hidung, 1 mulut yang menjadi 7 lapis Langit pada kepala kita dan 7 lapis Bumi yang merujuk 2 tangan, 2 kaki, 1 pusat, 2 kemaluan depan dan belakang pada tubuh kita.
Tidak bergerak jasad itu melainkan jasad itu digerakkan oleh Roh, dihidupkan oleh Roh yang tertakluk kepada gerak "Tidak berhuruf, Tidak bersuara" dan hakikatnya adalah Allah s.w.t.
Roh adalah diri sebenar-benar diri yang pada istillahnya merupakan bayang Allah sebagai penyata utk menyatakan Allah didalam diri mahu pun luar daripada diri.Turun naiknya Nafas atau keluar masuknya Nafas dalam keadaan "Tidak Berhuruf, Tidak Bersuara" yang menyatakan Zat, Sifat, Asma, Afaal, Allah yang tertakluk didalam "KUN FAYAKUN", Ahad, Ahad,Ahad

SIFAT DUA PULUH.

·

SIFAT DUA PULUH.
Apakah maksud sifat dua puluh ?
Sifat dua puluh adalah satu konsep ilmu yang ciptaannya sangat ajaib, didalam mentafsir kaedah mengenal Allah melalui ilmu makrifat.
Sifat 20 dicipta oleh ilham para sufi dan para aulia' terdahulu, bagi tujuan mengajar kita menuju jalan mengenal Allah. Barang siapa mempelajari sifat 20 dengan bersungguh-sungguh, berserta faham akan maksud dan makna yang tersirat, InsyaAllah ia akan dapat mengenal Allah swt dengan nyata dan terang. Banyak cabang ilmu dan banyak kaedah pembelajaran yang telah didedahkan melalui kitab, melalui pondok, melalui sekolah dan tidak kurang pula melalui guru-guru agama.
Semua itu bertujuan bagi mencari jalan, mencari cara dan mencari kaedah untuk mengenal Allah. Diantara banyak-banyak cara dan diantara banyak-banyak kaedah, cara dan kaedah terbaik bagi mengenal Allah swt adalah dengan mempelajari sifat 20.
Allah tidak akan dapat dikenal melalui mata zahir, ianya dapat dikenal melalui mata hati dengan mempelajari sifat-sifatnya. Tidak ada jalan, tidak ada cara dan tidak ada kaedah lain untuk mengenal Allah, melainkan melalui ilmu mengenal sifat-sifatNya. Hanya melalui sifat-sifatNya sahaja yang membolehkan kita mengenal Allah Ta'ala. Andaikata adanya jalan lain, selain dari kaedah itu, ternyata ianya adalah dusta yang teramat besar.
ADAKAH ALLAH LAYAK UNTUK DISIFAT-SIFATKAN ?
Sebelum sifat 20 diperjelaskan, suka dingatkan disini bahawa, Allah sebenarnya tidak bersifat dan Allah sebenarnya tidak boleh disifatkan. Seandainya Allah bersifat bererti Allah itu boleh di kualiti dan boleh dikuantitikan. Sedangkan Allah tidak berbilang, tidak berkualiti dan tidak berkuantiti. Maha suci Allah dari sifat berbilang-bilang yang menyerupai sifat makhloknya. Allah tidak boleh dipersifatkan.
Allah itu sangat tinggi, sangat jauh, lebih tinggi dan lebih jauh dari kedudukanNya. Hingga tidak sampi akal untuk mengkajiNya. Allah tidak terhad dan Allah tidak terbatas, sedangkan akal kita amat terhad dan amat terbatas. Allah tidak ada awal, dan tidak ada akhirnya. Tidak mungkin tercapai oleh akal untuk menjangkaunya.
Mana mungkin Allah bersifat, Allah adalah suatu zat yang bukan Ain ( bukan benda ). Allah bukan barang, dan Allah bukan sesuatu. Allah adalah perkara yang tidak boleh disifatkan. Sifat yang disifatkan dan sifat yang dinyatakan itu adalah semata-mata thamsil, semata-mata misalan, semata-mata usul, semata-mata perumpamaan dan semata-mata sekadar contoh bagi mempermudahkan faham
APAKAH ASAS SIFAT 20 ?
Sifat 20 berasaskan kepada 4 perkara ;
1). Zat. ( roh )
2). Sifat. ( rupa )
3). Afa'al ( perangai-perbuatan )
4. Asma' ( nama )
APAKAH SIFAT ALLAH YANG 20 ITU ?
1. Ujud = Ada
2. Qidam = sedia
3. Baqa' = kekal
4. Mukholafatuhu lilhawadis = bersalahan dengan yang baharu
5. Qiamuhu binafsih = berdiri sendiri
6. Wahdaniah = esa
7. Qudrat = kuasa
8. Irodat = menghendaki
9. Ilmu = mengetahui
10. Hayat = hidup
11. Sama' = mendengar
12. Basor = melihat
13. Kalam = berkata-kata
14. Qodirun = maha berkuasa
15. Muridun = maha menghendaki
16. Alimun = maha mengetahui
17. Hayyun = maha hidup
18. Sami'un = maha mendengar
19. Basirun = maha melihat
20. Muutakallimun = maha berkata-kata
20 sifat Allah itu terbahagi kepada berapa bahagian ?
20 sifat-sifat Allah terbahagi kepada 4 bahagian.
1. Bahagian sifat Nafsiah
2. Bahagian sifat ma'ani
3. Bahagian sifat ma'nawiah
4. Bahagian sifat salbiah
Bahagian yang empat inilah yang dikatakan menjadi intipati dan isi kepada ilmu mengenal Allah. 4 bahagian inilah nantinya yang akan mengupas dan yang akan menterjemahkan sifat 20. Barang siapa yang berhajat untuk mengenal Allah, perlu diambil perhatian kepada ke empat-empat bahagian tersebut.
SIFAT NAFSIAH
Apakah sifat yang terkandung dalam nafsiah ?
Sifat yang terkandung didalam nafsiah itu, hanya satu iaitu sifat wujud. Wujud yang membawa maksud ada. Adanya Allah itu, meliputi segala yang zahir mahupun yang batin.
Apakah maksud sifat nafsiah (menolak) ?
Sifat nafsiah itu, bermaksud menafikan keujudan yang lain selain Allah. Hanya Allah sahaja yang ada dan hanya Allah sahaja yang wujud.
Wujudnya Allah itu, adalah ujud yang disertai sekali dengan zat, sifat, afa'al dan asma'Nya. Zat Allah itu merupakan sifatNya dan sifat Allah itu adalah juga merupakan zatNya. Zat dengan sifat Allah itu adalah ujud yang terpisah, berpisah, bercerai dan ujud yang tidak berasingan.
Keujudan zat dengan keujudan sifat Allah itu, adalah esa (satu juga pada hakikatnya). Seumpama sifat ilmu dengan sifat kalam Allah. Apabila sifatnya bersifat mendengar (sama'), bererti zatnya juga, bersifat berpendengaran (sami'un). Apabila Allah bersifat melihat (basor), bererti zatNya bersifat berpenglihatan (basirun). Apabila Allah bersifat kuasa (kudrat), bererti zatNya bersifat kekuasaan (kodirun). Begitulah seterusnya dengan sifat-sifatnya yang lain.
Sifat Allah itu seumpama sifat angin dengan sifat bergoyang (bertiup). Apabila kita melihat pokok bergoyang, itu menandakan adanya angin. Bergoyangnya pokok, adalah bagi menandakan bergoyangnya angin. Sifat bergoyang itu sebenarnya bukan sifat pokok, yang bergoyang itu sebenarnya adalah sifat angin. Walau bagaimana pun sifat angin dan sifat bergoyangnya pokok itu, adalah satu sifat yang sama. Jika tidak ada angin, masakan pokok bergoyang. Pokok tidak boleh bergoyang dengan sendiri, jika bukan kerana digoyang dan ditiup oleh angin. Begitulah juga sifat Allah dengan ZatNya, tidak boleh bercerai.
Begitulah juga kaedahnya kita mentafsir sifat 20. Apabila ianya dirujuk kepada diri. Barulah kita dapat melihat dan mengenal Allah melaluinya. Seandainya sifat 20 itu, tidak dirujuk kepada diri, selama itulah kita tidak akan dapat mengenal dan melihat Allah. Dalam memahami sifat nafsiah (nafi) iaitu sifat menafikan, menidakkan, atau sifat menolak. Kita dikehendaki menidakkan sifat-sifat yang lain selain Allah. Kita dikehendaki menidakkan kewujudan sifat alam dan sifat diri kita sendiri. Menidakkan sifat diri kita, supaya ianya menjadi tidak ada dan tidak wujud (binasa). Cara untuk menidakkan sifat diri kita dan untuk mewujudkan sifat Allah itu, adalah dengan cara, menyerah atau membinasakan diri kepada Allah.
Bilamana sifat telinga telah dipulangkan, ianya akan disambut dengan sifat pendengaran Allah. Bilamana sifat mata telah binasa, akan disambut dengan sifat penglihatan Allah. Sifat berfikir, akan disambut dengan ilmu Allah. Selagi sifat mata menjadi sebahagian daripada sifat kita, sudah pasti kita tidak akan dapat melihat Allah melalui pandangan dan penglihatanNya.
Setelah sifat mata kita itu dipulangkan kepada Allah, akan bertukar menjadi sifat basor Allah, barulah sifat penglihatan basirun Allah itu, boleh melalui sifat mata kita. Bermaknanya disini bahawa, sifat mata yang ada pada kita sekarang ini, tidak boleh dan tidak layak menerima penglihatan Allah melaluinya, melainkan sifat mata makhlok telah binasa dan bertukar kepada sifat wajah Allah.
Maka kita tidak layak untuk menanggung atau menerima sifat penglihatan Allah yang maha tinggi. Sifat makhlok tidak layak untuk menanggong sifat Allah, melainkan sifat kita itu ditukar milik, supaya menjadi milik Allah, setelah melalui proses penyerahan diri (penyerahan tugas dan penyerahan hak milik) kepada Allah. Apabila sudah menjadi milik Allah, barulah mata kita itu, dapat melihat melalui penglihatan Allah. Apabila mata kita itu telah menjadi milik Allah, barulah sifat basirun (penglihatan) Allah itu dapat terpancar melalui mata kita.
Apabila penglihatan Allah sudah menembusi mata kita, dengan sendirinya sifat mata akan binasa. Mata makhlok akan hangus terbakar, binasa dan lenyap lantaran dipenuhi oleh cahaya Allah. Cahaya penglihatan Allah itu sendiri, yang membinasakan sifat mata kita. Hanya Allah sahaja yang dapat menanggung sifat Allah. Sifat mata kita tidak dapat untuk menanggung sifat penglihatan Allah.
Selagi mata masih bersifat makhlok atau masih menjadi sebahagian dari anggota diri kita, selagi itulah wajah Allah tidak boleh mengambil tempat. Selagi sifat Allah tidak dapat mengambil tempat, selagi itulah, kita tidak akan dapat mengenal dan melihat Allah melaluinya. Inilah konsep nafsiah, iaitu konsep menidakkan sifat makhlok supaya dapat menjadikan semuanya bersifat wajah Allah. Setelah kita berjaya dalam menidakkan, fana' dan leburkan diri kita ke dalam cahaya Allah, maka jadilah telinga kita itu, merupakan pendengaran Allah, jadilah mata kita itu, penglihatan Allah dan sebagainya.
Mata kita tidak layak untuk menanggung penglihatan Allah. Begitu juga dengan sifat-sifat yang lain, ianya merupakan pakaian dan persalinan Allah. Sifat kita selaku makhlok, tidak layak untuk memakai yang menjadi persalinan Allah. Seandainya kita terpakai persalinan Allah, cepat-cepatlah bertaubat.
Apabila Allah bersifat basor, Allah juga bersifat basirun. Apabila Allah bersifat qudrat, Allah juga bersifat Qodirun dan sebagainya. Oleh yang demikian bagi yang telah sampi kepada mskam (tahap) makrifat, menjadikan yang dilihat itu, adalah juga yang melihat dan yang melihat itu, adalah juga yang dilihat, yang disembah itu, adalah yang menyembah dan yang menyembah itu, adalah juga yang disembah. Dengan syarat diri kita telah binasa, mati, lebur, dan karam dalam zuk cahaya wajah Allah. Walaupun Allah itu bersifat dengan 20 sifat, namun semua 20 sifat itu, adalah esa (satu) juga dalam zatNya. Walaupun sifat Allah itu banyak, tetapi ia satu dalam zatNya.
Yang menjadikan sifat Allah itu berbilang-bilang adalah dikeranakan khayalan fikiran dan lemahnya sangkaan akal manusia. Sedangkan pada dasar dan pada hakikatnya, kesemua sifat Allah itu adaslah satu (esa), tidak berbilang-bilang.
Mempelajari, memahami serta mengetahui sifat nafsiah bertujuan memberi peringatan kepada kita bahawa, tidak ada yang berbentuk, melainkan yang berbentuk itu adalah bentuk bagi Allah dan tidak ada yang bersifat, melainkan yang bersifat itu hanya sifat bagi Allah. Tidak ada yang berupa melainkan yang berupa itu adalah rupa bagi Allah.
Di dalam memahami sifat nafsiah, kita dikehendaki menafikan, mematikan, melenyapkan, menghilangkan dan membinasakan semua sifat-sifat yang lain selain dari sifat Allah. Di peringkat pengajian ilmu sifat nafsiah, kita dikehendaki melihat bahawa hanya Allah sahaja yang ada, ujud, wujud dan maujud. Keujudan makhlok alam pada peringkat ini belum lagi boleh diletak dalam gambaran fikiran dan belum lagi boleh dibayangkan dalam ciptaan khayalan akal. Yang ada dan yang ujud pada peringkat sifat nafsiah itu, hanyalah Allah semata-mata.
Sifat nafsiah adalah sifat bagi mengajar kits tentang kewujudan Allah secara mutlak dan secara "wujudiah". (wujud yang meliputi), meliputi sekslian alam, meliputi sekalian makhlok dan meliputi sekalian diri kita. Sifat nafsiah dalam wujudiah itu adalah membawa makna keujudan Allah secara mutlak, secara bersendirian, secara keesaanNya, tanpa adanya lagi yang lain selain Allah. Seumpama bukan pokok yang bergoyang tetapi yang bergoyang itu adalah angin. Walaupun kita nampak yang bergoyang itu pokok, didalam kefahaman pengajian ilmu makrifah yang bergoyang itu bukan lagi pokok, sesungguhnya yang bergoyang itu adalah sifat angin. Inilah kedudukan sifat nafsiah dalam tafsiran makrifat.
Di dalam kita belajar sifat nafsiah dalam sifat 20 kita jangan lupa untuk menghubungkaitkan dengan kalimah syahadah. Pelajaran sifat nafsiah dalam sifat 20, bukan sekadar bertujuan untuk dihafal. Pelajara sifat nafsiah itu selain bertujuan untuk mengenal sifat Allah melalui sifat 20, ianya juga adalah bertujuan bagi mentafsir kalimah syahdah. Sifat nafsiah itu, adalah satu kaedah kiasan sahaja. Tujuan sebenar kiasan sifat nafsiah itu, adalah disasarkan kepada tafsiran dan pemahaman kalimah syahdah.
Sifat nafsiah apabila dikaitkan, diletak atau diterjemahkan pada tafsiran syahadah, ia berada pada kedudukan kalimah "LAA" (iaitu kalimah nafi). Kalimah nafi adalah kalimah menolak yang lain selain Allah, membinasakan yang lain selain Allah. Kuwujudan sifat-sifat yang lain itu, seumpama bayang cahaya. Apabila hilang cahaya maka hilanglah bayang.
Apabila kita dapat memahami dan menghayati pengertian isi ilmu nafsiah dalam sifat 20 dengan penuh penghayatan, ianya membuatkan ucapan syahdah kita, benar-benar diterima Allah.
Bagaimana cara ucapan syahdah yang penuh makna ! Adapun ucapan syahdah yang penuh makna itu, adalah dengan melafazkan ungkapan kalimah "Laa" dengan menghilangkan dan membinasakan sifat-sifat yang lain, selain Allah. Sehingga tidak ada lagi keujudan bulan, bintang, alam, dunia dan keujudan kehidupan diri, melainkan Allahlah yang ujud, wujud dan maujud, pada sekalian wajah alam.
Ucapan perkataan "Laa" adalah tahap ucapan yang tidak ada lagi sesiapa. Tidak ada apa-apa dikiri, dikanan, diatas, dan tidak apa-apa lagi dibawah kita, melainkan semasa melafazkan kalimah "Laa" kita dikehendaki mengisi keyakinan hati dan mengisi kepercaysan akal, bahawa tidak ada yang lain lagi pada keujudan alam ini, melainkan sekalian yang ada ini, adalah wajah Allah (yang meliputi segalanya). Itulah diantara tujuan kita mempelajari sifat nafsiah ( sifat 20 )
APAKAH BENTUK SIFAT NAFSIAH ?
Sifat nafsiah adalaj berbentuk "PERKHABARAN", sifat yang hanya ada pada zat Allah dan tidak memberi bekas kepada alam, sifat nafsiah itu, tidak pula boleh dikualiti dan tidak boleh dikuantitikan. Adanya Allah adalah ada yang mutlak, ada yang tidak dikeranakan oleh suatu kerana yang lain.
Sifat nafsiah adalah sifat yang mengkhabarkan kepada kita bahawa Allah itu ada, adanya Allah itu melalui perkhabaran yang tidak dapat dipegang atau dirasa dengan tangan, tidak dapat dizahirkan untuk dilihat. Perkhabaran adalah perkara yang tidak boleh disifatkan, tidak boleh dikualiti atau dikuantitikan. Ia hanya boleh dirasa dan diyakini oleh hati tanpa usul
SIFAT MA'ANI
Apakah maksud sifat ma'ani ?
Pengertian sifat ma'ani adalah membawa maksud "PERGANTUNGAN". Ma'ani adalah sifat yang menumpang kepada sifat lain, seumpama sifat hidup yang bergantung kepada sifat haiyun, seumpama sifat basor, yang bergantung kepada sifat basiron dan sebagainya. Sifat ma'ani adalah sifat yang bergantunh kepada sifat maknawiyah. Tanpa maknawiyah sifat ma'ani tidak berfungsi. Berfungsinya sifat ma'ani adalah dengan kerana limpahan rahmat dari sifat maknawiyah ( kuasa Allah ). Sifat ma'ani itu, bergantung dan menumpang sifat maknawitah.
Sifat Apakah Yang Terkandung DI Dalam Ma'ani ?
Sifat yang terkandung di dalam sifat ma'ani ada 7 perkara:-
1. Hayat. = hidup
2. Qudrat. = kuasa
3. Irodat. = berkehendak
4. Ilmu =. Mengetahui
5. Sama'. = mendengar
6, basot. = melihat
7. Qalam = berkata-kata
Apakah Bentuk Sifat Ma'ani ?
Bentuk sifat ma'ani itu, adalah sifat yang boleh dilihat dan boleh digambarkan oleh akal. Ianya juga merupakan sifat yang terzahit (tergambar) pada fikiran dan terbayang pada khayalan. Seumpama sifat hayat (hidup), ianya terbaayang kepada sifat nyawa, sifat melihat, terbayang pada sifat mata dan pendengaran, terbayang kepada sifat telinga. Kita boleh bayangkan sifat ma'ani, melalui pendengaran, penglihatan dan sebagainya.
Sifat ma'ani bukan sahaja terzahir pada khabar tetapi terzahir juga pada kenyataan, ertinya maujud pada khayalan fikiran dan maujud juga pada kenyataan sebenar. Ujud sifat ma'ani itu, adalah dikeranakan dengan sesuatu, kerana yang lain. Tanpa kerana sifat yang lain, sifat ma'ani tidak boleh wujud dan tidak boleh zahir. Wujudnya sifat ma'ani adalah dikeranakan menumpang sifat maknawiyah.
Bagaimana Menterjemah Sifat Ma'ani Pada Diri Kita ?
Sifat ma'ani Allah Ta'ala yang jelas terzahir pada diri kita ada 7.
1. Hidup
2. Mengetahui
3. Berkuasa
4. Berkehendak
5. Melihat
6. Mendengar
7. Berkata-kata
Ada dengan terang dan jelas menzahir sifat-sifatNya ke atas diri kita. Tujuan dizahirkan sifatNya supaya dijadikan sebagai pedoman, sebagai panduan dan sebagai iktibar untuk kita mengenal, melihat dan memandang Allah melaluinya. Allah bukan ain (bukan benda) yang boleh dikenal melalui bentuk hitam dan putih. Allah menzahirkan sifat-sifatnya ke atas diri kita adalah bertujuan supaya dijadikan "Tempat memandang sifat-sifatnya" kepada mereka-mereka yang berpandangan jauh.
Tetapi ramai yang masih tidak memerhatikannya. Sifat hidup, sifat mengetahui, sifat berkuasa, sifat berkehendak, sifat melihat dan sifat berkata-kata yang dipakai Allah atas diri kita, adalah menjadi tanda kebesaranNya atas diri kita supaya kita memerhati dan melihatnya. Sifat-sifat tersebut bukannya sifat peribadi kita tetapi sifat tersebut sebenarnya adalah hak kepunyaan mutlak Allah Ta'ala.
Sifat yang kita pakai ini adalah pinjaman semata-mata. Dari itu hendaklah kita sedar dan insaf akan hal itu. Kesemua sifat-sifat tersebut adalah hak milik Allah dan kepunyaan Allah swt yang sepatutnya dikembalikan semula kepada tuan yang empunya, sementara hayat masih dikandung badan. Penzahiran sifat ma'ani (angin) atas makluk (diri kita) adalah sekadar pinjaman yang berupa pakaian sementara, yang akhirnya dikehendaki kembali semula kepada tuan yang empunya. Allah tidak boleh diibarat atau dimisalkan dengan sesuatu.
Maha seci Allah dari ibarat dan misal. Segala misalan atau segala perumpamaan yang dinukilkan itu, hanya sekadar mempermudahkan faham. Sifat ma'ani itu, adalah seumpama bayang-bayang, manakala Allah Ta'ala itu, adalah seumpama tuan yang empunya bayang.
Firman Allah :-
25.Surah Al-Furqān (Verse 45)
أَلَمْ تَرَ إِلَىٰ رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ وَلَوْ شَاءَ لَجَعَلَهُ سَاكِنًا ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ عَلَيْهِ دَلِيلًا
Tidakkah engkau melihat kekuasaan Tuhanmu? - bagaimana Ia menjadikan
bayang-bayang itu terbentang (luas kawasannya) dan jika Ia kehendaki tentulah Ia menjadikannya tetap (tidak bergerak dan tidak berubah)!
Kemudian Kami jadikan matahari sebagai tanda yang menunjukkan perubahan bayang-bayang itu;
Maksud hadis:-
"Allah Jadikan Manusia dalam bayangNya"
Maksud bayang itu, adalah merujuk kepada makhlok dan diri kita. Bayang (diri) sebenarnya tidak mempunyai apa-apa sifat. Bayang hanya sekadar sifat yang menumpang dari yang empunya bayang. Bergeraknya bayang adalah gerak daripada yang empunya bayang. Berdirinya bayang adalah dengan berdirinya tuan yang empunya bayang (Allah). Mustahil bayang itu boleh berdiri dengan sendiri tanpa kuasa dari yang empunya bayang (Allah). Bayang dengan yang empunya bayang itu, mustahil bersatu dan mustahil bercerai.
Diri kita dengan wajah Allah itu, adalah seumpama ujud bayang dengan yang empunya bayang atau seumpama bayangan wajah dipermukaan cermin. Sifat ma'ani itu tidak boleh berdiri dengan sendiri tanpa bergantung dari sifat maknawiah. Hubungan antara sifat ma'ani dengan sifat maknawiah itu, adalah seumpama hubungan antara bayang dengan yang empunya bayang, Contohnya seumpama sifat mata dengan penglihatan, sifat telinga dengan pendengaran dan sifat mulut dengan yang berkata-kata. Walau bagaimana keadaan sekalipun, ianya tetap tidak boleh bercerai dan juga boleh bercantum. Inilah yang dikatakan hubungan sifat ma'ani dengan sifat ma'anawiyah itu, bercantum tidak bercerai tiada.
Maksud hadis :-
"Tiada bercerai antara nafi dan isbat, dan siapa-siapa ceraikan antara keduanya maka ora g itu kafir adanya"
Bayang bukan cahaya tapi tidak lain dari cahaya. Cahaya bukan matahari tapi tidak lain dari matahari. Begitu jugalah contohnya hubungan antara Allah dengan diri kita. Dari itu marilah kita sama-sama mengambil faham dan insaf bahawa sifat yang kita miliki ini, sebenarnya hak kepunyaan Allah, yang harus kita serah kembali kepada yang empunya.
Tujuan mempelajari sifat ma'ani adalah bertujuan supaya kita mengaku bahawa sebenarnya diri kita ini tidak ada, tidak wujud dan terjadi. Yang wujud, yang ada dan yang terjadi adalah hanya semata-mata Allah, seumpama sifat bayang, terzahirnya bayang itu, adalah bagi tujuan menampakkan dan menyatan sifat yang empunya bayang itu sendiri.
Di dalam keghairahan membicarakan soal sifat ma'ani, harus diingat bahawa Allah tidak bertempat. Allah tidak menjelma keatas jasad. Allah tidak bertempat di dalam atau di luar badan, Allah tidak bersatu, tidak bercantum dengan badan, Allah bukan kesatuan, Allah bukan bersyarikat, bukan bercantum dengan jasad kita. Orang-orang yang mengaku bahawa Allah menjelma di dalam jasad dan tidak kurang pula ada yang mengaku Tuhan dan sebagainya. Sesungguhnya mereka-mereka itu, adalah tergolong dikalangan mereka-mereka yang sesat dan sejahil-jahil manusia.
Allah tidak ada dalam diri kita, tetapi kitalah yang ada dalam Allah. Bukan kita mengandungi Allah, tetapi Allahlah yang mengandungi kita. Bukan kita yang meliputi Allah, tetapi Allahlah yang meliputi kita. Kesemua sifat yang kita miliki ini adalah milik Allah, sifat yang ada pada diri kita akan hancur, binasa dan hilang lenyap, sifat yang kekal dan yang abadi itu, hanyalah Allah swt.
Firman Allah :-
28.Surah Al-Qaşaş (Verse 88)
وَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَۘ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۚ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُۚ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Dan janganlah engkau menyembah tuhan yang lain bersama-sama Allah. Tiada
Tuhan melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu akan binasa melainkan Zat Allah. BagiNyalah kuasa memutuskan segala hukum, dan kepadaNyalah kamu semua
dikembalikan.
Apa Hubungan Sifat Maani Dengan Roh ?
Sifat ma'ani adalah wajah Allah yang terzahir melalui sifat dan rupa paras roh, melalui sifat mata, mulut, telinga, dan anggota tubuh seluruhnya. Sebagaimana rupa dan paras roh, sebegitulah wajah ma'ani Allah, kerana rohlah sifat ma'ani Allah. Untuk melihat sifat ma'ani Allah lihatlah pada wajah dan sifat rupa paras diri kita sendiri. Hubungan roh dengan sifat ma'ani itu, seumpama sifat mata pada roh, penglihatan bagi Allah, telinga pada roh, pendengaran bagi Allah dan begitulah seterusnya.
Apakah Hubungannya Sifat Ma'ani Dengan Kalimah Syahdah?
Tujuan kita mempelajari dan mendalami ilmu ma'ani itu, adalah untuk membawa kepada pemahaman kalimah syahadah. Tujuan nafsiah membawa pengertian kepada lalimah "Laa" adalah kslimah bagi menafikan kewujudan sifat makhlok. Manakala sifat ma'ani kalimah "Ila ha" pula, bermaksud mengadakan atau mengiakan dan mengambil balik segala apa yang kita telah tolak dalam kalimah "Laa". Jika dalam kalimah "Laa" kita tolak semua sifat makhlok, manakala dalam kalimak "Ila ha" pula, ianya kita adakan semula. Walaupun sifatnya diadakannya kembali, ianya adalah sekadar sifat yang menumpang.
Jika dalam kalumah "Laa" kita mengaku bahawa tidak ada lain, selain Allah, manakala dalam kalimah "Ila ha" pula kita mengaku bahawa Allah telah menzahirkan makhloknya melalui 7 sifatNya, seumpama sifat hidup, kuasa, berkehendak, mengetahui, mendengar, melihat dan sifat berkata-kata. Walau bagaimana pun 7 sifat tersebut diatas hanya sekadar sifat menumpang. Seumpama sifat sama' menumpang sifat sami'un, sifat basor menumpang sifat basirun dan begitulah seterusnya.
Untuk dihubung kaitkan dengan kalimah syahdah, kita hendaklah melihat sifat mata yang kita miliki, tidak berguna, tanpa penglihatan Allah, telinga kita tidak akan bermakna tanpa pendengaran Allah, mulut tidak bererti tanpa berkata-kata Allah, hidung tidak berguna tanpa hidup Allah, akal tidak bererti jika tanpa ilmu Allah, anggota tidak bermakna tanpa kuasa Allah. Segala-galanya yang ada pada kita bergantung dan menumpang sifat Allah.
Semasa melafazkan kalimah "Ila ha" dalam bersyahadah, kita dikehendaki mengingati diri kita bahawa sifat yang ada pada diri dan yang kita bawa ini, tidak boleh berdiri sendiri, hanyalah sekadar sifat yang menumpang dan bergantung kepada sifat Allah. Diri kita tidak memiliki apa-apa. Kita tidak akan dapat melihat tanpa basirun Allah dan kita tidak akan dapat mendengar tanpa samiun Allah. Dari kesedaran dan keinsafan itu, membawa hati kita kepada suatu perasaan kosong, hiba, hina, kerdil, miskin, kecil dan perasaan fakir dihadapan Allah. Inilah tujuan kita mempelajari sifat ma'ani.
Diri kita ini sesungguhnya yatim piatu yang tidak punya apa-apa. Ibubapa, anak-isteri, kaum-keluarga, harta benda, hidup mati dan kaya miskin itu, adala hak Allah ta'ala, yang boleh diambilnya balik pada bila-bila masa. Yang kita miliki ini, adalah semata-mata hak kepunyaan Allah. Ditangan Allahlah diri kita, segala kekuatan, kecantikan, kekayaan dan kegagahan yang selama ini kita megah-megahkan itu, sebenarnya adalah milik kepunyaan Allah. Dengan kefahaman bahawa, sifat diri kita ini, sebenarnya mati dan menumpang. Seumpama sifat mata, telinga, mulut, tangan, kaki dan seluruh anggota, menumpang wajah kebesaran Allah. Yang hendahnya dikembalikan semula sifat itu kepada Allah.
Anggaplah diri kita ini, sudah mati, binasa, hilang dan lenyap dalam wajah Allah. Yang kita miliki ini, semuanya adalah hak Allah Ta'ala belaka. Hendaklah kita serah kembali kepada Allah. Kembalikan sifat-sifat tersebut kepada Allah. Jadikanlah diri kita ini seumpama fakir, muflis, hina, mati, binasa dan hilang dalam kekuasaan Allah. Inilah diantara hikmah dan diantara intipati mempelajari sifat ma'ani dalam sifat 20.
Bagaimana Mengenal Allah Melalui Sifat Ma'ani ?
Peranan sifat ma'ani hanya sekadar menjadi saksi (kesaksian) Sifat ma'ani berperanan sekadar sifat menumpang. Seumpama basor, hanya menumpang kepada sifat basirun. Telinga menumpang sifat sama', manakala sama' pula menumpang sifat samiun. Lidah menumpang sifat kalam, manakala kalam pula menumpang sifat mutakallimun. Sifat ma'ani adalah sifat menumpang sifat maknawiah (sifat kekuasaan Allahh).
Dari kefahaman itu, dapatlah kita tilik diri sendiri, betapa sifat yang ada pada diri kita ini, semuanya kepunyaan Allah. Kita ada mata, tatapi Allah yang memiliki sifat penglihatan. Kita ada telinga tetapi Allah yang memiliki sifat pendengaran. Kita ada mulut tetapi Allah yang memiliki sifat berkata-kata. Begitulah seterusnya, yang menggambarkan bahawa diri kita ini adalah kepunyaan Allah.
Sifat ma'ani bertujuan supaya sifat Allah dapat dilihat melalui pancaindera, pada roh dan pada diri kita sendiri. Allah berilmu manakala diri pula bersifat mengetahui melalui akal. Allah berkudrat, manakala diri pula bersifat berkuasa melalui pancaindera. Allah berirodat, manakala diri pula bersifat berkehendak ( dapat berkeinginan melalalui rasa ). Allah bersifat sama' manakala diri pula bersifat mendengar melalui telinga. Allah bersifat basor manakala diri pula bersifat melihat melalui mata. Allah bersifat kalam, manakala diri pula bersifat berkata-kata melalui lidah.
Jangan sekali-kali kita menjadi lupa diri, bahawa semua sifat-sifat yang kita miliki ini, adalah kepunyaan Allah, diri kita ini, hanya sekadar menumpang sifat Allah. Apabila kita faham sifat ma'ani, dengan sendirinya membawa diti kita pulang kepangkuan Allah dengan tangan kosong, dengan menyerahkan segala sifat kepada Allah. Bahawasanya diri kita ini, sebenar nya adalah kepunyaan dan milik Allah sepenuhnya secara mutlak. Sifat yang kita pakai dan yang ada pada kita ini, seumpama sifat bayang (menumpang yang empunya bayang).
Setelah kita sedar, bahawa sifat yang kita pakai ini adalah sifat pinjaman dan menumpang sifat Allah, sebaiknya kembalikanlah semua sifat-sifat itu kepada Allah. Jangan sekali-kali cuba memakai pakaian Allah, walaupun secara percuma atau secara pinjaman, kerana kita tahu bahawa pakaian Allah itu, amat tidak layak untuk dipakai oleh kita. Kita tidak layak memakai pakaian Allah dan kita tidak sajak untuk menerima pijaman Allah. Pakaian Allah itu, Allahlah pemiliknya, Allahlah yang layak memakainya. Sebenarnya kita ini, tidak punya apa-apa pakaian atau persalinan. Kita ini adalah ibarat tangan kosong. Yang menjadi milik dan kepunyaan kita bukan pakaian atau persalinan, yang menjadi mikik dan kepunyaan kita yang mutlak, adalah Allah itu sendiri.
Inilah konsep yang hendak diketengahkan dan yang hendak diterapkan melalui sifat ma'ani. Konsep serta kefahaman inilah yang benar-benar perlu kita fahami. Cuba fahami dan hayati betul-betul sifat ma'ani yang tujuh itu, apabila kita telah kasyaf dalam menghayati sifat ma'ani, di sinilah membawanya lebur dan terbakarnya sifat diri yang palsu dan yang menumpang ini.
Bagi mereka-mereka yang mengenal Allah, apabila dia cuba untuk memakai sifat Allah. maka hancur terbakarlah anggotanya, lebur musnahlah sifat jasadnya. Mereka tidak sekali-kali berani memakai sifat pakaian Allah. Pakaian Allah itu ada tujuh iaitu seumpama sifat hidup, ilmu, kudrat, irodat, samak, basor dan kalam, manakala pakaian kita juga tujuh isitu seumpama
1. Pakaian sifat mati (binasa)
2. Pakaian sifat bodoh dungu
3. Pakaian sifat lemah, lumpuh tidsk berupaya.
4. Pakaian sifat tidak berkemahuan, tidak berkehendak
5. Pakaisn sifat pekak dan tuli.
6. Pakaian sifat buta
7. Pakaian sifat bisu.
Inilah pakaian dan sifat-sifat yang kita pakai serta pakaian mereka-mereka yang mengenal diri dan yang mengenal Allah swt. Mereka ini beranggapan dan beriktikat bahawa, diri serta jasad mereka sudah mati, tidak ada, lebur dan binasa. Mereka tidak lagi berakal tidak lagi mempunyai kekuatan, tidak lagi berkemahuan, tidak berpendengaran, tidak lagi berpenglihatan dan tidak lagi bersuara,diri da. Jasad mereka sudah fana', sudah baqo' dan karam dalam wajah Allah swt.
Diri mereka tidak ubah seumpama manyat yang hidup. Mereka tidak memakai pakaian Allah, mereka tidak meminjam pakaian Allah, mereka tidak mengambil persalinan Allah, mereka tidak memakai apa-apa yang menjadi haq Allah. Tidak layak bagi mereka untuk menerima apa-apa yang menjadi milik Allah. Bagi mereka, segala-galanya adalah dari Allah, kepada Allah dan berserta Allah. Baiklah didalam tidur, dalam jaga, dalam gerak, dalam tutur kata, dalam penglihatan, pendengaran, berkeinginan Dan sebagainya, semuanya milik Allah
Bukan sifat mata yang mereka pandang, tetapi penglihatan Allah, bukan sifat telinga menjadi tumpuan, tetapi pendengaran Allah, bukan mulut menjadi keinginan, yang menjadi keinginan mereka ialah suara (kata-kata) Allah Allah. Yang berkeinginan dan berkehendak itu, adalah Allah swt. Yang berkuasa dan berilmu itu adalah Allah. Inilah kaedah pegangan iktikad orang makrifat, dalam menterjemah sifat ma'ani. Yang menjadikan hati kita penuh yakin kepada Allah.
Tujuan sifat ma'ani diketengahkan untuk dipelajari dan difahami, adalah untuk membawa kita kepada suatu keinsafan diri, bahawa semua yang kita miliki dan yang ada pada diri kita ini, sebenarnya adalah milik Allah. Setelah kita sedar yang segala-gala sifat itu menjadi milik Allah, hendaklah kita kembalikannya semula kepada Allah. Seandainya yang menjadi milik Allah itu telah kita serahkan semula kepada Allah, semasa hayat masih dikandung badan dan semasa masih berada didalam dunia, apabila kita pulang kerahmatullah kelak (setelah kita mati nanti), tidak ada apa-apa lagi yang perli ditanya, perlu dihisab dan perlu dipersoalkan oleh Malaikat Mungkar Dan Nakir.
Perkara yang membuat kita ditanya dan disoal itu, adalah kerana hutang sifat kita semasa di dunia masih belum dijelaskan, mereka yang belum melangsaikan pinjaman dan yang belum mengembalikan hak Allah semasa hayat masih ada dan semasa masih hidup didunia, hutang sifat yang kita pinjam dari Allah, hendaklah dikembalikan semula kepada Allah. Jika ianya dilangsaikan semasa di dunia, tidaklah ada lagi sial jawab dari Mungkar dan Nakir didalam kubur.
Apa lagi yang Allah hendak tuntut, apa lagi yang Allah hendak tagih dari kita, jika semuanya telah dikembalikan dan diserahkan kepadaNya. Hidup dan mati kita telah kita serahkan kepada Allah, jasad zahir dan batin telah dikembalikan kepada Allah. Apa lagi yang hendak Allah dakwa!, apa lagi yang hendak Allah tuntut !, yang hendak Allah dakwa dan tuntut itu, bagi mereka-mereka yang kembali kepangkuannya dengan tidak menjelaskan hutang sifat dan tidak mengembalikan hakNya. HakNya diambil pakai, diambil guna, tapi tidak pandai untuk memulangkan dan tidak pula pandai mengembalikannya semula kepada Allah.
Jika semuanya telah dikembalikan kepada yang empunya, nescaya tidak ada lagi, tuntut menuntut, dakwa-dakwi dan tidak lagi ada soal jawab kubur, malah dipintu surgalah kita disambut oleh Allah swt.
Inilah tujuan pengajaran sifat ma'ani diperkenalkan. Ini adalah tujuan sifat ma'ani diketengahkan untuk di ambil tahu oleh sekalian kita. Dengan mempelajari sifat ma'ani, akan membawa kita tahu untuk membezakan, yang mana hak kita dan yang mana hak Allah swt. Perhatikan sekali lagi perkara ma'ani dan hendaknya kita hayati dan tilik dengan mata hati yang kasyaf.
Selagi hayat masih dikandung jasad, kita di kehendaki mengembalikan hak kepada yang berhak, nantinya bila tiba di alam akhirat kelak, kita akan mendapat layanan dan sambutan yang istimewa dari penguasa langit, lain dari yang lain. Kita akan ditempatkan bersama orang yang sempurna lagi terpuji. Roh orang-orang sebeginilah di namakan roh mutmainnah, roh yang diterima Allah. Tempat kita itu, adalah disisi Allah, bukannya disisi tanah yang mengandungi ulat dan cacing.
Roh sebeginilah yang dikatakan roh yang suci bersih, roh yang sentiasa disertai air sembahyang, roh yang sentiasa di iringi dengan kalimah syahdah. Inilah roh mereka-mereka yang mati sebelum mati dan roh mereka-mereka yang mengenal diri semasa didunia. Inilah yang dikatakan roh yang mengenal tuannya. Tuan yang empunya roh itu, tidak lain dan tidak bukan hanya Allah swt yang satu lagi esa. Inilah penjelasan dan kupasan tentang kefahaman ilmu mengenal Allah (makrifat) melalui pelajaran sifat ma'ani dalam sifat 20, yang bukan sahaja setakat tahu makna tetapi hendaklah dihayati dengan isi disebaliknya.
SIFAT MAKNAWIYAH.
Apakah maksud sifat maknawiyah?
Pengertian sifat maknawiyah itu, membawa maksud sifat kekuasaan Allah, menjadi tempat pergantungan segala rupa (sifat), nama (asma'), berperangai (fe'el) dan pergantungan segala berzat (roh) krpadanya. Maknawiyah adalah tempat bergantungnya sifat ma'ani. Contohnya, bergantungnya sifat mendengar kepada pendengaran Allah, bergantung sifat melihat kepada penglihatan Allah dan begitulah seterusnya. Seumpama sifat cahaya (ma'ani) yang bergantung harap kepada sifat matahari (maknawiyah).
Begitu jugalah hubungan di antara sifat maknawiyah dengan sifat ma'ani, sebagaimana sifat ma'ani, sebegitulah rupanya sifat maknawiyah. Sebagaimana ciptaan, sedemikianlah penciptanya. Sebagaimana hasil, sedemikianlah acuannya. Sebagaimana yang awal sedemikianlah akhirnya, semuanya itu, adalah satu dari segi zatnya, cuma berbeza pada panggilan nama. Sifat Allah dengan hasil nukilannya seumpama bercerai tidak bersatu tiada. Pencipta (zat) dan ciptaan (sifatnya) adalah satu. Sifat bukan zat tetapi tidak lain dari zat. Sifat ma'ani dengan sifat maknawiyah, seumpama wajah orang yang menilik, dengan bayangan wajah di dalam cermin. Sifat maknawiyah bermaksud adalah bagi menggambarkan kekuasaan Allah. Sifat bagi menggambarkan akan kehebatan kekuasaannya.
Sebagaimana kuasanya Allah itu, sebegitulah besarnya Dia. Walau bagaimana besar dan kuasanya Allah itu, tidak bermakna tanpa ciptaannya (makluk kejadiannya). Tanpa kejadian alam dan tanpa penzahiran makhlok, segala kehebatan, kekuasaannya, dan segala kehebatan kebesaranNya tidak akan dapat diterjemah dan diperzahirkan untuk dilihat makhlukNya.
Kekuasaan Allah di dalam sifat maknawiyah, diterjemah melalui sifat ma'ani, manakala sifat ma'ani pula, diterjemah melakui pancaindera kita. Kejadian dan penzahiran sifat makhloknya yang bersifat ma'ani. Allah yang bersifat dengan segala keperkasaan pengetahuanNya, ianya tidak membawa apa-apa makna, tanpa diterjemahkan melalui diri kita ( sifat makhlok ).
Sifat kepandaian yang ada pada kita itu, sebenarnya ilmu Allah, dengan itu, walau setinggi manapun darjat kepandaian kita, kita tetap selaku hamba disisi Allah. Oleh itu janganlah kita bersifat sombong dan angkoh bila berada dan berjalan dibumi Allah. Dengan sifat mata yang cantik, wajah yang ayu, kuasa yang besar dan kekayaan yang menimbun, jangan pula menjauhkan dari mengingati Allah. Ingatlah segala sifat yang ada pada kita itu adalah wajah bagi Allah. Hendaknya kita itu, bersifat rendah diri, pemalu, tidak sombong, murah hati dan bersifat sopan santun di dalam menzahirkan sifat Allah atas diri kita. Jangan bakhil atau kedekut dengan harta yang Allah hamburkan melalui kita, rajin-rajinlah bersedekah dan bantu membantu kepada orang yang memerlukan, samada dalam bentuk wang ringgit, mahupun tenaga dari anggota zahir. Semua sifat itu, bukannya untuk menggambarkan kebaikan atau kebesaran diri kita, tetapi bagi menzahirkan sifat kekeasaan Allah Ta'ala.
Maksud diperkenalkan ilmu sifat maknawiyah, adalah bertujuan supaya kita dapat memati, membinasa, dan mengembalikan sifat anggota jasad. Seumpamanya dengan membinasakan sifat mata, dengan sendirinya akan membinasakan pula sifat meluhat. Setelah kedua-dua sifat mata dan sifat melihat (basor) telah dapat dibinasakan (dikembalikan) kepada Allah, dengan sendirinya sifat basirun Allah (sifat yang memberi pengkihatan) akan dapat kita lihat.
Setelah ketiga-tiga sifat pancaindera, sifat ma'ani dan sifat maknawiyah dapat kita serahkan semula kepada Allah. Disitulah nantinya, kita akan dapat melihat, bahawa diri kita telah lebur, disitulah, kita akan dapat menatap dan memandang bahawa, semua yang ada itu, adalah wajah Allah. Tidak sempurna ilmu maknawiyah jika kita tidak mengembalikan ketiga-tiga sifat tersebut, jangan pula kita kembalikan sebahagian dan meninggalkan sebahagian yang lain. Seandainya dikembalikan sifat penglihatan sedangkan sifat mata tidak dikembalikan, ini tidak membawa makna dan konsep maknawiyah. Maknawiyah bukan sahaja sifat yang terletak pada kita, tetapi juga terletak pada sekalian makhlok alam seluruhnya. Termasuklah alam haiwan, alam bukit bukau, alam jin dan seluruhnya seisi alam.
Sifat Apakah Yang Terkandung Di Dalam Maknawiyah ?
7 Sifat maknawiyah yang terkandung didalam sifat 20
1. Haiyun = Yang hidup
2. Alimun = Yang tahu
3. Muridun = Yang berkehendak
4. Qodirun = Yang berkuasa
5. Samiun = Yang mendengar
6. Basirun = Yang melihat
7. Mutakallimun = Yang berkata-kata.
Apakah Bentuk Sifat Maknawiah ?
Sifat maknawiyah (sifat kekuasaan Allah Ta'ala), hanya ujud pada zat Allah, tidak memberi bekas kepada alam. Maknawiyah tidak boleh dikualiti atau dikuantiti. Maknawiyah adalah suatu sifat yang menggambarkan ketinggian, kebesaran dan kekuasaan Allah. Sifat kebesaran Allah itu tidak boleh diterjemahkan kepada penglihatan. Seumpama Allah bersifat tinggi atau besar setinggi dan sebesar mana Allah itu, tidak dapat dizahirkan melalui kuantiti penglihatan atau jangkauan akal. Tujuh sifat maknawiyah adalah tempat bergantung tujuh sifat ma'ani. Maknawiyah menanggung dan mendukungi sifat ma'ani. Sifat maknawiyah adalah tempat tumpang dan pergantungan sifat ma'ani.
Apakah Peranan Sifat Maknawiyah ?
Tujuan sifat maknawiyah dijadikan dan diciptakan Allah itu, adalah bertujuan untuk menzahirkan, mempernampak dan untuk memperlihatkan sifat kekuasaannya atas makhlok. Hendaknya dengan ciptaan sifat maknawiyah itu, makhlok akan dapat mengenal Allah melalui tujuh sifat kekuasaanNya.
Rupa alam ini, adalah merupakan bekas, bayang atau wajah Allah. Oleh itu bagi sesiapa yang berhajat untuk mengenal Allah, maka lihatlah alam dan jangan lupa untuk melihat pula kepada diri sendiri. Diri kita ini hanya bersifat ma'ani (tetamu) yang menumpang sifat maknawiyah Allah. Sifat maknawiyah Allah yang ternyata atas diri kita itu, adalah seumpama rumah, manakala sifat ma'ani pula seumpama tetamu. Diri kita ini, merupakan tetamu yang menumpang rumah Allah (ma'ani menumpang sifat maknawiyah). Sifat tuan itu hanya ada pada Allah dan bukan pada diri kita, kita hanya selaku hamba (tetamu).
Oleh itu kita jangan sekali-kali bersifat angkoh. Jangan anggkoh sesama manusia, apa lagi kepada Allah, kerana semua sifat yang ada pada kita itu adalah sifat menumpang, jadi sedarlah diri itu sikit. Selaku menumpang, buatlah cara menumpang, jangan pula tinggi kadok dari junjung. Untuk mengatakan alam ini merupakan Allah, sudah tentu kurang manis pada pandangan syara' dan tidak layak pada hukum, mana mungkin sifat Allah untuk disamakan dengan sifat makhlok, tetapi menurut pengajian ilmu makrifat dalam mentafsir sifat 20, telah mengisyaratkan bahawa, segala sifat yang bersifat itu, sebenarnya adalah sifat bagi Allah, segala nama yang bernama itu, adalah nama bagi Allah, segala perangai atau gerak geri yang bergerak itu, adalah gerak Allah dan segala zat yang berzat itu, adalah zat bagi Allah. Menurut kacamata ilmu makrifat, alam ini sudah binasa, sudah hilang ghaib dalam wajah Allah. Yang ada (yang wujud) hanyalah Allah. Jikalau pun ada yang bersifat wujud selain dari Allah, itu cuma sekadar bayangan nama dari hayalan akal.
Sifat Allah itu termasuk segala-galanya, yang batin mahupun yang zahir, termasuk sifat yang dulu mahupun sifat yang sekarang. Awal itu adalah Allah, maka akhir pun juga adalah Allah. Tinggal lagi cara mana kita memahami sifat 20 dan cara mana kita mentafsir sifat maknawiyah dan sifat ma'ani keatas diri kita. Ianya bergantung kepada cara mana kita meletakkan diri dalam wajah Allah dan cara mana wajah Allah itu, terletak pada diri kita. Bagi yang pandai meletakkan sesuai pada tempatnya disitu kita akan dapat melihat dan mengenal Allah melaluinya. Ianya saling berkaitan antara satu sifat dengan sifat yang lain. Alam mendukung dan mengandungi sifat ma'ani, manakala ma'ani pula didukungi dan dikandungi oleh sifat maknawiyah.
Maknawiyah pula didukung oleh sifat salbiah, manakala sifat salbiah pula mendukung kesemua sifat. Sifat ma'ani dan sifat maknawiyah (sifat menumpang dan sifat yang ditumpangi) adalah menumpang pula sifat salbiah Allah (sifat kebesaran dan kesempurnaan Allah)
Tujuan sifat maknawiyah dicipta adalah, bagi menyedarkan diri-diri kita semua, bahawa hidup ini, adalah kerana ada Yang Maha Menghidupkan, psndainya kita ini, adalah kerena adanya Yang Maha berilmu, kuasanya kita ini adalah kerana adanya Yang Maha Berkuasa, kemahuan kita ini adalah kerana ada Yang Maha Berkehendak. Makhlok tidak boleh hidup tanpa yang empunya hidup, makhlok tidak berfikiran tanpa yang empunya ilmu, makhlok tidak berupaya dan tidak berkemahuan, jika tidak dengan keupayaan dan kemahuan Allah swt.
Apakah Hubungan Sifat Ma'ani dan Maknawiyah Dengan Diri Kita?
Perhubungan diantara sifat ma'ani dengan sifat maknawiyah itu, adalah seperti berikut;
1. Bukan hayat yang hidup, sifat hidup yang ada pada hayat kita adalah bagi menyatakan dan menzahirkan haiyun yang ada pada zat Allah.
2. Bukan ilmu yang tahu, sifat tahu yang ada pada ilmu kita itu adalah bagi menyatakan dan menzahirkan sifat Alimun yang ada pada zat Allah
3. Bukan irodat yang berkehendak, sifat berkehendak yang ada pada irodat kita itu adalah bagi menyatakan dan bagi menzahirkan sifat muridun yang ada pada zat Allah.
4. Bukan kudrat yang berkuasa, sifat berkuasa yang ada pada kita itu adalah bagi menyata dan bagi menzahirkan sifat kodirun yang ada pada zat Allah.
5. Bukan samak yang mendengar, sifat mendengar yang ada pada kita itu adalah bagi menyatakan dan bagi menzahirkan sifat samiun yang ada pada zat Allah.
6. Bukan basor yang melihat, melihat yang ada pada kita itu adalah bagi menyatakan dan bagi menzahirkan sifat basirun yang ada pada zat Allah.
7. Bukan kalam yang berkata-kata, sifat berkata-kata yang ada pada kita itu adalah bagi menyatakan dan bagi menzahirkan sifat mutakallimun yang ada pada zat Allah.
Sifat ma'ani menumpang sifat maknawiyah, sifat maknawiyah pula menjadi tempat bergantungnya sifat ma'ani. Seumpama sifat penglihatan (ma'ani) bergantung kepada yang memberi penglihatan (makknawiyah), manakala sifat yang memberi penglihatan (maknawiyah) menumpang dan bergantung pula kepada Yang Maha Esa (salbiah). Mempelajari sifat ma'ani yang tujuh dan mempelajari sifat maknawiyah yang tujuh tidak akan memberi apa-apa menafaat, jika ianya tidak dihubungkaitkan dan jika tidak dirujuk kepada diri kita sendiri. Dengan cara menghubungkaitkan pelajaran sifat-sifat tersebut keatas diri kita, barulah ianya mendatangkan menafaat kepada diri.
Bagaimana cara untuk menghubungkaitkan sifat tersebut dengan diri kita ?. Kaedah untuk menghubung kaitkan sifat tersebut dengan diri kita adalah dengan cara melihat kepada sifat mata kita, yang berfungsi selaku untuk menzahirkan sifat basor (melihat), melalui basirun Allah (penglihatan Allah).
Begitu juga dengan sifat nyawa kita, yang berfungsi selaku untuk menzahirkan sifat hayat (hidup), melalui sifat haiyun Allah (penghidupan Allah). Apabila kita lihat sifat basor, sifat hayat, sifat sama', dan lain-lainnya, yang ada pada diri kita ini, hendaknya jangan kita lupa untuk memandang kepada tuan yang empunya sifat. Apa gunanya mata, jika tidak dilengkapi dengan penglihatan, apa gunanya telinga, jika tidak dengan pendengaran.
Segala penglihatan dan segala pendengaran kita itu, dari mana asal datangnya, jika bukan daripada Allah. Apabila kita tahu bahawa semua itu datangnya dari Allah, hendaknya jangan kita lupa akan asal usul diri kita. Bila kita tidak lupa asal usul, membuatkan kita tidak lupa kepada Allah selaku tuan punya kepada sifat yang ada atas diri kita ini. Apabila kita sedar bahawa sifat-sifat yang kita miliki dan yang ada atas diri kita ini sebenarnya adalah hak Allah. Dari itu jangan pula kita lupa untuk dikembalikannya semula kepada tuannya yang asal (Allah). Inilah kaedah mengenal sifat maknawiyah Allah atas diri kita. Apa sahaja ilmu yang kita belajar, semuanya menuju kepada penyerahan dan mengenal Allah Ta'ala.
Kita ada mata, telinga, mulut dan sebagainya, namun sifat-sifat tersebut, hanyalah sekadar menumpang sifat penglihatan, pendengaran dan kalam Allah. Sifat yang ada pada diri kita itu juga, hanyalah sifat sementara yang menumpang kasih dari sifat Allah. Setelah sedar yang diri kita sekadar menumpang, janganlah kita bersifat anggkoh, bakhil, kedekut, tamak, dengki, khianat dan jangan bersifat sombong. Buat apa sombong, sedangkan pakaian yang kita pakai ini, bukannya milik kita.
Jika kita sudah sedar bahawa itu adalah barang pinjaman, harapnya dikembalikan dengan seberapa segera yang boleh, jangan bertangguh-tangguh lagi. Jika ditangguh-tangguh, bimbang nanti kalau-kalau ajal terlebih dahulu datang menjemput sebelum sempat untuk dikembalikan.
Tujuh sifat ma'ani Allah dan sifat maknawiyah Allah itu, hanya akan dapat diterjemah melalui penzahiran sifat makhlok, seumpama anggota mata pada sifat ma'ani bermakna penglihatan pada sifat maknawiyah Allah, yang hanya dapat diterjemah melalui diri kita. Seumpama sifat pendengaran dan berkata-kata pada maknawiyah, bila diterjemah pada diri kita, ianya akan memperlihat dan mempamerkan sifat kekuasaan Allah atas sifat diri kita sebagai makhlok. Sifat dua puluh itu, adalah sifat Allah, sungguhpun begitu, kita hendaklah mentafsirkan ia ke atas diri kita, barulah kita dapat mengenal Allah melaluinya.
Dari itu juga, ianya menampakkan dan memperlihatkan lagi betapa kecil dan kerdilnya kita. Tanpa sifat-sifat Allah, kita bukanlah siapa-siapa. Kita tidak boleh berdiri sendiri, tanpa zat Allah. Bagi yang berpandangan, cuba-cubalah tiliki diri sendiri, dengan cara mengenal diri sendiri, InsyaAllah mudah-mudahan supaya Allah pula dapat kita knenal.
Renungi sedalam-dalamnya ke dalam diri masing-masing. Disitu akan kita temui diri kita yang sebenar dan temui juga akan kebesaran, kesempurnaan dan keagungan Allah. Sifat yang kita pakai dan sifat yang kita bawa ini adalah hak Allah Taala sepatutnyalah dan selayaknyalah dikembalikan dan dipulangkannya semula kepada yang berhak.
Diri kita tidak ubah seumpama sifat orang yang sudah mati. Sungguhpun orang mati ada mata, ada telinga dan ada mulut tetapi mata, mulut dan telinganya tidak dapat berfungsi apa-apa tanpa yang menghidupkannya. Yang menghidupkan ma'ani itu, adalah sifat maknawiyah Allah.
Pelajaran ini adalah semata-mata untuk menyedarkan kita, untuk menginsafkan kita bahawa, yang empunya penglihatan, pendengaran, suara, suami, isteri, anak, makan minum, kesihatan, pakaian, perlindungan tempat tinggal dan sebagainya itu, adalah datangnya dari Allah swt belaka dan bukannya dari hasil daya usaha atau titik peluh kita. Kebanyakkan dari kita tidak nampak dan tidak sedar, yang semua itu adalah datangnya dari Allah. Ada diantaranya, sengaja buat-buat tidak nampak.
Kebanyakkannya hanya pandang sifat mulut, hanya nampak sifat mata dan hanya lihat sifat telinga, tidak terpandang oleh mereka kepada yang empunya penglihatan, pendengaran dan tidak terpandang kepada tuan asal yang empunya segalanya. Sekali lagi marilah sama-sama kita kembali kepada Allah. Supaya dengan cara ini, kita memperolehi ketenangan jiwa, redho dengan apa yang berlaku, ikhlas dalam beribadah, jujur dalam pekerjaan dan membuatkan hati kita sentiasa berserah kepada Allah Yang Maha Esa.
Bagi yang masih tidak nampak, sesungguhnya mereka itu buta. Buta mata zahir dan buta mata hatinya. Selagi diri tidak dibinasakan (diserahkan) kepada Allah selaku tuan asal yang empunya segalanya, selagi itulah kita tidak akan dapat untuk membezakan antara sifat Allah dengan sifat diri kita. Apakah mereka sangka sifat diri kita sama dengan sifat Allah! Sifat Allah tidak sama dengan sifat makhlok, tetapi dalam masa yang sama, ianya juga tidak lain dari itu.
Hidup ini seumpama suara yang tersimpan di dalam halkum. Segala apa yang terjadi (terzahir) dan yang bakal terjadi itu, sudah sedia ada dalam pengetahuan Allah, sudah tertulis, termeterai dan terpahat di dalam ilmu Allah sejak azali lagi, tanpa berubah atau terpinda sedikitpun darinya. Segala kejadian itu, akan terjadi dan akan terzahir mengikut apa yang sudah tersurat, itulah makanya sebagai umat Islam, di sarankan supaya berserah diri dan.. (bersambun)