Laman

Selasa, 12 April 2016

Allah: Cahaya-Nya, Mahasuci-Nya, Rahasia-Nya


Salam alaikum,
“Amantu bi Rasul wa bimaa qaala Rasuli”.
Aku beriman kepada Rasul dan dengan apa yang disabdakannya.
“Awwalu wa khalaqallahu Nuuri Nabiyika, yaa Jabiir. Fa khalaqa minhul asy ya-a”
Yang mula-mula sekali dijadikan Allah ialah cahaya nabimu, ya Jabir. Dijadikan daripadanya itu segala isi alam.
Berkata lagi Rasulullah Saw. pada Jabir:
“Termasuklah diri kamu pun dari segala isi alam itu.”
Dan Rasulullah Saw. bersabda lagi:
ﺍﻧﺎ ﻣﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺍﻟﻣﺆﻣﻨﻭﻥ ﻣﻨﯥ
“Aku dari Allah dan sekalian mukmin dariku.”
Firman Allah Swt. dalam hadis qudsiy:
“Innallaaha khalaqa ruuhi nabiyyika shalallaahu `alaihi wasallam min dzaatihi”
“Sesungguh-Nya Allah menciptakan ruh Muhammad Saw. itu dari Zat-Nya.”
Allah Swt. juga menegaskan dalam hadis qudsiy lainnya:
“Lau laka laa maa khalaktul aflaka.”
Jika bukan karena engkau (Muhammad), tidak Kuciptakan alam semesta ini.
Allah dan Cahaya-Nya
Dari Cahaya Nabi ini jadi apa? Cahaya inilah yang dikatakan Nur Ilahi. Ada juga yang menyatakan ini Cahaya Allah. Jadi, yang disebut Nuur ialah Nama bagi Cahaya Tuhan. Cahaya Tuhan itu tidak pernah rusak dan tidak binasa. Ingat, Cahaya Tuhan itu bukan Tuhan. Jangan Tuhan dirupakan sebagai Cahaya.
Terdahulu Tuhan itu mentajallikan Cahaya Diri-Nya. Cahaya Diri-Nya inilah yang diakatan `alaa bikulli syai`in muhiith (meliputi segala sesuatu). Jelas sekali Cahaya Tuhan itu tubuhnya sekalian alam atau lembaga sekalian alam. Cahaya inilah tubuh maharuang. Inilah zat mutlak, yaitu satu zat yang tiada berwujud: tidak berbentuk, tidak bertempat; ujungnya tidak ada kesudahan, demikian juga pangkalnya. Bahkan munculnya pun tidak diketahui. Ini yang dikatakan satu zat yang tidak berwujud.
Kalau di Quran Surat Nuur, Cahaya Allah itu tembus menembus. Zat-zat dan cahaya-cahaya pun ditembusnya, tetapi Cahaya Tuhan ini tidak bisa ditembus sesuatu apa pun.
Kalau sudah tahu Cahaya Tuhan itu meliputi sekalian alam, tentulah yang ada pada sekalian alam ini diliputi Cahaya (wa zulumati ila Nur ). Cahaya inilah Nuurun `ala nuurin, Cahaya di atas cahaya. Tentulah Cahaya Tuhan yang tertinggi.
Cahaya Tuhan ini lebih terang daripada cahaya matahari dan lebih dahsyat daripada api neraka. Tentulah tidak akan ada kehidupan di dunia dan takkan ada segala sesuatu apa pun. Agar terjadi proses-proses alam dan segala sesuatu yang hidup, Allah tabir Cahaya-Nya itu dengan Nur Muhammad. Dari Nur Muhammad ini barulah bisa terjadi segala macam proses kejadian (di alam semesta). Kalau Cahaya Tuhan saja (tanpa ditabiri dengan Nur Muhammad), Bukit Thursina pun hancur jadi debu. Demikian dengan selainnya, pasti hancur juga.
Maka dengan Rahman Allah agar alam ini ada kehidupan dan ada proses, diadakankah Nur Muhammad yang dapat menabiri kehidupan dari Cahaya-Nya. Inilah sebabnya Allah berfirman, “Jika bukan karena engkau (Muhammad), tidak Kuciptakan alam semesta ini.”
Buka juga Q.S. Fushilat:54
ﺃَﻟَﺂ ﺇِﻧَّﮩُﻢۡ ﻓِﻰ ﻣِﺮۡﻳَﺔٍ۬ ﻣِّﻦ ﻟِّﻘَﺂﺀِ ﺭَﺑِّﻬِﻢۡۗ ﺃَﻟَﺂ ﺇِﻧَّﻪُ ۥ ﺑِﻜُﻞِّ ﺷَﻰۡﺀٍ۬ ﻣُّﺤِﻴﻂُۢ
Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah, bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.
Orang yang dalam keragu-raguan itu orang yang belum kenal. Kalau orang yang sudah kenal, tidak ada keraguan lagi tentang Tuhan.
Inilah tugas yang berat bagi Rasulullah, yaitu mengenalkan manusia kepada Tuhan. Kalau sudah kenal, sembahlah yang kaukenal itu. Bagaimana kita bisa menyembah, sedangkan yang kita sembah tidak kita kenali? Bisa saja timbul rekayasa berupa patung, bulan, bintang, berupa
wasilah, dan lain-lain.
Allah dan Mahasuci-Nya
Sekalian alam, semua itu Mahasucinya Allah. Kalau Allah Mahasuci, alam itu pun mahasuci juga. Mahasucinya Allah itu, berupa zat wajiba alwujud (zat yang wajib Ada). Inilah wujud Qadim dan wujud muhaddas (baharu), artinya, wujud yang boleh ada, boleh di-ada-kan, boleh juga tidak di-ada-kan.
Wujud muhaddas ini terdiri atas empat:
1. Jirim
Sesuatu yang berbentuk: dapat dlihat dan diraba dengan pancaindera.
Seperti diri manusia, binatang, tumbuhan, dan benda-benda lainnya.
2. Jisim
Sesuatu yang tidak dapat dilihat dan tidak dapat diraba dengan pancaindera, Seperti angin, bebauan, iblis, jin, setan <= jisim latif
3. Jawhar
Sesuatu yang berbentuk cahaya-cahaya. Malaikat termasuk golongan ini.
4.`Arad Sekalian sifat-sifat makhluk (baharu), seperti tinggi, rendah, putih, legam, keras, lunak, kasar, dsb.
Allah tidak berupa jirim, jisim, jawhar, dan `arad ini. Kalau ada yang mempersamakan-Nya dengan jirim, jisim, jawhar, dan `arad, kemudian meyakininya, kafirlah dia!
Muakal-muakal, khodam-khodam, dan sebagainya itu, itu semua jin! Makhluk jisim.
Allah mengingatkan iblis, setan, jin itu sesungguhnya musuh-musuh kamu. Jauhilah! Mengapa ada manusia yang mau memberi sesajen ini-itu, bahkan ada yang mau berdatukkan para jin. Nauzubillah! Enyahkanlah perbuatan yang membawa kepada kesesatan.
Lihat kasus lumpur Lapindo itu, berapa kepala kerbau dilemparkan dan berapa banyak sesajen lainnya dipersembahkan, mengapa tidak surut juga?
Lihatlah batu (Gunung Merapi) disembah Mbah Maridjan diberi sesajen ini itu, kenapa masih meletup juga?
Sadarlah! Manusia itu laqad khalaqnal insaana fi ahsani taqwim. Manusia itu makhluk yang seindah-indah kejadian. Mengapa manusia mau menjatuhkan derajatnya di bawah Iblis, jin, setan?!!
Allah dan Rahasia-Nya
Maharuang itu zat mutlak atau Cahaya Ilahi. Zat mutlak ini Rahasia Tuhan. Rasahsia Tuhan inilah Roh Qudus yang ada di sama-tengah hati atau di dalam syiir . Inilah wa fi anfusikum (Aku ada di dalam diri kamu). Yang berkuasa atas segala diri manusia.
Kalau Rahasia Tuhan (Roh Qudus) ini keluar dari jasad, ditinggalkannya jasad, binasalah jasad. Kalau dia keluar, lalu lari dari jasad, binasa juga jasad.
Kalau dia keluar dari jasad, memecahkan dirinya lalu satu dengan jasad, selamatlah jasad. Hiduplah sampai yaumil qiyamah . Tubuh ini tidak pandai tua. Makanya di akhirat itu tidak ada yang tua. Muda semuanya.
Dalam permasalahan mati, tidak perlu lagi kita mau pakai tanda-tanda, mau berseri-seri, mau tau hari dan jam-jamnya, semua itu tidak bisa dipakai (sebagai patokan). Yang penting kita ketahui: biar mati sekalipun, jasad dan ruh qudus tidak bercerai. Kalau becerai, binasa jasad. Hidup (di dunia) saja kalau jasad becerai dengan ruh, binasa jasad. Apalagi setelah mati nanti. Binasa juga jasad.
Maka perlu diketahui, Diri Tuhan yang dijadikan itulah induknya sekalian yang bernyawa. Itulah Cahaya di atas cahaya. Cahaya Tuhan yang paling tinggi. Di sinilah yang paling nikmat senikmat-nikmatnya. Tidak ada sesuatu lagi. Yang ada zawq saja. Nikmat senikmat-nikmatnya. Inilah la bi harfin wa laa syautin (tidak berhuruf, tidak bersuara). Tidak ada ilmu yang bisa menafsirkan nikmat ini.
Bagi orang tauhid yang hakiki, yang dikatakan Allah itu nikmat senikmat-nikmatnya. Diistilahkan Allah itu Surga.
Kita, Zat Asam, dan Zat Mutlak
Kita ini sudah dilindungi zat asam. Ingat uraian di atas, zat asam ini jadadnya Muhammad. Berarti kita ini sudah bersama-sama dengan zat asam. Dan zat asam sudah bersama zat mutlak.
Mengapa kita tidak bisa bertemu? Sedangkan zat mutlak selalu bersama-sama zat asam. Dan kita bersama zat asam. Suatu yang mustahil kalau tidak bisa bertemu. Hanya bagi orang yang punya pandangan dan pemikiran.
Yang namanya mahaesa itu tidak becerai. Yang dikatakan tidak bercerai ini satu. Tidak mengenal dua. Kalau diri kita bukan Diri Tuhan, becerailah. Nerakalah tempatnya. Pahami yang dikatakan Mahaesa itu. Mahaesa itu satu, tidak becerai.
Tuhan diriku. Tuhan diriku ini yang mana? Rahasia Tuhan yang ada di sama-tengah hati (pusat), itulah Diri Tuhan.
Segala ilmu sudah Aku hidayahkan kepada nabi-nabi, rasul-rasul, wali-wali, arif billah: hamba-hamba-Ku yang saleh. Ambillah Diri Aku itu! Bersama Aku-lah kamu.
Maka kata para muwwahid , Diri Tuhan jugalah yang bisa sampai ke Tuhan. Beginilah adanya cerita/pengetahuan dalam tauhid.
Jalan pengenalan pada Tuhan itu: zat semata-mata. Ini sebabnya mengenal Tuhan itu mudah. Lebih sulit itu mengenali wali Allah.
Rasulullah saw bersabda:
‘ U’budulla-ha ka an naka tara-hu fa in lam takun tara-hu fa innahu yara-ka.
“Sembahlah Allah seakan –akan kamu melihat-Nya, dan apabila kamu tidak bisa melihat-Nya, maka yakinkanlah bahwa Allah melihat kamu.”
Ketika kamu beribadah, pandanglah Allah itu. Sekarang waktu kamu salat, waktukamu bertakbir, siapa Allah itu? Maka pentinglah mengesakan diri. Bukan Ruhani saja mahaesa, jasad musti mahaesa juga. Oleh sebab itu, jasad ini perlu dimahaesakan.
Kalau jasad tidak dapat mengesakan, ruhani akan menuntut.
Sebab badan yang mengandung nyawa, bukan ruhani yang mengandung tubuh
Catatan:
Ada kalangan ulama yang menyatakan ini hadis munkar, bahkan menyatakannya sebagai dalil sesat. Sungguh, jika Allah mengizinkan, suatu hari kami akan menunjukkan betapa mereka sekalian telah ter-yahudi-kan secara perlahan sehingga tanpa sadar telah bermata satu dalam beriman Islam

AGAMA LANGIT DAN AGAMA BUMI


Ada berbagai cara menggolongkan agama-agama dunia. Ernst Trults seorang teolog Kristen menggolongkan agama-agama secara vertikal: pada lapisan paling bawah adalah agama-agama suku, pada lapisan kedua adalah agama hukum seperti agama Yahudi dan Islam; pada lapisan ketiga, paling atas adalah agama-agama pembebasan, yaitu Hindu, Buddha dan karena Ernst Trults adalah seorang Kristen, maka agama Kristen adalah puncak dari agama-agama pembebasan ini.
Ram Swarup, seorang intelektual Hindu dalam bukunya; “Hindu View of Christianity and Islam” menggolongkan agama menjadi agama-agama kenabian (Yahudi, Kristen dan Islam) dan agama-agama spiritualitas Yoga (Hindu dan Buddha) dan mengatakan bahwa agama-agama kenabian bersifat legal dan dogmatik dan dangkal secara spiritual, penuh klaim kebenaran dan yang membawa konflik sepanjang sejarah. Sebaliknya agama-agama Spiritualitas Yoga kaya dan dalam secara spiritualitas dan membawa kedamaian.
Ada yang menggolongkan agama-agama berdasarkan wilayah dimana agama-agama itu lahir, seperti agama Semitik atau rumpun Yahudi sekarang disebut juga Abrahamik (Yahudi, Kristen, dan Islam) dan agama-agama Timur (Hindu, Buddha, Jain, Sikh, Tao, Kong Hu Cu, Sinto).
Ada pula yang menggolongkan agama sebagai agama langit (Yahudi, Kristen, dan Islam) dan agama bumi (Hindu, Buddha, dll.) Penggolongan ini paling disukai oleh orang-orang Kristen dan Islam, karena secara implisit mengandung makna tinggi rendah, yang satu datang dari langit, agama wahyu, buatan Tuhan, yang lain lahir di bumi, buatan manusia. Penggolongan ini akan dibahas secara singkat di bawah ini.
Agama bumi dan agama langit.
Dr. H.M. Rasjidi, dalam bab Ketiga bukunya “Empat Kuliyah Agama Islam Untuk Perguruan tinggi” membagi agama-agama ke dalam dua kategori besar, yaitu agama-agama alamiah dan agama-agama samawi. Agama alamiah adalah agama budaya, agama buatan manusia. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah agama Hindu dan Budha. Mengenai agama Hindu Rasjidi mengutip seorang teolog Kristen, Dr. Harun Hadiwiyono, Rektor Sekolah Tinggi Theologia “Duta Wacana” di Yogyakarta sebagai berikut:
“Sebenarnya agama Hindu itu bukan agama dalam arti yang biasa. Agama Hindu sebenarnya adalah satu bidang keagamaan dan kebudayaan, yang meliputi jaman sejak kira-kira 1500 S.M hingga jaman sekarang. Dalam perjalanannya sepanjang abad-abad itu, agama Hindu berkembang sambil berobah dan terbagi-bagi, sehingga agama ini memiliki ciri yang bermacam-macam, yang oleh penganutnya kadang-kadang diutamakan, tetapi kadang-kadang tidak diindahkan sama sekali. Berhubung karena itu maka Govinda Das mengatakan bahwa agama Hindu itu sesungguhnya adalah satu proses antropologis, yang hanya karena nasib baik yang ironis saja diberi nama agama.” 1)
Samawi artinya langit. Agama samawi adalah agama yang berasal dari Tuhan (yang duduk di kursinya di langit ketujuh, Sky god, kata Gore Vidal). Yang termasuk dalam kelompok ini adalah agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Dalam bab Keempat dengan judul “Agama Islam adalah Agama Samawi Terakhir” Rasjidi dengan jelas menunjukkan atau menempatkan Islam sebagai puncak dari agama langit. Hal ini dapat dipahami karena Rasjidi bukan saja seorang guru besar tentang Islam, tetapi juga seorang Muslim yang saleh.
Bahkan dengan doktrin mansukh, pembatalan, para teolog dan ahli fikih Islam mengklaim, Qur’an sebagai wahyu terakhir telah membatalkan kitab-kitab suci agama-agama sebelumnya (Torah dan Injil).
Bila Tuhan yang diyakini oleh ketiga agama bersaudara ini adalah satu dan sama, pandangan para teolog Islam adalah logis. Tetapi disini timbul pertanyaan, apakah Tuhan menulis bukunya seperti seorang mahasiswa menulis thesis? Sedikit demi sedikit sesuai dengan informasi yang dikumpulkannya, melalui percobaan dan kesalahan, perbaikan, penambahan pengurangan, buku itu disusun dan disempurnakan secara perlahan-lahan?
Tetapi ketiga agama ini tidak memuja Tuhan yang satu dan sama. Masing-masing Tuhan ketiga agama ini memiliki asal-usul yang berbeda dan karakter yang berbeda. Yahweh berasal dan ajudan dewa perang, yang kemungkinan berasal dari suku Midian, dan dijadikan satu-satunya Tuhan orang Israel oleh Musa. Jesus salah seorang dari Trinitas, adalah seorang pembaharu agama Yahudi yang diangkat menjadi Tuhan oleh para pendiri Kristen awal. Allah adalah dewa hujan yang setelah digabung dengan dewa-dewa lain orang Arab dijadikan satu-satunya tuhan orang Islam oleh Muhammad. Jadi Yahweh, Trinitas dan Allah adalah tuhan-tuhan yang dibuat manusia. 2) (Lihat Karen Amstrong: A History of God).
Dan karakter dari masing-masing Tuhan itu sangat berbeda. Ketiganya memang Tuhan pencemburu, tetapi tingkat cemburu mereka berbeda. Yahweh adalah Tuhan pencemburu keras, gampang marah, dan suka menghukumi pengikutnya dengan kejam, tetapi juga suka ikut berperang bersama pengikutnya melawan orang-orang lain, seperti orang Mesir, Philistin dan Canaan. Jesus juga Tuhan pencemburu, tapi berpribadi lembut, ia memiliki banyak rasa kasih, tetapi juga mempunyai neraka yang kejam bagi orang-orang yang tidak percaya padanya. Allah lebih dekat karakternya dengan Yahweh, tetapi bila Yahweh tidak memiliki neraka yang kejam, Allah memilikinya. Di samping itu, bila Yahweh menganggap orang-orang Yahudi sebagai bangsa pilihannya, Allah menganggap orang-orang Yahudi adalah musuh yang paling dibencinya.
Jadi jelaslah di langit-langit suci agama-agama rumpun Yahudi ini terdapat lima oknum Tuhan yang berbeda-beda, yaitu Yahweh, Trinitas (Roh Kudus, Allah Bapa dan Tuhan Anak atau Jesus) dan Allah Islam. Masing-masing dengan ribuan malaikat dan jinnya.
Pengakuan terhadap Tuhan yang berbeda-beda tampaknya bisa menyelesaikan masalah soal pembatalan kitab-kitab atau agama-agama sebelumnya oleh agama-agama kemudian atau agama terakhir. Masing-masing Tuhan ini memang menurunkan wahyu yang berbeda, yang hanya berlaku bagi para pengikutnya saja. Satu ajaran atau satu kitab suci tidak perlu membatalkan kitab suci yang lain.
Tetapi disini timbul masalah lagi. Bagaimana kedudukan bagian-bagian dari Perjanjian Lama yang diterima atau diambil oleh Perjanjian Baru? Bagaimana kedudukan bagian-bagian Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang terdapat di dalam Al-Qur’an? Apakah bagian-bagian itu dipinjam dari Tuhan yang satu oleh Tuhan yang lain, yang ada belakangan? Atau persamaan itu hanya kebetulan? Ataukah para penulis kitab-kitab yang belakangan meminjamnya dari penulis kitab-kitab terdahulu?
Pembagian agama menjadi agama bumi dan agama langit, dari sudut pandang Hindu sebenarnya tidak menjadi masalah. Ini terkait dengan konsep ketuhanan dari masing-masing agama. Agama-agama Abrahamik atau Rumpun Yahudi (nama yang lebih tepat daripada “agama langit”) memandang Tuhan sebagai sosok berpribadi, seperti manusia, yang berdiam di langit (ke tujuh) duduk di atas kursinya, yang dipikul oleh para malaikat. Dari kursinya di langit itu Dia melakukan segala urusan, termasuk antara lain, tetapi tidak terbatas pada, mengatur terbit dan tenggelannya matahari, “menurunkan” wahyu dan lain sebagainya. Dari segi ini benarlah sebutan “agama langit” itu, karena ajarannya diturunkan oleh Tuhannya yang bermukim nun jauh di langit.
Dalam pandangan agama Hindu, Tuhan bersifat panteistik, yang melingkupi ciptaan (imanen) dan sekaligus di luar ciptaannya (transenden). Menurut pandangan Hindu Tuhan tidak saja lebih besar dari ciptaannya, tetapi juga dekat dengan ciptaannya. Kalau Tuhan hanya ada di satu tempat di langit ketujuh, berarti Ia ada di satu noktah kecil di dalam ciptaannya. Oleh karena itu Dia tidak Mahabesar. Agak mirip dengan pengertian ini, di dalam agama Hindu, dikenal ajaran tentang Avatara, yaitu Tuhan yang menjelma menjadi mahluk, yang lahir dan hidup di bumi – seperti Rama dan Krishna – menyampaikan ajarannya di bumi langsung kepada manusia tanpa perantara.
Dari segi ini, dikotomi agama langit dan agama bumi tidak ada masalah. Baru menjadi masalah ketika “truth claim” yang menyertai dikotomi ini. Bahwa agama langit lebih tinggi kedudukannya dari agama bumi; karena agama-agama langit sepenuhnya merupakan bikinan Tuhan, yang tentu saja lebih mulia, lebih benar dari agama-agama bumi yang hanya buatan manusia dan bahwa oleh karenanya kebenaran dan keselamatan hanya ada pada mereka. Sedangkan agama-agama lain di luar mereka adalah palsu dan sesat.
Pandangan “supremasis” ini membawa serta sikap “triumpalis”, yaitu bahwa agama-agama yang memonopoli kebenaran Tuhan ini harus menjadikan setiap orang sebagai pengikutnya, menjadikan agamanya satu-satunya agama bagi seluruh umat manusia, dengan cara apapun. Di masa lalu “cara apapun” itu berarti kekerasan, perang, penaklukkan, penjarahan, pemerkosaan dan perbudakan atas nama agama.
Masalah wahyu
Apakah wahyu? Wahyu adalah kata-kata Tuhan yang disampaikan kepada umat manusia melalui perantara yang disebut nabi, rasul, prophet. Bagaimana proses penyampaian itu? Bisa disampaikan secara langsung, Tuhan langsung berbicara kepada para perantara itu, atau satu perantara lain, seorang malaikat menyampaikan kepada para nabi; atau melalui inspirasi kepada para penulis kitab suci. Demikian pendapat para pengikut agama-agama rumpun Yahudi.
Benarkah kitab-kitab agama Yahudi, Kristen dan Islam, sepenuhnya merupakan wahyu Tuhan? Bila benar bahwa kitab-kitab ini sepenuhnya wahyu Tuhan, karena Tuhan Maha Tahu dan Maha Sempurna, maka kitab-kitab ini sepenuhnya sempurna bebas dari kesalahan sekecil apapun. Tetapi Studi kritis terhadap kitab-kitab suci agama-agama Abrahamik menemukan berbagai kesalahan, baik mengenai fakta yang diungkapkan, yang kemudian disebut ilmu pengetahun maupun tata bahasa. Berikut adalah beberapa contoh.
Pertama, kesalahan mengenai fakta.
Kitab-suci kitab-suci agama ini, menyatakan bumi ini datar seperti tikar, dan tidak stabil. Supaya bumi tidak goyang atau pergi ke sana kemari, Tuhan memasang tujuh gunung sebagai pasak. Kenyataannya bumi ini bulat seperti bola. Dan sekalipun ada banyak gunung, lebih dari tujuh, bumi tetap saja bergoyang, karena gempat.
Kedua, kontradiksi-kontradiksi.
Banyak terdapat kontradiksi-kontradiksi intra maupun antar kitab suci-kitab suci agama-agama ini. Satu contoh tentang anak Abraham yang dikorbankan sebagai bukti ketaatannya kepada Tuhan (Yahweh atau Allah). Bible mengatakan yang hendak dikorbankan adalah Isak, anak Abraham dengan Sarah, istrinya yang sesama Yahudi. Sedangkan Qur’an mengatakan bukan Isak, tetapi Ismail, anak Ibrahamin dengan Hagar, budak Ibrahim yang asal Mesir
Contoh lain. Bible menganggap Jesus sebagai Tuhan (Putra), sedangkan Al-Qur’an menganggap Jesus (Isa) hanya sebagai nabi, dan bukan pula nabi terakhir yang menyempurnakan wahyu Tuhan.
Ketiga, kesalahan struktur kalimat atau tata bahasa.
Di dalam kitab-kitab suci ini terdapat doa-doa, kisah-kisah, berita-berita tentang kegiatan Tuhan, mirip seperti berita surat kabar, yang ditulis oleh seseorang (wartawan) atas seseorang yang lain (dari obyek berita, dalam hal ini Tuhan). Lalu ada kalimat yang merujuk Tuhan sebagai “Aku, Kami, Dia, atau nama-namanya sendiri, seperti Allah, Yahweh, dll”. Mengapa Tuhan menunjukkan diriNya dengan Dia, kata ganti ketiga? Kata-kata atau kalimat-kalimat pejoratif seperti Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Mengetahui ini pastilah dibuat oleh manusia, sebab mustahil rasanya Tuhan memuji-muji dirinya sendiri.
Keempat, ajaran tentang kekerasan dan kebencian.
Di dalam kitab-suci kitab-suci agama-agama langit ini banyak terdapat ajaran-ajaran tentang kebencian terhadap komunitas lain, baik karena kebangsaan maupun keyakinan. Di dalam Perjanjian Lama terdapat kebencian terhadap orang Mesir, Philistin, Canaan dll. Di dalam Perjanjian Baru terdapat ajaran kebencian terhadap orang Yahudi dan Roma. Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat kebencian terhadap orang-orang Yahudi, Kristen dan pemeluk agama-agama lain yang dicap kafir secara sepihak. Pertanyaan atas soal ini, betulkah Tuhan menurunkan wahyu kebencian terhadap sekelompok orang yang memujanya dengan cara berbeda-beda, yang mungkin sama baiknya atau bahkan lebih baik secara spiritual? Bukankah akhirnya ajaran-ajaran kebencian ini menjadi sumber kekerasan sepanjang massa?
Bagaimana mungkin Tuhan yang Maha Bijaksana, Maha Pengasih dan Penyayang menurunkan wahyu kebencian dan kekerasan semacam itu? Di dalam agama Hindu kebencian dan kekerasan adalah sifat-sifat para raksasa, asura dan daitya (demon, devil, atau syaitan).
Di samping hal-hal tersebut di atas, agama-agama rumpun Yahudi banyak meminjam dogma dari agama-agama lain, bahkan dari komunitas yang mereka sebut penyembah berhala atau kafir. Dogma utama mereka tentang eskatologi seperti hari kiamat, kebangkitan tubuh dan pengadilan terakhir dipinjam oleh agama Yahudi dari agama Zoroaster Persia, lalu diteruskan kepada agama Kristen dan Islam. Legenda tentang penciptaan Adam dipinjam dari leganda tentang penciptaan Promotheus dalam agama Yunani kuno. Bagaimana mungkin tuhan agama langit meminjam ajaran dari agama-agama atau tradisi buatan manusia?
Swami Dayananda Saraswati (1824-1883), pendiri Arya Samaj, sebuah gerakan pembaruan Hindu, dalam bukunya Satyarth Prakash (Cahaya Kebenaran) membahas Al Kitab dan AI-Qur’an masing-masing di dalam bab XI II dan XIV, dan sampai kepada kesimpulan yang negatif mengenai kedua kitab suci ini. Bahwa kedua kitab suci ini mengandung hal-hal yang patut dikutuk karena mengajarkan kekerasan, ketahyulan dan kesalahan. Ia meningkatkan penderitaan ras manusia dengan membuat manusia menjadi binatang buas, dan mengganggu kedamaian dunia dengan mempropagandakan perang dan dengan menanam bibit perselisihan.
Apa yang dilakukan oleh Swami Dayananda Saraswati adalah kounter kritik terhadap agama lain atas penghinaan terhadap Hindu yang dilakukan sejak berabad-abad sebelumnya oleh para teolog dan penyebar agama lainnya.
Kesimpulan.
Tidak ada kriteria yang disepakati bersama di dalam penggolongan agama-agama. Setiap orang membuat kriterianya sendiri secara semena-mena untuk tujuan meninggikan agamanya dan merendahkan agama orang lain. Hal ini sangat kentara di dalam agama-agama missi yang agresif seperti Kristen dan Islam dimana segala sesuatu dimaksudkan sebagai senjata psikologis bagi upaya-upaya konversi dan proselitasi mereka.
Di samping itu tidak ada saksi dan bukti untuk memverifikasi dan memfalsifikasi apakah isi suatu kitab suci betul-betul wahyu dari Tuhan atau bukan? Yang dapat dikaji secara obyektif adalah isi atau ajaran yang dikandung kitab suci-kitab suci itu apakah ia sesuai dengan dan mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan, seperti cinta kasih, kesetiaan, ketabahan, rajin bekerja, kejujuran, kebaikan hati atau mengajarkan kebencian dan kekerasan?
Penggolongan agama-agama menjadi agama langit dan agama bumi, jelas menunjukkan sikap arogansi, sikap merendahkan pihak lain, dan bahkan sikap kebencian yang akhirnya menimbulkan kekerasan bagi pihak yang dipandangnya sesat, menjijikan dan tidak bernilai. Di lain pihak penggolongan ini menimbulkan rasa tersinggung, kemarahan, dan akhirnya kebencian. Bila kebencian bertemu kebencian, hasilnya adalah kekerasan.
Melihat berbagai cacat dari kitab suci-kitab suci mereka, khususnya ajarannya yang penuh kebencian dan kekerasan, maka isi kitab suci itu tidak datang dari Tuhan, tetapi dari manusia yang belum tercerahkan, apalagi Tuhan-Tuhan mereka adalah buatan manusia.

SYAHADAT

SYAHADAT
1. Syahadatun Bil Qouli artinya penyaksian dengan lesan.
2. Syahadatun Bil Qolbi artinya penyaksian dengan hati.
3. Syahadatun Bil Arkaan penyaksian dengan seluruh anggauta badan.
Dan sehubungan dengan 3 Syahadat diatas, disini akan menerangkan lima rukun Islam, yang dalam istilah ABOGE-nya disingkat :
1. Jidat : Siji Syahadat (Nomer satu Syahadat).
2. Rolat : Loro Sholat (Nomer dua Sholat lima waktu).
3. Lukat : telu zakat (Nomer tiga Zakat).
4. Patso : papat poso (Nomer empat puasa dibulan Romadlon).
5. Moji : limo lungo kaji (Nomer lima pergi Haji).
SYAHADAT
Dalam Hadits Rosululloh SAW. pernah bersabda :
QOOLA ROSUULULLOOHI SHOLLALLOOHU ‘ALAIHI WASALLAM : MAN SYAHIDA ANLAA ILAAHA ILLALLOOH WA-ANNA MUHAMMADAN ROSULULLOOH HARROMALLOOHU ‘ALAIHIN NAAR (‘An Ubbadah) Hadits Shohih. Rowahu Ahmad Wa Muslim Wat-Tirmdzi.
Artinya : “ Bersabda Rosululloh SAW : Barang siapa yang bersaksi sesungguhnya tidak ada tuhan selain Alloh dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Alloh, Maka Alloh mengharamkan atas orang tersebut masuk neraka”.
Jadi orang yang berSyahadat : Asyhadu Anlaa Ilaaha Illalloh Wa Asyhadu Anna Muhammadan Rosululloh , maka orang tersebut haram masuk ke neraka, dan halal masuk ke surga. Akan tetapi disini yang dimaksud bersyahadat adalah harus syahadat satu-kesatuan dari 3 Syahadat yang telah tersebut diatas, yakni :
1. Syahadatun Bil Qouli.
2. Syahadatun Bil Qolbi.
3. Syahadatun Bil Arkan.
Jadi kalau lesan mengucap : “Asyhadu Anlaa Ilaaha Illalloh Wa Asyhadu Anna Muhammadan Rosululloh” , maka hati-nyapun harus yakin bahwa ; Tidak ada tuhan lainnya Alloh dan Muhammad itu utusannya Alloh, begitu juga anggauta badannyapun harus bersaksi juga, yakni dengan melaksanakan perintah-perintah Alloh dan Rosululloh dan juga menjauhi larangan-larangan Alloh dan Rosululloh

Keagungan Sholat dalam Islam


Kewajiban sholat lima waktu adalah perkara yang disepakati oleh seluruh kaum Muslimin, namun sangat disayangkan realitanya masih banyak kaum Muslimin yang melalaikan kewajiban ini, bahkan meninggalkannya secara menyeluruh. Tidaklah hal ini terjadi kecuali karena semakin jauhnya ummat Islam dari ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah serta bimbingan para Ulama. Padahal para Ulama telah sepakat akan besarnya dosa meninggalkan sholat dan bahaya yang akan menimpa pelakunya di dunia dan akhirat.
Berkata al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah: “(Ulama) kaum Muslimin tidak berbeda pendapat bahwa meninggalkan sholat wajib dengan sengaja termasuk dosa besar, dan bahkan dosanya di sisi Allah lebih besar dari dosa membunuh jiwa, dosa mengambil harta orang (tanpa alasan yang benar), dan juga lebih besar dari dosa zina, pencurian, minum khamar, dan bahwasannya perbuatan tersebut juga mengundang hukuman dan kemarahan Allah serta kehinaan di dunia dan akhirat.” (Kitabus Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 29)
Sesungguhnya fenomena kaum yang melalaikan sholat ini telah diperingatkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
ﻓﺨﻠﻒ ﻣﻦ ﺑﻌﺪﻫﻢ ﺧﻠﻒ ﺃﺿﺎﻋﻮﺍ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﺗﺒﻌﻮﺍ ﺍﻟﺸﻬﻮﺍﺕ ﻓﺴﻮﻑ ﻳﻠﻘﻮﻥ ﻏﻴﺎ
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan sholat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)
Makna menyia-nyiakan sholat dalam ayat ini bukanlah meninggalkan sholat sama sekali, sebab meninggalkan sholat lebih besar bahayanya, bahkan maknanya sebagaimana penjelasan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, hanyalah sekedar menyia-nyiakan waktunya (lihat Syarhul Kabair lidz-Dzahabi, hal. 27)
Juga dalam firman-Nya:
ﻓﻮﻳﻞ ﻟﻠﻤﺼﻠﻴﻦ ، ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻫﻢ ﻋﻦ ﺻﻼﺗﻬﻢ ﺳﺎﻫﻮﻥ
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya.” (Al-Ma’un: 4-5)
Demikian pula makna melalaikan sholat dalam ayat ini mencakup orang yang meninggalkan sholat secara menyeluruh maupun melalaikan pelaksanaannya dari yang semestinya.
Berkata al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah: “(termasuk dalam kategori melalaikan sholat) apakah melalaikannya dari awal waktunya, yaitu mereka selalu mengakhirkan waktu sholat atau kebanyakan waktunya, ataukah melalaikannya dari pelaksanaannya dengan benar, yaitu dengan memenuhi rukun-rukun sholat dan syarat-syarat sholat sebagaimana yang diperintahkan (oleh Allah Ta’ala), ataukah melalaikannya dari khusyu’ dalam sholat dan mentadabburi makna-makna sholat. Sedang teks ayat ini mencakup semua bentuk pelalaian tersebut. Dan barangsiapa malakukan satu bentuk pelalaian tersebut maka dia mendapatkan bagian (ancaman) dari ayat ini, dan barangsiapa yang melakukan semua bentuknya maka sempurnalah bagian ancaman terhadapnya dan lengkaplah pula sifat munafik ‘amaly dalam dirinya, sebagaimana dalam Ash-Shahihain bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“ ﺗﻠﻚ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻤﻨﺎﻓﻖ ، ﺗﻠﻚ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻤﻨﺎﻓﻖ ، ﺗﻠﻚ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻤﻨﺎﻓﻖ ، ﻳﺠﻠﺲ ﻳَﺮْﻗُﺐ ﺍﻟﺸﻤﺲ ، ﺣﺘﻰ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﺑﻴﻦ ﻗﺮﻧﻲ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﻗﺎﻡ ﻓﻨﻘﺮ ﺃﺭﺑﻌﺎ ﻻ ﻳﺬﻛﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻴﻬﺎ ﺇﻻ ﻗﻠﻴﻼ”
‘Itulah sholatnya munafik, itulah sholatnya munafik, itulah sholatnya munafik, yaitu dia (hanya) duduk memperhatikan matahari, sampai ketika matahari berada pada kedua tanduk syaithon (hampir terbenam) maka diapun bangkit lalu mematuk sebanyak empat (raka’at) dalam keadaan dia tidak mengingat Allah dalam sholatnya tersebut kecuali sedikit’.” (Tafsir Ibnu Katsir 8/493)
Oleh karenanya kita berkewajiban untuk menasehati saudara-saudara kita kaum Muslimin agar lebih memperhatikan perkara sholat lima waktu.
Kedudukan Sholat
Asy-Syaikh Rabi’ Bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah menerangkan: “Sesungguhnya sholat merupakan perkara yang agung dalam Islam dan memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala, di sisi Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yaitu merupakan rukun kedua dari rukun Islam setelah dua kalimat syahadat. Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
ﺑُﻨﻲ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻋﻠﻰ ﺧﻤﺲ : ﺷﻬﺎﺩﺓ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍً ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺇﻗﺎﻡ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺇﻳﺘﺎﺀ ﺍﻟﺰﻛﺎﺓ ﻭﺻﻮﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﺣﺞ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﻟﻤﻦ ﺍﺳﺘﻄﺎﻉ ﺇﻟﻴﻪ ﺳﺒﻴﻼ
‘Islam dibangun di atas lima rukun: bersaksi bahwasannya tiada yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan sholat; menunaikan zakat; berpuasa pada bulan ramadhan; berhaji ke baitullah bagi yang mampu’.” (Makanatus Sholah fil Islam wa Atsaruhat Thoyibah, hal. 1)
Karena pentingnya sholat, sampai-sampai tidak ada alasan apapun untuk meninggalkan sholat, kecuali wanita yang haid atau nifas dan orang gila atau mati. Sholat lima waktu tetap wajib ditegakkan dalam keadaan bagaimana pun juga, baik dalam keadaan perang maupun aman, ketika safar maupun muqim, saat sibuk maupun lapang, ketika kaya maupun miskin, saat sehat maupun sakit, separah apapun sakitnya, ada air maupun tidak, apakah mampu menggunakan air atau tidak, serta tidak pula dengan alasan lupa atau tertidur.
Karena Allah yang Maha Penyayang dalam syari’at-Nya yang mulia ini telah memberikan keringanan-keringanan dalam pelaksanaan sholat, seperti bolehnya menjamak sholat (dengan sebab tertentu), bolehnya menqoshor sholat ketika safar (yaitu meringkas sholat yang tadinya empat raka’at menjadi dua raka’at), bolehnya bertayamum sebagai ganti wudhu’ dan mandi wajib ketika tidak ada air atau tidak mampu menggunakan air, bolehnya sholat sambil duduk atau berbaring bagi yang tidak mampu berdiri atau karena sakit, serta bolehnya mengqodho’ sholat yang terlewat waktunya karena tertidur atau lupa (yaitu tetap wajib melaksanakan sholat tersebut meski telah keluar dari waktunya jika karena lupa atau tertidur).
Demikianlah, betapa pentingnya sholat sehingga Allah Ta’ala menjelaskan diantara sifat orang-orang yang beriman penghuni surga adalah:
ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻫُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺻَﻠَﻮَﺍﺗِﻬِﻢْ ﻳُﺤَﺎﻓِﻈُﻮﻥَ
“Dan orang-orang yang menjaga sholatnya.” (Al-Mu’minun: 9)
ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻫُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺻَﻠَﺎﺗِﻬِﻢْ ﺩَﺍﺋِﻤُﻮﻥَ
“Yang mereka itu senantiasa mengerjakan sholatnya.” (Al-Ma’arij: 23)
Sebaliknya, diantara sebab diadzabnya penghuni neraka karena meninggalkan sholat:
ﻣﺎ ﺳﻠﻜﻜﻢ ﻓﻲ ﺳﻘﺮ ، ﻗﺎﻟﻮﺍ ﻟﻢ ﻧﻚ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺼﻠﻴﻦ
“Apakah yang menyebabkan kalian masuk ke dalam neraka saqor, mereka menjawab, kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan sholat.” (Al-Mudatsir: 42-43)
Keutamaan Sholat
Diantara keutamaan sholat yang akan diraih seorang hamba apabila dia menjaga sholatnya dan menjauhi dosa-dosa besar adalah terhapusnya kesalahan-kesalahan. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
ﺃﺭﺃﻳﺘﻢ ﻟﻮ ﺃﻥ ﻧﻬﺮﺍً ﺑﺒﺎﺏ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﻳﻐﺘﺴﻞ ﻣﻨﻪ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﺧﻤﺲ ﻣﺮﺍﺕٍ ﻫﻞ ﻳﺒﻘﻰ ﻣﻦ ﺩﺭﻧﻪ ﺷﻲﺀٌ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﻻ ﻳﺒﻘﻰ ﻣﻦ ﺩﺭﻧﻪ ﺷﻲﺀٌ ﻗﺎﻝ ﻓﺬﻟﻚ ﻣﺜﻞ ﺍﻟﺼﻠﻮﺍﺕ ﺍﻟﺨﻤﺲ ﻳﻤﺤﻮ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻬﻦ ﺍﻟﺨﻄﺎﻳﺎ
“Bagaimana pendapat kalian seandainya di depan pintu seorang dari kalian ada sungai yang dia mandi darinya setiap hari lima kali, apakah masih tersisa kotorannya walau sedikit? Para Sahabat menjawab, ‘tidak tersisa kotorannya sedikitpun’. Beliau bersabda: ‘Demikianlah sholat lima waktu, dengannya Allah Ta’ala menghapus kesalahan-kesalahan’.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Hurairoh radhiyallahu’anhu)
Bahkan sholat adalah amalan pertama yang akan diadili pada hari kiamat dan menjadi penentu bagi baiknya amalan-amalan yang lain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺇﻥ ﺃﻭﻝ ﻣﺎ ﻳﺤﺎﺳﺐ ﺑﻪ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻣﻦ ﻋﻤﻠﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﺈﻥ ﺻﻠﺤﺖ ﻓﻘﺪ ﺃﻓﻠﺢ ﻭ ﺃﻧﺠﺢ ﻭ ﺇﻥ ﻓﺴﺪﺕ ﻓﻘﺪ ﺧﺎﺏ ﻭ ﺧﺴﺮ ﻭ ﺇﻥ ﺍﻧﺘﻘﺺ ﻣﻦ ﻓﺮﻳﻀﺔ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺮﺏ ﺍﻧﻈﺮﻭﺍ ﻫﻞ ﻟﻌﺒﺪﻱ ﻣﻦ ﺗﻄﻮﻉ ؟ ﻓﻴﻜﻤﻞ ﺑﻬﺎ ﻣﺎ ﺍﻧﺘﻘﺺ ﻣﻦ ﺍﻟﻔﺮﻳﻀﺔ ﺛﻢ ﻳﻜﻮﻥ ﺳﺎﺋﺮ ﻋﻤﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ
“Sesungguhnya amalan pertama seorang hamba yang akan diadili pada hari kiamat adalah sholat, jika baik sholatnya maka dia telah menang dan selamat, namun jika rusak sholatnya maka dia telah celaka dan merugi. Dan jika kurang (sholat) wajibnya, Allah berfirman, ‘lihatlah apakah hamba-Ku memiliki (sholat) sunnah?’ Maka dengan (sholat) sunnah tersebut disempurnakanlah (sholat) wajibnya, kemudian semua amalan dihisab seperti itu.” (HR. Tirmidzi no. 413, dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ no. 2020)
ﺃﻭﻝ ﻣﺎ ﻳﺤﺎﺳﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﺈﻥ ﺻﻠﺤﺖ ﺻﻠﺢ ﺳﺎﺋﺮ ﻋﻤﻠﻪ ﻭﺇﻥ ﻓﺴﺪﺕ ﻓﺴﺪ ﺳﺎﺋﺮ ﻋﻤﻠﻪ
“Amalan pertama seorang hamba yang akan dihisab pada hari kiamat adalah sholat, jika baik sholatnya maka baik pula seluruh amalannya, namun jika rusak sholatnya maka rusak pula seluruh amalannya.” (HR. Thabrani dalam al-Aushat, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 376)
Hukum Meninggalkan Sholat
Orang yang maninggalkan sholat ada dua bentuknya:
Pertama, orang yang meninggalkan sholat dan sekaligus mengingkari, membenci atau menentang kewajiban sholat. Bentuk yang pertama ini telah sepakat para Ulama akan kafirnya orang tersebut, bahkan meskipun dia melaksanakan sholat secara zhahirnya, namun jika bathinnya mengingkari, membenci atau menentang kewajiban sholat, orang tersebut tetaplah kafir, kecuali orang yang baru masuk Islam yang belum mengerti dengan kewajiban sholat.
Kedua, orang yang meninggalkan sholat karena lalai atau malas. Bentuk yang kedua ini terdapat perbedaan pendapat para Ulama akan kekafirannya (lihat Nailul Authar 1/369).
Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan dalam risalah Beliau “Hukmu Tarikis Sholah”, bahwa:
Pendapat al-Imam Ahmad tentang orang yang meninggalkan sholat (dengan segala bentuknya) adalah kafir dan keluar dari agama Islam (murtad), hukumannya adalah dibunuh (karena telah murtad) jika tidak mau bertaubat dan melaksanakan sholat kembali.
Adapun pendapat al-Imam Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi’i tentang orang yang meninggalkan sholat adalah fasik (pelaku dosa besar) dan tidak sampai kafir. Kemudian mereka berbeda pendapat tentang hukumannya; pendapat al-Imam Malik dan asy-Syafi’i bahwa hukumannya adalah dibunuh sebagai had (bukan karena murtad, tapi hanya seperti hukumannya pezina yang pernah menikah). Sedangkan pendapat al-Imam Abu Hanifah hukumannya terserah kepada hakim dan tidak sampai dibunuh.
Kemudian Asy-Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah menguatkan pendapat al-Imam Ahmad, yaitu kafirnya orang yang meninggalkan sholat dengan segala bentuknya, berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta pendapat para Sahabat radhiyallahu’anhum, diantaranya firman Allah Ta’ala:
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (At-Taubah: 11)
Sisi pendalilannya adalah: dalam ayat ini Allah Ta’ala menjadikan sholat sebagai syarat ukhuwah dalam agama. Adapun dalil dari as-Sunnah, sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam dua hadits berikut ini:
“Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan sholat.” (HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu‘anhuma)
“Perjanjian antara kami dengan mereka adalah sholat, barangsiapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Tirmidzi no. 2621, dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Misykatul Mashabih no. 574)
Berkata seorang Tabi’in yang mulia, Abdullah bin Syaqiq rahimahullah:
“Dahulu para Sahabat Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam tidak melihat suatu amalan yang apabila ditinggalkan merupakan kekufuran, kecuali sholat.” (HR. Tirmidzi, no. 2622, dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 565)
Hukum Sholat Jama’ah
Asy-Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan bahwa para Ulama telah sepakat akan disyari’atkannya sholat jama’ah, namun mereka berbeda pendapat akan hukumnya menjadi empat pendapat:
Pertama: Fardhu ‘ain.
Kedua: Fadhu kifayah.
Ketiga: Sunnah mu’akkadah.
Keempat: Syarat sahnya sholat.
Kemudian beliau menguatkan bahwa yang benar adalah pendapat pertama, yaitu hukum sholat jama’ah (bagi laki-laki) adalah fardhu ‘ain, barangsiapa yang meninggalkannya dengan sengaja maka dia berdosa namun sholatnya tetap sah. Setelah itu beliau menjelaskan kelemahan-kelemahan pendapat yang lainnya (lihat Asy-Syarhul Mumti’ 4/59).
Adapun dalil-dalil wajibnya sholat jama’ah dari al-Qur’an, as-Sunnah dan amalan para Sahabat adalah sebagai berikut.
Dalil dari al-Qur’an, diantaranya firman Allah Ta’ala:
ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻛُﻨﺖَ ﻓِﻴﻬِﻢْ ﻓَﺄَﻗَﻤْﺖَ ﻟَﻬُﻢُ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓَ ﻓَﻠْﺘَﻘُﻢْ ﻃَﺂﺋِﻔَﺔٌ ﻣِّﻨْﻬُﻢ ﻣَّﻌَﻚَ ﻭَﻟْﻴَﺄْﺧُﺬُﻭﺍْ ﺃَﺳْﻠِﺤَﺘَﻬُﻢْ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺳَﺠَﺪُﻭﺍْ ﻓَﻠْﻴَﻜُﻮﻧُﻮﺍْ ﻣِﻦ ﻭَﺭَﺁﺋِﻜُﻢْ ﻭَﻟْﺘَﺄْﺕِ ﻃَﺂﺋِﻔَﺔٌ ﺃُﺧْﺮَﻯ ﻟَﻢْ ﻳُﺼَﻠُّﻮﺍْ ﻓَﻠْﻴُﺼَﻠُّﻮﺍْ ﻣَﻌَﻚَ ﻭَﻟْﻴَﺄْﺧُﺬُﻭﺍْ ﺣِﺬْﺭَﻫُﻢْ ﻭَﺃَﺳْﻠِﺤَﺘَﻬُﻢْ
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan sholat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (sholat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) telah sujud (telah selesai sholat), maka hendaklah datang golongan yang kedua yang belum sholat, lalu sholatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata…”. (QS. An-Nisa’: 102)
Ayat ini menjelaskan tentang tata cara sholat ketika perang, yaitu sholat khauf (dalam keadaan takut), bahwasannya Allah Ta’ala memerintahkan sholat berjama’ah meski dalam keadaan khauf, sedang ‘perintah’ hukum asalnya adalah ‘wajib’ dan ia tetap pada hukum asal tersebut selama tidak ada dalil yang memalingkan dari hukum asalnya.
Sedangkan dalil dari As-Sunnah dan atsar Sahabat, diantaranya:
ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺃﻡ ﻣﻜﺘﻮﻡ – ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ - ﺃﻧﻪ ﺳﺄﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝ : ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ، ﺇﻧﻲ ﺭﺟﻞ ﺿﺮﻳﺮ ﺍﻟﺒﺼﺮ ، ﺷﺎﺳﻊ ﺍﻟﺪﺍﺭ ، ﻭﻟﻲ ﻗﺎﺋﺪ ﻻ ﻳﻼﺋﻤﻨﻲ ، ﻓﻬﻞ ﻟﻲ ﺭﺧﺼﺔ ﺃﻥ ﺃﺻﻠﻲ ﻓﻲ ﺑﻴﺘﻲ؟ ﻗﺎﻝ : ﻫﻞ ﺗﺴﻤﻊ ﺍﻟﻨﺪﺍﺀ؟ ﻗﺎﻝ : ﻧﻌﻢ ، ﻗﺎﻝ : ﻻ ﺃﺟﺪ ﻟﻚ ﺭﺧﺼﺔ
Dari Abdullah bin Ummi Maktum radiyallahu’anhu bahwasannya dia bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “wahai Rasulullah, sesungguhnya aku seorang lelaki buta, rumahku jauh (dari masjid), dan penuntunku tidak selalu menemaniku, apakah ada keringanan bagiku untuk sholat di rumahku?” Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengatakan, “apakah kamu mendengar adzan”, dia menjawab “ya”, beliau bersabda, “saya tidak mendapati keringanan untukmu.” (HR. Abu Daud no. 552, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohih Abi Daud no. 561)
Dari Abdullah bin Mas’ud radiyallahu’anhu dia berkata, “barangsiapa yang ingin berjumpa dengan Allah besok (hari kiamat) dalam keadaan muslim maka hendaklah dia menjaga sholat lima waktu dengan melaksanakannya di tempat dikumandangkan adzan, karena sesungguhnya Allah telah mensyari’atkan kepada Nabi kalian shallallahu’alaihi wa sallam jalan-jalan hidayah, sedang sholat lima waktu berjama’ah adalah termasuk jalan-jalan hidayah tersebut. Dan seandainya kalian sholat di rumah-rumah kalian -sebagaimana sholatnya orang yang meninggalkan ini di rumahnya-, maka sungguh kalian telah meninggalkan petunjuk Nabi kalian shallallahu’alaihi wa sallam, sedang jika kalian meninggalkan petunjuk Nabi kalian shallallahu’alaihi wa sallam maka kalian pasti tersesat. Dan tidaklah ada seorang bersuci dengan baik, kemudian dia bermaksud ke masjid kecuali Allah menuliskan baginya pada setiap langkahnya satu kebaikan, dan mengangkat satu derajatnya, serta menghapus satu kesalahannya (dengan setiap satu langkahnya). Dan sungguh aku melihat kami (para Sahabat), tidaklah ada yang meninggalkan sholat jama’ah kecuali (kami menganggapnya) seorang munafik yang jelas kemunafikannya, bahkan dahulu seorang (sahabat yang sakit) didatangkan (ke masjid) dengan dibopong oleh dua orang sampai diberdirikan ke dalam shaf.” (HR. Muslim, no. 1520)
Adapun bagi wanita maka hukumnya boleh sholat jama’ah di masjid (tentu dengan syarat memperhatikan adab-adab Islami), namun sholatnya wanita di rumahnya itu lebih baik (lihat Asy-Syarhul Mumti’ 4/60).
Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
ﻻ ﺗﻤﻨﻌﻮﺍ ﻧﺴﺎﺀﻛﻢ ﺍﻟﻤﺴﺎﺟﺪ ﻭ ﺑﻴﻮﺗﻬﻦ ﺧﻴﺮ ﻟﻬﻦ
“Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian mendatangi masjid-masjid (untuk sholat), dan (sholatnya mereka) di rumah-rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” (HR. Hakim no. 755, dishohihkan Syaikh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ no. 7458)
Demikianlah penjelasan ringkas seputar pentingnya sholat dalam kehidupan seorang muslim, semoga kita dianugerahkan Allah kemampuan untuk selalu mengamalkannya dalam keadaan bagaimana pun juga.
Wallohu Ta’ala A’la wa A’lam wa huwal Muwaffiq

ENAM MACAM SAHADAT


Sahadat artinya kesaksian. Kesaksian manusia terhadap eksistensinya. Bahwa sejatinya dia adalah hamba Tuhan. Dalam khasanah Pengutusan Wahyu sepanjang masa, mulai dari Adam AS hingga Muhammad SAW, setidak-tidaknya kita mengenal ada enam kesaksian. Berikut wawancara saya dengan KI KUMITIR tentang sahadat dan macamnya beberapa saat yang lalu.
WONG ALUS: Apa arti Sahadat bagi Panjenengan Ki?
KI KUMITIR: Sahadat artinya kesaksian seorang hamba setelah dipilih oleh-Nya menjadi wakil Tuhan bagi alam semesta.
WONG ALUS: Wakil Tuhan apa sama dengan Rasul Ki?
KI KUMITIR: Bisa sama tapi bisa juga tidak. Rasul jelas wakil Tuhan, tapi hakikat sesungguhnya bahwa setiap individu adalah wakil Tuhan juga.
WONG ALUS: Saya pernah mendengar bahwa sahadat setiap rasul yang diturunkan Tuhan di muka bumi ini berbeda-beda. Apa demikian Ki?
KI KUMITIR: Beda bunyinya, tapi substansinya sama. Yaitu tetap pengakuan eksistensi Tuhan Gusti Allah SWT. Tuhan Pencipta Semua Yang Ada. Ada kekhususan pada sahadat Muhammad SAW. Nabi terakhir ini mewartakan pertemuan langsung atau Makrifat kepada-Nya. Ini yang beda dengan syahadat para rasul yang lain.
WONG ALUS: Bisa dijelaskan secara rinci bagaimana bunyi sahadat masing-masing rasul Ki?
KI KUMITIR: Baiklah, akan saya paparkan sebagai berikut:
1. SAHADAT ADAM
Rasul yang pertama adalah nabi adam bunyi sahadatnya begini:
ASHADU ALA ILAHA ILLALLAH WA ASHADU ANNA ADAM KHALIFATULAH.
PERINTAH TUHAN: hai adam kamu adalah utusan ku. Kamu jangan mempunyai keinginan ma’rifat kepada ku.
WALLAHU BATINUL INSAN AL INSANNU DOHIRULLAH.
Artinya: ketahuilah wujud kamu. Kenallah diri kamu. Wujud kamu adalah keadaan wujud aku. Hai! Adam setelah kamu memahami dan mengerti wujud kamu adalah wujud aku. Sekarang kamu harus sholat dua raka’at. Maka sholatlah adalah agar kamu menerima kebaikan.
2. SAHADAT NUH
Rasul yang ke dua adalah nabi nuh sahadatnya adalah begini:
ASHADU ALLA ILAHA ILLALLAH WA ASHADU ANNA NUH HABIBBULLAH.
PERINTAH TUHAN: Hai nuh kamu adalah utusan kami. Kamu jangan berkeinginan ma’rifat kepada kami.
Dalilnya SAMA-SAMI’AN. Kenallah pendengaran kamu. Pendengaran kamu adalah kenyataan pendengaran kami. Tapi sekarang kamu Nuh harus sholat di waktu zuhur empat raka’at dan kamu harus menerima di berikan dua kuping, dua mata. Begitulah sebabnya sholat zuhur empat raka’at.
3. SAHADAT IBRAHIM
Rasul yang ke tiga adalah nabi ibrahim sahadatnya adalah begini:
ASHADU ALLA ILAHA ILLALLAH WA ASHADU ANNA IBRAHIM KHALIFATTULLAH.
PERINTAH TUHAN: Hai ibrahim kamu adalah utusan kami.kamu jangan berkeinginan ma’rifat kepada kami.
Dalilnya (BASYAR dan BASIRON) Ketahuilah penglihatan kamu. Penglihatan kamu adalah kenyataan penglihatan kami. Kamu harus sholat asar empat raka’at dan kamu harus menerima di berikan dua mata, dua tangan. Begitulah sholat asar wajib kepada umat umatnya.
4. SAHADAT ISA
Rasul yang ke empat adalah nabi isa sahadatnya adalah begini:
ASHADU ALLA ILAHA ILALLAH WA ASHADU ANNA ISA ROKHULLAH.
PERINTAH TUHAN: Hai isa ketahuilah bahwa nafas kamu adalah kenyataan hidup aku. Dan kamu harus sholat tiga raka’at di waktu magrib dan kamu harus mengerti bahwa kamu telah di berikan dua lubang hidung dan nafasnya. Begitulah sebabnya fardu sholat magrib tiga raka’at.
5. SAHADAT MUSA
Rasul yang ke lima adalah nabi musa sahadatnya begini: (kata hidup kita kepada suaranya).
ASHADU ALLA ILAHA ILLALLAH WA ASHADU ANNA MUSA KALAMMULLAH.
PERINTAH TUHAN: Hai Musa kamu adalah utusan kami. Kamu jangan berkeinginan ma’rifat kepada kami. Kenalilah ucapan kamu. Ucapan kamu adalah kenyataan ucapan Ku.
Dalilnya KALAM-MUTAKALIMAN tapi kamu sekarang harus sholat empat raka’at di waktu Isya dan kamu harus menerima di berikan depan, belakang, kanan, kiri. Begitulah sebabnya fardu sholat isa empat raka’at.
6. SAHADAT MUHAMMAD
Rasul yang ke enam adalah nabi muhammad. sahadatnya adalah begini:
ASHADU ALLA ILAHA ILALLAH WA ASHADU ANNA MUHAMMADDARASULLULLAH.
PERINTAH TUHAN: Hai muhammad kamu adalah utusan kami. Sekarang kamu harus tajali. Kamu harus ma’rifat kepada kami sebab kamu adalah yang paling dekat kepada kami.
Dalilnya: AL INSANNU SIRRI WA ANNA SIRRUHU. artinya: Muhammad! rasa kamu adalah rasa kami. Maka pangkat mu Rasullulah. rasa kamu-rasa kami. Sekarang kamu adalah kekasih kami. Ini kami memberi cara untuk mendekatkan diri kepada kami. Turunlah kamu kepada anak cucu para wali dan umat-umat mu sampai akhir jaman. Begitulah perjanjian kepada rasul.
WONG ALUS: Terima kasih Ki, semoga membawa manfaat bagi kita semua.
KI KUMITIR: Sama-sama Mas, Saya cuma wong cubluk jadi sorry kalau ada kesalahan. Itu semata-mata karena keterbatasan saya sebagai manungso.

SEBENAR-BENARNYA MAKRIFAT


Dalam Kitab Risalah Al Qusyairiah, mengenai makrifat Imam Abi Qasim berkata:
” Erti makrifat menurut pendapat ulama (bukan ahli tasawwuf) ialah pengetahuan. Maka tiap-tiap ilmu itu adalah makrifat dan tiap-tiap makrifat adalah ilmu. Dan tiap-tiap orang alim tentang Allah, adalah orang arif dan tiap-tiap orang arif adalah alim”
Dalam kitab ini juga dinyatakan:
” Barangsiapa yang mengenal Allah dengan jalan pertolongan Allah maka orang itu adalah ”Arif” tentang Allah secara hakikat (Ahli tasawwuf), Orang yang Arif tentang Allah dengan cara dalil sahaja maka itu adalah orang Mutakallimin taklid (menuruti perkataan orang tanpa mencari dalil) maka orang itu adalah orang awam/orang bodoh”
Menurut Zunnun al Misri (W 860 M) yang dianggap sebagai bapa fahaman “makrifah”. Menurutnya terdapat 3 jenis pengetahuan tentang Tuhan, iaitu:
1 Pengetahuan awam : Tuhan satu dengan perantaraan ucapan kalimah syahadat
2 Pengetahuan ulama : Tuhan satu menurut akal fikiran
3 Pengetahuan sufi/Tsawwuf : Tuhan satu dengan pandangan Hati Sanubari
Pengetahuan menurut pengertian pertama dan kedua, belum merupakan pengethuan hakiki tentang Tuhan. Kedua-duanya disebut ilmu, bukan makrifat. Pengetahuan menurut pengertian yang ketigalah merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan dan pengetahuan ini disebut ”makrifat”.
Makrifat hanya terdapat pada kaum sufi, yang sanggup melihat Tuhan dengan Hati Sanubarinya. Pengetahuan serupa ini hanya diberikan Tuhan kepada kaum sufi yang sangat berhasrat untuk bertemu dengan Allah kerana sangat cintanya kepada Allah. Makrifat dimasukkan oleh Allah ke dalam hati orang sufi, sehingga hatinya penuh dengan cahaya.
Ketika Zunnun al Misri ditanya: ”Bagaimana ia memperolehi makrifat tentang Allah, ia menjawab:
” Aku mengenal Allah dengan pertolongan Tuhanku dan sekiranya tidak kerana Tuhanku aku tidak akan kenal Nya”
Ini menggambarkan bahawa makrifat tidak diperolehi begitu sahaja, tetapi adalah pemberian dari Allah. Kerana itu maka makrifat bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi bergantung kepada kehendak dan rahmat Allah, dengan kata lain bahawa makrifat adalah pemberian Allah kepada kaum sufi yang sanggup menerimanya.
Alat untuk mendapat makrifat oleh kaum Sufi disebut Sirr.
Dalam Ar Risalah Al Qusyairiah disebutkan, ada 3 alat dalam jasad manusia yang digunakan oleh orang Sufi untuk makrifat Allah:
1 Qalb – untuk mengetahui sifat-sifat Allah
2 Ruh – untuk mencintai Allah
3 Sirr – untuk melihat Allah
Sirr adalah lebih halus dari Ruh dan Ruh lebih halus dari Qalb. Qalbu tidak sama dengan jantung, kerana qalbu ialah alat untuk merasa dan juga untuk berfikir. Perbezaan antara qalbu dan akal ialah bahawa akal tidak boleh memperolehi pengetahuan yang sebenar tentang Allah, sedangkan qalbu boleh mengetahui hakikat dari segala yang ada dan jika Allah melimpahkan cahayanya kepada qalbu, ia boleh mengetahui segala apa yang diketahui Allah.
Nampaknya ”Sirr” bertempat di Ruh dan Ruh bertempat di Qalbu dan Sirr timbul dan dapat menerima limpahan rahmat dari Allah, jika qalbu dan ruh itu telah suci secucinya, kosong tidak berisi apa pun.. Pada ketika itulah Allah menurunkan cahayaNya kepada ahli sufi dan yang dilihat oleh ahli sufi tadi hanyalah Allha semata-mata. Ketika itulah ia telah sampai ke tingkat makrifat.
Makrifat serupa ini , telah diakui oleh Ahli Sunnah Wal Jamaah.
Ahli Muhaqqiqin berkata tentang makrifat:
” Makrifat itu adalah ketetapan hati , mempercayai akan wujudnya Zat yang wajib wujud yang bersifat dengan segala kesempurnaan , jauh dari sifat kekurangan”
” Makrifat itu terlihatnya di dalam keadaan kita tercengang dan leburnya kita dalam keadaan pengsan”
Keadaan seperti ini telah terjadi ketika Nabi Musa as berkata-kata dengan Allah, ia memhon agar ia dapat melihat Allah.
Seperti dalam FirmaNya:
” Maka berkatalah Musa: Ya Tuhanku nampakkanlah (Zat kesempurnaan) kepada ku agar aku dapat melihat Engkau. Tuhan berfirman: Kamu sekali-kali tidak dapat melihat Aku, tetapi lihatlah ke bukit itu, maka jika bukit itu tetap di tempatnya, niscaya kamu dapat melihat Aku. Tatkala Allah menampkan kepada bukit itu, kejadian itu menjadikan bukit itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pengsan”
Pedoman yang dapat diambil dari ayat tersebut diatas ialah:
1 Melihat Tuhan dengan mata kepala, adalah mustahil.
Firman Allah SWT:
” Bahawa Allah itu tidak mungkin didapat dengan penglihatan mata”
2 Bahawa makrifat itu sesungguhnya adalah tembus pandangan batinnya kepada Allah.
Firman Allah SWT:
” Lihatlah apa yang sebenarnya yang ada di langit dan di bumi”
Walaubagaimanapun, penglihatan atau pandangan mata hati kadang-kadang terbalik menjadi pandangan mata zahir. Dikiranya ia telah melihat dengan mata zahir, tetapi apa yang ternyata ialah dengan pandangan mata hatinya, padahal sebenarnya ia melihat dengan mata hatinya.
Kejadian seperti ini terjadi pada suatu ketika apabila Syeikh Abdul Qadir Al Jailani ditanya seorang laki-laki, apakah boleh melihat Allah dengan mata, lalu beliau menjawab: ”Ya boleh”
Pernah Ali bin Abi Talib berkata:
” Kulihat Tuhanku dengan mata hatiku dan aku pun berkata: Tiada syak lagi yang Engkau itu adalah Engkau Tuhan”
3 Bahawa sesungguhnya Ruh itu sentiasa terhijab dengan rasa keinsanan. Bahawa pandangan yang nampak ini, tidak ada yang dilihat kecuali apa yang nampak juga. Apabila sifat kerohanian lebih berkuasa ke atas sifat keinsanan. Maka terbaliklah pandangan mata zahir menjadi pandangan mata hati. Dalam pada ini. Pandangan mata yang bersifat baharu akan lebur ke dalam pandangan hati yang bersifat qadim, ertinya mustahil baharu dapat bercampur qadim
4 Selanjutnya dalam Kitab Tafsir Mahsinut Takwil ada menerangkan:
Adapun Firma Allah SWT yang mengatakan:
” Akan tetapi lihatlah ke bukit itu, maka jika bukit itu tetap di tempatnya, niscaya kamu (Musa) dapat melihat Aku”
Dalam pengertian ini, maka Tuhan menggantungkan bolehnya melihat atas tinggal tetapnya bukit itu pada tempatnya. Ertinya Allah itu mungkin terlihat pada diriNya, maka yang tergantung atas kemungkinan, maka ia mungkim hukumnya.
Dalam Kitab Kawsyiful Jilliyah, memberikan penafsiran berikut:
Adapun Firman Allah SWT yang mengatakan:”Tatkala Tuhan nampak bagi bukit itu, kejadian itu menjadikan bukit itu hancur luluh”.
Maka apabila ada kemungkinan bahawa Tuhan boleh nampak bagi bukit benda tegap itu, bagaimana tidak mungkin nampak bagi rasul-rasulnya dan wali-walinya,
Bahawa sesungguhnya Allah berkata-kata dengan Nabi Musa as. Apabila mungkin berkata dengan Nabi Musa dan Musa mendengar kata-kata Allah itu tanpa hijab antaranya, maka kemungkinan untuk melihatnya Allah itu adalah lebih mungkin lagi.
Dalam pada itu, barangsiapa yang sudah mencapai makrifat, maka lenyaplah diri keinsannya lebur ke dalam kebaqaan Allah.
Allah berfirman:
” Tiap orang atasnya kebinasaan (fana) dan Zat Tuhan tetap dalam kebaqaan yang mempunyai sifat sempurna dan Maha Agung”
Ahli Taswwuf ada berkata (dalam Kitab Iqazdul Himan):
”Barang saiapa yang melihat Tuhan niscaya lenyaplah ia dari dirinya, dan barangsiapa masih melihat dirinya, niscaya terhijab ia daripada Allah”
Jadi pengertian makrifat tidak cukup dengan jalan dalil-dalil atau dengan jalan akal fikiran semata-mata, tetapi makrifat dapat dicapai dengan pertolongan dan rahmat Allah SWT sebagaimana dijelaskan oleh Zunnun Al Misri tersebut di atas

MA’RIFAT,MENEMUI DAN MENGENAL ALLAH


MA’RIFAT berasal dari kata. “ara fa” yang arti­nya: mengenal.
Menurut “Imam Al-Ghozali”, arti pengenalan kepada Allah, Tuhan semesta alam, yaitu yang timbul karena musyahadah (penyaksian).
-Maka orang arif ialah orang yang telah mengenal Dzat, sifat, asma, dan af’al Allah dengan perantaraan musyahadahnya (penyaksian/bukti yang nyata).
-Seorang yang alim ialah orang yang mengenal Tuhannya tanpa melalui musyahadahnya, namun hanya dengan kepercayaan biasa saja.
-Orang yang tingkat Ma’rifatnya tinggi tentu akan melihat bahwa Allah adalah wujud yang paling jelas, paling terang dan teramat nyata.
Oleh karena itu Allah dalam pandangan mereka itu jelas dan nyata, maka menyebabkan adanya proses pengenalan terhadap-Nya menjadi ilmu yang tertinggi clan yang paling utama. Berbeda dengan orang awam, yang belum mencapai tingkat Ma’rifat, bagi mereka Allah itu memang tiada terwujud atau tidak bisa dipandang melalui pandangan lahiriah.
Adapun pengertian menurut seorang ahli Ma’rifat bernama “Hallaj ” mengartikan dalam beberapa pepatah sebagai berikut:
“Tak seorang-pun mengenal-Nya kecuali orang yang telah dibuat-Nya mengenal-Nya”.
“Tak seorang-pun bisa mengenal-Nya kecuali orang yang hati-nuraninya telah diilhami oleh-Nya sendiri”.
“Tak seorang-pun setia kepada-Nya kecuali orang yang telah didekatkan oleh-Nya pada-Nya”.
“Tak seorang-pun mempercayai-Nya kecuali orang yang kepadanya Dia telah memperlihatkan karunia-Nya”.
“Tak seorang pun berbakti pada-Nya kecuali orang yang telah dipilih-Nya”.
Dengan demikian, berma’rifatullah menjadikan kita semakin mantap keyakinannya, semakin teguh keimanannya dan semakin besar taqwa kita terhadap ALLAH, Tuhan semesta alam sehingga mencapai “ISBATULYAQIN” yaitu yakin yang seyakin-yakinnya setelah adanya pembuktian nyata.
Bagi para penganut Nabi Muhammad saw. tingkat pelajaran dibagi 4 (empat) tingkatan yaitu:
MA’RIFAT
HAKEKAT
TAREKAT
SYAREAT
KETERANGAN:
MARIFAT : Ilmu pengetahuan yang sampai ketingkat keyakinan yang mutlak dalam meng-esakan Allah. Penghayatan Kepercayaan KepadaTuhan Yang Maha Esa, Bagi Yang telah Dapat Menyaksikan Nur Allah ( SEMBAH SUKMA)
HAKEKAT : Pandangan yang terus menerus kepada Allah. Kesadaran Mental Berorientasi pada Dimensi-dimensi Atasan (Budhi Luhur), (SEMBAH JIWA/ RASA).
TAREKAT :Berjalan menurut ketentuan-ketentuan syareat, yakni berbuat sesuai dengan yang diatur oleh syareat. Kesadaran Mental Berorientasi pada Dimensi-dimensi Bawahan (Bawah Sadar), (SEMBAH CIPTA).
SYAREAT : Pengetahuan terhadap jalan-jalan menuju kepada Allah. Kesadaran Ber­perilaku Hidup Sehari-hari yang Berorientasi kepada Norma -norma Budaya/Agama/Hukum dan Aturan-aturan Sosial, Lingkungan yang herlaku, (SEMBAH RAGA/ROGO).
Syari’at tingkat Wajjibulyaqin
Tharikat tingkat Ainulyakin.
Hakikat tingkat flaqquiyaqin.
Ma’rifat tingkat Isbatulyaqin
Banyak orang berpendapat, bahwa untuk BERIMAN kepada Allah kita cukup percaya dan yakin terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Di samping itu bagi umat Islam cukup melaksanakan Rukun Islam dan Rukun Iman dengan sempurna, maka manusia telah merasa puas dan telah merasa cukup BERIMAN terhadap Allah swt., tanpa herusaha untuk menemui dan mengenal Allah.
Benarkah demikian?
Untuk mengkaji kebenaran pendapat tersebut di atas, kami persilahkan para pembaca memahami dan meneliti serta mencari jawabannya dengan mempelajari bunyi ayat-ayat Kitab Suci sebagai berikut:
AL-KAHFI :103 -104 -105
103. Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”
104. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.
105. mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, Maka hapuslah amalan- amalan mereka, dan Kami tidak Mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.
YUNUS : 7 – 8
7. Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) Pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami,
8. mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan.
Dapatkah kita men yaksikan /bertemu Tuhan?
Banyak pendapat, di kalangan umat beragama mengatakan akan bahwa manusia tidak akan bertemu/menyaksikan Tuhan terkecuali Nabi. Kata menyaksikan pasti ada hubungannya dengan pandangan mata. Sebagaimana kita ketahui, bahwa ada dua macam pandangan mata, yaitu mata lahiriah dan mata batiniah. Mata lahiriah dari alam inderawi dan alam kasat mata (“alamul hiss was-syahadah”) dan mata batiniah dari alam lain, yaitu alam malaikat, atau alam malakut
Memang manusia tak akan mampu melihat,-Nya dengan mata lahiriah. Kalaupun seandainya Allah menampakkan dirinya, pasti kita tak akan kuat menatap wujudnya dengan indera mata kita. Dan akal kita tak akan mampu menjangkau pemahaman tetang Allah, kecuali melalui Ma’rifat atau tingkat keyakinan yang tinggi. Dikarenakan Tuhan itu tersembunyi, maka inilah yang menyebabkan tak terjangkaunya Dia oleh pemahaman.
Akan tetapi bagi orang yang kuat dan tajam mata batinnya, penuh ketekunan maka hal itu bagi mereka dalam keadaan bagaimanapun, di manapun berada yang dilihat hanya Allah. Mereka dapat melihal, wujud-Nya dengan mata batinnya yang tajam dan kuat itu. Sedangkan ciptaan-Nya yang ada di alam semesta ini hanyalah kodrat-Nya saja, sesuatu yang ia lihat., disebut orang yang bertauhid dalam arti yang sebenarnya; bahkan dirinya tidak dipandang sebagai makhluk yang berdiri sendiri melainkan dirinya adalah merupakan suatu kesatuan dengan Semesta Alam .
Untuk memperkuat pemahaman tersebut di atas dalam rangka mencari kebenaran maka sebaiknya per¬hatikanlah bunyi ayat-ayat sebagai berikut:
AL-AHZAB :21
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.
AL-ANKABUT :5
Barangsiapa yang mengharap Pertemuan dengan Allah, Maka Sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. dan Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
AL-BAQARAH : 55
55. dan ketika kamu berkata: “Hai Musa, Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan nyata. Lalu kamu disambar halilintar dan kini kamu telah melihat-Nya”.
A-RAFF: 143
… “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. ..
QAFF: 22
Sesungguhnya kamu berada dalam Keadaan lalai dari (hal) ini, Maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, Maka penglihatanmu pada hari itu Amat tajam.
Apabila kita menyimak ayat-ayat diatas dengan akal yang sehat, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kita dapat bertemu dan menyaksikan Tuhan, apabila Tuhan mengizinkan dan menghendaki-Nya. Demikian pula perhatikanlah bunyi KALIMAT SYAHADAT sebagai berikut :
“ Kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah “
Dari kalimat tersebut dapat deitegaskan bahwa kita dapat menyaksikan Tuhan, bila dikehendaki-Nya dan atas seizin-Nya. Dan Shalat kita benar-benar seperti apa yang diucapkan oleh mulut kita.

Sholat Daim


Orang yang telah mengenal Tuhannya akan mampu sholat terus menerus dalam keadaan berdiri, duduk, bahkan tidur nyenyak. Intinya adalah segala perbuatannya adalah sholat. Inilah yang disebut “sholat daim”. Aladzina hum ‘ala sholaatihim daa’imuun. Yaitu mereka yang terus menerus melakukan sholat (Q.S Al-Ma’aarij : 70:23)
Mereka yang mampu sholat daim adalah mereka yang tidak akan berkeluh kesah dalam hidupnya dan senantiasa mendapat kebaikan sebagaimana disampaikan Q.S 70 : 19-22. Nah, sholat daim ini modelnya seperti apa? Ah.. tentu saja tidak bisa dibeberkan disini karena sholat daim adalah “oleh-oleh” dari hasil pencarian spiritual manusia. Tidak bisa diceritakan ke semua orang kecuali mereka yang telah memiliki kematangan spiritual.
Sholat daim adalah sholatnya orang ‘arif yang telah mengenal Allah. Ini adalah sholatnya para Nabi, Rasul, dan orang-orang ‘arif. Ilmu ini memang tidak banyak diketahui orang awam. Lantas bagaimana dengan sholat lima waktu? Nah sholat lima waktu sebenarnya adalah jumlah minimal saja yang harus dikerjakan manusia untuk mengingat Allah. Pada hakekatnya kita malah harus terus menerus untuk mengingat Allah sebagaimana firman-Nya :
Dan ingatlah kepada Allah diwaktu petang dan pagi (Q.S Ar-Ruum (30) : 17)
Dan sebutlah nama Tuhanmu pada pagi dan petang. (Q.S Al-Insaan (76) : 25)
Ayat diatas bukan berarti mengingat Allah hanya dua kali saja yaitu waktu pagi dan petang sebab makna ayat diatas justru sehari-semalam! Yakni pagi dimulai dari jam 12 AM-12 PM, sampai dengan petang jam 12 PM-12 AM, begitu seterusnya. Nah, karena tidak semua orang sanggup untuk mengingat Allah dalam sehari-semalam maka sholat lima waktu itu adalah merupakan event khusus untuk mengingat-Nya. Jika orang awam tidak ada perintah sholat lima waktu maka tentu saja Allah akan mudah terlupakan. Kalau Allah
terlupakan maka bumi ini bisa rusak oleh berbagai kejahatan yang dilakukan manusia. Orang awam perlu dilatih disiplin melalui sholat lima waktu ini untuk mengingat Allah. Dengan mengingat Allah, kontrol diri akan lebih kuat.
Namun demikian, janganlah merasa cukup puas hanya dengan sholat lima waktu. Tingkatkanlah agar kita mampu melakukan sholat daim. Mari kita simak kembali ungkapan Sunan Bonang yang tertulis dalam Suluk Wujil :
Utaming sarira puniki
Angawruhana jatining salat
Sembah lawan pujine
Jatining salat iku
Dudu ngisa tuwin magerib
Sembahyang araneka
Wenange puniku
Lamun aranana salat
Pan minangka kekembaning salat daim
Ingaran tata krama
Artinya : “Unggulnya diri itu mengetahui hakekat sholat, sembah dan pujian. Sholat yang sebenarnya bukan mengerjakan isya atau magrib. Itu namanya sembahyang, apabila disebut sholat maka itu hanya hiasan dari sholat daim. Hanyalah tata krama”
Dari ajaran Sunan Bonang diatas, maka kita bisa memahami bahwa sholat lima waktu adalah sholat hiasan dari sholat daim. Sholat lima waktu ganjarannya adalah masuk surga dan terhindar neraka. Tentu yang mendapat surga pun adalah mereka yang mampu menegakan sholat yaitu dengan sholat tersebut, ia mampu mencegah dirinya dari berbuat keji dan mungkar.
Sayangnya, saat ini banyak orang yang hanya meributkan sholat fisiknya saja dan melupakan hakekat sholat itu sendiri. Seringkali jika terdapat perbedaan pada gerakan ataupun bacaan sholat, mereka saling ribut mengatakan sholatnya paling benar dengan menyebut sejumlah Hadist yang diyakininya benar

MANUSIA TERPILIH


Di antara sekian banyaknya manusia (dari manusia awal sampai akhir) disortir lagi oleh Alloh. Dan yang dipilih oleh Alloh adalah manusia yang beriman.
Sebagaimana diterangkan dalam Hadits Nabi.
Artinya : Bersabda Rosululloh SAW. : “Tiada sesuatu yang paling mulia atas Alloh Ta’ala dari pada orang mukmin”.
Sebagaimana diterangkan di dalam Al-Qur’an :
Artinya : “Para Nabi-Nabi itu lebih utama / mulia daripada orang mukmin dari diri manusia”.
Jadi Nabi-Nabi itu adalah pilihan dari orang mukmin dan orang mukmin adalah pilihan dari seluruh manusia, dan manusia adalah pilihan dari berbagai macam makhluk yang diciptakan Alloh Ta’ala.
Dan Nabi-Nabi yang merupakan pilihan dari orang-orang mukmin itu menurut Hadits jumlahnya ada 124.000 Nabi, sebagaimana pernah diterangkan oleh Shohabat Amamah Al Bahili.
Artinya : “Ada orang yang bertanya kepada Nabi. Ya Rosululloh, berapakah jumlah Nabi? Jawab Rosul : “Ada 124.000 Nabi”.
Hadits ini banyak sekali diriwayatkan oleh Ahli Hadits, Di antaranya :
1. Imam Abi Hatim
2. Imam Ibnu Hibban
3. Imam Thobroni
4. Imam Hakim
5. Imam Baihaqi
Dinukil dari Kitab Tafsir Durul Mantsur – Jilid I halaman : 51.
Tujuh Nabi yang menerima Kitab Suci itu ialah :
1. Nabiyulloh Syits bin Adam As, dituruni 50 Kitab.
2. Nabiyulloh Idris As, dituruni 30 Kitab.
3. Nabiyulloh Ibrohim As, dituruni 10 Kitab.
4. Nabiyulloh Musa As, dituruni 10 Suhuf, sebelum Kitab Taurot.
5. Nabiyulloh Dawud As, dituruni 1 Kitab (Zabur).
6. Nabiyulloh ‘Isa As, dituruni 1 Kitab (Injil).
7. Nabiyulloh Muhammad SAW., dituruni 1 Kitab (Al-Qur’an).
Jadi jumlah Kitab yang diturunkan kepada Tujuh Nabi (yang merupakan Pilihan dari 124.000 Nabi) itu ada 104 Kitab. Ini pernah diterangkan oleh Nabi sendiri ketika ditanya oleh Shohabat Abi Dzarrin Al Ghiffari RA.
Bagi Nabi-Nabi yang tidak dituruni kitab dalam menghukumi ummatnya memakai kitab sebelumnya. Sebagaimana diterangkan di dalam Al-Qur’an :
Artinya : “Sesungguhnya Saya menurunkan kitab Taurot, di dalamnya (Kitab Taurot) petunjuk dan cahaya, menghukumi dengannya (Taurot) para Nabi-nabi, Nabi-Nabi yang Islam”.
Sebagai Contoh :
1. Para Nabi antara Nabiyulloh Syits as, sampai Nabi Idris as, seperti : Nabiyulloh Anwas, Nabiyulloh Qinan, Nabiyulloh Mahlail, Nabi-yulloh Harif, ini menggunakan kitab yang diturunkan kepada Nabiyulloh Syits as
2. Para Nabi antara Nabiyulloh Idris as, sampai dengan Nabiyulloh Ibrohim as, seperti : Nabiyulloh Nuh as, Nabiyulloh Hud as, Nabiyulloh Sholeh as, ini menggunakan kitabnya Nabiyulloh Idris as, (30 Shuhuf).
3. Para Nabi antara Nabiyulloh Ibrohim as, sampai dengan Nabiyulloh Musa as, seperti Nabiyulloh Luth as, Nabiyulloh Ismail as, Nabiyulloh Ishaq as, Nabiyulloh Yusuf as, Nabiyulloh Syu’aib as, Nabiyulloh Ayub as, ini semuanya menggunakan kitabnya Nabiyulloh Ibrohim as.
4. Para Nabi antara Nabiyulloh Musa as, sampai dengan Nabiyulloh Dawud as, seperti : Nabiyulloh Yasa’ as, Nabiyulloh Harun as, Nabiyulloh Dzulkifli as, Nabiyulloh Ilyas as, ini menggunakan kitab Taurot.
5. Para Nabi antara Nabiyulloh Dawud as, sampai dengan Nabiyulloh ‘Isa as, seperti : Nabiyulloh Yunus as, Nabiyulloh Zakaria as, Nabiyulloh Yahya as, ini berpedoman kepada kitab Zabur.
6. Para Nabi antara Nabiyulloh ‘Isa as, sampai dengan Nabi Muhammad saw, seperti : Nabiyulloh Yuhana, Nabiyulloh Sam’un, Nabiyulloh Bulisun, ini menggunakan kitab yang turun kepada Nabiyulloh ‘Isa as, yaitu kitab Injil.
7. Setelah Injil turun selang beberapa ratus tahun, turunlah kitab Al-Qur’an, dan Al-Qur’an itu adalah kitab penutup. Setelah Al-Qur’an turun sampai hari Qiyamat semuanya berpedoman kepada kitab suci Al-Qur’an.
Jadi undang-undang yang turun sebelumnya itu akan dihapus setelah turun undang-undang yang baru, begitu seterusnya sampai turun undang-undang yang terakhir (Undang-Undang Abadi) yaitu Al-Qur’an.

ARTI DAN DIFINISI RUH


Ruh ada pada diri manusia, tanpa ruh berarti mati, tubuh tak bergerak dan seluruh bagian tubuh tak berarti.Ada kehidupan maka ada ruh dalam tubuh kita.Salah satu bagian yang dekat dengan diri kita adalah RUH,sehingga kita perlu mengetahui tentang bagian dari diri kita ini.Oleh karenya mengetahui tentang ruh perlu untuk bekal perjalanan menuju Allah.
Lalu apa ruh itu, kalau ada dari mana dia ,ada dimana, dan kemana setelah tubuh ini mati, ruh keluar dari tubuh, bagaimana keadaan ruh setelah diluar tubuh atau bagaimana keadaan sebelum di tiupkan dalam tubuh,dan apa peran ruh dalam diri kita sehingga berperan dalam perjalanan menuju ALLAH SWT .
Ketika memperhatikan seorang saleh yang berjalan menuju Allah,kami mendapat pengalaman banyak tentang ruh dan inilah salah satu faktor yang mendorong saya untuk mengetahui apa sebenarnya ruh
Bertanya tentang ruh sering kali di jawab dengan dalil firman Allah : dalam surat al isyra’ ’85 :
ﻭَﺳْﺄَﻟُﻮﻧَﻚَ ﻋَﻦِ ﺍﻟﺮُّﻭﺡِ ﻗُﻞِ ﺍﻟﺮُّﻭﺡُ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺮِ ﺭَﺑِّﻲ ﻭَﻣَﺎ ﺃُﻭﺗِﻴﺘُﻢ ﻣِّﻦ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﺇِﻻَّ ﻗَﻠِﻴﻼً –
“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, “Ruh”itu termasuk urusan Tuhan-ku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.”
Ini sering dijadikan landasan bahwa ruh adalah urusan Tuhan manusia tak usah tahu,lalu apakah dosa bila orang seperti saya ingin tahu benar tentang ruh sebagai jawaban pertanyaan pengalaman dalam perjalanan menuju Allah.lama saya tidak punya jawaban .Alhamdulillah Allah memberi jalan beberapa karya besar ulama ternyata ada yang membahas mengenai ruh.
Syeikh Ali akhmad Abdul ‘Al Ath- thahthawi dalam karyanya :RU’YAL AHYA LIL AMWAT” telah diterjemahkan oleh Ustaz Masrokhan Ahmad.(terima kasih kepada uztad dan penerbit citra risalah ;buku ini banyak memberikan keterangan pertanyaan saya)dan saya merasa nyaman membaca buku ini.karya ulama lainya yang memberi keterangan tentang ruh adalah ;Tarbiyah Ruhiyah ,Syeikh Sa’id Hawa, “ Sirr al asrar fiima Yahtaj Ilahyah al abror .karya syeikh abdul qadir al jilany, “Wahabiyah fi al mizan ;syeikh Ja’far subhani, dan tentu saja IHYA ‘Ulumuddin Syeikh Imam al Gazali.
Tulisan selanjutnya tentang RUH merujuk dan mengutip karya tersebut diatas dan bermaksud memotivasi saudara dan sahabat saya untuk mengatahui lebih jauh tentang ruh dan alam gaib.siapa tahu dalam perjalan menempuh jalan Allah mendapatkan pengalaman tersendiri menganai ruh dan alam gaib,sehingga menyaksikan sendiri apa yang dibicarakan karya ulama tersebut.
Syeikh akhmad ‘abdul’ath thahtawi berpendapat. Sesungguhnya tidak ada larangan dalam agama untuk berusaha mengungkap hakekat ruh.namun ia tetap merupakan rahasia yang tidak dibukan Allah,keseluruhan.Selanjutnya beliau menjelaskan ;Ruh adalah suatu kekuatan yang menumbuhkan kehidupan di alam ini,baik pada tumbuhan, binatang maupun
manusia.Namun ia lebih dominan pada sesuatu yang bergerak dan memiliki kepekaan, mempunyai akal dan dapat berpikir, yakni binatang dan manusia.
Imam al Alusi menyebutkan ada seribu pendpat di kalangan para peneliti mengenai ruh.Menurut beliau ada dua pendapat yang paling kuat dan yang terkuat adalah ; RUH merupakan jisim ruhani yang tinggi dan hidup, berlawanan dengan jisim yang dapat
diraba.RUH itu berjalan pada jisim tidak dapat diurai dan tidak dapat dibagi.Ia meniupkan kehidupan pada jisim selama jisim itu layak menerimanya.Ibnul Qayyim sangat setuju dengan pendapat ini,Beliau mengatakan inilah pendapat yang benar sedangkan pendapat yang lain tidak benar.Pendapat ini sesuai dengan Al kitab, sunnah dan ijma’ para sahabat.bahkan juga sesuai dengan dalil aqli.Meski demikian pendapat ini belum bisa mengungkap secara jelas tentang hakekat ruh.
Syeikh Said hawa Rahimaullah mendifinsikan RUH mempunyai dua arti,pertama nyawa yaitu alat jasmani yang halus bersumber dari rongga hati inderawi (jantung).Ia menyebar dengan bantuan urat yang berdenyut ke seluruh tubuh ,mengalir dalam badan dan mencurahkan cahanya kehidupan,perasaan, penglihatan,pendengaran dan indera penciuman.Kehidupan manusia diibaratkan cahaya yang bersumber dari sebuah
lampu.Ruh diibaratkan lampu .Curhan cahaya kehidupan seperi curahan sinar lampu yang menyinari setiap sudut rumah.
Makna kedua ,Ruh adalah kehalusan rohani yang ada pada diri manuasia yang berfungsi mengetahui dan memahami.inilah yang dimaksuh pengetian Ruh menurut para dokter dan sering disebut NYAWA.

Tentang Ruh


Para ulama memiliki pandangan berbeda tentang bolehnya mengkaji tema seputar ruh. Ada yang berpendapat, mengkaji ruh itu haram, karena hanya Allah yang tahu. Ada pula yang berpedapat, kajian tentang ruh itu makruh mendekati haram, karena dalam Al-Quran tidak ada nash yang menjelaskan masalah ruh secara gamblang.
Setiap pendapat tersebut memiliki dasar pemahaman yang berbeda terhadap firman Allah, “Mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah, ‘ Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan kalian hanya diberi sedikit pengetahuan’.” – QS Al-Isra ’ (17): 85.
Mereka yang menolak kajian tentang ruh di antaranya berpandangan, pernyataan Allah pada ayat tersebut menjelaskan bahwa ruh termasuk alam metafisika, yang tidak dapat diketahui secara pasti. Ia bukan sesuatu yang bersifat inderawi, yang dapat diketahui lebih jauh. Selain itu, ilmu manusia terbatas hanya pada pengetahuan tentang penciptaan. Inilah yang dimaksud dengan kalimat dalam ayat tersebut, “Dan kalian hanya diberi sedikit pengetahuan.”
Sementara itu mereka yang memperbolehkan mengkaji tentang ruh di antaranya berpandangan, tidak ada kesepakatan para ulama yang menyatakan bahwa ruh yang ditanyakan dalam ayat itu adalah ruh (nyawa) manusia. Ada pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud ruh dalam ayat tersebut adalah Al-Quran, Jibril, Isa, atau ciptaan Allah yang ghaib, yang hanya diketahui oleh Allah SWT.
Bagaimanapun, yang lebih baik adalah tidak membahas masalah ruh terlalu dalam. Syaikh Abu An-Nashr As-Sarraj Ath-Thuusi mengatakan, “Terdapat orang-orang yang salah memahami ruh, (kesalahan) mereka ini bertingkat-tingkat, semuanya bingung dan salah paham. Sebab mereka memikirkan keadaan sesuatu (yakni ruh) yang mana Allah sendiri telah mengangkat darinya pada segala keadaan dan telah membersihkannya dari sentuhan ilmu pengetahuan, (sehingga) ia tak akan dapat disifati oleh seorang pun kecuali dengan sifat yang telah dijelaskan Allah.”
Hakikat Ruh
Habib Syaikh bin Ahmad Al-Musawa, dalam karyanya berjudul Apa itu Ruh?, menyatakan, definisi ruh adalah, “ciptaan/makhluk yang termasuk salah satu dari urusan Allah Yang, Mahatinggi. Tiada hubungan antara ia dengan Allah kecuali ia hanyalah salah satu dari milik-Nya dan berada dalam ketaatan-Nya dan dalam genggaman (kekuasaan)-Nya. Tidaklah ia menitis (bereinkarnasi) ataupun keluar dari satu badan kemudian masuk ke badan yang lain. Ia juga akan merasakan kematian sebagaimana badan merasakannya. Ia menikmati kenikmatan sebagaimana juga badan, atau akan merasakan siksa sebagaimana juga badan. Dia akan dibangkitkan pada badan yang ia keluar darinya. Dan Allah menciptakan ruh Nabi Adam AS dari alam malakut sedangkan badannya dari tanah.”
Sementara itu, sebagian besar filosof muslim, seperti Al-Farabi , Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan sekelompok kaum sufi, berpendapat, jiwa terpisah dari materi. Ia bukan jasad atau benda. Ia tidak memiliki dimensi panjang dan dalam. Jiwa sangat berhubungan dengan sistem yang bekerja dalam jasad. Dengan kata lain, jiwa menggerakkan jasad dari luar karena ia tidak menyatu dengan jasad. Jiwa adalah inti ruh murni yang dapat mempengaruhi jasad dari luar seperti magnet.
Al-Ghazali, dalam Ihya’-nya, menyebutkan, kata-kata ruh, jiwa, akal, dan hati, sejatinya merujuk pada sesuatu yang sama, namun berbeda dalam ungkapan. Sesuatu ini, jika ditinjau dari segi kehidupan jasad, disebut ruh. Jika ditinjau dari segi syahwat, ia disebut jiwa. Jika ditinjau dari segi alat berpikir, ia disebut akal. Dan jika ditinjau dari segi ma’rifat (pengetahuan), ia disebut hati (qalb).
Dalam bahasa sehari-hari, ruh dan jiwa juga acap digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang sama, seperti pada ucapan “ruhnya telah melayang”, atau “jiwanya telah melayang”. Dua kalimat tersebut bermakna sama, orang itu telah mati.
Para ulama lainnya berpendapat, ruh adalah benda ruhaniah (cahaya) langit yang intinya sangat lembut, seperti sinar matahari. Ia tidak dapat berubah, tidak dapat terpisah-pisah, dan tidak dapat dikoyak. Jika proses penciptaan satu jasad telah sempurna dan telah siap, seperti dalam firman Allah “Maka, apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya – QS Al-Hijr (15): 29, benda-benda mulia (ruh) Ilahi dari langit akan beraksi di dalam tubuh, seperti api yang membakar. Inilah yang dimaksudkan dalam firman Allah “Aku meniupkan ruh (ciptaan)-Ku ke dalamnya.” – QS Al-Hijr (15): 29.
Selama jasad dalam kondisi sehat, sempurna, dan siap menerima benda mulia tersebut, ia akan tetap hidup. Jika di dalam jasad ada unsur-unsur yang memberatkan, misalnya penyakit, unsur-unsur itu akan menghambat benda mulia ini sehingga ia akan terpisah dari jasad. Saat itu, jasad menjadi mati.
Beragam definisi ruh disebutkan para ulama. Intinya, manusia terdiri dari jasad dan ruh. Perbedaan pendapat para ulama seputar hakikat ruh bukan bagian dari inti aqidah Islam. Masalah ini berada dalam ranah ijtihad para ulama.
Abadi, atau Fana?
Allah menetapkan kematian atas segala yang memiliki ruh dari makhluk-Nya, penguasa maupun rakyat jelata, yang kaya atau yang miskin, yang mulia atau yang lemah, yang maksiat atau yang taat, dari seluruh penduduk alam semesta ini, dan kemudian mengadili mereka di akhirat.
Dia menggenggam ruh sebagian manusia yang telah memakmurkan dunia dan menghiasinya dengan bangunan-bangunan, kemudian manusia itu menempatinya, meski itu bukan tempat yang kekal bagi semua yang hidup.
Dia juga menggenggam ruh manusia sebagian lainnya yang bersungguh-sungguh untuk memperbaiki akhiratnya dan menjadikan dunia hanya sebagai batu loncatan untuk memperbanyak amal shalih mereka sebagai perahu dalam mengarunginya.
Ruh yang ini mendapat kebahagiaan dan kesenangan, sementara ruh yang lain mendapatkan kekecewaan, kecelakaan, dan kepayahan. Ruh yang ini bersenang-senang di kebun surga dan bernaung di lentera-lentera yang bergantung di ‘Arsy dalam kenikmatan yang menyenangkan, sedang ruh yang lain terpenjara dan tersiksa di neraka jahim. Alangkah jauh perbedaan antara kedua ruh jasad dua jenis manusia tersebut. Setelah seseorang mati, ruh tetap ada hingga terjadi peniupan sangkakala yang pertama. Ulama sepakat akan hal itu. Selama masa itu, ruh merasakan nikmat atau adzab di alam kubur.
Adapun setelah ditiupnya sangkakala, terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Sebagian ulama berpendapat, ruh bersifat fana (akan sirna) dan akan mati saat peniupan sangkakala yang pertama. Dasarnya adalah firman Allah, “Setiap yang berjiwa akan merasakan kematian.” – QS Ali Imran (3): 185. Dalam ayat lainnya disebut, “Semua yang ada akan binasa.” – QS Ar-Rahman (55): 26.
Menurut pendapat terkuat, setelah peniupan sangkakala yang pertama, ruh akan tetap abadi. Hukum asal sesuatu yang abadi adalah selalu ada sampai ada sesuatu yang mengubahnya. Perdapat tentang keabadian ruh ini disimpulkan dari ayat “Dan ditiuplah sangkakala. Maka, matilah makhluk yang di langit dan di bumi kecuali makhluk yang dikehendaki Allah. Kemudian sangkakala ditiup sekali lagi. Tiba-tiba mereka berdiri menunggu (keputusannya masing-masing).” – QS Az-Zumar (39): 68. Menurut penjelasan ayat ini, ruh termasuk sesuatu yang dikecualikan.
Ruh Mengetahui saat Diziarahi
Apakah ketika orang hidup menziarahi orang mati, ruh orang mati tersebut dapat mengetahui bahwa ia tengah diziarahi? Habib Syekh menuliskan dalam bukunya, jawabannya adalah “Ya.” Bila ditanyakan apakah jasad mereka atau arwah mereka (yang bertemu), ia menjawab, “Sungguh jauh sekali. Jasad sudah hancur, yang bertemu hanyalah arwah mereka.”
Ibnu Abdil Barr berkata, “Telah tetap riwayat dari Nabi SAW, beliau bersabda, ‘Tidaklah seorang muslim melewati kubur saudaranya yang mana dahulu ia mengenalnya di dunia, kecuali Allah akan mengembalikan ruh saudaranya itu lalu ia menjawab salamnya.” Hadits ini menunjukkan, ruh si mati mengenalinya dan menjawab salamnya.
Pada hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, disebutkan, ketika Rasulullah SAW memerintahkan agar korban yang tewas pada Perang Badar (dari kaum musyrikin) dikuburkan dalam satu lubang, kemudian beliau mendatangi lubang tempat kubur tersebut lalu berdiri dan menyeru mereka yang telah mati itu dengan namanya masing-masing, “Wahai Fulan bin Fulan, wahai Fulan bin Fulan, apakah kalian telah mendapati apa yang telah dijanjikan Tuhan kalian adalah benar? Karena sesungguhnya aku mendapati apa yang dijanjikan Tuhanku kepadaku adalah benar”, berkatalah Umar RA kepada beliau, “Ya Rasulullah, mengapakah Tuan menyeru/berbicara kepada orang-orang yang telah menjadi bangkai.”Beliau menjawab, “Demi Allah, yang telah mengutusku dengan kebenaran, tidaklah kalian lebih mendengar apa yang kau katakan daripada mereka. Hanya saja mereka tak dapat menjawab.”
Saat memperhatikan kebiasaan sebagian besar masyarakat di Nusantara yang melakukan aktivitas ruwahan atau berkirim pahala amal kepada orang-orang yang telah wafat atau khususnya kepada arwah yang mereka ziarahi, apakah arwah orang yang telah mati itu dapat mengambil manfaat dari amal orang hidup, ataukah tidak? Berikut ini salah satu hujjah di antara luasnya bahtera hujjah yang menunjukkan sampainya amalan orang hidup kepada orang yang telah mati.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab shahih mereka, dari Abdullah bin Abbas RA, ia berkata, “Telah datang seorang kepada Nabi SAW lalu orang itu bertanya, ‘Ya Rasulullah, ibuku meninggal dunia dan ia meninggalkan utang puasa sebulan, apakah aku dapat mengqadha puasanya?’ Rasulullah SAW balik bertanya, ‘Bagaimana pendapatmu jika ibumu berutang lalu engkau melunasi utangnya, apakah itu mencukupi/menggugurkan kewajibannya?’
Orang itu menjawab, ‘Ya.’
Rasulullah SAW bersabda, ‘Jika demikian, utang kepada Allah lebih wajib untuk dilunasi’.”

Tajalli Allah


Tajali
Mengenai tajali Allah, bisa saja kepada siapa saja. terutama pada rasul-rasul, nabi-nabi, dan wali-wali-Nya. atau kepada siapapun yang dikehendakiNya. Apabila Allah bertajalli pada hambanya yang Ia kasihi, maka tangan, kaki, mata, telinga, hati, dan seluruhnya yang ada diri si hamba adalah tangan dan kaki Allah swt. Banyak hadis yang menerangkan perkara ini.
Penyaksian terhadap tajalli-nya Tuhan di dunia, menurut pendapat kalangan sufi, bisa saja terjadi. Tetapi bukan dengan mata kepala, melainkan mata hati yang memperolehi Nur Mukasyafah. Dalam hal ini, yang perlu dicatat adalah penglihatan yang dimaksudkan, bukan melihat Kunhi Dzat-Nya (keadaan rupa, bentuk atau warna dari Dzat Tuhan), yang diistilahkan “ bi ghairi kaifin wa hashrin wa dlarbin min mitsalin”. Tetapi pandangan syuhud (mata hati).
Dalam pandangan sufisme Jawa, yang diserap dari ajaran para Wali, sangat kental keyakinan bahwa Tuhan bertajalli kepada hamba-Nya yang dikehendakiNya. Karena itu, disusunlah sebuah doa yang amat ampuh. Doa itu dibaca saat menjalankan tafakur. Pada zaman Panembahan Senopati Mataram, doa ini diajarkan untuk menjalankan lelaku. Dalam babad tercatat doa tajalli itu sebagai berikut:
Dalam berdo’a kepada Allah, kita boleh memakai bahasa apa saja yang dapat kita mengerti dan pahami karena Allah Maha Tahu bahasa makhluknya apa yang di langit dan di bumi, kecuali dalam shalat kita wajib memakai bahasa Arab. Hal ini tidak terlepas dari hadits Nabi SAW : “Shalatlah seperti engkau melihat shalatku”.
Jalan Tajalli
Untuk mencapai Tajalli, diperlukan ketekunan. Bukan hanya itu, jalan yang harus dilaluinya beberapa lembah dan jurang, perjuangan demi perjuangan, kesungguhan, lapar dan dahaga, yang diistilahkan jurang fana, fana-ul fana, fana fillah wa baqa billah. Teori lain mengistilahkan Takhali, Tahalli, berjalan terus sampai pada Tajalli.
Takhalli adalah pengosongan dari sifat-sifat tercela, kemudian menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji yang disebut Tahalli. Pengosongan pikiran dan hati dari segala macam persoalan duniawi dan menghiasinya hanya semata-mata ‘dzikrullah’ (melihat yang diingat). Pengosongan dalam arti ‘fana segala yang fana’ hati dan pikiran itu pun fana, lalu terasa kemanisan, keindahan yang tiada tara. Istilahnya ‘rasa yang tiada berasa’.
Segalanya menjadi jelas, nyata dan terbentang. Itulah ‘mukasyafah’ (pembukaan). Di situlah tajalli Ke-Esa-an, laksana Musa AS yang sedang pingsan, dan Gunung Thursina pun hancur berantakan. Saking nikmat dam indahnya, Musa AS. Tidak mampu untuk berbicara, mana Musa? Mana gunung? Mana Tuhan? Akhirnya seperti apa yang dikatakanoleh Syech Junaid “ Hakikat Tauhid (sebanar-benarnya tauhid) tiada lagi tanya, kenapa dan bagaimana.”
Dialog
Kalau Allah sudah bertajalli, maka tidak sekedar tajalli. Tetapi terjadi proses dialog antara hamba dengan Dzat Tuhan. Pembicaraan Allah dengan makhluknya disebut wahyu, untuk para Nabi dan Rasul, dan Ilham bagi manusia biasa. Ilham tidak bisa dijadikan dasar hukum, karena sifatnya sangat pribadi (perlu dirujuk kepada Al Quran dan Hadis).
Wahyu Allah kepada Nabi dan Rasul ada dua macam, yaitu melalui perantaraan malaikat Jibril, yang disebut Al-Quran untuk Nabi Muhammad SAW, dan wahyu langsung ke hati Rasul, yang disebut hadis Qudsi (firman dari Allah dan redaksinya dari Rasulullah).
Sedangkan bisikan Tuhan pada hati manusia biasanya (wali), baik sebagai petunjuk atau perintah, disebut Ilham. Sifatnya pribadi, tidak untuk disiarkan pada umum. Karenanya tidak boleh diceritakan secara sembarangan, terkecuali kepada ahlinya (orang yang memahami), orang yang menggeluti dunia sufi dan memahaminya. Jika diucapkan secara sembarangan, bisa menimbulkan fitnah dan sangat membahayakan.
Allah bisa saja berbicara kepada makhluk-mahlukNya, karena bersifat Mutakalim (Yang Maha Berbicara). Jangankan kepada Nabi dan Rasul, lebah-lebah pun mendapat perintahNya. Membuat sarang dan memproduksi madu di bukit dan di hutan. Ibu Nabi Musa (Maryam) yang manusia biasa, juga diberi wahyu, yang isinya petunjuk untuk menghanyutkan bayi Musa ke sungai Nil.
Banyak kisah auliya’ (wali-wali Allah) yang berdialog dengan Allah. Salah satunya yang terkenal adalah Abu Yazid Al-Bistami. Dalam kitab Ihya’, Imam Ghazali menceritakan karomah kekasih Allah ini, yang bersumber dari Yahya bin Muadz.
Yahya berkata kepada Abu Yazid, “Wahai tuanku, tolong tuan ceritakan pada saya tentang apa saja.” Lalu beliau menjawab: “ Aku ingin ceritakan padamu apa yang kira-kira baik buatmu. Aku telah Allah masukkan ke lapisan yang terbawah, lalu ia kelilingkan aku ke alam Malakut yang terbawah itu, dan Ia perlihatkan kepadaku lapisan bumi dan apa saja pada bagian bawah. Kemudian Allah angkat dan masukkan aku ke orbit yang tinggi dan Ia kelilingkan aku di ketinggian (langit) dan Ia perlihatkan padaku surga-surga dan ‘Arasy. Kemudian diletakkan aku dihadapan-Nya, seraya berkata: “Mintalah kepada-Ku apa saja, Aku akan berikan untukmu.” Aku pun berdatang sembah; “Ya Tuhanku, apapun yang aku lihat sudah cukup sudah cukup baik untukku. Lalu Ia berkata: “Hai Abu Yazid, engkaulah hamba-Ku yang benar, engkau sembah Aku hanya semata-mata karena-Ku.
Tercatat cukup banyak dialog muhadasta (antara seorang hamba yang bukan Nabi atau Rasul) dengan Allah SWT. Sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Buchari dikatakan: “Dari ‘Ady ibni Hatim, beliau berkata, bahwa Nabi telah bersabda: “Seseorang kamu akan bercakap-cakap dengan Allah tanpa ada penterjemah dan dinding yang mendidinginya.”

Mengapa Tuhan tidak menggunakan mukjizat untuk mencegah terbunuhnya Imam Husain As?

Mengapa Tuhan tidak menggunakan mukjizat untuk mencegah terbunuhnya Imam Husain As?
Tidak diragukan bahwa alam semesta merupakan ciptaan dan makhluk Tuhan. Pengaturan semesta berada di bawah kehendak dan pelbagai sunnah Ilahi. Tuhan adalah Penyebab segala sebab yang ada. Artinya Dia berdasarkan satu hikmah yang akurat menjadikan sebagian hal sebagai sebab bagi yang lain. Dia juga kuasa dalam pelbagai situasi untuk menafikan hubungan sebab-akibat ini. Sebagaimana Tuhan menjadikan api sebagai penyebab panas dan untuk membakar akan tetapi tatkala para penyembah berhala ingin melempar Nabi Ibrahim ke dalam kobaran api Tuhan mengeliminir tipologi membakar api ini sehingga Nabi Ibrahim selamat tidak terbakar.
Dan sebagaimana golok tajam Nabi Ibrahim tidak memotong (Tuhan mencegah supaya tidak memotong) dan menyelamatkan Nabi Ismail menjadi korban dari pengabdian ayahnya. Iya, kita meyakini bahwa Allah Swt juga memiliki kekuasaan untuk membuat seluruh pedang dan belati para antek-antek
Yazid tidak berfungsi dan menggunakan mukjizat untuk menjaga keselamatan jiwa
Imam Husain As dan para sahabatnya. Akan tetapi mukjizat seperti ini tidak terjadi. Lantaran tidak seluruh pekerjaan harus dikerjakan melalui jalan mukjizat dan tindakan adikodrati. Sunnah Ilahi menuntut bahwa seluruh perbuatan berdasarkan sunnah-sunah dan kaidah-kaidah dan aturan-aturan natural. Di samping itu, terdapat selaksa tujuan dan falsafah penting tragedi Asyura dan kesyahidan Imam Husain As yang hanya dapat diraih melalui proses wajar dan natural revolusi Asyura. Sebagian dari tujuan-tujuan tersebut adalah:
1. Dengan memperhatikan situasi politik yang berkembang pada masa itu dari pihak Muawiyah dan Yazid yang melakukan segala sesuatu atas nama agama yang sejatinya bertentangan dengan agama dan demikian juga untuk mengidentifikasi hak dan batil, kebenaran dan kepalsuan merupakan suatu hal yang sangat pelik, dan satu-satunya jalan yang dapat menyelamatkan dan menyebarkan agama Allah Swt untuk sekian kalinya adalah kesyahidan Imam Husain As dan anak-anaknya beserta para sahabatnya.[1]
2. Apa yang dinukil dari riwayat dalam hal ini dan telah disinggung sebelumnya bahwa kesyahidan telah ditakdirkan bagi Imam Husain As sehingga melalui kesyahidannya tujuan utama Imam Husain yaitu mereformasi (islah) umat
Rasulullah Saw[2] dapat tercapai.
3. Imam Husain As memandang kesyahidan merupakan seindah-indah dan semulia-mulia kematian. Hal ini telah dijelaskan pada khutbah dalam perjalanannya dari Mekah menuju Irak. “Hiasan kematian bagi anak-anak Adam laksana hiasan liontin yang bergantung pada seorang mempelai wanita.”[3] Artinya kematian tidak mencekik dan tidak ditimpakan melainkan berupa liontin dan hiasan; mengapa manusia tidak menggunakan liontin ini di lehernya di jalan Allah? Dan kematian di jalan agama bagi Imam Husain merupakan kelezatan dan kenikmatan.[4] Kesyahidan bukanlah kekurangan melainkan kesempurnaan.[5] Dengan mencegah kesyahdian Imam Husain As maka sesungguhnya mencegah tercapainya kesempurnaan ini.
4. Memenuhi perjumpaan Ilahi dan persuaan dengan para nabi bagi Imam Husain As. Perjumpaan Ilahi dan para nabi ini merupakan lebih utama bagi Imam Husain As daripada harus tinggal di dunia. Imam Husain As memandang dirinya merenjana rindu untuk bersua dengan orang-orang saleh; sebagaimana hal ini terungkap dari kelanjutan khutbahnya di Mekah dimana Imam Husain As bersabda: “Kecondongan dan kerinduanku untuk berziarah kepada orang-orang saleh laksana kerinduan Ya’qub kepada Yusuf.”[6]
5. Imam Husain As tidak ingin menggunakan mukjizat dan keramat , karena menggunakan mukjizat dan keramat berseberangan dengan apa yang ditugaskan kepadanya untuk menunaikanya secara lahir. Nilai dan kedudukan Imam Husain As di samping memiliki kedudukan yang menjulang bagi kaum Muslimin juga mendapat tempat istimewa bagi para pencari kebebasan dan keadilan di dunia, atas dasar itu, beliau mengerjakannya dengan cara-cara natural dan normal. Dengan membawa Ahlulbait As kepada satu perang yang tidak seimbang, tertawan dan terhina menjadi sebab revolusi Imam Husain menjadi abadi dan perenial.[7] Padahal Imam Husain mampu menumbangkan Yazid tanpa harus mengusung revolusi dan menggunakan keramat namun hal itu tidak banyak berarti dalam membongkar penyimpangan dan tujuan keji Bani Umayah.
6. Kisah Asyura dan perang melawan tirani Imam Husain As merupakan teladan dari revolusi di hadapan pelbagai penyimpangan dan inovasi (bid’ah ) yang boleh jadi terjadi di setiap masa pada hukum-hukum dan aturan-aturan agama Tuhan. Seluruh kaum Muslimin dan manusia memiliki tugas untuk mencegah pelbagai inovasi dan bid’ah. Apabila sekiranya Imam Husain As menunaikan tugas berat ini dengang menggunakan kekuasaan mukjizat dan wilayah takwini maka ia tidak lagi dapat menjadi teladan bagi setiap manusia di setiap masa. Atas dasar itu, para nabi dan imam As bertugas untuk melaksanakan pekerjaan keseharian mereka dengan pengetahuan dan kekuasaan natural serta tidak menggunakan kekuatan mukjizat dan adikodrati, kecuali pada hal-hal tertentu dan sesuai dengan izin Allah Swt apabila terdapat kemaslahatan dan petunjuk di dalamnya.[8] Dan juga Allah Swt menghendaki bahwa seluruh nabi dan imam menjadi guru, pengajar dan teladan praktis bagi manusia. Manusia membina diri mereka dengan memetik pelajaran dari kehidupan dan perilaku mereka dan sekiranya Imam Husain As selamat dari syahadah dengan menggunakan mukjizat maka kehidupannya dan Ahlulbait As demikian juga orang-orang yang ditinggalkan tidak dapat menjadi teladan dan model perlawanan, kesabaran, ketabahan dan pengorbanan bagi manusia dalam kehidupannya.

MA’RIFAT,MENEMUI DAN MENGENAL ALLAH


MA’RIFAT berasal dari kata. “ara fa” yang arti­nya: mengenal.
Menurut “Imam Al-Ghozali”, arti pengenalan kepada Allah, Tuhan semesta alam, yaitu yang timbul karena musyahadah (penyaksian).
-Maka orang arif ialah orang yang telah mengenal Dzat, sifat, asma, dan af’al Allah dengan perantaraan musyahadahnya (penyaksian/bukti yang nyata).
-Seorang yang alim ialah orang yang mengenal Tuhannya tanpa melalui musyahadahnya, namun hanya dengan kepercayaan biasa saja.
-Orang yang tingkat Ma’rifatnya tinggi tentu akan melihat bahwa Allah adalah wujud yang paling jelas, paling terang dan teramat nyata.
Oleh karena itu Allah dalam pandangan mereka itu jelas dan nyata, maka menyebabkan adanya proses pengenalan terhadap-Nya menjadi ilmu yang tertinggi clan yang paling utama. Berbeda dengan orang awam, yang belum mencapai tingkat Ma’rifat, bagi mereka Allah itu memang tiada terwujud atau tidak bisa dipandang melalui pandangan lahiriah.
Adapun pengertian menurut seorang ahli Ma’rifat bernama “Hallaj ” mengartikan dalam beberapa pepatah sebagai berikut:
“Tak seorang-pun mengenal-Nya kecuali orang yang telah dibuat-Nya mengenal-Nya”.
“Tak seorang-pun bisa mengenal-Nya kecuali orang yang hati-nuraninya telah diilhami oleh-Nya sendiri”.
“Tak seorang-pun setia kepada-Nya kecuali orang yang telah didekatkan oleh-Nya pada-Nya”.
“Tak seorang-pun mempercayai-Nya kecuali orang yang kepadanya Dia telah memperlihatkan karunia-Nya”.
“Tak seorang pun berbakti pada-Nya kecuali orang yang telah dipilih-Nya”.
Dengan demikian, berma’rifatullah menjadikan kita semakin mantap keyakinannya, semakin teguh keimanannya dan semakin besar taqwa kita terhadap ALLAH, Tuhan semesta alam sehingga mencapai “ISBATULYAQIN” yaitu yakin yang seyakin-yakinnya setelah adanya pembuktian nyata.
Bagi para penganut Nabi Muhammad saw. tingkat pelajaran dibagi 4 (empat) tingkatan yaitu:
MA’RIFAT
HAKEKAT
TAREKAT
SYAREAT
KETERANGAN:
MARIFAT : Ilmu pengetahuan yang sampai ketingkat keyakinan yang mutlak dalam meng-esakan Allah. Penghayatan Kepercayaan KepadaTuhan Yang Maha Esa, Bagi Yang telah Dapat Menyaksikan Nur Allah ( SEMBAH SUKMA)
HAKEKAT : Pandangan yang terus menerus kepada Allah. Kesadaran Mental Berorientasi pada Dimensi-dimensi Atasan (Budhi Luhur), (SEMBAH JIWA/ RASA).
TAREKAT :Berjalan menurut ketentuan-ketentuan syareat, yakni berbuat sesuai dengan yang diatur oleh syareat. Kesadaran Mental Berorientasi pada Dimensi-dimensi Bawahan (Bawah Sadar), (SEMBAH CIPTA).
SYAREAT : Pengetahuan terhadap jalan-jalan menuju kepada Allah. Kesadaran Ber­perilaku Hidup Sehari-hari yang Berorientasi kepada Norma -norma Budaya/Agama/Hukum dan Aturan-aturan Sosial, Lingkungan yang herlaku, (SEMBAH RAGA/ROGO).
Syari’at tingkat Wajjibulyaqin
Tharikat tingkat Ainulyakin.
Hakikat tingkat flaqquiyaqin.
Ma’rifat tingkat Isbatulyaqin
Banyak orang berpendapat, bahwa untuk BERIMAN kepada Allah kita cukup percaya dan yakin terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Di samping itu bagi umat Islam cukup melaksanakan Rukun Islam dan Rukun Iman dengan sempurna, maka manusia telah merasa puas dan telah merasa cukup BERIMAN terhadap Allah swt., tanpa herusaha untuk menemui dan mengenal Allah.
Benarkah demikian?
Untuk mengkaji kebenaran pendapat tersebut di atas, kami persilahkan para pembaca memahami dan meneliti serta mencari jawabannya dengan mempelajari bunyi ayat-ayat Kitab Suci sebagai berikut:
AL-KAHFI :103 -104 -105
103. Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”
104. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.
105. mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, Maka hapuslah amalan- amalan mereka, dan Kami tidak Mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.
YUNUS : 7 – 8
7. Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) Pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami,
8. mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan.
Dapatkah kita men yaksikan /bertemu Tuhan?
Banyak pendapat, di kalangan umat beragama mengatakan akan bahwa manusia tidak akan bertemu/menyaksikan Tuhan terkecuali Nabi. Kata menyaksikan pasti ada hubungannya dengan pandangan mata. Sebagaimana kita ketahui, bahwa ada dua macam pandangan mata, yaitu mata lahiriah dan mata batiniah. Mata lahiriah dari alam inderawi dan alam kasat mata (“alamul hiss was-syahadah”) dan mata batiniah dari alam lain, yaitu alam malaikat, atau alam malakut
Memang manusia tak akan mampu melihat,-Nya dengan mata lahiriah. Kalaupun seandainya Allah menampakkan dirinya, pasti kita tak akan kuat menatap wujudnya dengan indera mata kita. Dan akal kita tak akan mampu menjangkau pemahaman tetang Allah, kecuali melalui Ma’rifat atau tingkat keyakinan yang tinggi. Dikarenakan Tuhan itu tersembunyi, maka inilah yang menyebabkan tak terjangkaunya Dia oleh pemahaman.
Akan tetapi bagi orang yang kuat dan tajam mata batinnya, penuh ketekunan maka hal itu bagi mereka dalam keadaan bagaimanapun, di manapun berada yang dilihat hanya Allah. Mereka dapat melihal, wujud-Nya dengan mata batinnya yang tajam dan kuat itu. Sedangkan ciptaan-Nya yang ada di alam semesta ini hanyalah kodrat-Nya saja, sesuatu yang ia lihat., disebut orang yang bertauhid dalam arti yang sebenarnya; bahkan dirinya tidak dipandang sebagai makhluk yang berdiri sendiri melainkan dirinya adalah merupakan suatu kesatuan dengan Semesta Alam .
Untuk memperkuat pemahaman tersebut di atas dalam rangka mencari kebenaran maka sebaiknya per¬hatikanlah bunyi ayat-ayat sebagai berikut:
AL-AHZAB :21
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.
AL-ANKABUT :5
Barangsiapa yang mengharap Pertemuan dengan Allah, Maka Sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. dan Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
AL-BAQARAH : 55
55. dan ketika kamu berkata: “Hai Musa, Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan nyata. Lalu kamu disambar halilintar dan kini kamu telah melihat-Nya”.
A-RAFF: 143
… “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. ..
QAFF: 22
Sesungguhnya kamu berada dalam Keadaan lalai dari (hal) ini, Maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, Maka penglihatanmu pada hari itu Amat tajam.
Apabila kita menyimak ayat-ayat diatas dengan akal yang sehat, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kita dapat bertemu dan menyaksikan Tuhan, apabila Tuhan mengizinkan dan menghendaki-Nya. Demikian pula perhatikanlah bunyi KALIMAT SYAHADAT sebagai berikut :
“ Kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah “
Dari kalimat tersebut dapat deitegaskan bahwa kita dapat menyaksikan Tuhan, bila dikehendaki-Nya dan atas seizin-Nya. Dan Shalat kita benar-benar seperti apa yang diucapkan oleh mulut kita.