Laman

Kamis, 21 Mei 2015

SETIAP JIWA ADALAH SEJATINYA JIWA YANG BAIK.

SETIAP JIWA ADALAH SEJATINYA JIWA YANG BAIK.
IA MENCINTAI KEDAMAIAN,
berupaya membangun kehidupan yang bergembira,
mengagumi keindahan,
menemukan kebahagiaan dalam membahagiakan yang dicintainya,
dan memiliki dorongan asli untuk menegakkan keadilan bagi kebaikan hidup sesama.

Tapi, KENYATAAN HIDUP YANG TAK MUDAH,
masalah dan kesulitan yang harus dihadapinya,
tuntutan biaya hidup yang lebih besar daripada pendapatan,
perlakuan orang lain yang tidak adil,
pameran ketidak-jujuran oleh mereka yang seharusnya menyejahterakan masyarakat,
kepalsuan para pemimpin,
dan keberingasan masyarakat,
membuat jiwa-jiwa baik di antara kita itu goyah,
gelisah,
dan merasa terpinggirkan.
Dan jika kegalauan jiwa dari banyak orang ini tidak kita damaikan,
mereka akan berlaku seperti api dalam sekam,
yang akan membawa ketidak-damaian yang lebih luas,
yang sesungguhnya hanya akan merugikan diri mereka sendiri.
Maka, demi kasih sayang Tuhan kepada saudara dan sahabat kita,
marilah setiap jiwa dari kita berupaya untuk MELINDUNGI DIRI KITA MASING-MASING DARI PERUSAKAN ATAS RASA HORMAT kita kepada nilai-nilai mulia kemanusiaan kita,
agar kita tumbuh menjadi pribadi yang berwenang mempengaruhkan kebaikan.
Marilah kita menyegarkan kembali tugas dari kehadiran kita dalam kehidupan ini,
yaitu untuk menjadi PEMAJU KEBAIKAN DAN PENCEGAH TERJADINYA KEBURUKAN kepada sesama dan alam.
Karena itulah tugas kekhalifahan kita dalam hidup ini.
Marilah masing-masing dari kita MEMBANGUN PENGHORMATAN YANG LEBIH DAMAI DAN UTUH KEPADA DIRI SENDIRI,
untuk memenangkan kembali perasaan berhak untuk berhasil,
keyakinan bahwa kewenangan untuk membangun kualitas kehidupan kita sudah diwariskan oleh Tuhan kepada kita,
dan bahwa jika bukan kita yang mengindahkan jiwa kita masing-masing, siapa lagi?
Dan jika tidak sekarang, kapan lagi?
Sahabatku yang baik hatinya,
HATI KITA ADALAH WAJAH DARI JIWA KITA.
Dan keindahan hati kita berpendar dan memancar dalam dan dari setiap hal yang kita lakukan.
Jika kebaikan yang kita inginkan dalam kehidupan kita, maka kebaikan pula-lah yang kita harapkan dari sesama dan lingkungan kita.
Dan kebaikan orang lain dan lingkungan, hanyalah sebanding dengan kualitas penghormatan kita kepada mereka.
Maka jiwa yang baik,akan diwakili oleh hati yang baik,
yang TAMPIL SEBAGAI PRIBADI YANG BERPEKERTI BAIK,
yang akan menerima perlakuan yang baik dari sesama dan lingkungannya.
Marilah kita yakini, bahwa HANYA KEBAIKAN YANG MEMBAIKKAN.
Dan dalam ketidak-jelasan mengenai janji-janji masa depan, ingatlah selalu, bahwa
JIKA YANG ANDA LAKUKAN ADALAH KEBAIKAN, MAKA KEBAIKANLAH YANG AKAN MENCARIKAN JALAN.
Tidak ada yang lebih indah, daripada mengikhlaskan diri untuk menjadi pribadi yang baik.
Sahabatku yang baik hatinya,
Semoga hari ini,
Tuhan menghadiahi kesungguhanmu untuk bekerja keras dalam kejujuran,
dengan rezeki-rezeki besar yang telah lama menjadi kerinduan hatimu.
Aamiin
Tetaplah menjadi jiwa kecintaan Tuhan.

Sufi Road : Kajian tentang Ruh

Sufi Road : Kajian tentang Ruh
Para ulama memiliki pandangan berbeda tentang bolehnya mengkaji tema seputar ruh. Ada yang berpendapat, mengkaji ruh itu haram, karena hanya Allah yang tahu. Ada pula yang berpedapat, kajian tentang ruh itu makruh mendekati haram, karena dalam Al-Quran tidak ada nash yang menjelaskan masalah ruh secara gamblang.
Setiap pendapat tersebut memiliki dasar pemahaman yang berbeda terhadap firman Allah, “Mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan kalian hanya diberi sedikit pengetahuan’.” – QS Al-Isra’ (17): 85.
Mereka yang menolak kajian tentang ruh di antaranya berpandangan, pernyataan Allah pada ayat tersebut menjelaskan bahwa ruh termasuk alam metafisika, yang tidak dapat diketahui secara pasti. Ia bukan sesuatu yang bersifat inderawi, yang dapat diketahui lebih jauh. Selain itu, ilmu manusia terbatas hanya pada pengetahuan tentang penciptaan. Inilah yang dimaksud dengan kalimat dalam ayat tersebut, “Dan kalian hanya diberi sedikit pengetahuan.”
Sementara itu mereka yang memperbolehkan mengkaji tentang ruh di antaranya berpandangan, tidak ada kesepakatan para ulama yang menyatakan bahwa ruh yang ditanyakan dalam ayat itu adalah ruh (nyawa) manusia. Ada pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud ruh dalam ayat tersebut adalah Al-Quran, Jibril, Isa, atau ciptaan Allah yang ghaib, yang hanya diketahui oleh Allah SWT.
Bagaimanapun, yang lebih baik adalah tidak membahas masalah ruh terlalu dalam. Syaikh Abu An-Nashr As-Sarraj Ath-Thuusi mengatakan, “Terdapat orang-orang yang salah memahami ruh, (kesalahan) mereka ini bertingkat-tingkat, semuanya bingung dan salah paham. Sebab mereka memikirkan keadaan sesuatu (yakni ruh) yang mana Allah sendiri telah mengangkat darinya pada segala keadaan dan telah membersihkannya dari sentuhan ilmu pengetahuan, (sehingga) ia tak akan dapat disifati oleh seorang pun kecuali dengan sifat yang telah dijelaskan Allah.”
Hakikat Ruh
Habib Syaikh bin Ahmad Al-Musawa, dalam karyanya berjudul Apa itu Ruh?, menyatakan, definisi ruh adalah, “ciptaan/makhluk yang termasuk salah satu dari urusan Allah Yang, Mahatinggi. Tiada hubungan antara ia dengan Allah kecuali ia hanyalah salah satu dari milik-Nya dan berada dalam ketaatan-Nya dan dalam genggaman (kekuasaan)-Nya. Tidaklah ia menitis (bereinkarnasi) ataupun keluar dari satu badan kemudian masuk ke badan yang lain. Ia juga akan merasakan kematian sebagaimana badan merasakannya. Ia menikmati kenikmatan sebagaimana juga badan, atau akan merasakan siksa sebagaimana juga badan. Dia akan dibangkitkan pada badan yang ia keluar darinya. Dan Allah menciptakan ruh Nabi Adam AS dari alam malakut sedangkan badannya dari tanah.”
Sementara itu, sebagian besar filosof muslim, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan sekelompok kaum sufi, berpendapat, jiwa terpisah dari materi. Ia bukan jasad atau benda. Ia tidak memiliki dimensi panjang dan dalam. Jiwa sangat berhubungan dengan sistem yang bekerja dalam jasad. Dengan kata lain, jiwa menggerakkan jasad dari luar karena ia tidak menyatu dengan jasad. Jiwa adalah inti ruh murni yang dapat mempengaruhi jasad dari luar seperti magnet.
Al-Ghazali, dalam Ihya’-nya, menyebutkan, kata-kata ruh, jiwa, akal, dan hati, sejatinya merujuk pada sesuatu yang sama, namun berbeda dalam ungkapan. Sesuatu ini, jika ditinjau dari segi kehidupan jasad, disebut ruh. Jika ditinjau dari segi syahwat, ia disebut jiwa. Jika ditinjau dari segi alat berpikir, ia disebut akal. Dan jika ditinjau dari segi ma’rifat (pengetahuan), ia disebut hati (qalb).
Dalam bahasa sehari-hari, ruh dan jiwa juga acap digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang sama, seperti pada ucapan “ruhnya telah melayang”, atau “jiwanya telah melayang”. Dua kalimat tersebut bermakna sama, orang itu telah mati.
Para ulama lainnya berpendapat, ruh adalah benda ruhaniah (cahaya) langit yang intinya sangat lembut, seperti sinar matahari. Ia tidak dapat berubah, tidak dapat terpisah-pisah, dan tidak dapat dikoyak. Jika proses penciptaan satu jasad telah sempurna dan telah siap, seperti dalam firman Allah “Maka, apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya – QS Al-Hijr (15): 29, benda-benda mulia (ruh) Ilahi dari langit akan beraksi di dalam tubuh, seperti api yang membakar. Inilah yang dimaksudkan dalam firman Allah “Aku meniupkan ruh (ciptaan)-Ku ke dalamnya.” – QS Al-Hijr (15): 29. Selama jasad dalam kondisi sehat, sempurna, dan siap menerima benda mulia tersebut, ia akan tetap hidup. Jika di dalam jasad ada unsur-unsur yang memberatkan, misalnya penyakit, unsur-unsur itu akan menghambat benda mulia ini sehingga ia akan terpisah dari jasad. Saat itu, jasad menjadi mati.
Beragam definisi ruh disebutkan para ulama. Intinya, manusia terdiri dari jasad dan ruh. Perbedaan pendapat para ulama seputar hakikat ruh bukan bagian dari inti aqidah Islam. Masalah ini berada dalam ranah ijtihad para ulama.
Abadi, atau Fana?
Allah menetapkan kematian atas segala yang memiliki ruh dari makhluk-Nya, penguasa maupun rakyat jelata, yang kaya atau yang miskin, yang mulia atau yang lemah, yang maksiat atau yang taat, dari seluruh penduduk alam semesta ini, dan kemudian mengadili mereka di akhirat.
Dia menggenggam ruh sebagian manusia yang telah memakmurkan dunia dan menghiasinya dengan bangunan-bangunan, kemudian manusia itu menempatinya, meski itu bukan tempat yang kekal bagi semua yang hidup.
Dia juga menggenggam ruh manusia sebagian lainnya yang bersungguh-sungguh untuk memperbaiki akhiratnya dan menjadikan dunia hanya sebagai batu loncatan untuk memperbanyak amal shalih mereka sebagai perahu dalam mengarunginya.
Ruh yang ini mendapat kebahagiaan dan kesenangan, sementara ruh yang lain mendapatkan kekecewaan, kecelakaan, dan kepayahan. Ruh yang ini bersenang-senang di kebun surga dan bernaung di lentera-lentera yang bergantung di ‘Arsy dalam kenikmatan yang menyenangkan, sedang ruh yang lain terpenjara dan tersiksa di neraka jahim. Alangkah jauh perbedaan antara kedua ruh jasad dua jenis manusia tersebut.
Setelah seseorang mati, ruh tetap ada hingga terjadi peniupan sangkakala yang pertama. Ulama sepakat akan hal itu. Selama masa itu, ruh merasakan nikmat atau adzab di alam kubur.
Adapun setelah ditiupnya sangkakala, terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Sebagian ulama berpendapat, ruh bersifat fana (akan sirna) dan akan mati saat peniupan sangkakala yang pertama. Dasarnya adalah firman Allah, “Setiap yang berjiwa akan merasakan kematian.” – QS Ali Imran (3): 185. Dalam ayat lainnya disebut, “Semua yang ada akan binasa.” – QS Ar-Rahman (55): 26.
Menurut pendapat terkuat, setelah peniupan sangkakala yang pertama, ruh akan tetap abadi. Hukum asal sesuatu yang abadi adalah selalu ada sampai ada sesuatu yang mengubahnya. Perdapat tentang keabadian ruh ini disimpulkan dari ayat “Dan ditiuplah sangkakala. Maka, matilah makhluk yang di langit dan di bumi kecuali makhluk yang dikehendaki Allah. Kemudian sangkakala ditiup sekali lagi. Tiba-tiba mereka berdiri menunggu (keputusannya masing-masing).” – QS Az-Zumar (39): 68. Menurut penjelasan ayat ini, ruh termasuk sesuatu yang dikecualikan.
Ruh Mengetahui saat Diziarahi
Apakah ketika orang hidup menziarahi orang mati, ruh orang mati tersebut dapat mengetahui bahwa ia tengah diziarahi? Habib Syekh menuliskan dalam bukunya, jawabannya adalah “Ya.”
Bila ditanyakan apakah jasad mereka atau arwah mereka (yang bertemu), ia menjawab, “Sungguh jauh sekali. Jasad sudah hancur, yang bertemu hanyalah arwah mereka.”
Ibnu Abdil Barr berkata, “Telah tetap riwayat dari Nabi SAW, beliau bersabda, ‘Tidaklah seorang muslim melewati kubur saudaranya yang mana dahulu ia mengenalnya di dunia, kecuali Allah akan mengembalikan ruh saudaranya itu lalu ia menjawab salamnya.” Hadits ini menunjukkan, ruh si mati mengenalinya dan menjawab salamnya.
Pada hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, disebutkan, ketika Rasulullah SAW memerintahkan agar korban yang tewas pada Perang Badar (dari kaum musyrikin) dikuburkan dalam satu lubang, kemudian beliau mendatangi lubang tempat kubur tersebut lalu berdiri dan menyeru mereka yang telah mati itu dengan namanya masing-masing, “Wahai Fulan bin Fulan, wahai Fulan bin Fulan, apakah kalian telah mendapati apa yang telah dijanjikan Tuhan kalian adalah benar? Karena sesungguhnya aku mendapati apa yang dijanjikan Tuhanku kepadaku adalah benar”, berkatalah Umar RA kepada beliau, “Ya Rasulullah, mengapakah Tuan menyeru/berbicara kepada orang-orang yang telah menjadi bangkai.”
Beliau menjawab, “Demi Allah, yang telah mengutusku dengan kebenaran, tidaklah kalian lebih mendengar apa yang kau katakan daripada mereka. Hanya saja mereka tak dapat menjawab.”
Saat memperhatikan kebiasaan sebagian besar masyarakat di Nusantara yang melakukan aktivitas ruwahan atau berkirim pahala amal kepada orang-orang yang telah wafat atau khususnya kepada arwah yang mereka ziarahi, apakah arwah orang yang telah mati itu dapat mengambil manfaat dari amal orang hidup, ataukah tidak? Berikut ini salah satu hujjah di antara luasnya bahtera hujjah yang menunjukkan sampainya amalan orang hidup kepada orang yang telah mati.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab shahih mereka, dari Abdullah bin Abbas RA, ia berkata, “Telah datang seorang kepada Nabi SAW lalu orang itu bertanya, ‘Ya Rasulullah, ibuku meninggal dunia dan ia meninggalkan utang puasa sebulan, apakah aku dapat mengqadha puasanya?’
Rasulullah SAW balik bertanya, ‘Bagaimana pendapatmu jika ibumu berutang lalu engkau melunasi utangnya, apakah itu mencukupi/menggugurkan kewajibannya?’
Orang itu menjawab, ‘Ya.’
Rasulullah SAW bersabda, ‘Jika demikian, utang kepada Allah lebih wajib untuk dilunasi’.”

HIZAB [RAHASIA TETAPLAH RAHASIA]


Ketika saya menulis tentang tasawuf/tarekat tidak sedikit orang menentang baik dikalangan pengamal tarekat maupun orang yang memang menentang tarekat. Orang yang menentang tarekat dan tasawuf menyerang lewat dalil-dalil dengan begitu yakinnya mengklaim bahwa tasawuf adalah ilmu bid’ah yang tidak pernah diajarkan Rasulullah saw. Perdebatan panjangpun terjadi lewat komentar, email, YM dan ketika saya membuat akun Facebook, perdebatan itu berlangsung. Itulah awal-awal saya memulai blog ini dan pada akhirnya secara perlahan perdebatan itupun berkurang dan mulai terbangun sikap saling menghargai walaupun mereka tidak tetap tidak menyukai tarekat.
Saya bisa memahami perasaan orang-orang yang menentang tarekat, karena saya juga awalnya adalah orang yang sangat menentang tarekat, menentang dengan segudang dalil. Rasanya belum puas kalau belum menyampaikan dakwah kepada pengamal tarekat yang menurut saya adalah orang-orang bid’ah yang melakukan ibadah diluar apa yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Sikap menentang itu berubah total setelah saya bertahun-tahun berguru kepada Masternya Tarekat, berguru kepada Guru Mursyid yang benar-benar ahli di bidang tarekat dan tasawuf, akhirnya saya menyadari betapa saya merasa pandai dan ahli padahal saya tidak memahami sama sekali tentang tarekat. Saya mendapat informasi tarekat dari orang-orang yang membenci tarekat, buku-buku yang memang dibuat agar tarekat dibenci oleh seluruh ummat Islam.
Tahun 2008 dan 2009 adalah tahun dimana saya begitu rajin memposting hal-hal yang berhubungan dengan tarekat baik tulisan sendiri maupun kutipan dari karya orang lain dan juga copy paste dari blog atau web lain. Dengan memposting info tentang tasawuf memberikan saya semangat dalam berguru, memperluas persahabatan dengan orang-orang yang mempunyai pemahanan yang sama.
Dikalangan pengamal tarekat sendiri tidak kurang kritik ditujukan kepada sufimuda. Sebagian menentang karena menganggap sufimuda dengan terang-terangan membuka hakikat yang selama ini menjadi rahasia dan dikawatirkan akan menimbulkan fitnah. Di kawatirkan orang awam yang salah mengartikan kata-kata hakikat dan akan menjadi senjata makan tuan. Lalu pertanyaan yang harus dijawab adalah apa sebenarnya hakikat? Apakah yang disampaikan lewat tulisan itu masih disebut hakikat atau itu hanya tulisan yang tidak ada hubungan sama sekali dengan hakikat.
Sebenarnya tidak ada larangan dalam Agama untuk menyampaikan sebuah ilmu asal cara menyampaikan bisa dimengerti oleh si penerima. Rasulullah saw memberikan nasehat, “Sampaikan sesuatu menurut kadar si penerima”. Sebenarnya apa yang saya tulis (saat ini sudah 300 tulisan) di sufimuda bukanlah hakikat apalagi makrifat. Saya hanya menulis sesuatu yang memang boleh di tulis dan disebarkan. Apa yang ditulis di dalam kitab-kitab tasawuf klasik jauh lebih mendalam dan berani bahkan akan dianggap aneh oleh orang-orang yang tidak pernah mendalami tasawuf sama sekali.
Setiap Guru Sufi memberikan aturan dan larangan yang berbeda kepada muridnya. Syekh Bahauddin Naqsyabandi semasa Beliau hidup melarang para murid untuk mencatat ucapan dan nasehat Beliau termasuk melarang murid-murid Beliau menulis riwayat hidup dan sejarah berguru Beliau. Beliau beranggapan biarlah ajaran-ajaran Beliau itu tersimpan di hati para murid dan kemudian diteruskan dihati kegenarasi selanjutnya tanpa dirusak oleh tulisan yang kadang kala berbeda dengan makna sebenarnya. Berbeda dengan Syekh Abdul Qadir Jailani, seluruh ucapan dan petuah Beliau secara harian ditulis oleh para murid dan kemudian dibukukan dengan tujuan agar apa yang beliau sampaikan bisa diterima oleh orang-orang yang tidak pernah berjumpa dengan Beliau. Kedua prinsip Syekh Besar tersebut menjadi dalil dan alasan yang sama-sama benar.
Guru saya melarang para muridnya menulis tentang kaji-kaji dalam tarekat mulai dari kaji dasar sampai dengan khalifah. Kenapa? Karena di kawatirkan dibaca oleh orang awam dan mempraktekkan tanpa Guru Mursyid yang membuat orang akan tersesat karena setan akan sangat mudah menyusup di setiap amalan yang di amalkan tanpa izin. Sementara Syekh lain termasuk Syekh Jalaluddin dengan terang-terangan menulis seluruh kaji dalam suluk dari Ismu Dzat sampai dengan Dzikir Tahlil dan beberapa kitab lain termasuk bahan referensi di Universitas menulis semua kaji-kaji dan amalan di dalam Tarekat. Syekh Muhammmad Amin Al-Kurdi dalam kitabnya Tanwir al-Qulub fi Mu’amalah ‘Allam al-Ghuyub yang menjadi rujukan para pengamal Tarekat di seluruh dunia membahas secara luas tentang hadap dan tata cara suluk tetapi disana tidak ditulis jenis-jenis amalan karena di kawatirkan akan diamalkan oleh orang yang tidak memiliki Mursyid.
Apa yang dialami oleh orang-orang yang telah tenggelam dalam Hakikat akan menjadi rahasia sepanjang hidupnya dan tetap akan menjadi rahasia selamanya sebab kalau diungkapkan maka itu bukan lagi sebuah rahasia. Menariknya ilmu hakikat adalah walaupun diungkapkan secara terang-terangan maka itu tetap menjadi sebuah rahasia bagi orang yang belum mencapai kesana. Al-Qur’an mengungkapkan secara terang-terangan bahkan sangat jelas membahas tentang hakikat Tuhan, tapi apakah semua orang yang membaca Al-Qur’an mencapai tahap makrifat? Jawabannya tidak karena Ayat-ayat Al-Qur’an penuh dengan symbol yang hanya bisa dimengerti oleh orang yang telah terbuka hijabnya.
Begitu terang-terangan Rasulullah SAW lewat hadist Beliau menjelaskan tentang hakikat, bahkan sangat terang, tapi karena umumnya yang membaca tidak terbuka hijab, ucapan Nabi yang demikian terbuka malah ditasfirkan secara keliru oleh akal manusia yang memang tidak sampai pemahaman disana akhirnya rahasia tersebut tetap menjadi rahasia.
Beberapa ucapan sahabat yang menggambarkan betapa rahasianya Ilmu Hakikat itu antara lain ucapan Abu Hurairah, “…Apabila aku ceritakan niscaya Halal darahku”, apabila hakikat itu diceritakan dengan bahasa salah maka nyawa sebagai taruhan. Atau ucapan saidina Husaen ra, “Apabila aku jelaskan hakikat itu kepada kalian niscaya kalian akan menuduh aku sebagai penyembah berhala”. Orang yang telah mencapai kaji disana akan tersenyum membaca ucapan dari saidina Husein, dan andai hakikat itu dibuka di zaman sekarang pasti orang akan menuduh yang sama yaitu dianggap orang yang mengamalkan hakikat itu sebagai penyembah berhala.
Sungguh luar biasa Allah melindungi ilmu-ilmu berharga tersebut demikian rahasianya, ditempatkan di dalam qalbu para hamba-Nya sehingga tidak seorangpun bisa mengambilnya. Allah telah melindungi ilmu-ilmu berharga tersebut dengan hijab (penghalang) cahaya sehingga manusia tidak akan melihat karena begitu terangnya cahaya tersebut. Rahasia itu hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang telah bermandikan cahaya, larut dalam Dzat-Nya sehingga apa yang menjadi rahasia tidak lagi menjadi rahasia.
Apa yang saya sampaikan disini bukanlah hakikat, tapi tulisan-tulisan untuk memberikan semangat kepada kita semua untuk mencari kebenaran, mencari pembimbing yang menuntun dan membimbing kita semua kepada Allah. Dengan mendapat bimbingan kepada Allah sehingga kita tidak lagi tersesat dibelantara jalan tanpa arah dan dengan tenang kembali kepada asal kita masing-masing.
Rahasia tetaplah rahasia dan tetap akan menjadi rahasia sepanjang masa kecuali orang-orang yang telah berada dalam rahasia tersebut. Rahasia tersebut hanya bisa terbuka lewat Qalbu kepada Qalbu, ditransfer dengan teknik khusus yang diajarkan Rasulullah saw kepada para sahabat dan dari para sahabat kepada sekalian Guru Mursyid sampai saat sekarang ini. Rahasia itu tidak akan pernah bisa ditembus kecuali oleh orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah SWT. Semoga Allah yang Maha Pemurah selalu berkenan membuka hijab-Nya sehingga kita bisa memandang keindahan wajah-Nya dari dunia sampai akhirat., Amin ya Rabbal ‘Alamin!

MENJAGA HATI PARA GURU


Alloh berfirman menerangkan kisah Nabi Musa AS bersama Nabi Khidir AS :
قال له موسى هل أتبعك علَى ان تعلمني مما علمْت رشدا
Musa berkata kepada Khidir ,, “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu ?” (QS Al-Kahfi 66)
Berkata Imam al Junaid, Ketika Nabi Musa AS ingin bersama Nabi Khidir AS, maka Nabi Musa AS disyaratkan untuk menjaga kesopanan yang telah disepakati dengannya. Syarat ini berkaitan dengan permintaan izin Nabi Musa AS untuk diperbolehkan bersahabat dengan Nabi Khidir AS, kemudian Nabi khidir AS memberikan syarat kepada Nabu Musa AS utuk tidak menentang atau memprotes keputusannya. Kemudian ketika Nabi Musa AS tidak menepati peraturan yang pertama dan kedua, maka kekeliruan Nabi Musa AS ini dimaafkan. Akan tetapi ketika pelanggaran itu sampai ketiga kalinya, tiga merupakan batas terakhir, maka Nabi Khidir AS memutuskan untuk berpisah dengannya seraya mengatakan,
هذا فراق بيني وبينك
“Inilah perjalanan antara aku dan kamu”. (QS Al-Kahfi 78).
RasuluLlah SAWW bersabda, “Tidaklah anak muda memuliakan seorang guru karena umurnya, melainkan Alloh akan mentakdirkannya di masa tuanya dengan dijadikan orang lain yang akan berganti menghormati (memuliakannya).”
Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq RahimahuLlah berkata, “awal setiap perpisahan adalah karena adanya pelanggaran, yakni orang yang melanggar gurunya sehingga ia tidak lagi tetap pada thariqah (jalan) gurunya dan hubungan antara keduanya menjadi terputus, walaupun keduanya berada dalam satu tanah. Barang siapa yang bersahabat dengan seorang syaikh atau guru kemudian menentangnya dengan hatinya, maka ia telah merusak perjanjian hubungan murid dengannya, dan ia wajib bertobat”.
Berkata seorang Syaikh, “Menentang guru tidak ada taubatnya (secara sempurna)”.
Syaikh Abu AbdruRrahman As-Sulami berkata, “Saya pernah keluar menuju Marwa di saat guru saya Al-Ustadz Abu Sahal Ash-Sha’luki masih hidup. Sebelum saya keluar beberapa hari yang lalu, dia mengadakan majlis pembacaan Al-Qur’an dan khataman. Ketika pulang, saya melihat dia sedang menggantikan majlis ini dan mengadakan pembicaraan dengan Abul Ghaffani pada saat itu. Saat itu hati saya merasa tidak setuju dan bergumam dalam diri saya sendiri, “Dia telah menggantikan majlis khataman dengan majlis pembicaraan”. Di hari yang lain, guru saya berkata kepada saya, “Wahai Abu AbduRrahman, apa yang dikatakan orang-orang tentang saya ?” Jawabku, “Mereka mengatakan bahwa tuan guru telah menggantikan majlis khataman Al-Qur’an dengan majlis pembicaraan”. Lalu Ustadz Abu Sahal Ash-Sha’luki menjawab dengan menjelaskan, “Barang siapa yang berkata kepada gurunya dengan mengatkan mengapa atau untuk apa, maka ia tidak akan beruntung selamanya”.
Telah diketahui bersama bahwa Al-Junaid berkata, “Saya pernah datang kepada Sarry As-Saqthi di suatu hari. Dia menyuruh saya untuk mengerjakan sesuatu, dan saya melaksanakannya dengan cepat. Ketika saya kembali kepadanya, ia memberi saya selembar kertas dengan berkata,” Inilah tempat pelaksananamu tentang keperluan saya yang kamu laksanakan dengan cepat”. Kemudian saya membaca tulisan kertas tersebut yang ternyata tertulis : “Saya mendengar seorang penggiring onta mendendangkan lagu di lembah :
Saya menangis
Tahukah kamu apa yang menyebabkan aku mnangis ?
Saya menangis karena takut kamu akan meninggalkanku
Dan takut kamu akan memutuskan tali hubunganku
Serta kamu biarkan aku hidup sendiri.
Diriwayatkan dari Abul Hasan Al-Hamdani Al-Alawi yang berkata, “Di suatu malam saya berada di tempat Abu Ja’far Al-Khuldi, saya diperintahkan untuk menggantungkan burung di sangkar di rumah saya, maka saya mengikuti petunjuknya. Kemudian Ja’far berkata kepadaku,, ‘Bangunkanlah di waktu malam’. Maka sayapun mengajukan suatu alasan (pertanyaan kepadanya) kemudian pulang ke rumah dan mengeluarkan burung dari sangkarnya. Burung itu berhenti di hadapan saya. Tiba-tiba muncul seekor anjing yang masuk lewat pintu , membawa burung tersebut ketika orang-orang yang hadir lengah. Ketika pagi hari tiba, saya datang kepada Ja’far. ketika dia melihatku, dia berkata, “Barang siapa tidak menjaga perasaan para guru maka Alloh akan menyuruh anjing untuk menyakiti (mengganggunya).”
AbduLlah ar-Razy telah mendengar Abu Utsman Said Al-Hirri menerangkan sifat Muhammad bin Al-Fadhal Al-Balkhi dan memujinya. AbduLlah ingin sekali mengunjunginya. Ketika mengunjunginya, hati AbduLlah tidak terkesan dengan Muhammad bin Al-Fadhal sebagimana yang diduga sebelumnya karena itu, AbduLlah kembali kepada Abu Utsman.
“Bagaimana kamu dapati dia ?”Tanya Abu Utsman.
“Saya menemuinya tidak seperti yang saya kira”. Jawab AbduLlah
“Karena kamu menganggap kecil (meremehkannya) . ketahuilah tidak seorangpun yang meremehkan orang lain melainkan ia akan dihalangi faedah darinya, karena itu kembalilah kepadanya dengan penuh penghormatan”.
AbduLlah akhirny kembali kepada Muhammad bin Al-Fadhal Al-Balkhi, dan dalam kunjungnnya itu dia membawa banyak manfaat.
Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Ketika penduduk Balkh mengusir Muhammad bin Al-Fadhal dari daerahnya, dia mendoakan mereka, “Ya Alloh hilangkanlah kejujuran dari mereka.” Maka di daerah Balkh sesudah itu tiada seorangpun yang bisa dipercaya’”.
Ahmad bin Yahya Al-Abiwardi rahimahuLlah berkata.”Barangsiapa yang diridhai gurunya maka sepanjang hidupnya tidak dibalas (kejelekan) oleh Alloh agar rasa ta’zimnya kepada gurunya tidak hilnag. Ketika guru itu telah meninggal, maka Alloh menampakkan balasan keridhaan gurunya. Barang siapa yang gurunya tidak meridhainya maka maka selama hidup guru itu tidak diberi balasan oleh Alloh agar guru tersebut tidak menaruh belas kasihan kepdanya. Sesungguhnya para guru diciptakan sebagai orang-orang yang mulia. Ketika guru itu telah meninggal, maka murid tersebut akan memperoleh balasannya.

Sufi Road : Manifestasi Sifat-sifat Al Haq

Sufi Road : Manifestasi Sifat-sifat Al Haq
Kitab Insan Kamil fi Ma’rifah al Awahir wa al Awa’il, Syeikh Abdul Karim Ibnu Ibrahim Al Jaili
Jikalau inti [dzat] Al Haq termanifestasikan kepada salah satu dari hambaNya dengan sifat dari sifat-sifatNya, sebutan dan ingatan hamba tersebut selalu beredar di-falak sifatNya dengan cara Kulli [universal] dan bukan dengan cara juz’i [partular]. Kedua sifat [kulli dan juz’i] itu tidak akan mungkin dipisahkan dari diri para hamba, melainkan dengan cara global. Jika seorang hamba memujikan salah satu namaNya dan menyempurnakannya dengan harapan global, maka ia akan dapat menduduki singgasana Arsy sifat tersebut, dan ia akan disifati dengan sifatNya.
Ketika hamba itu menerima sifatNya yang lain, demikian seterusnya hingga ia dapat mewadahi nama-nama Al Haq dalam dirinya, sehingga sifat-sifatNya benar-benar sempurna dalam diri hamba tersebut. Kemudian ketahuilah manakala Al Haq hendak memanifestasikan DiriNya dengan nama-nama atau sifat-sifatNya kepada salah satu hambaNya, Dia akan mensirnakan diri hamba tersebut fana’ bersama Diri Nya, Dia leburkan eksistensi [wujud] hamba itu dalam kesirnaan bersamaNya
Manakala cahaya kehambaan telah padam, dan ruh kemakhlukan telah sirna [fana’], Al Haq akan mencitrakan DiriNya pada struktur kemanusiaan hamba tersebut, tanpa Hulul [pantaisme], inti [dzat]-Nya tidak menempati jisim [tubuh] hamba itu, kasih kelembutan-Nya tidak terpisahkan dari hamba tersebut. Dia juga tidak tersambungkan dengan hamba-Nya yang lain sebagai ganti atas peleburan dan kesirnaan struktur jisim hamba-Nya. Sebab manifestasi-Nya, kepada para hamba-Nya adalah semata-mata karena kasih Fadhal [keutamaan] dan kasih Al Juud [kepemurahan] Al Haq kepada para hambaNya. Jika para hamba itu difana’kan, lalu Dia tidak mengganti kefana’an mereka dengan kasih keutamaan dan kepemurahanNya, maka kesirnaan seperti itu adalah Niqmah [bencana]. Kasih kelembutan itu sejatinya adalah ruh Al Quddus [ruh suci]. Manakala Al Haq menegakkan kasih kelembutan dari inti [dzat]-Nya, sebagai ganti atas kefana’an hambaNya, maka manifestasi kelembutan kasih tersebut merupakan esensi tajalli DiriNya. Hanya saja kita menamakan kasih kelembutan Ilahiyah dalam dimensi ini dengan sebutan al Abd’ [hamba], dengan I’tibar ia [kelembutan kasih ini] merupakan ganti atas hamba, sebab jika tidak demikian, maka tidak akan ada hamba atau Rabb. Semantis logikanya, jika tidak ada Al Marbuub [yang diatur] maka tidak ada Rabb [pengatur], yang ada hanyalah Allah semata, Tuhan Yang Maha Esa.
Ketahuilah, bahwasanya manifestasi sifat-sifat al Haq, ibarat penerimaan inti [dzat] seorang hamba [dalam bersifat] dengan sifat-sifat ar Rabb, dengan penerimaan secara ushul [dasar] dan hukum serta mutlak, seperti penerimaan sesuatu yang disifati dengan sifat yang mensifatinya. Karena kelembutan kasih ketuhanan yang terlanskapkan pada diri seorang hamba, tegak bersama struktur diri hamba tersebut, serta merupakan ganti atas dirinya. Maka sifat-sifat ketuhanan yang melanskapi hamba tersebut, merupakan sifat dasar [ushul] dan mutlak. Manakala seorang hamba mensifati dirinya dengna sifat-sifat ketuhanan, maka sifat al Haq adalah sifat hamba tersebut dan sifat si hamba adalah sifat al Haq. Ada banyak ragam penyingkapan manusia dalam manifestasi sifat-sifat al Haq ini. Penerimaan mereka akan manifestasi tersebut tergantung dari kemampuan [kapabilitas] yang mereka miliki, sejalan dengan kapasitas keilmuan yang mereka punyai, serta kekuatan azam [hasrat kuat] yang ada pada diri masing-masing seorang hamba.
Di antara mereka yang ditajalikan kepadanya dengan sifat-sifatNya al Hayatiyah, maka jadilah hamba tersebut sentra Hayah [hidup] alam semesta, ia dapat memakrifahi rahasia hidupnya dalam Maujudat [segala wujud] secara universal, baik yang berdimensikan jasadiya [badan kasar] maupun dimensi ruhiya [ruh]. Ia bisa memahami makna-makna segala wujud dan mencitrakannya dalam dirinya, yang dengan itu tegaklah sendi-sendi hidup dan kehidupannya secara hakiki, boleh jadi citra makna-makna itu berupa al Aqwaal [perkataan-perkataan] atau al A’maal [perbuatan-perbuatan], bisa juga berupa citra dimensi kelembutan semisal al Arwah [ruh-ruh] atau citra al Katsib [alam kasar] semisal al Ajsaam [tubuh-tubuh kasar]. Lain halnya jika hidup dan kehidupan hamba tersebut mampu Syuhud [menyaksikan], mampu menggapai Dzauq al Wujdan [pengetahuan intuitif], serta mampu memahami makna-makna tersebut dalam dirinya tanpa wasilah [perantara]. Sang hamba akan mampu menggapai Kasyf Ilahiyah [intuisi ketuhanan], serta memukasyafahi inti [dzat]-Nya. Pahami dengan seksama masalah ini.
Syekh Abdul Karim Ibnu Ibrahim Al Jaili, secara pribadi pernah merasakan tajalli sifat ini, yang sedemikian itu, ia menyaksikan hidup dan kehidupan segala wujud dalam dirinya. Dia melihat Qadar segala sesuatu yang maujud [ada] dalam kehidupannya, semuanya berjalan sesuai dengan kehendak inti [dzat]-Nya. Dia pada tajalli tersebut hidup esa, tidak terpisah dengna inti [dzat], hingga tangan pertolongan-Nya memindahkan diri saya dari tajalli inti [dzat]-Nya kepada tajalliyat-Nya yang lain. Sang Syekh melebur dalam manifestasi-manifestasiNya. Diantara mereka yang ditajalikan kepadanya dengan sifatNya al Ilmiyah, yang sedemikian itu, tatkala al Haq memanifestasikan Diri-Nya dengna sifat Al Hayatiyah, yang terlanskapkan dalam segala wujud. Segala al Mumkinaat [sesuatu yang mungkin]. Pada saat itu al Haq memanifestasikan Diri-Nya pada hamba tersebut dengan sifat-Nya al Ilmiyah, maka hamba itu bisa mengetahui kesejatian ragam alam [semesta] seperti sebelum dan pasca penciptaannya. Ia bisa mengetahuinya segala sesuatu, mulai pra penciptaan, prosesi penciptaan dan tujuan akhir dari penciptaan segala wujud, ia juga bisa mengetahui sesuatu yang belum dijadikan, serta ahir dari sesuatu yang telah dan akan terjadi. Ia bisa mengetahui sesuatu yang akan terjadi, esensinya pengetahuan hamba itu menembus dimensi ruang dan waktu, serta melintas batas logika. Kesemua itu merupakan ilmu yang datang dari al Haq melalui pembelajaran langsung dariNya, serta Wujdaan dari inti [dzat]-Nya yang tersimpan rapi di Ghaib al Ghaib [kegaiban misteri], bisa dimakrifahi, baik rahasia ilmuNya yang bersifat universal maupun parsial, global maupun partikular, dan untuk menguak tabir kegaiban yang misteri itu adalah dengan Kasyaf [pengetahuan intuitif].
Ketahuilah bahwasanya ilmu Laduni [ilmu yang berasal dari pembelajaran langsung dari al Haq – ref. QS Al Kahfi ayat 65], ilmu Dzati [ilmu yang terkait dengan inti [dzat]-Nya] diturunkan secara partikular dari Ghaib al Ghaib [kegaiban yang gaib], ke Syahadah asy Syahadah [realitas yang riil], bisa disaksikan rincian globalitasnya dalam kegaiban, dan bisa diketahui universalitas Kulli-nya dalam kegaiban yang gaib. Sedangkan ilmu Shifati [ilmu yang berdimensikan sifat-sifatNya], tiada akan pernah bisa diketahui, melainkan pasca terjadinya sifat tersebut dalam kegaiban yang gaib. Semua perkataan tersebut tidak akan bisa dipahami kecuali oleh al Ghuraba’ [insan-insan yang gharib], tidak ada yang bisa merasakan, kecuali para pejalan yang telah menggapai Kasyf [pengetahuan intuitif]. Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifatNya al Bashar, yang sedemikian itu tatkala Dia memanifestasikan Diri-Nya kepada hamba tersebut dengan sifat al Bashariyah [penglihatan], al Ilmiyah [pengetahuan], al Ihaathiyah [peliputan] dan al Kasyfiyah [intuisi]. Dia memanifestasikan Diri-Nya kepada hambaNya dengan sifat al Bashar [melihat]. Maka penglihatan hamba itu merupakan sumber ilmunya, demikian pula dengan rujukan ilmunya bermuarakan kepada al Haq, bisa juga rujukan ilmu hamba itu dimuarakan kepada makhlukNya, namun penglihatannya bermuarakan kepada al Haq, ia dapat melihat segala wujud [Maujudaat], seperti ketika Maujudaat itu berada di kegaiban yang gaib [Ghaib al Ghaib].
Sungguh merupakan kenaifan yang sangat telanjang, banyak suatu keterpesonaan yang mentakjubkan dalam tajalli ini, namun banyak diacuhkan oleh kebanyakan orang, mereka bahkan menafikan kenyataan tersebut dalam alam asy Syahadah [alam realitas]. Cobalah anda memfokuskan diri menyaksikan pemandangan ketinggian nan agung ini, serta panorama tajalli yang terang dan jelas, betapa mentakjubkan, betapa asyiknya tajalli ini, betapa banyak keterpesonaan yang ada dalam manifestasi ini. Jangan jadikan diri anda manusia yang memiliki penglihatan sehat dan jelas, namun tidak mampu menembus pandangan yang terang dan jelas. Sebab banyak sekali para hamba yang ditajallikan sifat-sifatNya pada dirinya, namun sifat kemanusiaannya masih dominan dalam dirinya, sehingga sifat-sifat ketuhananNya terpinggirkan dari dirinya. Padahal manakala sifatNya dan sifat hamba tersebut menjadi tunggal, tidak ada dualisme sifat disitu, namun hanya sedikit sekali yang mampu memukasyafahi tajalli ini, yakni kegaibanNya tidak mampu disaksikan kehadirannya, kecuali oleh sedikit insan saja. Penampakkan al Haq pada hambaNya melalui sifatNya merupakan bentuk pemuliaan Diri kepadanya inti [dzat]-Nya, yang kehadiran-Nya adalah kegaiban hamba-Nya dan kegaibannya adalah kehadiran al Haq.
Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifat-sifatNya as Sam’u yang dengan itu hamba tersebut dapat mendengar perkataan al jamadaat [benda-benda padat], tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, serta perkataan para malaikat dan bisa menyimak ungkapan multi bahasa serta ujaran-ujaran makhluk yang lain. Demikian pula sesuatu yang jauh bagi hamba itu terasa dekat, yang sedemikian itu, tatkala al Haq memanifestasikan DiriNya dengan sifatNya as Sam’u, hamba tersebut bisa mendengar dengan kekuatan ke-Esa-an sifat tersebut ragam bahasa, multi ujaran komunikasi benda-benda padat dan hewan-hewan. Dalam etos tajalli ini Syekh Abdul Karim Ibnu Ibrahim Al Jaili telah menyimak ilmu Rahmaniyah dari ar Rahman, telah belajar membaca Al Quran secara hakiki, beliau pun merasa tidak lebih dari sebuath ar Rithlu [delapan ons] sedangkan DIA adalah al Mizaan [neraca timbangan]. Realita ini tidak bisa dipahami, kecuali oleh ahli Qur’an yang merupakan ahli keilahian yaitu insan-insan khawas [golongan istimewa] yang menjadi kekasihNya. Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifatNya al Kalaam, yang dengan itu semua Maujudaat [segala wujud], berasal dari Kalaam hamba tersebut, sebab tatkala al Haq memanifestasikan DiriNya, kepada hamba itu melalui sifatNya al Hayatiyah. Kemudian Dia mengajari hamba itu dengan sifat ‘AliimNya, bahwa segala rahasia hidup dan kehidupan berasal dari DiriNya, lalu Dia memperlihatkan dan memperdengarkan hamba itu dengan sifat al Bashar dan as Sam’u-Nya berikut dengan kekuatan ke-Esa-an hidup. Dia jadikan hamba itu berbicara dengan Kalam-Nya, jadilah segala wujud dair kalamNya. Saat itulah sang hamba menyaksikan dengan kalamNya, dalam capaian spiritual ini keazalian segala sesuatu seperti sedia kala, kalimatnya tiada akan pernah habis dan tidak pula berakhir.
Dengan tajalli ini al Haq beraudiensi dengan hambaNya tanpa Hijab [tirai penghalan] nama-nama pra penampakannya. Di antara para audien tersebut ada yang bisa beraudiensi dengna inti [dzat]-Nya dari dalam dirinya, ia menyimak pembicaraan yang datang bukan dari salah satu arah tertentu, bukan pula dengan suara, penyimakannya akan ujaran-ujaran tersebut secara ke-universal-an dan bukan dengan telinga. Dikatakan kepada hamba tersebut :
kau adalah cinta Ku, kau adalah kekasih Ku, kau adalah insan yang dicari dan diharapkan, kau adalah wajah Ku pada segenap hamba, kau adalah harapan utama, kau adalah pencarian tertinggi, kau adalah rahasia Ku dalam segala rahasia, kau adalah cahaya Ku dalam segala cahaya, kau adalah permata Ku, kau adalah perhiasan Ku, kau adalah keindahan Ku, kau kesempurnaan Ku, kau nama Ku, kau inti [dzat]-Ku, kau sifat Ku. Aku adalah namamu, Aku adalah citramu, Aku adalah tandamu, Aku metaformu. Duhai kekasihKu, kau adalah penolong segala wujud, kau adalah maksud dari segala wujud dan Huduts [kebaruan]. Dekatkan dirimu kepada penyaksianKu, maka Aku akan dekatkan diriKu kepadamu dengan wujudKu, jangan kau jauhkan dirimu dari Ku, sebab Akulah yang berfirman : “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” [QS Qaaf (50) ayat 16].
Jangan kau belenggu dirimu dengan isim [nama] seorang hamba, kalau bukan karena adanya Rabb, maka tidak akan pernah ada ‘Abd [hamba]. kau tampakkan Diri Ku, seperti Aku tampakkan dirimu, kalau bukan karena ubudiyah [ritus peribadatan]mu, niscaya tidak akan tertampakkan Rububiyah [ketuhanan] Ku, kau menjadikan Diri Ku tertajallikan, seperti halnya Aku menjadikan dirimu, kalau bukan karena wujudmu, maka wujud tajalli Ku tidak tersibakkan, cinta Ku paling dekat dari segala yang terdekat. Cinta Ku paling tinggi dari segala yang tertinggi, cinta Ku menghendaki dirimu untuk pensifatan Diri Ku. Aku pilih dirimu untuk Diri Ku, jangan kau keluarkan dirimu untuk selain Diri Ku, jangan keluarkan Diri Ku dari dirimu. Cinta Ku adalah sari dalam buah, cinta Ku adalah garam dalam makanan. Imajinasi Ku dalam ke-absurd-an, logikamu dalam pengetahuan. Cinta Ku, menjadikan Diri Ku terasa dalam jangkauan inderawi, membuat Ku tersentuh dalam sentuhan. Kekasih Ku, kau adalah muara harapan Ku, sentra penglihatan Ku, media kasih kelembutan Ku. Betapa indah kebersamaan Ku denganmu, betapa syahdu keintimanmu dengan Diri Ku.
Di antara para audien itu ada yang diajak bicara al Haq melalui lisan makhluk [ciptaan]Nya, ia menyimak pembicaraan dari satu arah tertentu, akan tetapi ia sangat mafhum [faham], bahwa ungkapan itu bukan keluar dari arah tersebut, meski berwujud ungkapan yang keluar dari lisan makhlukNya. Ia bisa memakrifahi sejatinya perkataan tersebut berasal dari al Haq adapun ragam pembicaraannya sangatlah banyak, yang tidak mungkin kita rinci dalam karya ini. Diantara para audien itu ada yang dilanglang buanakan al Haq dari alam jisim ke alam ruh, audiensi bentuk ini merupakan tingkatan tertinggi. Di antara para audien itu ada yang diajak bicara al Haq melalui hatinya, di antara mereka ada yang diterbangkan dengan ruhnya ke lapisan pertama langit dunia, ada pula yang diterbangkan dengna ruhnya ke langit lapis kedua dan ketiga, diantara mereka ada yang diterbangkan ke Sidratul Muntaha, dan diajak bicara disana. Tingkat pembicaraan masing-masing insan yang diajak bicara al Haq tersebut, tergantung daripada kemampuan mereka memasuki dan memakrifahi dunia hakikat, sebab al Haq tidak akan meletakkan sesuatu melainkan pada tempatnya.
Pada saat pembicaraaan itu, di antara mereka ada yang diberikan contoh [permisalan] cahayaNya yang dengan itu ia menjadi sumber segala cahaya, di antara mereka ada yang dinisbatkan kepadanya menjadi al Munir [yang menerangi] bersumberkan cahayaNya. Di antara mereka ada bisa melihat cahayaNya dalm batinnya, yang dengan itu ia bisa mendengar pembicaraan dari arah cahaya Ilahiyah [ketuhanan] tersebut, ia bahkan bisa melihat ragam cahaya ketuhanan dengan berbagai citra. Di antara mereka ada yang melihat citra ruh, yang memanggil-manggil dirinya, kesemua itu tidak dinamakan al Khitab [pembicaraan], kecuali jika diberitahu al Haq bahwasanya Dia-lah sejatinya al Mutakallim [Sang Pembicara]. Kalamullah, adalah sebuah realita yang sangat nyata, tidak membutuhkan dalil untuk mengetahuinya, bahwa kekhususan Kalamullah tidak samar [tersembunyi]. Orang seorang yang menyimak Kalamullah tidak menghajatkan dalil maupun keterangan, terlebih al Burhan [aksioma], sebab dengan penyimakan tersebut sang penyimak memakrifahi [memahami] dengan penuh keyakinan bahwasanya Kalam [ujaran] itu adalah Kalamullah. Di antara yang diajak bicara itu ada yang diangkat ke Sidratul Muntaha, al Haq berbicara kepadanya :
KekasihKu, ke-aku-anmu adalah ke-Dia-an Ku, kau adalah permata Ku. Kekasih Ku, ke-universal-anmu adalah ke-Esa-an Ku, engkaulah harapan Ku, Aku adalah untukmu bukan untuk Diri Ku, kau adalah yang Ku inginkan, kau untuk diri-Ku bukan untuk dirimu. Cinta Ku ... kau adalah nuqta [titik], di atas peredaran wujud, kau adalah cahaya. Kau adalah manifestasi, kau adalah kebaikan, kau adalah perhiasan, laksana mata dalam struktur tubuh manusia.
Diantara para audien itu ada yang dipanggil, melalui dimensi kegaiban, serta dapat mengerti warta-warta sebelum terjadi, yang sedemikian itu terjadi karena permintaan mereka kepada al Haq untuk diberitahu, dan Diapun mewartakan ujaran-ujaran tersebut. Di antara mereka ada meminta karamah [kelebihan], al Haq pun memuliakannya dengan karamah, sebagai dalilnya untuknya jika kembali ke alam indrawi, serta untuk mengeksiskan capaian spiritual [maqom] nya di hadapan al Haq. Kita cukupkan paparan perihal al Mukallimin [insan yang diajak bicara] al Haq sampai disini. Kita kembali ke pokok kajian manifestasi sifat-sifatNya.
Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifat-sifatNya al Iradah. Ketahuilah bahwasanya wajah kehidupan makhluk adalah sejalan dengan iradah [kehendak] al Haq, manakala Dia bermanifestasikan dengan sifat al Mutakallim [berbicara], Dia beraudiensi dengan ke-Esa-an al Mutakallimin [ujaran-ujaran]Nya kepada segenap makhlukNya, al Mutakallimin [para audiens]-pun menyimak ajaran-ajaranNya sejalan dengan kehendakNya.
Mayoritas para insan yang telah Wushul [sampai] pada tajalli ini, kembali mundur ke belakang. Mereka mengingkari al Haq dengan apa yang mereka lihat, yang sedemikian tatkala al Haq mempersaksikan kepada mereka dengan kesaksian inti [dzat] bahwa segala sesuatu berjalan dengan IradahNya di alam Ghaib Uluhiyah [ketuhanan]. Mereka lantas mencari penyaksian tersebut dalam diri mereka di alam realita ini, jelas realita itu mustahil terjadi di alam Syahadah [alam realita] ini, karena hal itu merupakan kekhususan dua inti [dzat]. Mereka lalu mengingkari kesaksian inti itu, yang menyebabkan mereka melangkah mundur, dan hancurlah kaca kalbu mereka, lantas mengingkari al Haq. Padahal mereka telah menempuh raihan Syuhud [penyaksian], serta hilang [gaib] sesudah wujud.
Diantara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifatNya al Qudrah, segala sesuatu terjadi dengan qudrahNya di alam gaib, Dia menampakkan contoh-contoh produk kegaiban tersebut di alam kasat mata ini. Jika seorang hamba terus intensif memelihara tajalli ini, maka capaian spiritualnya akan meningkat, akan ditampakkan kepadanya segala sesuatu yang disembunyikan-Nya.
Pada tajalli ini Syekh Abdul Karim Ibnu Ibrahim Al Jaili telah mendengar Shalsahalah al Jaros [bunyi lonceng], struktur tubuh beliau terpencar, citranya semburat, namanya terhapus, karena keterpesonaan [Haybah] nya yang amat sangat, beliau seperti kain koyak yang tergantung di puncak pohon, dihempas angin kencang, lambat laun terlempar dari pohon tersebut. Pada kondisi spiritual seperti itu, beliau tidak melihat, melainkan Buraq, awan putih yang kemilau yang mengguyurkan hujan cahaya-cahaya, serta samudera yang berombak api, bumi dan langit ini serasa berbenturan, beliau merasa berada di kegelapan yang gelapnya berlapis-lapis. Qudra itu terus menciptakan untuk dirinya kekuatan-kekuatan Haybah [kedasyatan], Qudra itu membakar dirinya dengan nafsu-nafsu, hingga Sang Maha Perkasa membawanya ke hanggar keilahian, tampak keindahan yang terindah dalam teropong lubang jarum imajinasi, semburat semua khayal. Imajinasi menari-nari membentangkan karya ciptaan dan asumsi beliau menari-nari ingin merentah dirinya, pada waktu itu terciptalah segala sesuatu. Setelah beliau kembali kepada rasi-rasi bintang [falaq] al Mulk kekuasaan-Nya, tiba-tiba terdengar suara keilahian :
“wahai langit dan bumi, datanglah kamu keduanya menurut perintahKu, dengan suka hati atau terpaksa.” [QS Fushilat (41) : 11]
Di antara wajah manifestasi [Tajalli as Shifat] ini adalah, polarisasi obsesi manusia-manusia yang bercita-cita besar, wajah tajalli ini terwajahkan dalam dunia imajinasi, terdapat di dalamnya kreasi imajinatif yang penuh dengan keghariban dan keajaiban. Tajalli ini juga menampakkan sihir kelas tinggi, dalam manifestasi ini : penghuni surga berbuat apa saja yang mereka kehendaki, juga keajaiban benih yang ada di tanah yang dipakai menciptakan Adam as, seperti yang telah disebutkan Ibnu Arabi dalam kitab beliau. Dalam tajali ini : manusia yang berjalan di atas air, terbang di udara, mampu menjadikan sesuatu menjadi banyak, dan banyak menjadi sedikit, dan banyak lagi panorama kejadia luarbiasa dengan segala wacana dan dimensinya. Janganlah kalian menjadi heran, sebab semua kejadian yang ada, sejatinya adalah satu macam, namun memiliki ragam wajah, kenyataan itu melahirkan dimensi kebahagiaan dan kepedihan, seorang yang bisa memaknai secara hakiki akan bahagia, insan yang menafikan dan tidak menemukan makna hakiki akan sedih. Pahami seksama metafora dan isyarat yang ada.
Kami telah berusaha memaparkan paradoks, metafor-metafor, isyarat-isyarat yang berserak dari realita yang ada dengan kemampuan kami, karena kedalaman rahasia yang tersimpan di dalamnya memerlukan tafakur yang optimal untuk menyingkapnya. Jika nantinya anda benar-benar mampu menggapai capaian pemahaman hakiki dalam tajalli ini, anda akan mampu menyibak rahasia Qudrah yang terhijab dan tersimpan. Pada khazanah capaian ini, anda bisa berkata kepada sesuatu : Kun [jadilah] Fa Yakun [maka jadilah] sesuatu yang anda ujarkan tersebut, itulah sejatinya amar-Nya yang terdapat di antara Kaf dan Nun.
Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifatNya ar Rahmah, yang sedemikian itu setelah dinisbatkan kepadanya Arsy ketuhanan [Rububiyah], dan dikuasakan kepadanya sifat RabbNya, diletakkan kepadanya Kursi kemampuan Maujudaat [segala wujud] dengan mediasi hamba tersebut, itulah sejatinya Kursi inti [dzat]-Nya, penggerak sifat-sifatNya, ia melantunkan ayat-ayat :
“Katakanlah : Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang-orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki, Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang, dan Engkau masukkan siang ke dalam malam, Engkau keluarkan hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup, dan Engkau beri rizki siapapun yang Engkau kehendaki tanpa hisab.” [QS Ali Imran (3) ayat 26-27].Kesemua itu di alam gaib-Nya tersucikan dari keraguan, serta sebuah kemestian yang tak terbantahkan, disinilah esensi perbedaan di antara dua sifat dan dua inti [dzat]. Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifatNya al Uluhiyah, dalam tajalli ini berkumpul dua sifat yang bertolak belakang, semisal hitam putih, lapang sempit, termasuk juga alam kerendahan dan alam ketinggian. Pada fase ini nama dan sifat tak terlogikan, kulit dan isi telah terkupas, segala sesuatu terlihat : “Laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tapi bila didatanginya air itu, dia tidak mendapatinya sesuatu apapun, dan didapatinya ketetapan Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup.” [QS An Nur (24) ayat 39] diperlihatkan kiri dan kanannya serta dibacakan kitabnya : “Dan dikatakan : Binasalah orang-orang yang zalim.” [QS Hud (11) ayat 44]
Ketahuilah bahwasanya Cahaya itu sejatinya adalah kitab yang tertulis, memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki, seperti yang ditegaskan al Haq dalam firman Qur’ani : “Banyak orang yang disesatkan, dan banyak pula orang yang diberi petunjuk.” [QS Al Baqarah (2) ayat 26].
Ketahuilah tiada jalan menuju-Nya tanpa Cahaya, dan ia [Nur] merupakan Shiratullah [jalan Allah]. Seseorang yang berjalan di bawah CahayaNya, akan beroleh petunjuk, sedang yang berjalan dengan selain CahayaNya akan sesat.
Sekilas Otobiografi :
Syeikh Abdul Karim Ibnu Ibrahim Al Jaili terlahir dari klan keluarga sufi agung Syeikh Abdul Qadir Al Jailaini, pada tahun 767H [1366 M] di pemukiman yang bernama Al Jailan, salah satu distrik di kota Bagdad, Irak. Beliau wafat pada tahun 826H atau 1424 M di kota Zabidah, Yaman. Beliau adalah seorang pengembara sejati yang telah berkelana ke berbagai negara. Beliau adalah “penggila” ilmu pengetahuan. Beliau dikenal sebagai sosok penuntut ilmu yang giat, pakar ilmu Geografi, Pedagogi Ilmu Filsafat, Ilmu Logika, Grametika dan Rahasia Huruf, Perbandingan Agama dan Ilmu-ilmu lain yang sedang mewacana di anak zamannya, dan masyur sebagai intelektual nomor wahid. Ia telah mengkaji semua kitab-kitab suci dan aqidah-aqidah agama, sangat mahir bersemantis logika, pembicaraannya sangat tertata, tutur katanya lembut, logikanya sangat teratur, sikapnya sangat santun, ia bersedia belajar kepada siapa saja, selama melahirkan kontribusi positif bagi pengetahuan dirinya dan mendekatkan dirinya kepada Allah. Beliau juga populer sebagai pakar studi ilmu perbandingan agama. Di hadapan pemeluk agama lain, beliau mampu menunjukkan kesejatian Islam, hingga tidak sedikit orang yang memaklumatkan keislamannya di hadapan Al Jai

Taat Dan Cinta Kepada Allah Dan Rasul-Nya

Sufi Road : Taat Dan Cinta Kepada Allah Dan Rasul-Nya
Taat Dan Cinta Kepada Allah Dan Rasul-Nya
Seorang hamba yang mengetahui bahwa kesempurnaan yang hakiki tiada lain kecuali milik Allah dan setiap yang tampak sempurna dari dirinya atau orang lain adalah dari dan karena Allah, maka hal itu akan menuntut keinginan menaati-Nya dan mencintai segala yang mendekatkan diri kepada-Nya.
Allah SWT berfirman, Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu" (QS Ali 'Imran [3]: 31).
Ketahuilah, wahai yang dikasihi Allah, bahwa kecintaan hamba kepada Allah dan Rasul-Nya adalah ketaatan dan kepatuhan kepada perintah Allah dan Rasul-Nya. Adapun kecintaan Allah kepada hamba-Nya adalah limpahan ampunan-Nya kepadanya.
Ada yang mengatakan, apabila hamba mengetahui bahwa kesempurnaan yang hakiki tiada lain kecuali milik Allah dan setiap yang tampak sempurna dari dirinya atau orang lain adalah dari dan karena Allah, cintanya hanya milik dan kepada Allah. Hal itu menuntut keinginan mentaati-Nya dan mencintai segala yang mendekatkan diri kepada-Nya. Oleh karena itu, mahabbah ditafsirkan sebagai keinginan untuk taat dan kelaziman mengikuti Rasulullah SAW dalam peribadatannya. Hal itu merupakan dorongan menuju ketaatan kepada-Nya. Al-Hasan r.a. berkata, "Beberapa kaum berjanji di hadapan Rasulullah SAW, 'Wahai Rasulullah, sungguh kami mencintai Tuhan kami.' Maka turunlah ayat di atas."
Basyar al-Hâfî berkata, "Aku bermimpi bertemu dengan Nabi SAW. Beliau bertanya, 'Wahai Basyar, tahukah engkau, dengan apa Allah meninggikanmu diantara kawan-kawanmu?' "Tidak, wahai Rasulullah," jawabku. Beliau bersabda, 'Dengan baktimu kepada orang-orang saleh, nasihatmu kepada saudara-saudaramu, kecintaanmu kepada sahabat-sahabatmu dan pengikut Sunnahku, dan kepatuhanmu kepada Sunnahku.' Selanjutnya Nabi SAW bersabda, 'Barangsiapa yang menghidupkan Sunnahku, dia telah mencintaiku. Dan, barangsiapa yang mencintaiku, pada hari kiamat dia bersamaku di surga.'"
Di dalam hadits masyhur disebutkan bahwa orang yang berpegang pada Sunnah Rasulullah SAW ketika orang lain berbuat kerusakan dan terjadi pertikaian diantara para penganut mazhab, dia memperoleh pahala dengan seratus pahala syuhada. Demikian disebutkan dalam Syir'ah al-Islam.
Nabi SAW bersabda, "Semua umatku masuk surga kecuali orang yang tidak menginginkannya." "Para sahabat bertanya, "Siapa yang tidak menginginkannya?" Beliau menjawab, "Orang yang mentaatiku masuk surga, sedangkan orang yang durhaka kepada-ku tidak menginginkan masuk surga. Setiap amalan yang tidak berdasarkan Sunnahku adalah kemaksiatan."
Seorang ulama sufi berkata, "Kalau Anda melihat seorang guru sufi terbang di udara, berjalan di atas laut atau memakan api, dan sebagainya, sementara dia meninggalkan perbuatan fardlu atau sunnah secara sengaja, ketahuilah bahwa dia berdusta dalam pengakuannya. Perbuatannya bukanlah karamah. Kami berlindung kepada Allah dari yang demikian."
Al-Junayd r.a. berkata, "Seseorang tidak akan sampai kepada Allah kecuali melalui Allah. Jalan untuk sampai kepada Allah adalah mengikuti al-Mushthafa SAW".
Ahmad al-Hawari r.a. berkata, "Setiap perbuatan tanpa mengikuti Sunnah adalah batil. Sebagaimana sabda Nabi SAW, "Barangsiapa yang mengabaikan Sunnahku, haram baginya syafaatku." Demikian disebutkan dalam Syir'ah al-Islam.
Ada seorang gila yang tidak meremehkan dirinya. Kemudian, hal itu diberitahukan kepada Ma'ruf al-Karkhi. Dia tersenyum, lalu berkata, "Wahai saudaraku, Allah memiliki para pencinta dari anak-anak, orang dewasa, orang berakal, dan orang gila. Yang ini adalah yang engkau lihat pada orang gila."
Al-Junayd berkata, "Guruku al-Sari r.a. jatuh sakit. Kami tidak tahu obat untuk menyembuhkan penyakitnya dan juga tidak tahu sebab sakitnya. Dokter yang berpengalaman memberikan resep kepada kami. Oleh karena itu, kami menampung air seninya ke dalam sebuah botol. Lalu, dokter itu melihat dan mengamatinya dengan saksama. Kemudian dia berkata, Aku melihat air seni ini seperti air seni seorang pencinta ('âsyiq). 'Aku seperti disambar petir dan jatuh pingsan. Botol itu pun jatuh dari tanganku. Kemudian, aku kembali kepada al-Sari dan mengabarkan hal itu kepadanya. Dia tersenyum dan berkata, 'Allah mematikan apa yang dia lihat.' Aku bertanya, 'Wahai guru, apakah mahabbah itu tampak jelas dalam air seni?' Dia menjawab, 'Benar.'
Al-Fudhayl r.a. berkata, "Apabila ditanyakan kepadamu, apakah engkau mencintai Allah, diamlah. Sebab, jika engkau menjawab 'tidak', engkau menjadi kafir. Sebaliknya, jika engkau menjawab 'ya', berarti sifatmu bukan sifat para pencinta Allah maka waspadalah dalam mencintai dan membenci (sesuatu)."
Sufyân berkata, "Barangsiapa mencintai orang yang mencintai Allah SWT, berarti dia mencintai Allah. Barangsiapa memuliakan orang yang memuliakan Allah SWT, berarti dia memuliakan Allah SWT." Sahl berkata, "Tanda kecintaan kepada Allah adalah kecintaan kepada al-Qur'an. Tanda kecintaan kepada Allah dan al-Qur'an adalah kecintaan kepada Nabi SAW. Tanda kecintaan kepada Nabi SAW. adalah kecintaan kepada Sunnahnya. Tanda kecintaan kepada Sunnahnya adalah kecintaan kepada akhirat. Tanda kecintaan kepada akhirat adalah membenci keduniaan. Tanda kebencian kepada keduniaan adalah tidak mengambilnya kecuali sebagai bekal dan perantara menuju akhirat."
Abu al-Hasan al-Zanjânî berkata, "Pokok ibadah itu adalah tiga anggota badan, yaitu telinga, hati, dan lidah. Telinga untuk mengambil pelajaran, hati untuk bertafakur, sedangkan lidah untuk berkata benar, bertasbih, dan berzikir. Sebagaimana Allah SWT berfirman, "Berzikirlah kepada Allah dengan zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang". (QS. al-Ahzab [33]: 41-42).
Abdullah dan Ahmad bin Harb berada di suatu tempat. Lalu, Ahmad bin Harb memotong sehelai daun rumput. Kemudian, Abdullah berkata kepadanya, "Engkau mengambil lima hal yang melalaikan kalbumu dari bertasbih kepada Maulamu. Engkau membiasakan dirimu sibuk dengan selain zikir kepada Allah SWT. Engkau jadikan hal itu sebagai jalan yang diikuti orang lain, dan engkau mencegahnya dari bertasbih kepada Tuhannya. Engkau bebankan kepada dirimu hujjah Allah 'Azza wa jalla pada hari kiamat." Demikian dikutip dari Rawnaq al-Majâlis.
Al-Sari r.a. berkata, "Aku bersama al-Jurjânî melihat tepung. Lalu, al-Jurjânî menelannya. Aku tanyakan hal itu kepadanya, 'Mengapa engkau tidak memakan makanan yang lain?' Dia menjawab, 'Aku hitung di antara mengunyah dan menelan itu ada tujuh puluh kali tasbih. Karena itu, aku tidak pernah lagi memakan roti sejak empat puluh tahun yang lalu.
Sahl bin Abdullah makan setiap lima belas hari sekali. Ketika memasuki bulan Ramadlan, dia tidak makan kecuali sekali saja. Sekali-sekali dia menahan lapar hingga tujuh puluh hari. Apabila makan, badannya menjadi lemah. Namun jika lapar, badannya menjadi kuat. Dia beriktikaf di Masjidil Haram selama tiga puluh tahun tanpa terlihat makan dan minum. Dia tidak melewatkan sesaat pun dari berzikir kepada Allah.
'Umar bin 'Ubayd tidak pernah keluar dari rumahnya kecuali karena tiga hal, yaitu shalat berjamaah, menjenguk orang sakit, dan melayat orang yang meninggal. Dia berkata, "Aku melihat orang-orang mencuri dan merampok. Umur adalah mutiara indah yang tidak ternilai maka hendaklah umur itu disimpan dalam lemari yang abadi di akhirat.
Ketahuilah bahwa pencari akhirat harus melakukan kezuhudan dalam kehidupan dunia agar cita-citanya hanya satu dan batinnya tidak terpisah dari lahirnya. Tidak mungkin menjaga keadaan itu kecuali dengan penguasaan lahir dan batin."
Ibrahim bin al-Hakim berkata, "Apabila hendak tidur, bapakku sering menceburkan diri ke laut, lalu bertasbih. Ikan-ikan hiu pun berkumpul dan ikut bertasbih bersamanya."
Wahab bin Munabbih berdoa kepada Allah agar dihilangkan rasa kantuk pada malam hari. Karena itu, dia tidak pernah tidur selama empat puluh tahun. Hasan al-Hallaj mengikat kakinya dari mata kaki hingga lutut dengan tiga belas ikatan. Dia menunaikan shalat dalam keadaan seperti itu sebanyak seribu rakaat dalam sehari semalam.
AI-Junayd pernah pergi ke pasar dan membuka tokonya. Dia masuk, menurunkan tirai, menunaikan shalat empat ratus rakaat, kemudian pulang. Selama empat puluh tahun Habsyi' bin Dawud menunaikan shalat dluha dengan wudlu untuk shalat 'isya maka hendaklah orang-orang Mukmin selalu dalam keadaan suci. Setiap kali berhadas, bersegeralah bersuci, shalat dua rakaat, dan berusaha menghadap kiblat dalam setiap duduknya. Hendaklah dia membayangkan bahwa dirinya sedang duduk di hadapan Nabi SAW, menurut kadar kehadiran dan pengawasan batinnya. Dengan demikian, dia terbiasa tenang dalam segala perbuatan. Dia rela menanggung penderitaan, tidak melakukan sesuatu yang menyakiti (orang lain), dan memohon ampunan dari setiap hal yang menyakitkan. Dia tidak membanggakan diri dan perbuatannya, karena bangga diri ('ujb) termasuk sifat-sifat setan. Pandanglah diri dengan mata kehinaan dan pandanglah orang-orang saleh dengan mata kemuliaan dan keagungan. Barangsiapa yang tidak mengenal kemuliaan orang-orang saleh, Allah mengharamkannya bergaul dengan mereka. Dan barangsiapa yang tidak mengenal mulianya ketaatan, dicabutlah manisnya ketaatan itu dari kalbunya.
Al-Fudhayl bin 'Iyadh ditanya, "Wahai Abu' Al-Fudhayl, kapan seseorang bisa dikatakan orang saleh?" Dia menjawab, "Apabila ada kesetiaan dalam niatnya, ada ketakutan dalam kalbunya, ada kebenaran pada lidahnya, dan ada amal saleh pada anggota tubuhnya."
Allah Swt. berfirman ketika Nabi Saw. melakukan mikraj, "Wahai Ahmad, jika engkau ingin menjadi orang yang paling wara, berlaku zuhudlah di dunia dan cintailah akhirat, "Nabi Saw. bertanya, "Wahai Tuhanku, bagaimana cara aku berlaku zuhud di dunia?" Allah menjawab, " Ambillah dari keduniaan itu sekadar memenuhi keperluan makan, minum, dan pakaian. Janganlah menyimpannya untuk hari esok dan biasakanlah berzikir kepada-Ku." Nabi SAW bertanya lagi, "Wahai Tuhanku, bagaimana cara aku membiasakan berzikir kepada-Mu?" Allah menjawab, "Dengan mengasingkan diri dari manusia. Gantilah tidurmu dengan shalat dan makanmu dengan lapar."
Nabi SAW bersabda, "Kezuhudan di dunia dapat menenangkan hati dan badan. Kecintaan kepadanya dapat memperbanyak tekad kuat dan kesedihan. Kecintaan kepada keduniaan merupakan induk setiap kesalahan, dan kezuhudan dari keduniaan merupakan induk setiap kebaikan dan ketaatan."
Seorang saleh melewati sekelompok orang. Tiba-tiba dia mendengar seorang dokter sedang menerangkan tentang penyakit dan obat-obatan. Dia bertanya, "Wahai penyembuh penyakit tubuh, dapatkah engkau mengobati penyakit hati?" Dokter itu menjawab, "Ya, sebutkan penyakitnya." Orang saleh itu berkata, "Dosa telah menghitamkannya sehingga menjadi keras dan kering. Apakah engkau dapat mengobatinya?" Dokter menjawab, "Obatnya adalah ketundukan, permohonan yang sungguh-sungguh, istigfar di tengah malam dan siang hari, bersegera menuju ketaatan kepada Zat Yang Mahamulia dan Maha Pemberi ampunan, dan permohonan maaf kepada Raja Yang Mahakuasa. Inilah obat penyakit hati dan penyembuhan dari Zat Yang Maha Mengetahui segala yang gaib." Lalu, orang saleh itu menjerit dan berlalu sambil menangis. Dia berkata, "Dokter yang baik, engkau telah mengobati penyakit hatiku." Dokter itu berkata, "Ini adalah penyembuhan penyakit hati orang yang bertaubat dan mengembalikan kalbunya kepada Zat Yang Mahabenar dan Maha Menerima taubat".
Dikisahkan bahwa seseorang membeli seorang budak. Lalu budak itu berkata, "Wahai tuanku, aku ingin mengajukan tiga syarat kepada Anda. Pertama, Anda tidak menghalangiku untuk menunaikan shalat wajib apabila tiba waktunya. Kedua, Anda boleh memerintahku sesuka Anda pada siang hari, namun tidak menyuruhku pada malam hari. Ketiga, Anda memberikan kepadaku sebuah kamar di rumah Anda yang tidak boleh dimasuki orang lain." Pembeli budak itu berkata, "Aku akan memenuhi syarat-syarat itu."
Selanjutnya dia berkata, "Lihatlah kamar-kamar itu." Budak itu pun berkeliling dan menemukan sebuah kamar yang sudah rusak, lalu berkata, "Aku mengambil kamar ini." Pembeli budak itu bertanya, "Wahai budak, mengapa engkau memilih kamar yang rusak?" Budak itu menjawab, "Wahai tuanku, tidakkah Anda tahu bahwa yang rusak itu di sisi Allah merupakan taman."
Budak itu melayani tuannya pada siang dan malamnya dia beribadah kepada Tuhannya. Hingga pada suatu malam, tuannya berkeliling di sekitar rumahnya, lalu sampai dikamar budak itu. Tiba-tiba dia melihat kamar itu bercahaya, sementara budak itu sedang bersujud dan di atas kepalanya ada pelita dari cahaya yang tergantung di antara langit dan bumi. Budak itu bermunajat dan merendahkan diri (kepada Allah): Dia berdoa, "Ya Allah, aku memenuhi hak tuanku dan melayaninya pada siang hari. Kalau tidak begitu, niscaya aku tidak akan melewatkan siang dan malamku selain untuk berkhidmat kepada-Mu maka ampunilah aku, wahai Tuhanku."
Tuannya menyaksikan hal itu hingga tiba waktu subuh. Pelita itu menghilang dan atap kamar itu pun menutup kembali. Lalu, dia kembali dan memberitahukan hal itu kepada istrinya. Ketika malam kedua tiba, dia mengajak istrinya dan mendatangi pintu kamar itu. Tiba-tiba mereka menemukan budak itu sedang bersujud dan ada pelita di atas kepalanya. Mereka pun berdiri di depan pintu kamar sambil memandangi budak itu dan menangis hingga tiba waktu subuh. Lalu, mereka memanggil budak itu dan berkata, "Engkau aku merdekakan karena Allah SWT sehingga engkau dapat mengisi siang dan malammu dengan beribadah kepada Zat yang engkau mohonkan maaf-Nya."
Kemudian, budak itu menadahkan tangannya ke langit dan berkata,
Wahai Pemilik segala rahasia
kini rahasia itu telah tampak
hidup ini tak lagi kuinginkan
setelah rahasia itu tersebar.
Lalu dia berdoa, "Ya Allah, aku memohon kematian kepada-Mu." Budak itu pun tersungkur dan lalu meninggal. Demikianlah keadaan orang-orang saleh, serta para pencinta dan pendamba.
Dalam Zahr al-Riyadh disebutkan bahwa Musa a.s. punya seorang karib yang sangat dekat. Pada suatu hari, karibnya berkata, "Wahai Musa, berdoalah kepada Allah agar aku dapat mengenal-Nya dengan makrifat yang sebenar-benarnya."
Musa a.s. berdoa, dan doanya dikabulkan. Kemudian, karibnya pergi ke puncak gunung bersama binatang-binatang buas. Musa pun kehilangan dia maka Musa berdoa, "Wahai Tuhanku, aku kehilangan saudara dan karibku." Tiba-tiba ada jawaban, "Wahai Musa, orang yang mengenal-Ku dengan makrifat yang sebenar-benarnya tidak bergaul dengan makhluk untuk selama-lamanya."
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Yahya a.s. dan Isa a.s. sedang berjalan di pasar. Tiba-tiba seorang perempuan menabrak mereka. Yahya a.s. berkata, "Demi Allah, aku tidak merasakannya."
Lalu Isa a.s. bertanya, "Mahasuci Allah, badanmu ada bersamaku. tetapi kalbumu ada di mana!" Yahya a.s. menjawab, "Wahai anak bibiku, kalau kalbu merasa tenteram kepada selain Allah sekejap mata pun, niscaya engkau mengira aku tidak mengenal Allah."
Seorang ulama berkata, "Makrifat yang benar adalah menceraikan dunia dan akhirat, dan menyendiri untuk Maula. Dia mabuk karena tegukan mahabbah. Karena itu, dia tidak sadar kecuali ketika melihat Allah. Dia berada di atas cahaya dari Tuhannya."

Posisi Aktivitas Hati


Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya di dalam jasad ada sebongkah daging; jika ia baik maka baiklah jasad seluruhnya, jika ia rusak maka rusaklah jasad seluruhnya; bongkahan daging itu adalah QALBU”.
TEMPATNYA IMAN, “Namun Allah menjadikan kamu cinta kepada iman dan menjadikan iman itu indah di hatimu.” (Qs. Al-Hujurat: 7)
TEMPATNYA KASIH SAYANG DAN CINTA, “Dan Yang mempersatukan hati mereka” (Qs. Al-Anfaal: 63)
TEMPAT KETENTRAMAN, “Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikir pada Allah.” (Qs. Ar-Ra’d: 28)
TEMPAT PEMBERSIHAN, “Dan untuk membersihkan apa yang ada di hatimu.” (Qs. Ali Imron: 154)
TEMPAT KESELAMATAN, “Ingatlah ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci (selamat).” (Qs. Ash-Shaaffaat: 84)
TEMPAT PERINGATAN, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati.” (Qs. Qaaf: 37)
TEMPATNYA TAQWA, “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah maka itu sesungguhnya timbul dari ketaqwaan hati.” (Qs. Al-Hajj: 32)
TEMPATNYA KETENANGAN, “Dialah yang menurunkan ketenangan dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah.” (Qs. Al-Fath: 4)
TEMPATNYA KELEMBUTAN DAN KASIH SAYANG, “Kami berikan kepadanya Injil, dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mnengikutinya rasa santun dan kasih sayang.” (Qs. Al-Hadid: 27)
TEMPATNYA KETERIKATAN, “Dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka berkata, Tuhan kami adalah Tuhannya langit dan bumi, kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia.” (Qs. Al-Kahfi: 14)
TEMPATNYA BERGETAR JIWA, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah apabila mereka disebut Nama Allah bergetarlah hati mereka.” (Qs. Al-Anfaal: 2)
TEMPATNYA KHUSYU’, Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.” (Qs. Al-Hadid: 16)
TEMPATNYA PEMAHAMAN, “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk ini neraka Jahannam, kebanyakan dari Jin dan Manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak digunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah)…..” (Qs. Al-A’raaf: 179)
TEMPATNYA DENGKI “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar) mereka berdoa, Ya Tuhan kami beri ampunanlah kami dan saudara-sudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-Hasyr: 10)
TEMPATNYA CONDONG PADA KESESATAN, “Adapun orang-orang yang hatinya condong pada kesesatan maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah.” (Qs. Ali-Imran: 7)
TEMPATNYA PENYAKIT, “Di hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya.” (Qs. Al-Baqarah: 10)
TEMPATNYA EMOSI , “Dan menghilangkan panas hati orang-orang mukmin dan Allah menerima taubat orang-orang yang dikehendakiNya.” (Qs. At-Taubah: 15)
TEMPATNYA RAGU “Sesungguhnya yang akan meninta izin padamu hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian dan hati mereka ragu-ragu.” (Qs. At-Taubah: 45)
TEMPATNYA KETERTUTUPAN, “Sekali-kali tidak (demikian) sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (Qs. Al-Muthaffifin: 14)
TEMPATNYA UJIAN, “Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itu mereka itulah orang-orang yang diuji hati mereka oleh Allah untuk bertaqwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Qs. Al-Hujurat: 3)
TEMPATNYA KETAKUTAN, “Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang beriman Kelak akan Aku tahuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir.” (Qs. Al-Anfaal: 12)
TEMPATNYA KEBUTAAN, “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada.” (Qs. Al-Hajj: 46)
TEMPATNYA KETERTUTUPAN, “Maka apakah mereka telah memperhatikan Al-Qur’an, ataukah hati mereka terkunci?” (Qs. Muhammad: 24)
TEMPATNYA SIKAP KASAR, “Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut kepada mereka, sekiranya kamu besikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Qs. Ali-Imran: 159)
TEMPATNYA KONTRA, “Dan diantara manusia ada orang yang ucapannya menarik perhatian tentang kehidupan dunia dan dipersaksikannya kepada Allah isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.” (Qs. Al-Baqarah: 204)
TEMPATNYA ALPA, “Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas” (Qs. Al-Kahfi: 28)
TEMPATNYA KESOMBONGAN, “Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan pada pada RasulNya dan kepada orang-orang beriman, dan menetapkan pada mereka kalimat taqwa dan mereka berhak atas kalimat taqwa itu dan patut memilikinya.” (Qs. Al-Fath: 26),
TEMPATNYA HIDAYAH, “Siapa yang beriman kepada Allah Dia akan memberi petunjuk pada hatinya.” (Qs. At-Taghaabun: 1l)
TEMPATNYA WAHYU, “Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dibawa turun oleh Ar-Ruhul Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan.” (Qs. Asy-Syu’ara’: 193-194)
TEMPATNYA SESAL, “Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di dalam hati mereka.” (Qs. Ali-imran: 156)