Laman

Minggu, 29 Maret 2015

Rahasia Anugerah


Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
“Allah swt mengetahui bahwa para hamba itu berhasrat kepada munculnya rahasia pertolongan, maka Allah Swt, berfirman: “Allah mengkhususkan RahmatNya kepada orang yang dikehendakiNya.” (Al-Baqarah: 105) Dan Dia Tahu, bila mereka dibiarkan (mengetahui rahasianya), maka mereka akan meninggalkan amal itu, karena mengandalkan pada ketentuan Azali. Maka Allah Swt, berfirman ”Sesungguhnya rahmat Allah itu teramat dekat dengan orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Al-A’raf: 56)
PARA hamba Allah swt sangat berhasrat mengetahui bagaimana masa depannya, apakah ia dalam kondisi bahagia atau celaka, sehingga para hamba itu ingin tahu rahasia Pertolongan Allah Swt. Lalu mereka berdoa, melakukan berbagai amaliah.
Para keinginan para hamba itu, menurut Syteikh Zarruq, didasari oleh tiga hal:
Ingin mengenal segala sesuatu sampai ke akar-akarnya, yang merupakan naluriyah jiwanya.
Ingin mengenal faktor-faktor penyebab yang menghantar pada keinginannya.
Di dalam nafsunya ada klaim-klaim yang kuat, yang mendorong dirinya untuk mengenal faktor sesuai yang kehendaki.
Disinilah Allah Swt, mengembalikan bahwa segalanya itu atas kehendakNya, bukan kehendak kita. KehendakNya tidak ada yang bisa memaksaNya. Dialah Sang Penimbul, Pemula dan Pembangkit segalanya. TindakanNya tidak dilatarbelakangi oleh faktor tertentu, sedangkan semua faktor penyebab yang ada ini adalah ciptaanNya pula.
Allah Swt juga Mengetahui, jika hambaNya dibiarkan mengetahui rahasia pertolonganNya, dipastikan mereka malah meninggalkan amaliyahnya, karena bersandar saja pada ketentuan Azali.
Mereka akan mengatakan, “Bila di zaman azali ada ketentuan bahwa saya ahli syurga, untuk apa saya beribadah, berdo’a dan berusaha?”
Maka Allah Swt pun berfirman, “Sesungguhnya rahmat Allah itu teramat dekat dengan orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Amaliyah yang sholeh hanyalah pertanda akan adanya ‘Inayah, walau pun tidak menjadi sebab wajib yang menentukan ‘Inayah itu harus demikian.
Ibnu Athaillah menegaskan berikutnya:
“Segala sesuatu tergantung KehendakNya, bukan KehendakNya bergantung pada segala sesuatu.”
Segala yang ada ini muncul karena kehendak AzaliNya. Doa, amal ibadah, dan usaha tidak memiliki pengaruh apa pun, pada munculnya kehendak para hamba. Semua bergantung pada hukum Azali.
Lalu aturan kehambaan kita, adalah aturan harus dilakukan, yaitu berusaha, beramal ibadah, taat dan patuh dan senantiasa butuh kepada Allah Swt, sebagai perwujudan kepatuhan hamba kepadaNya.
Al-Wasithy mengatakan, sesungguhnya Allah Swt tidak mendekati si fakir karena kefakirannya, juga tidak menjauhi si kayak arena kekayaannya. Seluruh makhluk ini tidak memiliki pengaruh, baik sukses maupun gagal, bahkan seandainya dunia adan akhirat anda serahkan sepenuhnya kepada Allah, anda tetap tidak akan sampai kepada Allah Swt, dengan dunia dan akhirat anda. Allah mendekatkan mereka kepadaNya, bukan karena sebab atau faktor tertentu, dan Allah mejauhkan mereka dariNya, juga bukan karena faktor-faktor tertentu. Allah Swt, berfirman: “Siapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah baginya, maka ia tidak akan meraih cahaya itu.”
Namun, bila Allah Swt, menghendaki hambaNya untuk meraih anugerahNya, maka si hamba pun ditakdirkan untuk berikhtiar, patuh dan beramal sholeh serta ibadah yang benar, tetapi seluruh tindakan hamba itu tidak menjadi penyebab yang mengharuskan turunnya anugerah, namun amal ibadah dan kepatuhan itulah anugerah yang sesungguhnya.

Tingkatan Spiritual Manusia


Assalamu'alaikum warahatullahi wabarakatuhu..
Jiwa Manusia terbagi kedalam 4 bagian,yaitu jiwa material,jiwa tercerahkan, jiwa sultan dan jiwa illahi.
-Jiwa material.
-"jiwa tercerahkan/aktif" berada di dalam hati yang hidup. pusat perhatiaannya adalah alam malakut. Ia dapat melihat surga alam ini, para penghuninya, cahaya, da semua malaikat yang ada disana, percakapannya adalah percakapan batin,tanpa kata dan tanpa suara. Pikirannya selalu terarah kepada hakikat makna rahasia. Tempat kembalinya di akhirat adalah Jannah Na'im, surga yang berisi segala nikmat dari Allah.
-Tempat "jiwa sultan", atau tempat ia menjalankan pemerintahannya, adalah pusat atau inti hati. Tugasnya adalah mencapai makrifat, dan ia harus menanggani pengetahuan tentang semua bentuk makrifat, yang merupakan sarana pegabdiaan kepada Allah. Rasullullah mengatakan bahwa 'ilmu terbagi kedalam dua bagian;bagian yang berada pada lidah meneguhkan keberadaan Allah,dan bagian yang ada dalam hati manusia. ilmu Itulah yang mutlak dibutuhkan untuk meraih tujuan manusia." buah ilmu yang sejati hanya bisa dicapai oleh aktifitas hati. Rasullullah saw bersabda, Al Qur'an memiliki makna lahir dan makna batin." Allah Swt mewahyukan Alquran dalam sepuluh lapis makna. lebih tinggi tingkatan maknanya, lebih besar manfaatnya, karena lebih dekat kepada hakikat.
Jiwa sultan akan merasakan takjub dan cinta setelah menyaksiakn manifestasi keindahan, karunia, dan kesempurnaan Allah.
Rumah jiwa sultan di akhirat adalah firdaws-surga samawi.
-Jiwa illahi maksudnya jiwa manusia dianugerahi sifat-sifat illahi di akhirat tempat kembalinya adalah surga tertinggi kedekatan dengan Allah SWT. Ruh suci bertahta di pusat hati, yang juga menjadi tempat Dia menyimpan rahasia-Nya (sirr).Dalam sebuah hadits Qudsi Allah menjelaskan,'Manusia adalah rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya." ruh suci berusaha meraih hakikat melalui tauhid. Ia membawa kemajemukan kedalam ketunggalan dengan terus melafalkan yang Esa dalam bahasa rahasia Illahi- bukan lahir yang dapat didengar telinga.
Dan jika kau keraskan ucapanmu, sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi.(thaha[20]:7)
Hanya Allah yang mendengar bahasa ruh suci, dan hanya Dia yang mengetahui keadaannya.
keunggulan ruh suci adalah dapat melihat makhluk yang pertama diciptakan-keindahan Allah. Ia memiliki rahasia pengelihatan. baginya melihat dan mendengar adalah satu. baginya, perbedaan dalam segala yang dilihatnya. Baginya kekuatan dan murka Allah menyatu dengan sifat keindahan, karunia, dan kasih sayang-nya.
ketika manusia menemukan tujuannya,rumahnya, seperti ketika menemukan akal sebab, pikiran yang dulu mengendalikannya tunduk kepada titahnya; hatinya berlabu kepada keterpesonaan, lidahnya menjadi kelu.Ia tidak memiliki daya untuk menyampaikan kabar tentang semua keadaan ini,,karena tak ada sesuatu pun yang menyamai Allah.
Rasulullah saw menjelaskan keadaan ini dengan sabdanya: "suatu ketika aku pernah sangat dekat kepada Allah sehingga tak seorangpun, baik malaikat, rasul atau nabi, yang menjadi penghalang atara kami."itulah makam kesendirian, ketika seseorang telah mengucilkan dirinya dari segala sesuatu kecuali Allah. Itulah makam kebersatuan, seperti yang Allah perintahkan dalam sebuah hadis qudsi,"Menyendirilah dari semua dan temukanlah kebersatuan."
kesendirian itu dimulai dengan sirnanya segala yang duniawi. setelah itu, kau akan menemperoleh sifat-sifat Illahi. Itulah makna sabda Rasulullah saw.,"hiasi dirimu dengan sifat Allah."
"sucikan dirimu, benamkanlah dirimu dalam sifat-sifat Allah."

Puncak Dzikr


Puncak Dzikr adalah Ketenangan
Puncak Ketenangan adalah Kelembutan Hati
Puncak kelembutan Hati adalah Pembukaan Spiritual
Puncak Pembukaan Spiritual adalah Pemahaman
Puncak Pemahaman adalah Kekuatan
Puncak Kekuatan adalah Kesabaran
Puncak Kesabaran adalah Kearifan
Puncak Kearifan adalah Kepemimpinan
Puncak Kepemimpinan adalah Keteladanan moral
Puncak Keteladanan moral adalah Penjagaan diri
Puncak Penjagaan diri adalah Keimanan Tauhid Sejati
Puncak Keimanan Tauhid Sejati adalah Keihsanan
Puncak Keihsanan adalah Keselamatan
Puncak Keselamatan adalah Kedamaian
Puncak Kedamaian adalah Keadilan
Puncak Keadilan adalah Kemanusiaan
Puncak Kemanusiaan adalah Kembali kepada Pencipta sebelum ajal tiba
Puncak Kembali kepada Pencipta adalah Keikhlasan Takwa
Puncak Keikhlasan Takwa adalah Kesucian
Puncak Kesucian adalah Ketangguhan
Puncak Ketangguhan adalah Keruhanian murni
Puncak Keruhanian murni adalah Keagungan
Puncak Keagungan adalah Cinta Ilahi tanpa syarat
Puncak Cinta Ilahi tanpa syarat adalah Kesempurnaan ciptaan

Hiduplah dengan Cinta
Bernafaslah dengan Cinta
Hingga Matilah dengan Cinta
" Dan orang-orang yang berjuang untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta (ikut Menemani, Melindungi, Membantu Memudahkan jalan) orang-orang yang berbuat kebajikan. "
( QS. Al-'Ankaabut, 69 )

Wirid Lebih Utama Ketimbang Pahalanya


Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
Tidak ada yang meremehkan konsistensi wirid (ketaatan di setiap waktu) kecuali orang yang sangat bodoh, karena warid ( pahala wirid) itu akan di dapat di negeri akhirat, sedangkan taat atau wirid itu akan lenyap bersama lenyapnya dunia ini.
Sedangkan yang lebih utama untuk diprioritaskan adalah yang wujudnya tidak bisa diabaikan. Wirid adalah HakNya yang harus anda laksanakan. Sedangkan warid adalah sesuatu yang anda cari dariNya. Mana yang lebih utama antara sesuatu yang dituntut oleh Allah padamu, dibanding apa yang anda tuntut dari Allah?
Mayoritas ummat ini lebih banyak berburu pahala dan janjinya Allah swt. Dalam segala gerak gerik ibadahnya. Padahal yang lebih utama adalah ibadah dan kepatuhannya itu sendiri. Sebab kepatuhan dan ubudiyah yang dituntut oleh Allah swt, dan menjadi HakNya, itu lebih utama dibanding hak kita yang besok hanya akan bisa kita raih di akhirat.

Sebab kesempatan melaksanakan HakNya saat ini dibatasi oleh waktu dunia, dan akan habis ketika usia seseorang itu selesai. Karena itu semampang di dunia, ibadah, amal, wirid harus diperbanyak sebanyak-banyaknya. Soal pahala dan balasan di akhirat itu bukan urusan kita. Manusia tidak berhak mengurus dan menentukan pahalanya. Semua itu adalah haknya Allah swt. Yang telah dijanjikan kepada kita, karena merasa menginginkannya.
Ibnu Athaillah lalu menegaskan, mana lebih utama tuntutan anda apa tuntutan Allah?
Disinilah lalu berlaku pandangan:
1. Taat itu lebih utama dibanding pahalanya.
2. Doa itu lebih utama dibanding ijabahnya.
3. Istiqomah itu lebih utama dibanding karomahnya.
4. Berjuang itu lebih utama dibanding suksesnya.
5. Sholat dua rekaat itu lebih utama ketimbang syurga seisinya.
6. Bertobat itu lebih utama ketimbang ampunan.
7. Berikhtiar itu lebih utama ketimbang hasilnya.
8. Bersabar itu lebih utama ketimbang hilangnya cobaan.
9. Dzikrullah itu lebih utama dibanding ketentraman hati.
10. Wirid itu lebih utama ketimbang warid.
11. dan seterusnya.
Para sufi sering mengingatkan kita, “Carilah Istiqomah dan jangan anda menjadi pemburu karomah. Sebab nafsumu menginginkan karomah sedangkan Tuhanmu menuntutmu istiqomah. Jelas bahwa Hak Tuhanmu lebih baik dibanding hak nafsumu.”
Abu Syulaiman ad-Darany menegaskan, “Seandainya aku disuruh memilih antara sholat dua rekaat dan masuk syurga firdaus, sungguh aku memilih sholat dua rekaat. Karena dalam dua rekaat itu ada Hak Tuhanku, sedangkan dalam syurga firdaus hanya ada hak diriku.”

Dosa-dosamu Jangan Memutus Istiqomahmu


Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
"Manakala anda terjerumus dalam dosa, janganlah kenyataan itu membuatmu putus asa dalam meraih
Istiqomahmu dengan Tuhanmu. Kadang-kadang, – siapa tahu – itulah akhir dosa yang ditakdirkan oleh Allah padamu.”
Jadikan keterjerumusan itu sebagai pintu taubat dan inabah demi beharap kepada Allah Ta’ala, sekaligus sebagai pintu khauf (rasa takut) kepadaNya. Sebab putus asa terhadap rahmat Allah itu bentuk tipudaya yang gelap, bahkan syetan harus berputus asa karena tidak mampu memperdayai anda dibalik tindakan dosa itu.
Imam Al-Ghazaly ra, menegaskan, “Sebagaimana dosa merebut anda, dan kembali kepada dosa sebagai aktivitas anda, maka jadikanlah taubat dan kembali kepadaNya sebagai aktivitas. Karena orang yang beristighfar tidak akan mengulang-ulang dosanya, walau ia mengulang tujuhpuluh kali setiap harinya.”
Kita bisa mengambil pelajaran dari Fir’aun, yang dosanya benar-benar memuncak dan paling besar, toh Allah Ta’ala masih memerintahkan kepada Nabi Musa as dan Nabi Harun as, “Katakan padanya dengan kata-kata yang lembut, siapa tahu ia bisa tersadarkan atau ia memiliki rasa gentar dan takut (Kepada Allah Swt).” (Thaha 44)
Betapa banyak orang yang kembali bertobat dan menjadi Istiqomah gara-gara perbuatan dosanya, dan sebaliknya betapa banyak orang yang akhirnya malah maksiat gara-gara ibadahnya, dimana ia bangga dengan prestasi amal ibadah, lalu takjub pada diri sendiri, kemudian riya’ dan takabur.
Optimisme pada rahmat dan anugerah Allah Ta’ala harus menjadi titik utama ke depan. Karena bila manusia bertaubat dengan taubatan Nasuha, malah seluruh dosanya diampuni.
Tetapi jangan sampai manusia meremehkan perbuatan dosa dengan beralibi, “Allah Maha Ampun, atau ampunan Allah lebih besar dibanding dosanya, atau apa artinya dosaku kalau dibanding rahmat Allah….” dst. Yang menggiring seseorang terbelit dosa terus menerus.
Pandangan Ibnu Athaillah untuk mengingatkan kita agar kita tidak putus asa pada RahmatNya, bahkan dalam kondisi terpuruk oleh dosa sekali pun.
Allah Swt, justru menghampiri kepada para pendosa agar kembali kepadaNya, karena dibalik “kembali” itu ada “cinta” yang begitu agung dariNya. Cinta itu sangat luhur dan besar nilainya disbanding apa pun. “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang taubat.” Begitu ditegaskan dalam Al-Qur’an.
Bahkan di awal kitab Al-Hikam ini disebutkan, “Tanda-tanda manusia bergantung dan mengandalkan amalnya, adalah kehilangan harapan (terhadap rahmat Allah) ketika berbuat dosa.”
Rasa kehilangan akan harapan ampunan dan rahmat adalah bentuk pesimisme yang berbahaya, karena pada saat yang sama seseorang tidak menggantungkan diri pada Sang Pencipta Amal, malah menggantungkan pada amal itu sendiri yang diklaim sebagai perbuatannya.
Padahal amal baik tidak menjamin seseorang masuk syurga, dan amal buruk tidak otomatis seseorang pasti masuk neraka. Masuk neraka itu semata karena keadilan Allah, dan masuk syurga karena rahmat dan ridhoNya.
Bila anda meraih rahmat dan ridhoNya, maka taat dan kepatuhan anda sebagai tanda memang anda ditakdirkan masuk syurga. Sedangkan bagi mereka yang mendapat keadilan Allah Swt, (na’udzubillahi min dzaalik) seseorang ditandai dengan berbuat maksiat dan menuruti nafsunya belaka di dunia.

Karomah Bukan Derajat Luhur


“Tidak setiap orang yang memiliki keistemewaan itu sempurna kebersihan batin dan keikhlasannya.”
Saat ini publik ummat sering menilai derajat luhur seseorang dari kehebatan-kehebatan ilmu dan karomahnya. Syeikh Abu Yazid al-Bisthamy pernah didatangi muridnya, yang melaporkan karomah dan kehebatan seseorang.
“Dia bisa menyelam di lautan dalam waktu cukup lama…”
“Saya lebih kagum pada paus di lautan…”
“Dia bisa terbang…!” kata muridnya.
“Saya lebih heran, burung kecil terbang seharian…karena kondisinya memang demikian,” jawabnya.
“Lhah, dia ini bisa sekejap ke Mekkah…”
“Saya lebih heran pada Iblis sekejap bisa mengelilingi dunia…Namun dilaknat oleh Allah.”
Suatu ketika orang yang diceritakan itu datang ke masjid, tiba-tiba ia meludah ke arah kiblat.
“Bagaimana ia menjaga adab dengan Allah dalam hakikat, sedangkan adab syariatnya saja tidak dijaga..” kata beliau.
Banyak orang yang mendalami ilmu pentetahuan, mampu membaca dan mengenal dalil, kitab-kitab, bahkan memiliki keistemewaan, tetapi banyak pula diantara mereka tidak bersih hatinya, tidak ikhlas dalam ubudiyahnya.
Begitu pula ketika karomah dan tanda-tanda yang hebat itu disodorkan pada Sahl bin Abdullah at-Tustary, ra, beliau balik bertanya, “Apa itu tanda-tanda? Apa itu karomah? Itu semua akan sirna dengan waktunya. Bagiku orang yang diberi pertolongan Allah swt untuk merubah dari perilakunya yang tercela menjadi perilaku yang terpuji, lebih utama dibanding orang yang punya karomah seperti itu.”
Sebagian Sufi mengatakan, “Yang mengagumkan bukannya orang yang memasukkan tangan ke kantong sakunya, lalu menafkahkan apa saja dari kantong itu. Yang mengagumkan adalah orang yang memasukkan tangannya ke kantong sakunya karena merasa ada sesuatu yang disimpan di sana. Begitu ia masukkan tangannya ke sakunya, sesuatu itu tidak ada, namun dirinya tidak berubah (terkejut) sama sekali.”
Jadi karomah itu sesungguhnya hanyalah cara Allah memberikan pelajaran kepada yang diberi karomah agar perjalanan ruhaninya tidak berhenti, sehingga semakin menajak, semakin naik, bukan untuk menunjukkan keistemewaanya.
Yang istimewaan adalah Istiqomah. Karena itu para Sufi menegaskan, “Jangan mencari karomah, tetapi carilah Istiqomah.” Sebab istiqomah itu lebih hebat dibanding seribu karomah. Dan memang, hakikat kartomah adalah Istiqomah itu sendiri.
Bahkan Imam Al-Junayd
al-Baghdady pernah mengi-ngatkan, betapa banyak para Wali yang terpleset derajatnya hanya karena karomah.
Syeikh Abdul Jalil Mustaqim pernah mengatakan, ketika anda diludahi seseorang dan anda sama sekali tidak marah, itulah karomah, yang lebih hebat dibanding karomah yang lainnya.
Ketika dalam sebuah perkumpulan Thariqat Sufi, tiba-tiba ada seseorang datang, dan langsung membicarakan kehebatan ilmu ini dan itu, karomah si ini dan si itu. Lalu seseorang diantara mereka menegur,
“Mas, kalau di sini, ilmu-ilmu seperti yang anda sampaikan tadi hanya dinilai sampah. Jadi percuma sampean bicara sampah di sini…”
Ada seseorang disebut-sebut sebagai Wali:
“Wah dia itu wali, bisa baca pikiran orang, dan kejadian-kejadian yang pernah kita lakukan walau pun sudah bertahun-tahun lamanya…”
“Lhah, orang yang punya khadam Jin juga bisa diberi informasi oleh Jinnya tentang kejadian yang lalu maupun yang akan datang… Jadi hati-hati…”
“Beliau itu keturunan seorang Ulama besar..”
“Tidak ada jaminan nasab itu, nasibnya luhur di hadapan Allah…”
Dan panjang sekali kajian soal karomah dan kewalian ini, yang butuh ratusan halaman. Tetapi kesimpulannya, seseorang jangan sampai mengagumi kehebatan lalu mengklaim bahwa kehebatan itu menunjukkan derajat di depan Allah. Tidak tentu sama sekali.

Tiga Jalan Rohani Ma’rifatullah


1. Cita Rasa (Dzauq)
Cita rasa adalah pengalaman spiritual langsung. Dzauq merupakan tahapan atau lebih tepatnya, haal (kondisi spiritual) pertama dalam pengalaman pengungkapan diri Allah (tajalli). Rasa ini diperoleh dari perjalanan rohani dalam berbagai maqamat, serta berbagai perilaku dzikir dari seorang sufi.
Dari dzauq, perjalanan seorang sufi terus diarahkan pada kemenyatuan (larut dalam Keesaan) yang sering disebut juga sebagai “syurb” (minuman dari hidangan rohani Illahi). Sehingga dahaga spiritual yang dirasakan menjadi terpuaskan. Terkadang proses ini juga diikuti dengan tahapan sukr (kemabukan spiritual), yang secara tidak sadar, atau diluar kendali diri kemanusiaannya sering memunculkan pertanyaan dan kata-kata serta ungkapan spiritual (syathahat). Hal ini terjadi karena rasa keterkuasaan oleh wujud Tuhan dalam rohaninya.
Kelanjutan proses dzauq dan bagaimana kondisi rohani seseorang yang larut didalamnya, tidak dapat ditangkap melalui kata-kata. “Orang-orang yang merasakannya pasti tahu. Dan mereka yang belum merasakannya pasti belum tahu”. Tanpa secara langsung merasakannya, seseorang tidak akan mungkin mampu mendapatkan gambaran yang paling pas atas fenomena ini. Dan yang jelas, dzauq merupakan gerbang utama untuk memperoleh pengetahuan langsung tentang Allah dan dari Allah. Jadi seorang sufi yang belum bisa merasakan cita rasa spiritual, tidak mungkin akan dapat melampaui tahapan ma’rifatullah. Mungkin kalau sebatas pengetahuan tentang Allah, secara minimal sudah bisa didapatkan. Namn pengetahuan langsung dari Allah sebagai inti ma’rifat belum mampu akan diperolehnya kecuali dengan perasaan dzauq. Dimana seorang hamba larut dalam kemanunggalan dengan Tuhan.
2. Penyingkapan (Kasyf)
Kasyf adalah penyingkapan atau wahyu atau pengetahuan langsung yang diperoleh dari Allah setelah seorang sufi berhasil melampaui tahapan dzauq. Kasyf merupakan salah satu jenis pengetahuan langsung, yang dengan itu pengetahuan tentang Hakikat diungkapkan pada hati seorang sufi dan kekasih yang mencintai Allah.
Dengan sifat rahmat-Nya, Allah memberikan kepadanya sebuah Pengungkapan diri Allah. Tidak hanya menambah pengetahuannya tentang Allah, melainkan juga menambahkannya kerinduannya yang menggelora dalam lautan cintanya kepada Allah. Disinilah seorang sufi sampai pada sebutan ahl al-kasyf wa al-wujud (Kaum Penyingkap dan Penemu). Dalam penyingkapan itulah mereka “menemukan” dan “bertemu” Allah.
Terdapat lima jenis penyingkapan yang terjadi pada para sufi:
a. Kasyf ‘aqli. Penyingkapan melalui akal. Ini merupakan tingkatan pengetahuan intuitif yang paling rendah. Allah tidak bisa diketahui dan dicintai melalui akal (al-‘aql), karena akal membelenggu dan menghalangi manusia dalam tahapan akhir kenaikannya menuju Allah. “Bumi dan langit-Ku tidak sanggup memuat-Ku, hanyalah hamba-Ku yang beriman yang sanggup memuat-Ku “ (hadits qudsi)
b. Kasyf-i arwah. Adalah bentuk penyingkapan ruh-ruh. Diawali tentang pengetahuan atas ruh diri sendiri, kemudian tentang ruh-ruh manusia dan makhluk lain, lalu meningkat ke ruh dalam seluruh dimensi “alam al-ghaib. Puncaknya adalah pada pengetahuan langsung ruh al-idhafi, dan diarahkannya kepada al-Ruh al-Haqq.
c. Kasyf bashari atau juga Kasyf kauni. Merupakan penyingkapan pada tataran makhluk. Penyingkapan visual yang terjadi melalui penciptaan yang dilakukan Allah. Dalam suatu peristiwa-tempat, tindakan, atau ucapan manusia-seorang yang suci bisa menjadi tempat bagi penyingkapan visual ini. Allah adalah Yang Maha Mutlak. Dia adalah Keindahan (jamal) dan Keagungan (jalal). Melalui makhlukNya, Allah bisa mengungkapkan diri-Nya pada hambaNya lewat salah satu Nama KeindahanNya yang akan menimbulkan kemanisan dan kesenangan. Atau lewat salah satu Nama KeagunganNya yang akan melahirkan ketakziman dan ketakutan. Disinilah peranan al-asma’ al-husna serta al-asma’ al nabi sangat strategis untuk mengantarkan dan membawa seorang sufi kedalam samudera penghayatan rohaniah.
d. Kasyf Imani. Penyingkapan melalui keimanan. Penyingkapan ini terjadi melalui ketulusan iman seorang muslim. Kadar intensitas penyingkapan ini bisa berfungsi sebagai katalisator yang mengaktifkan sang Mukmin untuk lebih banyak lagi mencari ilmu dan pengetahuan spiritual.
e. Al-Kasyf al-Ilahi. Penyingkapan Illahi. Penyingkapan ini merupakan buah manis dari ibadah terus menerus dan menghiasi hati dengan mengingat Allah (dzikrullah). Prosesnya bisa melalui dzikir, wirid, atau mujahadah dan sejenisnya. Penyingkapan Illahi ini bisa terjadi secara langsung dalam hati, tanpa bantuan visual apapun, yakni ketika Keindahan Allah masuk kedalam hati seorang sufi dan pencinta-Nya. Ini juga bisa terjadi dengan bantuan visual yang berupa lokus tertentu Cahaya Illahi seperti dengan sarana wushuliyah seorang suci, benda, atau tempat suci. Ibarat daya listrik yang bukan sumber sendiri, maka ia harus melalui alat penghantar. Atau penampungan air yang tidak berada di sumber air, yang melaluinya air mengalir kepadanya. Seorang yang memperoleh penyingkapan ini akan melihat Wajah Allah yang tercermin melalui sarana hantaran yang ada, dan terpantul ke kedalaman lubuk hati. Dimana ruh al-idhafi akan menangkap pantulan tersebut. Tentu saja tingkat kesempurnaan penyingkapan lebih utama pada penyingkapan spiritual yang tanpa bantuan visual.
Berdasarkan konsepsi dan realitas tersebut, maka Syekh Siti Jenar telah termasuk dalam kelompok quthb al-auliya’, dimana seluruh dimensi kasyf memang sudah dialami, dan menjadikannya sebagai “penyingkap” dan “penemu”, yang aliran sufi-nya muncul sebagai aliran sufi mandiri.
3. Penyaksian (Musyahadah)
Musyahadah adalah penyaksian atau visi. Musyahadah adalah sejenis pengetahuan langsung tentang Hakikat yang disaksikan. Sehingga seorang sufi yang sudah berada dalam tahapan ini disebut sebagai musyahid, atau Saksi. Dia adalah orang yang telah memperoleh visi (musyahadah) tentang Allah, Yang Maha Benar.
Penyaksian ini terjadi dalam berbagai cara. Sebagian penempuh jalan spiritual dan kaum tarekat menyaksikan Allah dalam segala sesuatu. Sebagian menyaksikan Allah sebelum, sesudah dan bersama sesuatu. Sebagian lain menyaksikan Allah sendiri. Semua tergantung pada proses, jalan rohani, yang ditempuh dan juga kondisi rohani sang penempuh jalan masing-masing.
Dan karena Allah tidak pernah mengungkapkan Diri-Nya sendiri secara sama dalam dua momen berturut-turut pada sesuatu, maka penyaksian (musyahadah) itu tidak terbatas dan tiada berakhir. Inilah salah satu kenikmatan atau nikmat (na’im) yang dirasakan oleh para penghuni surga sejati. Dan tentu bagi para pecinta-Nya dan para perindu-Nya, ia bisa saja merasakan kebahagiaan abadi tersebut sejak dari dunia ini. Sehingga ketika ia melalui gerbang kematian, ia disebut sebagai “tidak mati”, akan tetapi berada dalam kehidupan. Ya, hamba yang sudah manunggal hanya beralih alam menuju pada Kehidupan Sejati dan mengarungi Keabadian sebagaimana Syekh Siti Jenar mengalami kematian, ruh dan raganya sama-sama musnah menuju Ruh al-Haqq Yang Abadi.

Ruang-ruang Jiwa Menuju Ruang-ruang Ilahi


Dalam diri kita ada ruang, yang lebih sering menjadi ruang pengap, sunyi, gelap, bahkan terkadang ruang itu berkobar membara bagai neraka. Padahal ruang-ruang itu menjadi lembah dan hamparan bagi hidupnya ruang-ruang yang lain, yang kelak menjadi kesatuan utuh bagi kepribadian kita.
Ruang-ruang itu selalu menjadi ruang rahasia, karena memang tidak nyata di kasat mata. Di relung paling dalam ruang jiwa kita ada Al-Lubb yang juga disebut dengan As-Sirr (relung paling dalam di jiwa kita, yang menjadi awal atau sumber, siapa diri kita sesungguhnya.)
Ruang-ruang jiwa kita butuh cahaya, agar senantiasa terang, cerdas dan bahagia. Cahaya itu bias diraih melalui renungan, tafakkur ketika diri kita sedang sendiri dalam khalwat dan uzlah kita sehari-hari. Cahaya itulah yang kelak bisa membedakan mana yang gelap dan buruk, bathil dan jahat, dengan yang terang, haq dan penuh limpahan kebajikan.
Namun agar cahaya-cahaya itu tetap hidup, seseorang mesti terus menghidupkan jiwanya secara mekanis melalui Dzikrullah secara langgeng terus menerus. Kelak ruang-ruang jiwa akan dipenuhi oleh khazanah ilmu pengetahuan, khazanah ma’rifatullah, dan berbuah kesadaran terus menerus untuk mebangunkan kualitas ruhaniyah kita.
Sebagai kesatuan organis dalam ruang batin kita, masing-masing ruang haruslah hidup dengan keserasian sejati, yaitu kehidupan fungsional sesuai dengan tugas-tugas dari Allah Swt. Apa tugas tafakkur, tugas akal, tugas hati, tugas ruh dan rahasia ruh, sehingga terjadi refreshing spiritual terus menerus terhadap masa depan kita.
Pada saat yang bersamaan, adab atau etika kita dengan Sang Pencipta juga harus berserasi. Karena pertumbuhan keimanan kita mesti menjulang ke Cakrawala Ilahiyah. Sampai pada tahap keimanan yang Haqqul Yaqin. Suatu kondisi kita siap memasuki “Ruang-ruang Ilahi” yang digambarkan secara cemerlang oleh Syeikh Ibnu Athaillah as-Sakandari sebagai “Hadhratul Quds” dan “Bisathul Uns” (Hadhirat Suci dan Hamparan Kemesraan yang membahagiakan).
Disanalah ada langkah-langkah kaki yang telah menanggalkan sandal-sandal dan sepatu alam atau segala hal selain Allah Swt. Kita memasukinya melalui :
Pintu Mufatahah (Pintu terbukanya rahasia demi rehasiaNya);
Lalu kita ber-Muwajahah (berhadapan dalam HadiratNya);
Kemudian ber-Mujalasah (bermajlis dalam Kharisma Ilahiyah penuh dengan rasa malu, Taqarrub dan Muroqobah),
Lalu ber-Muhadatsah (berdialog dengan bahasa qalbu, melalui tafakkur dalam mengarungi nuansa Jabarut, dimana kita bermunajat melalui Rahasia Batin kita).
Kemudian ber-Musyahadah (menyaksikan kebesaran dan keagunganNya dibalik Asma’, Sifat dan DzatNya, kita menyaksikanNya di alam Malakut, Dia Menyaksikan di alam nyata, kita menyaksikan di KetuhananNya, Dia menyaksian kehambaan kita.)
Berakhir dengan ber-Muthala’ah (terbukanya pandangan batin kita atas rahasia alam Malakut, Jabarut, Rahasia Taqdir, dan kita memandangnya dengan menuju KetuhahanNya, Dia melihat pada kehambaan kita yang menanjak mpadaNya, kita melihat fakta ketentuan dan takdirNya, lalu jiwa kita menerima penuh ridho, dan ketika Dia memandang hamparan rahasia jiwa kita, Dia pun membukakan hamparan anugerahNya, lalu kita bersimpuh di sana, Dia pun memandang kita dengan rasa Cinta yang Luhur, Penerimaan yang Agung.)

Sorak Bergembira


Darimana datangnya gembira? Pada apa kita gembira? Dalam kondisi dan situasi seperti apa? Kemana ”gembira” itu pulang dan pergi?
Rupanya kegembiraan kita tidak pernah lama. Dalam 24 Jam, manusia bergembira rata-rata tidak lebih dari 1 Jam. Selebihnya bergulat dengan aktivitas, atau istirahat, atau bahkan ada yang beribadah, atau menyelsaikan problema, atau menghadapi problema yang tiba-tiba.
Banyak orang bergembira ketika harapannya tiba. Banyak orang bergembira jika nikmat dan karunia datang tiba-tiba. Banyak orang bergembira jika musuhnya kalah dan celaka. Banyak orang bergembira ketika ia lepas dari derita.
Namun tidak banyak yang gembira pada Sang Pencipta kegembiraan. Sedikit yang gembira pada Sang Pemberi nikmat dan anugerah. Sedikit yang gembira ketika beraktivitas, berproblema, beristirahat, karena menyongsong HadirNya.
Memang, kita diperintahkan bergembira dengan sorak hati kepada Sang Pencipta rahmat dan anugerah. Awalnya ­—dengan keterbatasan kita— diberi sarana menuju gembira padaNya, melalui anugerah keutamaan dan rahmatNya, namun, betapa banyak kita lalu terjebak pada indahnya wujud nikmat dan anugerah, lalu kita lalai pada Sang Empunya anugerah dan rahmat.
Dalam Al-Qur’an digambarkan, ”Wajah-wajah mereka hari itu penuh dengan keceriaan, memandang Wajah Tuhannya....”. Tentulah, bagi kita hari ini, adalah wajah-wajah hati kita di dunia, senantiasa menghadap kepadaNya, memandangNya, pastilah dengan kebahagiaan dan kegembiraan jiwa.
Kegembiraan memang akibat dari kerelaan, kesyukuran, kepasrahan, kepatuhan, harapan, rasa yakin, dan matahati yang senantiasa memandang ke depan.
Kegembiraan juga muncul dari pertaubatan, karena sebelum taubat ada, ampunan sudah lebih dulu tiba. Dengan ampunanNya itulah, sang hamba jadi bertaubat.
Kegembiraan senantiasa membayangi siapa pun yang memetik harpa-harpa CintaNya, yang senantiasa mengalunkan melodi fadhal dan rahmatNya. Kita mustahil berdusta, karena sungguh mustahil kita beralasan untuk menghindar dari lambaian kebahagiaan dariNya.

Munajat Sufi


Syeikh Ahmad ar-Rifa’y
“Ketika aku di-Isro’kan ke langit, aku melihat rahim sedang tergantung di Arasy, sang rahim mengadukan pada sesama rahim kepada Tuhannya, bahwa ia telah terputus. Lalu aku bertanya, “Berapakah jarak pisah antara dirimu dengan dirinya? Rahim menjawab, “Kami bertemu dalam empat puluh jarak.”
Dalam hadits mulia ini ada disiplin mengenai kasih sayang bagi hamba, yang bisa mengendalikan liarnya nafsunya, dan ketika bertemu, ia benar-benar menjadi golongan yang saling berserasi.
Dari sebagian kaum arifin yang sampai padaku, ada munajat-munajatnya:
“Ilahi, dengan rahim (persaudaraan) kami saling bersambung, dan dengan hati kami bersibuk denganMu.”
Anak-anak sekalian! Ketahuilah bahwa para pecinta dalam menempuh jalan ubudiyah dan waktu-waktu munajat terbagai dalam berbagai level. Ada yang munajat dengan bahasa pengakuan bersalah; ada pula yang bermunajat dengan ungkapan bingung dan terdesak; ada pula yang munajat dengan bahasa kebanggan. Seandainya kalangan yang lalai mengetahui, mereka sejenak nafas pun tidak akan mengabaikan.
Nabi Saw, dalam munajatnya bersabda: "Ilahi, Bila matahati penghuni dunia sejuk dengan dunianya, maka sejukkanlah matahatiku bersamaMu. Sejukkanlah mata hatiku dengan nikmatnya mesra bersamaMu dan rindu bertemu denganMu.”
Begitu juga pecinta selalu bermunajat: “Wahai sebaik-baik kemesraan dan yang memberi kebahagiaan. Wahai Yang sebaik-baik pendamping dan sahabat bicara. Bahagialah orang yang merasa cukup dariMu bersamaMu. Oh Tuhan, aku datang kepadaMu, aku datang kepadaMu wahai Kekasih hati. Aku datang kepadaMu wahai pelipur hati. Labbaik. .Labbaik.. Wahai harapan hati. Aku datang oh Tuhanku, mendekatMu bersamaMu hanya bersandar padaMu, hendaknya jangan Engkau palingkan diriku bersamaMu, dariMu, dan jangan Engkau hijab diriku bersamaMu dariMu.”
Ilahi, bila Engkau memanggilku ke neraka, pasti aku penuhi panggilanMu, bagaimana tidak, sedangkan Engkau sendiri telah memanggilku menuju DiriMu?
Ilahi, bila Engkau dekatkan aku dariMu, lalu siapa lagi yang bisa menjauhkan aku? Dan bila Engkau beri kemuliaan padaKu bersamaMu, maka siapa lagi yang bisa memperendahkan diriku? Jika Engkau mengangkat derajatku kepadaMu, maka siapa lagi yang bisa merendahkanku?
Ilahi, siapakah yang aku takuti, sedangkan Engkau adalah Tuanku? Kepada siapa lagi aku berharap sedangkan Engkau adalah harapan? Kepada siapa aku bersukacita sedangkan Engkau selalu di hadapanKu? Maka bersamaMu, padaMu, hendaknyalah Engkau limpahkan kesempurnaan anugerahMu wahai Dzat Yang Sendah-indahnya Tuan, dan Seindah-indahnya Penolong.
Ilahi, rahasiaku terbuka di hadapanMu, sedangkan diriku hanya bisa mengadu kepadaMu, padahal kemahamurahanMu sudah dikenal, dan kemaha-muliaanMu menjadi sifat.
Ilahi, Engkaulah pucak kegembiraan orang-orang yang mesra kepadaMu dari para kekasihMu, dan tempat mengadunya para hampa yang Engkau pilih, dan Tempat majlis bagi para pengadu dari kalangan wali-waliMu.
Ilahi, betapa indahnya ma’rifat dalam qalbu para ‘arifin. Betapa manisnya mengingatMu pada bibir-bibir orang-orang yang berdzikir, dan betapa eloknya mencintaiMu dalam rahasia jiwa para pecinta.
Ilahi, Engkau tak pernah menggagalkan cita-cita luhur para penghasratMu, dan bagiMu tidak tersembunyi kondisi ruhani para penempuhMu, dan harapan orang-orang yang kembali kepadaMu tak pernah pupus di hadapanMu.
Ilahi, Engkaulah kebahagiaanku bila aku memandang dariMu kepadaMu. Dan Engkaulah cukupKu bila diriku berupaya meraih bersamaMu, dariMu. Sedangkan adalah kecintaanku bila aku turun dariMu bersamaMu.
Duh, Tuhan, kasihanilah upayaku hanya menuju kepadaMu, kesendirianku bersamaMu, ketaksukaanku dari selain DiriMu. Duhai Sang Pecinta dan Tambatan kebahagiaan, wahai sebaik-baik pendamping dan tempat bicara. Jadilah buktiku darimu menujuMu.
Ilahi, jadikanlah anugerah paling agung dalam hatiku, adalah rasa malu padaMu. Jadikanlah ungkapan termanis pada ucapanku adalah memujaMu. Jadikanlah saat-saat yang paling kucintai, adalah saat-saat bertemu denganMu.
Ilahi, betapa mengerikan hati yang tidak dzikir kepadaMu. Betapa hancurnya hati yang tidak ada rasa takut kepadaMu, dan betapa sedikit kebahagiaan, yang tiada mencintaiMu.
Ilahi, tak sabar lagi jika di dunia aku tidak berdzikir kepadaMu, bagaimana aku bias sabar di akhirat nanti untuk jauh memandangMu?
Ilahi, aku mengadu betapa sendirinya diriku di negeriMu, dan betapa mengerikannya berada diantara hamba-hambaMu.
Ilahi, tak ada hasrat kehendak melainkan DiriMu, dan tak ada cita-cita utama selain Engkau, dan tak ada hajat selain DiriMu.
Ilahi, Inilah indahnya munajat, lalu bagaimana indahnya bertemu kelak?
Ilahi, inilah terimakasihku, dan terimakasihnya syukurku.
Ilahi, inilah kebahagiaanku, dan bahagiannya bahagiaku.
Ilahi, inilah rasa sayangku, dan kecintaan sayangnya sayangku.
Ilahi, bagaimana hatiku sibuk untuk mencintai selain DiriMu? Sedangkan aku sudah tidak mengenal selain mengenalMu.
Ilahi, pada siapa lagi yang layak dipuji, sedangkan Engkau adalah Tuanku? Pada siapa aku berharap, sedangkan Engkau adalah harapan daeri segala harapan. Duhai sebaik-baik yang dima’rifati dan didzikiri. Engkau terlah memuliakan diriku dengan wilayah kema’rifatanMu, maka, setelah itu janganlah Engkau hinakan aku wahai Tuanku, dengan selainMu.
Ilahi, aku heran pada orang yang mengenalMu, bagaimana ia masih butuh selain Engkau?
Ilahi, aku heran pada orang yang gembira bersamaMu, bagaimana ia masih gentar pada selain DiriMu?
Ilahi, aku heran kepada orang yang menghendakiMu, bagaimana masih menghendaki selain DiriMu?
Ilahi, inilah kegembiraanku bersamaMu di negeri fana’, bagaimana kelak kegembiraanku di negeri Baqa’?
Ilahi, inilah kebahagiaanku bersamaMu dalam jubah khidmah, bagaimana kebahagiaanku kelak bersamaMu dalam selimut nikmat?
Ilahi, inilah kelezatan cinta, bagaimana lezatnya memandangMu?
Ilahi, inilah lezatnya kemesraan, bagaimana kelak lezatnya bertemu?
Ilahi, siapa yang tak bersukacita bersamaMu, lalu darimana lagi ada kegembiraan lain?
Ilahi, Engkau minumi aku dengan gelas cinta hingga Engkau mabukkan diriku. Cinta telah membunuhku dan rindu telah membakarku.
Ilahi, Engkau perlihatkan padaku cintaMu, perlihatkanlah wushulku…
Ilahi, betapa panjang husnudzonku bersamaMu, hendaknya jangan Engkau kembalikan aku dalam kehancuran, hingga dugaanku padaMu tidak hancur. Yang yang Dikenal bersama Yang Maha Dikenal.
Ilahi, aku tidak sabar lagi untuk bertemu, dan padaMu tak ada rekayasa, pastilah segala dariMu, tak ada lagi tempat berlalri selain Engkau, dan tak ada pula kebahagiaan selain Engkau.
Ilahi, Engkau hidupkan aku dengan ma’rifat padaMu, maka janganlah Engkau matikan aku dengan ingkar padaMu.
Ilahi, Engkau perlihatkan sambungMu kepadaku, janganlah Engkau tampakkan sedikit pun pisahMu padaku.
Ilahi, bila Engkau tak bertindak apa yang kami kehendaki, maka berilah kami kesabaran atas apa yang Engkau kehendaki.
Ilahi, habiskan dzikirku demi mengingat keagunganMu. Ungkapkan lisanku dengan sifat anugerahMu, dan kuatkan diriku untuk mensyukuri nikmatMu.
Ilahi, kasihanilah daku, karena begitu lemahnya ketika menghadapi kehidupan yang berat, begitu bodoh dengan usaha, begitu bingung dalam mencari.
Ilahi,Engkau jadikan sebab apa yang Engkau berikan, adalah karena harapan padaMu, dan usaha yang memadukan antar wali-waliMu adalah kelembutanMu pada qalbu-qalbu mereka.
Ilahi, maka berikanlah harapan itu seperti Engkau memberi harapan padaku. Padukanlah diriku dengan para waliMu sebagaimana Engkau berikan kasih saying antar qalbu.
Bagaimana seseorang masih butuh, sedangkan Engkau adalah bagiannya? Bagaimana seseorang masih gentar sedangkan Engkau adalah kebahagiaannya? Atau bagaimana menjadi hina sedangkan Engkau adalah Kekasihnya? Atau bagaimana seseorang susah, sedangkan Engkau adalah miliknya
Ilahi, Hasratku padaMu telah membatalkan semua kegelisahanku. Dan cintaku padaMu telah menghalangi nyenyaknya tidurku. Rinduku padaMu menghalangi kelezatan-kelezatan. Dan mesraku padaMu membuatku gentar untuk berpaling selain DiriMu.
Ilahi,, Engkau pun memberi wewenang pada orang yang memusuhiMu, bagaimana Engkau akan memusuhi orang yang menjadi waliMu?
Ilahi, ma’rifatku padaMu adalah buktiku atas DiriMu, dan cintaku padaMu adalah perantara menuju kepadaMu.
Ilahi, para pecinta mengenal keparipurnaan RububiyahMu, sedang para pendosa adalah cipta dan sempurnanya kuasaMu, maka mereka pun menyerahkan diri padaMu dan mencari selamat padaMu.
Ilahi, jadikanlah diriku tergolong orang yang tidak mengambil kekasih selain DiriMu, dan tidak menempuh jalan selain padaMu, orang yang berharapkan selain dariMu.
Ilahi, Jangan jadikan aku tergolong orang yang memalingkan dirinya dari WajahMu, terhijab dari ampunan dan tertutup dari pintuMu, terputus dari sebab-sebab perlindunganMu dan mengandalkan dirinya sendiri. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Kuasa atas segalanya.
Malik bin Dinar ra, berkata, “Aku melihat seorang budak perempuan sedang bergelayut di tirai Ka’bah sembari bermunajat:
KepadaMu kami datang, dan Engkau datang pada kami
Tak satu pun yang menghidupkan kami
Darimu kami memburu, sedang Engkau telah memiliki kami
Tak satu pun selain DiriMu datang padaku."

Yang Tersembunyi Di Balik Semesta


Merahasiakan Pengalaman Ilahiyah
Mencegat Lompatan-lompatan Gus Dur : Tinjauan Sufisme Al-Hikam
Keutamaan Dzikir "Allahu Akbar"
Perilaku Manusia Dalam Dzikir Tauhid
Ragam Dzikir

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary"Allah swt. Maha Mengetahui sesungguhnya dirimu tidak sabar untuk menyaksikanNya, maka Allah swt mempersaksikan padamu apa yang tampak dariNya."
Anda semua memang tidak sabar untuk segera memandang Allah Ta’ala, dan
Allah swt, Maha Tahu itu semua, lalu Dia menampakkan ciptaanNya padamu. Anda bisa memandang yang tersembunyi di balik ciptaanNya, maka di sanalah ada aktivitas Illahi, Asma’ dan SifatNya, lalu anda bisa memandangNya dengan Mata Hati. Namun mata kepala terbatas pada ciptaanNya belaka. Itulah yang disebut dengan memandang dibalik hijab. Suatu karomah kemuliaan bagimu sekaligus sebagai pertolonganNya padamu, dimana anda tidak terhijab dariNya di dunia ini.
Dalam hikmah-hikmah terdahulu Ibnu Athaillah As-Sakandary, bahkan mengurai panjang lebar mengenai tidak adanya alasan, seseorang untuk menegaskan bahwa Allah itu terhijab oleh segala sesuatu, karena Allah swt menyertai segala sesuatu, Ada sebelum segala sesuatu ada, bersama segala sesuatu, dan segala sesuatu menuju kepadaNya, kembali kepadaNya, hanya bagiNya. Dia adalah Satu-satunya, dan Dia adalah Yang Maha Dekat dibanding segalanya.
Karena itu beliau juga melanjutkan:
"Ketika Allah swt, Mengetahui adanya kebosanan darimu, maka Allah swt, memberikan ragam warna taat kepadamu. Dan Allah swt, Maha Tahu adanya ambisi dalam dirimu, maka Allah swt membatasinya bagimu dalam sebagian waktu, agar hasratmu adalah menegakkan sholat, bukan wujudnya sholat. Karena tidak setiap orang yang sholat itu adalah penegak sholat."
Manusia itu punya sifat pembosan, rasa berat, rasa sembrono, dan sekaligus punya ambisi. Namun semua itu merupakan tanda akan kelemahan manusia. Oleh sebab itu Allah swt, memberikan ragam dan macam ibadah, dengan waktu yang berbeda, bentuk ibadah yang berbeda pula, agar setiap perpindahan dari satu macam ibadah ke ragam lainnya, tetap bernilai ubudiyah kepada Allah swt.
Namun manusia punya ambisi berlebihan. Karena itu pula Allah memberikan batas-batas waktu agar nikmat Allah swt, terus berlangsung. Dua nikmat dalam peragaman ibadah dan pembatasan waktu ibadah, adalah wujud Kasih SayangNya kepadamu.
Bosan dan ambisi adalah dua sifat yang berbahaya bagi hamba Allah Ta’ala, karena jika dibiarkan akan memanjakan hawa nafsu dan semakin menjauhkan dari Allah swt.
Dengan demikian orientasi para hamba bukan pada wujud ibadahnya, wujud sholatnya, tetapi pada penegakan sholatnya. Tidak semua orang sholat benar-benar menjadi "penegak sholat". Muqimus-sholat berarti menegakkan melalui pemeliharaan lahir batin, hanya Lillahi Ta’ala. Tidak ada bayangan, gambaran, atau imajinasi, bahkan pikiran kemana-mana, selain hanya Allah Ta’ala saja. Itulah sang penegak sholat.

Memburu Allah


Seorang tamu di kedai itu sejak tadi pagi memegang tasbih. Rambutnya gondrong, menjadi lengkap disebut sebagai pengembara ketika tongkat dan rangselnya ada di pundaknya. Tapi wajahnya tampak sangar, matanya memerah dan lehernya menekuk.
"Mas, apa saya boleh berguru ke pondok ini ya?" celetuknya pada Pardi.
"Berguru apa Mas?"
"Ya, supaya saya bisa dzikir, dan tentu sampean tahu maksud saya..."
"Wah saya ini orang bodoh Mas. Jadi saya tak mengerti maksud Mas..."
"Begini, singkatnya, saya sedang mencari banyak guru, untuk memburu ilmu, agar saya mendapatkan karomah, kehebatan, dan sekaligus pahala. Oh, ya, apakah keistemewaan dari dzikir dan ilmu di sini...."
"Wooooouuuu begitu to maksud anda. Di sini tidak mengajarkan dzikir dengan keistemewaan supaya bisa begini dan begitu. Kalau mengajarkan ilmu jelas ada. Tapi bukan ilmu yang anda cari. Di sini hanya mengajarkan ilmu menata batin, menata jiwa, agar hubungan dengan Allah itu punya adab. punya etika dan sopan santun...."
"Memang kalau kita berdzikir padaAllah itu tidak ada sopan santunnya Mas?" tanya orang itu.
"Lha kalau dzikirnya demi pahala dan kehebatan itu sah-sah saja. Tapi anda nggak dapat pahala besar. Bolehlah pahala kecil, apalagi kalau dzikirnya agar dapat karomah, malah di sini yang begitu malah dapat sampah...."
Pemuda itu terjengak. Kaget setengah mati dengan jawaban aneh Pardi yang ceplas ceplos itu.Seakan-akan membongkar seluruh pandangan hidupnya tentang ilmu dan dzikir, seperti ada revolusi batin yang sungguh begitu keras dan meledak-ledak.
"Sampean mau dapat ilmu membaca pikiran orang? Tahu apa yang telah dilakukan orang lain kemarin? Atau yang bakal terjadi?"
Pemuda itu semakin kaget. Ia tertunduk merenung dalam konflik batin yang tak karuan. Ingin marah, tapi juga ia tak dapat menyangkal kebenaran omongan si Pardi itu.
Pardi sendiri juga heran. Tapi siapa yang harus diherankan ketika kehidupan perjalanan manusia melalui proses yang memnang harus demikian. Semula manusia ingin mencari rahasia-rahasia Allah, memburu kehebatan-kehebatan, bahkan dengan segala kedigdayaan dan kebanggaannya, terus mencari yang dahsyat-dahsyat. Lalu mereka kehilangan Allah, kehilangan tujuan hakiki hidupnya, sirna dalam buih-buih pencariannya.
Dulkamdi tiba-tiba masuk bersama Kang Soleh. Dua sahabat itu bernyanyi-nyanyi kecil. Sambil berselimut sarung, mereka langsung memesan kopi. Sementara pemuda tadi masih terus bergumul dengan kontemplasinya.
Kang Soleh menebarkan senyum khasnya. Tapi matanya tampak berkaca-kaca. Seperti menahan duka yang dalam. Tapi juga ada peradaan menepiskan duka itu. Lalu ia bicara seperti orang berpidato, sambil sesekali tangannya mengepal memukul-mukul pahanya sendiri.
"Saya nggak habis pikir kenapa orang diajak pada kebaikan sulitnya bukan main. Orang di ajak beribadah malasnya bukan main. Orang diajak dzikir yang tergambar hanya proposalnya saja di depan Allah. Orang sudah banyak yang ingin memaksa Allah sesuai dengan seleranya. Orang diajak senyum malah marah. Diajak marah malah menghindar dari kenyataan. Diajak menuju kepada Allah malah ingin mencari selain Allah, mencari pahala, mencari kehebatan, mencari hal-hal aneh. Apakah mereka masih punya alasan lain untuk mendurhakai Allah?"
Pemuda tadi tiba-tiba pucat pasi mendengar orasi Kang Soleh yang cukup emosional. Tapi Kang Soleh terus nerocos.
"Tapi,....yaaakh...Memang Allah masih menakdirkan mereka itu sebatas itu, mau apalagi. Astaghfirullaahal'adzim, jangan-jangan saya sendiri malah hancur-hancuran. Saya memburu ikan paus malah dapat ikan teri. Saya memburu Allah, malah terpesona rahasia-rahasia Allah. Wah..weah...wah..." kata Kang Soleh geleng kepala, sambil airmatanya bercucuran.
"Kang...Kang! Tenang, Kang!....kita pakai teori, kejarlah daku kau kutangkap!" ceplos Dulkamdi.
"Betul....!" jerit Kang Soleh keras-keras. "Kita membru Allah, mengejar Allah, biar ditangkap oleh Allah. Tapi Dul....Dul....." Kang Soleh tak mampu meneruskan kata-katanya. Nafasnya tersenggal-senggal.
"Tapi apa Kang?"
"Tapi...Ditangkap Allah itu rasanya sakit Dul, sakit sekali....pedih. Kamu tahu Dul, betapa hangus nya diri kita dalam Genggaman Allah. Tapi, sesungguhnya dibalik genggaman itu ada ruang tak terhingga ketika jiwa kita dilepas oleh genggamanNya. Hati kita bisa melihat kebun mawar syurgawi, taman firdaus ruhani, dan tarian mahajelita jamaliyah bidadari....Dul...."
Kang Soleh seseunggukan seperti anak kecil. Dan Pemuda itu yang sedari tadi pucat pasi, sudah tergolek tak mampu bergerak lagi, kecuali dadanya yang naik turun. Pingsan!

Terbitnya Cahaya


Darimana kah cahaya Ilahi itu terbit? Tentu bukan dari Timur maupun dari Barat, tapi dari qalbu dan rahasia qalbu paling dalam. CahayaNya melimpah sebagaimana dikatakan Ibnu Athaillah as-Sakandary, ”Tempat terbitnya cahaya itu adalah qalbu dan rahasia qalbu,” lalu cahaya itu membias ke seluruh wilayah batin kita, menghidupkan batin kita, jiwa kita, fikiran dan akal kita.
Pertama kali cahaya itu membuka kenyataan hakikat, maka seorang hamba merasa diliputi oleh cahayaNya dan ”Duhai ....Pertolongan dari Allah dan Pencerahan bahwa Dia adalah Maha Dekat (Nashrun minallaah wa-fathun qariib). Duh Engkau-Lah Sang Maha Dekat dan akulah yang begitu jauh...”
Berikutnya, cahaya semakin kuat memancar hingga tak ada yang diragukan lagi dalam lembah rasa yaqin dalam qalbu. Sang hamba fana’ dalam cahayaNya, lalu melimpahlah ampunan atas dosa-dosa masa lalu dan masa depan. Itulah Fathun Mubiin yang begitu kuat menghanguskan daya dan upaya kita, dan yang ada hanya Dia Swt.
Dalam puncak kesadaran cahaya, sang hamba meraih ma’rifah yang hakiki, dalam pencerahan yang absolut atau mutlak. Sebuah Pertolongan Allah Swt langsung, yang membuat sang hamba dalam Baqa’Nya, karena Yang Ada hanyalah Baqa’Nya. Dan itulah disebut sebagai Futuh Muthlaq (Idzaa Jaa’a Nashrullaah wal-Fath).
Ya Allah bukalah pencerahan pada kami melalui pencerahan para ahli ma’rifat. Yang ma’rifat dariMu, bersamaMu hanya bagiMu. Amiin.