Laman

Rabu, 17 Juni 2015

Beberapa Istilah Penting dalam Ilmu Tasawuf


1. Al-Maqamat: yaitu posisi ruhani yang dilalui oleh seorang sufi dalam proses mujahadahnya, dimana ia berada dalam posisi itu untuk sementara waktu, kemudian melalui mujahadahnya ia akan terus merambat naik ke posisi yang lebih tinggi.
2. Al-Ahwal: hembusan ruhani yang merasuk ke dalam hati tanpa disengaja ataupun diusahakan. Al-ahwal adalah anugerah, sedangkan al-maqamat bisa diusahakan. Al-ahwal datang tidak berujud dan berbentuk, sedangkan al-maqamat diperoleh dengan usaha yang sungguh-sungguh.(19) (lihat ar-Risalah, hal. 118-119).
3. Al-Fana’: yakni gugur dan hilangnya sifat-sifat tercela dalam diri sufi, sedangkan al-Baqa’: adalah muncul dan berkembangnya sifat-sifat terpuji dalam diri sufi.(20) (lihat Risalah, hal. 128).
4. Al-Ghaibah: yaitu hilangnya kemampuan hati untuk mengetahui ahwal atau kondisi diri, dikarenakan terlalu sibuk dengan urusan-urusan yang bersifat materi (sesuatu yang dapat dicerna oleh panca indera), sedangkan al-Hudhur: datangnya Kebenaran (Al-Haq/Allah Swt) dalam hati, karena hati seorang sufi dikondisikan dengan mengingat Allah Swt dan melalaikan selain-Nya.
5. At-Takhalli yaitu membuang seluruh potensi buruk dan jahat dari hati dan nafsu, sedangkan at-Tahalli adalah menghiasi diri dan hati dengan sifat-sifat terpuji.
6. Assitru: tertutupnya hijab Allah Swt dari hati manusia, sedangkan at-Tajalli: adalah terbuka hijab Allah dari hati manusia.(21) (lihat ar-Risalah, hal. 133 dan 147).
7. Al-Muhadharah, al-Mukasyafah dan al-Musyahadah, ketiga istilah tersebut berkaitan dengan ma’rifat kepada Allah swt. Al-Muhadharah adalah tahap pertama, yang berarti hadirnya hati untuk selalu mengingat Allah Swt, al-Mukasyafah adalah tahap kedua yang berarti hadirnya hati untuk mulai membuka tabir yang menghalangi antara hati dengan Allah Swt, dan al-Musyahadah merupakan tahap paling tinggi yaitu hadirnya Allah Swt dalam hati, sehingga terbukalah semua tabir penghalang antara keduanya.
8. At-Talwin yaitu sifat-sifat yang dimiliki oleh ahl ahwal (sufi yang masih berproses), sedangkan at-Tamkin adalah sifat-sifat mulia yang dimiliki oleh ahl haqa’iq (sufi tertinggi yang telah mencapai tahap hakikat).(22) (lihat ar-Risalah, hal. 148 dan 151).
9. As-syari’ah yaitu perintah untuk menetapi dan konsisten beribadah, sedangkan al-Haqiqah adalah terbukanya tabir penghalang antara hati sufi dengan Allah Swt (musyahadah) .
10. Ilmu al-Yaqin, ‘Ain al-Yaqin, Haq al-Yaqin, adalah istilah berkaitan dengan ulum al-jaliyyah (ilmu yang jelas). Yang pertama dengan syarat adanya dalil atau burhan, yang kedua karena dibuktikan dengan keterangan (bayan), sedangkan yang ketiga dibuktikan secara langsung dengan mata kepala.(23) (lihat ar-Risalah, hal. 155 dan 157).
Demikian beberapa istilah penting dalam ilmu tasawuf dari sekian banyak istilah yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu dalam tulisan ini. Untuk lebih memperdalam kajian tentang istilah-istilah ini, anda bisa merujuk langsung kepada ar-Risalah al-Qusyairiyyah dan kitab-kitab tasawuf lain yang telah penulis perkenalkan di atas.
Sepintas tentang Beberapa Aliran Tarekat dan Para Tokohnya
A. Definisi, Organisasi dan Spesifikasi Tarekat
Mendefinisikan tarekat tentu saja tidak dapat dilepaskan dengan sejarah dan perkembangan tasawuf itu sendiri, karena pada hakekatnya ia lahir sebagai bentuk implementasi dari nilai dan ajaran tasawuf dan sebagai wadah bagi kalangan sufi untuk mengaktualisasikan kecenderungan tasawuf mereka. Oleh karenanya, para ulama tasawuf mengkategorikan tarekat sebagai “al-harakah al-’amaliyah li at-tasawwuf al-Islami” atau gerakan aktualisasi tasawuf Islam.
Dr. Amir an-Najjar menyatakan bahwa kata “at-thariq” sebagai sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab paling tidak mengandung dua pengertian istilah dalam perspektif tasawuf Islam. Pengertian Pertama, tarekat pada abad ketiga dan keempat hijriah berarti “metode atau manhaj untuk melatih jiwa agar menetapi prinsip-prinsip akhlak dan prilaku terpuji”. Pengertian Kedua, tarekat setelah abad kelima hijriah merupakan “seperangkat tatanan ritual kejiwaan yang dipergunakan oleh komunitas sufi tertentu dalam kerangka mencapai tataran kejiwaan tertinggi (ma’rifat) sekaligus menjalin ukhuwah Islamiyah”. Kemudian pada fase berikutnya mulai dikenal istilah bai’at, mursyid, naqib, khalifah dan sebagainya.
Adapun organisasi tarekat meliputi:
1. Murid
2. Khalifah
3. Khalifah al-Khulafa’
4. Na’ib al-Bandar
5. Na’ib al-Markaz
6. Na’ib al-Muhafadzah
7. Syaikh ‘Umum at-Tariqah.(24) (Lihat at-Thuruq as-Shufiyyah fi Mishr, Dr. Amir an-Najjar, hal. 20-21)
Tarekat memiliki spesifikasi di antaranya:
1. Dzikir
2. Sima’ (sya’ir-syair pujian yang dinasyidkan)
3. Hizib dan Wirid (setiap tarekat biasanya memiliki hizib atau wirid tertentu yang menjadi ciri khasnya).
4. Mawalid (mengadakan ritual peringatan kelahiran Keluarga Rasulullah Saw maupun para syuyukh tarekat tersebut).(25) (Lihat at-Thuruq as-Shufiyyah fi Mishr, hal. 24)
B. Mengenal Beberapa Aliran Tarekat dan Tokohnya
• Tarekat Rifa’iyyah
Pendirinya adalah Ahmad ar-Rifa’i, seorang sufi yang lahir di desa “Hasan” atau lebih dikenal dengan nama “umm ‘Ubaidah” di Irak pada tahun 512 H dan wafat pada tahun 578 H. Ar-Rifa’i dikenal sangat konsisten terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah, tekun dalam beribadah, rendah hati, toleran dan sangat mencintai sesamanya.
Pokok-pokok ajaran tarekat ini terdiri dari 5 hal, yaitu:
1. Konsisten terhadap sunnah Rasulullah Saw.
2. Mengikuti prilaku para salaf shalihin.
3. Memakai pakaian sederhana, sebagai lambang kezuhudan terhadap dunia.
4. Siap menanggung beban penderitaan dan cobaan dari Allah Swt.
5. Memakai baju yang ada tambalan sebagai lambang kerendahan hati.
Dzikir wajib yang berlaku dalam tarekat ini adalah kalimat tauhid dan shalawat yang dibaca rutin setiap setelah selesai shalat fardhu dengan jumlah sesuai kemampuan, yaitu 50 kali, 500 kali atau 2500 kali, dan bisa lebih dari itu. Salah satu ritual khas lain dari tarekat ini adalah ritual “Muharram”, yaitu menyepi dan memperbanyak dzikir pada tahun baru Islam tersebut selama 7 hari berturut-turut.
• Tarekat Qadiriyyah
Didirikan oleh Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Shalih Janki al-Jailani (w. 521 H). Nasabnya sampai kepada Sahabat Ali bin Abi Thalib Ra. Ia dikenal sebagai seorang yang sangat peduli terhadap masalah pendidikan dan dakwah. Majelis taklimnya dihadiri oleh banyak kalangan ulama dan fuqaha di Irak, tempat asal al-Jailani.
Prinsip-prinsip ajaran tarekat ini di antaranya:
1. Berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah.
2. Jujur dan benar.
3. Bersungguh-sungguh.
4. Berakhlaq mulia.
Dzikir wajib dalam tarekat ini adalah kalimat tauhid, dan dibaca setiap setelah selesai shalat wajib sebanyak minimal 165 kali.
• Tarekat Syadziliyah
Pendirinya adalah Abu al-Hasan as-Syadzili, seorang sufi dari Maroko yang lahir pada tahun 593 H di desa “ghamarah” Maroko. Nasabnya sampai kepada Sahabat Ali bin Abi Thalib Ra. Tarekat ini memiliki cabang yang cukup banyak, terutama di negara-negara Afrika Utara, seperti Tunis , Aljazair dan Libia.
Prinsip-prinsip ajaran tarekat ini terdiri dari lima hal:
1. Bertaqwa kepada Allah Swt dalam kondisi sendirian maupun bersama orang lain.
2. Berpegang teguh kepada as-Sunnah, baik dalam ucapan maupun perbuatan.
3. Tidak terlalu bergantung kepada makhluk.
4. Ridha dengan sedikit maupun banyak.
5. Kembali kepada Allah Swt dalam keadaan senang maupun susah.(26) (Lihat at-Thuruq as-Shufiyyah fi Mishr, hal. 63 dan setelahnya).
• Tarekat Naqsyabandiyyah
Pendirinya adalah Muhammad Baha’uddin an-Naqsyabandi al-Uwaisi al-Bukhari. Lahir di “Qashr al-’Arifan”, sebuah desa dekat Bukhara pada tahun 717 H. Tarekat ini dalam berdzikir lebih mengedepankan cara sir atau tidak terdengar. Dzikir yang berlaku adalah kalimat tauhid dan shalawat serta melakukan khataman “khawajikan” atau membaca riwayat para guru. Dzikir “khawajikan” memiliki tata cara tersendiri, yaitu:
1. Khudu’, khusyu dan hudhur.
2. Membaca surat al-Fatihah 7 kali.
3. Shalawat kepada Rasulullah Saw sebanyak 100 kali.
4. Membaca surat al-Insyirah 79 kali.
5. Membaca surat al-Ikhlas 1001 kali.
6. Membaca surat al-Fatihah (yang kedua kali) 7 kali.
7. Shalawat kepada Nabi Saw (yang kedua kali) 100 kali.
Adapun prinsip-prinsip ajaran tarekat ini adalah:
• Kesemprnaan iman.
• Kesempurnaan Islam.
• Kesempurnaan ihsan.(27) (lihat at-Tariqah an-Naqsyabandiyyah wa ‘A’lamuha, Dr. Muhammad Ahmad Darniqah, hal.18 dan setelahnya).
Demikian pengenalan sepintas tentang beberapa tarekat yang memiliki pengikut dengan jumlah yang signifikan. Masih banyak tarekat lain yang tidak dapat penulis sebutkan dialam tulisan ini, karena bagaimanapun tulisan ini hanya bersifat pengantar. Apabila anda berminat untuk mengkaji tentang tarekat secara lebih detail, silahkan merujuk pada buku-buku tarekat yang cukup banyak beredar di Negeri ini.

Sebuah Pesan


Berkata Syekh ‘Abdul Qadir al-Jilani, jika kita berguru kepada seseorang untuk sampai kepada Alloh, maka ikutilah sarannya ini,
Hendaklah kita berwudhu dengan sempurna, pikiranmu penuh khusyuk, dan matamu jangan memandang selain dari tempat wudhu salah. Setelah itu, barulah kita bershalat. Kita membuka pintu shalat dengan wudhu yang telah kita lakukan sebelumnya, kemudian kita membuka pintu istana Alloh dengan shalat. Apabila kita menyelesaikan shalat, tanyakanlah Alloh melalui bisikan hati, tentang siapakah yang patut kita contoh sebagai pembimbing atau guru kita? Siapakah yang benar benar dapat menyampaikan ajaran Alloh kepada kita? Siapakah orang yang menjadi pilihan-Nya ? Siapakan Khalifah-Nya ? Siapakah Wakil-Nya?
Alloh Maha Pemurah, kelak pertanyaan yang serius itu akan dijawab-Nya. Tanpa ragu lagi bahwa Dia akan mendatangkan ilham kedalam hati kita. Dia akan memberikan petunjuk ke dalam diri kita, yaitu petunjuk yang paling dalam yang disebut Sirr. Alloh akan memberikan kepada kita tanda-tanda atau isyarat yang jelas. Pintu cahaya-Nya akan terbuka untuk kita. Kemudian cahaya itu akan mendorong kita ke jalan yang benar. Ingatlah, siapa yang berusaha dengan sungguh-sungguh mencari, pasti akan mendapatkannya, sebagaimana firman Alloh SWT :
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS Al Ankabut:69)
Segala keputusan ada pada diri kita masing-masing, pada hati kita yang diberi cahaya kelak. Kita sendiri yang memutuskan, bukan orang yang akan kita jadikan guru. Bila hati kita telah bulat tertumpu kepada orang itu, maka mulailah berguru kepada padanya. Dialah yang menjadi pilihan Tuhan untuk kita. Jangan peduli tentang hartanya, asal-usul keturunannya, wajah dan perawakannya, cara dan aturan-aturannya, dan apa yang dikatanya. Yang terpenting adalah batin dan hatinya, dan bukan keadaan zahir yang melekat pada dirinya.
Dalam majelis atau bimbingannya, kita tidak perlu tergesa-gesa berbicara dan menarik perhatiannya, Perhatikan kearifan yang bermanfaat yang dikerjakannya terhadap Tuhan. Dia adalah pengajar dan pembimbing, bukan hanya untuk diri nya sendiri, melainkan juga untuk orang lain. Dia hanya penyampai bukti-bukti Ketuhanan.
Hendaknya kita bersedia menerima apa yang Alloh akan sampaikan melalui seseorang bertindak sebagai pembimbing bagi umat. Tumpukanlah perhatian kepadanya. Jangan sekali kali melanggar perintahnya atau melampaui batas-batas yang ditentukannya. Hendaknya kita mendengar kata-katanya dengan penuh khusyuk dan tekun. Jangan sampaikan merasa ragu dan berburuk sangka pada arah bimbinganya, terhadap kata-katanya, dan terhadap perlakuannya, karena semua itu muncul dari dalam ruhaninya, Anggaplah ia lebih dari pada orang lain, dan biarkanlah dia membimbing kita menuju Alloh SWT dalam keadaan tenang dan tentram, asalkan tujuannya mestilah Alloh semata dan bukan gayrullah.
Ikutilah saran-saran ini dengan baik, semoga Alloh akan membimbing kita ke jalan yang menuju pintu-Nya
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (QS Al-fatihah:6)

Qolbu Quran adalah Hatinya Al Quran


Rosululloh SAW bersabda :
“Al Quran itu terdiri dari 30 juz, 114 surat ; dan dalam tiap - tiap surat ada hatinya”.
Fadilah Qolbu Quran :
1. Sama dengan taman membaca Al Quran 1000 x ;
2. Ibadah Haji & Umroh ;
3. Shodaqoh mas sebesar gunung Uhud ;
4. Barang siapa yang menulis atau menyimpan Qolbu Quran di rumahnya, maka dia diharamkan untuk masuk neraka ; dihapuskan segala dosanya dan diqobul segala maksud dan tujuannya.
Selain itu, barang siapa yang membaca Qolbu Quran, Insya Alloh akan :
1. Dipanjangkan umurnya ;
2. Sehat jasmani dan rohani ;
3. Ditetapkan Iman – Islamnya ;
4. Meninggal dalam keadaan khusnul Khotimah ;
5. Hatinya diberikan nur Al Quran ;
6. Dihasilkan segala maksud dan tujuannya ;
7. Selamat di dunia dan di akhirat ;
QOLBU QURAN :
Bismillaahir rohmaanir rohiim. (Q. S. Al-Fatihah : 1)
Maaliki yaumiddiin. (Q. S. Al-Fatihah : 4)
Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin. (Q. S. Al-Fatihah : 5)
Shummum bukmun ‘umyung fahum laayar ji’uun.
(Q. S. Al-Baqarah : 18)
Qul ingkungtum tuhibbunallooha fattabi’uunii yuhbib-kumullooha wayaghfirlakum dzunuu bakum.
Walloohu ghofuurur rohiim. (Q. S. Ali Imran : 31)
Mayyuthi’ir rosuula faqod athoo ‘allooh. Wamang tawallaa famaa arsalnaaka ‘alaihim hafiizhoo.
(Q. S. An Nisa : 80)
I’lamuu annallooha syadiidul ‘iqoob. (Q. S. Al-Maidah : 98)
Laatud rikuhul abshooru wahuwa yudrikul abshooro wahuwal lathiiful khobiir. (Q. S. Al-An’am : 103)
Qoola robbanaa zholamnaa angfusanaa wa illam taghfirlanaa watarhamnaa lanakuu nannaa minal
khoosiriin. (Q. S. Al-A’raf : 23)
Falam taqtuluuhum walaa kinnallooha qotalahum. Wamaa romaita idzromaita walaa kinnallooha romaa. Waliyubliyal mu-miniina minhu balaa - an hasanaa. Innallooha samii’ul ‘aliim. (Q. S. Al-Anfal : 17)
Qullay yushiibanaa illaa maa kataballoohu lanaa huwa maulanaa wa 'alalloohi fal yatawakkalil mu minuun. (Q. S. At Taubah : 51)
Waiy yamsaskalloohu bidlurring falaa kaasyifa lahuu illaa huwa. Wa-iyyuridka bikhoiring falaa roodda lifadllih, yushiibu bihii mayyasyaa-u min ‘ibaadih. Wahuwal ghofuurur rohiim. (Q. S. Yunus 103)
Walaqod arsalna muusaa bi-aayaatinaa wasulthoonim mubiin. (Q. S. Hud : 96)
Idz qoola yuusufu li-abiihi yaa abati innii ro-aitu ahada ‘asyaro kaukabaw wasysyamsa wal qomaro ro-aituhum li saajidiin. (Q. S. Yusuf : 4)
Salaamun ‘alaikum bimaa shobartum. Fani’ma ‘uqbaddaar. (Q. S. Ar Rad : 24)
Robbanaa innaka ta’lamu maa tukhfii wamaa nu’lin. Wamaa yakhfaa ‘alalloohi ming syai-ing fil ardli walaa fissamaa-i. (Q. S. Ibrahim : 38)
Alhamdu lillaahilladzii wahabalii ‘alal kibari ismaa’iila wa ishaaq. Inna robbii lasamii’ud du’aa-i. (Q. S. Ibrahim : 39)
Nabbi- ‘ibaadii annii anal ghofuurur rohiim. (Q. S. Al-Hijr : 49)
Ilaahukum ilaahuw waahid. Falladziina laa yu - minuuna bil akhiroti quluubuhum mungkirotuw wahum mustakbiruun. (Q. S. An Nahl : 22)
Wayas-aluunaka ‘anirruuh. Qulirruuhu min amri robbii wamaa uutiitum minal ‘ilmi illaa qoliilaa. (Q. S. Al-Israa : 85)
Almaalu wal banuuna ziinatul hayaatid dun-yaa. Wal baaqiyaatush shoolihaatu khoirun ‘ingda robbika tsawaabaw wa khoirun amalaa. (Q. S. Al-Kahfi : 46)
Wadzkur fil kitaabi idriis. Innahuu kaana shiddiiqon nabiyyaa. (Q. S. Maryam : 56)
Warofa’naahu makaanan ‘aliiyyaa. (Q. S. Maryam : 57)
Qoola robbisy rohlii shodri wayassirlii amri. (Q. S. Ath Tha Ha : 25 & 26)
Qulna yaanaaru kuunii bardaw wasalaaman ‘alaa ibroohiim. (Q. S. Al-Anbiya : 69)
Wamay yad’u ma’alloohi ilaahan aakhoro laa burhaana lahu bihi fa innamaa hisaabuhu ‘ingda robbih. Innahuu laa yuflihul kaafiruun. (Q. S. Al-Mu’minun : 117)
Innallooha yud khilulladziina aamanuu wa ‘amilush shoolihaati jannaating tajrii ming tahtihal anhaar. Innallooha yaf’alu maayuriid. (Q. S. Al-Hajj ; 14)
Qoola robbing shurnii bimaa kadzdzabuun. (Q. S. Al-Mu’minun : 26)
Wa ‘adalloohalladziina aamanuu mingkum wa ‘amilush shoolihaati layastakhlifan nahum fiil ardli kamas takhlafal ladziina ming qoblihim walayumak kinanna lahum diina humulladzii artadloo lahum walayubad dilannahum mimba’di khoufihim amnaa. Ya’buduu nani laa yusyrikuuna bi syai-aa. Wamang kafaro ba’da dzaalika fa-ulaa ika humul faasiquun. (Q. S. An Nur : 55)
Walladziina yaquuluuna robbanaa hablanaa min azwaajinaa wadzurriyyatinaa qurrota a’yuniw waj’alnaa lilmuttaqiina imaamaa. (Q. S. Al-Furqan : 74)
Fa-angjainaahu wamam ma’ahu filfulkil masyhuun. (Q. S. Asy Syu’ara : 119)
Tsummagh roqnaa ba’dul baaqiin. (Q. S. Asy Syu’ara : 120)
Inna fii dzaalika la ayataw wamaa kaana aktsaruhum mu-miniin. (Q. S. Asy Syu’ara : 121)
Innahu ming sulaimaana wa innahu bismillaahir rohmaanir rohiim. (Q. S. An Naml : 30)
Walaa tad’u ma’alloohi ilaahan aakhoro laa ilaaha illaahuwa kullu syai-in haalikun illaa wajhahu lahul hukmu wa ilaihi turja’uun. (Q. S. Al-Qashosh : 88)
Qoola robbing shurnii ‘alal qoumil mufsidiin. (Q. S. Al-Ankabut : 30)
Walam yakul lahum ming syurokaa ihim syufa’aa-u wakaanuu bisyurokaa ihim kaafiriin. (Q. S. Ar Rum : 13)
Lillaahi maa fissamaawaati wal ardli. Innallooha huwal ghoniyyul hamiid. (Q. S. Luqman : 26)
Walau taroo idzil mujrimuuna naakisuu ru-uusihim ‘ingda robbihim robbanaa abshornaa sami’naa farji’naa na’mal shoolihan innaa muuqinuun. (Q. S. Sajdah : 12)
Tawakkal ‘alalloohi wakafaa billaahi wakiilaa. (Q. S. Al-Ahzab : 3)
Walaqod aatainaa daawuuda minnang fadl-laa. Yaa jibaalu awwibi ma’ahu wath-thoiro wa alanna lahul hadiid. Ani’mal tsaabighootiw waqoddir fissardi wa’maluu shoolihan innii bimaa ta’maluuna bashiir. (Q. S. Saba : 10 & 11)
Innallooha ‘aalimul ghoibis samaawaati wal ardli innahu ‘aliimum bidzaatish shuduur. (Q. S. Fathir : 38)
Salaamung qoulam mirrobbir rohiim. (Q. S. Yaa Siin : 58)
Subhaanalloohi ‘ammaa yashifuun. (Q. S. Ash Shaffat : 159)
Fasajadal malaa-ikatu kulluhum ajma’uun. (Q. S. Shad : 73)
Alloohu khooliqu kulli syai-iw wahuwa ‘alaa kulli syai-iw wakiil. (Q. S. Az Zumar : 62)
Walaqod arsalnaa muusaa bi aayaatinaa wa sulthoonim mubiin. (Q. S. Al-Mu’min : 23)
Waman ahsanu qoulam mimmang da’aa ilalloohi wa ‘amila shoolihaa. Waqoola innanii minal muslimiin. (Q. S. Al-Fush Shilat : 33)
Alloohu lathiifum bi’ibaadihi yarzuqu mayyasyaa-u wahuwal qowiyyul ‘aziiz. (Q. S. Asy Syuura : 19)
Udkhulul jannata angtum wa azwaajukum tuhbaruun. (Q. S. Az Zukhruf : 70)
Rohmatam mirrobbika innahu huwas samii’ul ‘aliim. (Q. S. Ad Dukhan : 6)
Haadzaa hudaw walladziina kafaruu bi-aayaati robbihim lahum ‘adzaabum mirrijzin ‘aliim. (Q. S. Al-Jaatsiyah : 11)
Awalam yarou annalloohal ladzii kholaqos samaawaati wa ardli walam ya’ya bikholqihinna biqoodi ‘alaa ayyuhyiyal mautaa. Balaa innahu ‘alaa kulli syai-ing qodiir. (Q. S. Al-Ahqaf : 33)
Innamal hayaa taddun-yaa la’ibuw walah. (Q.S. Muhammad:36)
Innalladziina yubaayi’uunaka innamaa yubaayi’uu nallooha yadulloohi fauqo aidihim. Famannakatsa fa-innamaa yangkutsu ‘alaa nafsih. Waman aufaa bimaa ‘ahada ‘alaihullooha fasayu-tiihi ajron ‘azhiimaa. (Q. S. Al-Fat : 10)
Innalladziina yunaadu naka miw-warooil hujurooti aktsaruhum laaya’qiluun. (Q. S. Al-Hujurat : 4)
Man khosyiyar rohmaana bil ghoibi wajaa-a biqolbim muniib. (Q. S. Qaf : 33)
Wamaa kholaqtul jinna wal ingsa illaa liya’buduun. (Q. S. Adz Dzaariyaat : 56)
Qul tarobshuu fa - innii ma’akum minal mutarobbishiin. (Q. S. Ath Thur : 31)
Waqouma nuuhim mingqoblu innahum kaanuuhum azhlama wa-athghoo. (Q. S. An Najm : 52)
Fafatahnaa abwaabas samaa-i bimaa-im munhamir. (Q. S. Al-Qomar : 11)
Kullu man ‘alaihaa faan. (Q. S. Ar Rahman : 26)
Wayabqoo wajhu robbika dzuljalaali wal ikroom. (Q. S. Ar Rahman : 27)
Farouhuw waroihaanuw wajannaatu na’iim. (Q. S. Al-Waqi’ah : 89)
Wamaghfirotum minalloohi waridlwaan. Wamal hayaatad dun-yaa illaa mataa’ul ghuruur. (Q. S. Al-Hadid : 20)
A’adalloohu lahum ‘adzaabang syadiidaa. Innahum saa-a maa kaanuu ya’maluun. (Q. S. Al-Mujadalah : 15)
Walladziina jaa-u mimba’dihim yaquuluuna robbanagh firlanaa wali ikhwaaninal ladziina sabaquunaa bil iimaani walaa taj’al fii quluubinaa ghillal lilladziina aamanuu robbanaa innaka ro-uufur rohiim. (Q. S. Al-Hasyr : 10)
Robbanaa laa taj’alnaa fitnatal lilladziina kafaruu waghfirlanaa robbanaa innaka angtal aziizul hakiim. (Q. S. Al-Mumtahanah : 5)
Yaa ayyuhal ladziina aamanuu hal adukkuluhum ‘alaa tijaaroting tungjiikum min ‘adzaabin ‘aliim. (Q. S. Ash Shaff : 10)
Yaa ayyuhal ladziina aamanuu idzaa nuudiya lishshoolihaati miy yaumil jumu’ati fas ‘au ilaa dzikrillaahi wadzarul bai’a dzaalikum khoirul lakum ingkungtum ta’lamuun. (Q. S. Al-Jumu’ah : 9)
Sawaa un ‘alaihim astaghfarta lahum amlam tastaghfir lahum layyaghfirolloohu lahum. Innallooha laa yahdil qoumal faasiqiin. (Q. S. Al-Munaafiquun : 6)
Alloohu laa ilaaha illaa huwa wa ‘alalloohi fal yatawakkalil mu’minuun. (Q. S. Ath Thagaabun : 13)
Fadzaaqot wabaala amrihaa wakaana ‘aaqibatu umrihaa khusroo. (Q. S. Ath Thalaaq : 9)
Ingtatuubaa ilalloohi faqod shoghot quluu bukumaa wa ing tazhooharoo ‘alaihi fainnallooha huwa maulahuu wajibriilu wa shoolihul mu’miniin. Wal malaaikatu ba’da dzaalika zhoohiroo. (Q. S. At Tahriim : 4)
Qooluu balaa qodjaa anaa nadziir. (Q. S. Al-Mulk : 9)
Inna lilmuttaqiina ‘ingda robbihim jannaatin na’iim. (Q. S. Al-Qalam : 34)
Faidzaa nufikho fishshuuri nafkhotuw waahidah. (Q. S. Al-Haaqqoh : 34)
Innal ingsaana kholiqohaluu’aa. (Q. S. Al-Ma’aarij : 19)
Yursilissamaa-a ‘alaikum midrooroo. (Q. S. Nuh : 11)
Qul innii laa amliku lakum dhorrow walaa rosyadaa. (Q. S. Al-Jin : 21)
Washbir ‘alaa maa yaquuluuna wahjurhum hajrong jamiilaa. (Q. S. Al-Muzzammil : 10)
Wamahhattu lahu tamhiidaa. (Q. S. Al-Mudatstsir : 14)
Wujuuhuy yauma idzin naadhiroh. (Q. S. Al-Qiyaamah : 22)
Ilaa robbihaa naazhiroh. (Q. S. Al-Qiyaamah : 23)
Idzaa roaituhum hasibtahum lu-luam mangtsuuroo. (Q. S. Al-Insaan : 19)
Alam nakhlukkum mimmaa-im mahiin. (Q. S. Al-Mursalaat : 20)
Jazaa-am mirrobbika ‘athoo-an hisaabaa. (Q. S. An Naba : 36)
Wa ammaa man khoofa maqooma robbihi wanahan nafsa ‘anil hawaa. (Q. S. An Naazi’aat : 40)
Min ayyi syai-in kholaqoh. (Q. S. Abasa : 18)
Min nuthfatin kholaqohu faqoddaroh. (Q. S. Abasa : 19)
Inhuwa illaa dzikrul lil ‘aalamiin. (Q. S. At Takwiir : 27)
Yaa ayyuhal ingsaanu maa ghorroka birobbikal kariim. (Q. S. Al-Infithaar : 6)
‘Ainay yasyrobu bihal muqorrobuun. (Q. S. Al-Muthaffifiin : 28)
Innahu Zhonna allayyahuur. (Q. S. Al-Insyiqaaq : 14)
Balaa inna robbahu kaana bihi bashiiroo (Q.S. Al-Insyiqaaq : 15)
fa’ ‘alullimaa yuriid. (Q. S. Al-Buruuj : 16)
Yakhruju mimbainish shulbiw wattaroo-ib (Q.S. Ath Thaariq : 7)
Wadzakarosma robbihi fashollaa. (Q. S. Al-A’la : 15)
Wa ilal jibaali kaifa nushibat. (Q. S. Al-Ghaasyiyah : 19)
Wajaa-a robbuka walmalakushoffang shoffaa. (Q. S. Al-Fajr : 22)
Wahadainaahun najdaiin. (Q. S. Al-Balad :10)
Faqoola lahum rosuululloohi naaqotalloohi wasuqyaahaa. (Q. S. Asy Syams : 13)
Wamaa yughnii ‘anhumaaluhuu idzaa taroddaa. (Q. S. Al-Lail : 11)
Wawajadaka ‘aa ilang fa anghnaa. (Q. S. Ash shuhaa : 8)
Warofa’naa laka dzikrok. (Q. S. Al-Insyirah : 4)
Tsumma rodadnaahu asfala saafiliin. (Q. S. At Tiin : 5)
Alam ya’lam bi annallooha yaroo. (Q. S. Al-Alaq : 14)
Khoirum min alfi syahr. (Q. S. Al-Qadr : 3)
Tanazzalul malaa-ikatu warruuhu fiihaa. (Q. S. Al-Qadr : 4)
Wamaa umiruu illaa liya’budullooha mukhlishiina lahuddiin. (Q. S. Al-Bayyinah : 5)
Asytaatal liyurou a’maalahum. (Q. S. Al-Zalzalah : 6)
Wa innahu lihubbil khoiri lasyadiid. (Q. S. Al-Aadiyat : 8)
Fa ammaa mang tsaqulat mawaaziinuh. (Q. S. Al-Qaari’ah : 6)
Fahuwa fii ‘iisyatir roodhiyah. (Q. S. Al-Qaari’ah : 7)
Kallaa saufata’lamuun. (Q. S. At Takaasur : 3)
Watawaa shoubil haq. (Q. S. Al-Ashr : 3)
Wamaa adrookamal huthomah. (Q. S. Al-Humazah : 5)
Wa arsala ‘alaihim thoiron abaabiil. (Q. S. Al-Fiil : 3)
Alladzii ath’amahum mingjuu’. (Q. S. Al-Quraisy : 4)
Fawailul lil musholliin. (Q. S. Al-Maa’uun : 4)
Alladziinahum angsholaatihim saahuun. (Q. S. Al-Maa’uun : 5)
Fasholli lirobbika wanhar. (Q. S. Al-Katsar : 2)
Walaa angtum ‘aabiduun. (Q. S. Al-Kaafiruun : 3)
Yadkhuluuna fiidiinillaahi afwaajaa. (Q. S. An Nashr : 2)
Wayas laanaarong dzaatalahab. (Q. S. Al-Lahab : 3)
Alloohush shomad. (Q. S. Al-Ikhlas : 2)
Wamingsyarri ghoosiqin idzaa waqob. (Q. S. Al-Falaq : 3)
Ilaahinnaas. (Q. S. An Naas : 2)

Allah Hilang Dari Rumah Jiwa

Allah Hilang Dari Rumah Jiwa
Dalam pergumulan jiwa kita sehari-hari diakui atau tidak sering kali terjadi perselingkuhan spiritual. Yang paling sederhana dari perselingkuhan itu ketika kita sedang menutupi jiwa kita dari Allah, berakhir dengan tindakan kita: melanggar aturan Allah.
Begitu kita langgar “janji cinta” antara kita dengan Allah, Kemahacemburuan Allah telah mengoyak jiwa kita tanpa kita sadari sudah begitu lama kita berpaling dari Allah. Bahkan Allah hanya kita jadikan alibi sehari-hari, kita jadikan alasan-alasan kegagalan, kalau perlu nama Allah kita jualbelikan dalam pasar kebudayaan dan politik, atau kepentingan nafsu lainnya.
Lalu, Allah kita bikin tarik ulur dalam qalbu kita. terkadang Allah begitu jauh, terkadang begitu dekat, terkadang hadir, terkadang hilang, terkadang pula kita hempaskan ke hamparan hawa nafsu kita. Seakan-akan kita ini memiliki kekuasaan untuk mengatur segalanya, bahkan termasuk mengatur Allah dalam gerak-gerik jiwa kita, khayalan dan persepsi kita. Bahkan Nama Allah sering kita sebut hanya untuk diketahui public bahwa kita akrab dengan Allah, kita ahli dzikir, kita sering munajat pada Allah. Padahal hanya kebusukan jiwa kita yang mendorong demikian. Seperti seseorang yang berteriak, “Saya lakukan ini Lillahi Ta’ala,…! Saya ikhlas, lho,… ini demi Allah!”, sadar atau tidak ia menikmati riya’ jiwanya, agar disebut sebagai orang yang ikhlas. Dan inilah yang memang dimaui oleh masyarakat syetan. Perselingkuhan hebat.
Hadirnya syetan, keakraban Iblis, dan gejolak-gejolak nafsu, sebanding (pada saat yang sama) dengan “hilang”nya Allah dari gravitasi jiwa kita, dari denyut nadi dan jantung kita, dari gerak-gerik hati kita. Itulah tercerabutnya iman kita kepadaNya, ketika Allah sengaja kita abaikan. Begitu kita sadar, ternyata sedang berada di tengah kubang lumpur yang memuakkan.
Allah memang “hilang” dalam kemunafikkan kita. Allah juga hilang dalam kefasikan kita. Allah tidak hadir dalam kedzalimam jiwa kita. Allah begitu terlantarkan ketika hawa nafsu kita menyeret ke lembah kehinaan kita. Allah, bahkan tidak diakui dalam lembah-lembah kekafiran. Allah, begitu sebanding dengan berhala-hala duniawi, berhala-berhala ambisi kita, berhala-berhala harta kita, berhala pesona kemolekan, dan itu begitu jelas ketika kemusyrikan membuka pintunya lebar-lebar. Na’udzubillah min dzaalik.
Kemunafikan dan kefasikan itu hadir dalam pergumulan hidup kita sehari-hari, dalam hubungan sosial, hubungan keluarga, hubungan bisnis dan politik, hubungan-hubungan interaktif kejiwaan kita antar sesama. Bahkan kita juga diam-diam ada yang menikmati Kemunafikan dan kefasikan itu, sebagai “tandingan” Tuhan dalam dirinya. Lalu dengan begitu mudah Allah dijadikan bemper. “Kita gagal, memang sudah takdir Allah…”. Tetapi kalau sukses, “Wah ini berkat kerja keras kita semua, ini berkat kreativitas saya dan ide saya…” lalu Allah dimana? Kenapa keakuan bisa menghapus Allah? Apakah keakuan lebih besar dari pada Allah?
Hari-hari ini memang hawa nafsu sedang menjadi mendung di atas langit-langit anda. Mendung itu sesungguhnya adalah awan penghinaan Allah pada makhlukNya, dan hanya mereka yang selalu menghadirkan Allah dalam qalbunya, yang terlindung dari penghinaan itu. Banyak orang-orang yang sedang strees, dan ketika nejalani tekanan hidupnya , mereka tidak kembali kepada Allah. Sangat terasa sekali betapa atmosgir Ridlo Allah tertutup oleh kepentingan ego masing-masing. Kemudian, tentu saja, seseorang kehilangan rasa ridlonya terhadap apa yang telah ditentukan Allah.
Hari-hari ini, betapa sempitnya dada orang, ketika rasa syukur saja telah hilang dari lembah jiwanya. Apalagi mengembangkan senyum bunga di hatinya. Mereka lebih senang memuja egonya dari pada memuja Allah atas-nikmat-nikmatNya. Padahal Allah dengan segala CintaNya tak henti-hentinya memanggil, “Ingatlah kepadaKu, niscaya Aku ingat kepadamu…..Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah mengingkari diri-Ku…”
Hari-hari ini betapa banyak orang yang kelaparan dalam kegersangan dalam kegersangan arus kehidupan modern. Jiwanya lapar, karena qalbunya tak pernah ditegukkan air dahaga yang menyejukkan, tidak pernah disuapi dengan suapan-suapan dzikrullah, syukur, tawakkal, dan qana’ah. Lalu dimana-mana berkembang virus yang sangat menakutkan: Penyakit jiwa yang merubah sosok-sosok kehidupan seperti binatang.
Hari-hari ini begitu banyak orang memburu kemuliaan, kebesaran, derajat-derajat, tetapi mereka lupa bahwa yang mereka tapaki adalah bukit-bukit kegersangan yang fana. Fatamorgana itu merasuki cita-cita, hasrat dan mimpi-mimpi. Bahwa gundukan tanah tinggi itu, sesungguhnya adalah gundukkan dari lobang-lobang kuburan kefanaanya, keruntuhan dan kehinaannya. Lalu Ibnu Athaillah as-Sakandary mengingatkan, “Janganlah kalian mencari kemuliaan pada hamparan kehinaan yang sirna. Carilah kemuliaan pada hamparan yang abadi, tak pernah fana dan sirna…”. Dan tak ada keabadian yang menjadi harapan kita semua, melainkan Allah yang hadir dalam kebersamaan kita.
Fafirruu Ilallah (kembalilah kepada Allah)! Sebagaimana ketika Rasululah, Muhammad SAWb dipeluk oleh jibril As, di gua kefanaan Hira’, “Bacalah dengan Nama Tuhanmu…”. Lalu Rasul pun membacanya dengan Nama Tuhannya, dan nama itu tidak lain adalah Allah. Rasul membaca dengan gemuruh Allah…Allah…Allah sampai sekujur tubuh gemetar dalam kemajdzuban (ekstase Ilahiyah), tetapi justru itulah rasulullah SAW bisa menirukan apa yang dituntun Jibril As.
Apakah Allah masih terus berubah diri Anda? Sesungguhnya yang berubah itu adalah diri anda, bukan Allah. Asma’, Sifat, Af’aal, dan Dzatullah tidak berubah selamanya, sejak dahulu hingga abadi kelak, Allah tetap sebagaimana adaNya.
Apakah anda masih terus menggugat Allah menggugat janji Allah, menggugat cintanya Allah? Padahal gugatan itu adalah keresahan hawa nafsu anda, yang sangat pahit ketika menerima kebenaran Allah. Dan gugatan itu akan berhenti ketika anda sudah mampu menggugat diri anda sendiri. Sebab kesombongan intelektual anda, kesombongan moral anda, kesombongan jabatan anda, kesombongan fasilitas dan kekuasaan anda, kesombongan popularitas anda, hanyalah kotoran debu yang membungkus diri anda, lalu anda duga itu sebagai kemuliaan, padahal hakikatnya adalah kehinaan.
Apakah anda masih terus mencari Allah? Padahal Allah tidak pernah hilang, Allah tidak ghaib, Allah juga tidak pernah bergerak dari sisi anda. Hanya imajinasi liar andalah yang melemparkan diri anda dalam hijab yang gelap sehingga anda merasa kehilangan Allah.
Apakah anda juga masih menuntut sesuatu dari Allah? Ini sungguh tidak sopan, tidak etis dan tidak punya adab di depan Allah, karena anda pasti sangat mencurigai Allah, karena anda pasti tidak yakin pada Allah. Apakah modal kita, bekal kita, prestasi amal kita, sehingga kita punya hak menuntut Allah? Padahal kita tak pernah memiliki modal, tak pernah berbuat, tak pernah membuat bekal. Sebab yang menggerakkan kepatuhan, amal, taat, ibadah kita itu, Allah juga!
Apakah anda masih mencari pemenuhan hasrat itu kepada selain Allah? Sungguh, anda tak pernah punya rasa malu kepada Allah. Bagaimana bisa anda lakukan tindakan seperti itu, sedangkan Allah mencukupi anda, melindungi anda, mengijabahi doa anda, memberi nafas anda, menjalankan darah anda, dan mendetakkan jantung anda, lalu kelak Allah memeluk anda. Kenapa anda masih sempat

Jumat, 12 Juni 2015

PRAHARA KEMATIAN


Pada zaman dahulu kala diceritakan ada seorang guru sufi memiliki enam puluh murid. Karena kedekatannya, sang guru pun hafal benar dengan kamampuan masing-masing muridnya. Pada suatu sore sang guru merasa bahwa saatnya untuk melakukan pengembaraan (safar) sudah tiba bagi murid-muridnya.
Lalu sang guru sufi mengumpulkan semua murid-muridnya. Dia ingin menyampaikan rencananya untuk melakukan tahapan pengembaraan.
“Sekarang saatnya kita harus melakukan pengembaraan jauh. Akan ada sebuah kejadian disepanjang perjalanan yang akan menimpa kita. Aku sendiri tidak tahu, apa itu. Dan kalian aku pikir sudah cukup paham untuk memasuki tahapan –maqam- ini,” demikian urai sang guru sufi, “Tapi ada satu hal yang harus kalian ingat, yakni perkataan ini: ‘Aku harus mati demi sang sufi’. Bersiaplah untuk meneriakkannya pada waktunya nanti. Dan aku akan mengangkat tanganku sebagai tanda,” lanjut sang guru sufi.
Para murid mulai berbisik-bisik satu sama lain. Mereka begitu heran dan khawatir, apa maksud dari perkataan gurunya? Ada kecurigaan menyelimuti mereka.
“Guru tahu bahwa kelak akan terjadi peristiwa tragis, dan dia siap mengorbankan kita semua. Guru tidak ingin mengorbankan dirinya sendiri,” kata seseorang dari mereka.
Salah seorang yang lain mencoba berani berkata: “Guru mungkin membuat rencana jahat. Boleh jadi itu sebuah pembunuhan. Saya tidak akan melakukan syarat yang dikatakannya.”
Namun, akhirnya pengembaraan pun segera dijalankan. Satu demi satu muridnya bergerak. Dan setapak demi setapak pengembaraan terus dijelang.
Setelah berhari-hari melakukan pengembaraan, tibalah sang guru bersama murid-muridnya disebuah kota. Ketika sampai di kota itu, kota selanjutnya sudah dikuasai oleh seorang raja zalim.
Raja kejam dengan pasukannya yang kuat menangkapi semua orang yang masuk ke kota itu. Dan siapa pun harus dipenggal karena dianggap melanggar peraturan yang dibuatnya sendiri.
Raja kejam itu ketika melihat rombongan sang guru sufi kemudian memerintahkan pasukannya agar menangkap mereka, “Tangkap orang yang lemah lembut itu dan bawa dia untuk diadili di tengah-tengah alun-alun kota. Aku ingin menghukumnya sebagai seorang penjahat”.
Tidak ada kalimat yang terucap, kecuali: “siaa…ap, paduka raja!” Mereka kemudian menangkapi orang-orang yang ada di jalanan. Salah seorang murid guru sufi kemudian tertangkap.
Namun kemudian sang guru sufi mengikuti muridnya yang dibawa oleh tentara itu menuju rajanya. Genderang ditabuh; suasana riuh. Dan orang-orang penduduk kota pun semua berkumpul. Mereka paham kalau genderang yang didengar adalah isyarat kebiadaban dan kematian.
Lalu sang murid itu dilempar ke hadapan sang raja, dan sang raja berkata: “Sebagai contoh, kamu akan saya hukum sebagai seorang penjahat, agar penduduk tahu kalau saya tidak akan membiarkan pemberontakan dan pelarian.”
Namun, tiba-tiba sang guru berteriak dengan suara lantang: “Terimalah hidupku, wahai raja yang mulia, sebagai pengganti hidup pemuda yang tidak bersalah ini! Aku lah yang sebenarnya harus dihukum, karena aku lah yang mengajak dia mengembara!”
Pada waktu yang bersamaan, sang guru sufi itu mengangkat tangan kanannya. Lalu pekik menyahut membahana, seperti yang sudah diajarkan sebelumnya: “Izinkan kami saja yang mati sebagai ganti guru sufi kami itu”
Raja menjadi kaget dan keheranan. Lalu dia berpaling ke arah penasihat dan bertanya: “Orang macam apa mereka? Kenapa mereka berebut kematian? Jika ini yang dimaksud kepahlawanan, apakah ini tidak berarti sedang memprovokasi penduduk untuk melawan aku? Beri tahu aku penasehat, Apa yang harus aku lakukan?” tanya sang raja, dicekam kebingungan.
“Wahai raja, kalau ini dianggap sebagai kepahlawanan, maka kita harus bertindak kejam agar penduduk takut dan hilang keberaniannya! Tapi, saya kira tidak salah kalau saya lebih dahulu bertanya kepada guru mereka,” kata sang penasehat kepada raja.
Dan ketika ditanya, sang guru sufi menjawab: “Baginda yang mulia, telah diramalkan bahwa seorang manusia akan mati hari dan di sini. Orang itu akan mati dan hidup lagi. Lalu dia akan hidup abadi. Makanya aku dan murid-muridku ingin sekali menjadi orang itu.”
Lalu tiba-tiba kerakusan dalam diri sang raja pun berbisik dalam hatinya: “Kenapa harus orang lain yang mendapatkan keabadian? Kenapa aku membiarkan orang lain untuk mendapatkan keabadian itu! Bodoh sekali aku.”
Dan entah bagaimana sejenak kemudian raja memerintahkan pengawalnya agar segera membunuh dirinya untuk menyongsong keabadian itu. Akhirnya raja yang zalim dan rakus akan kekuasaan itu harus mati demi keabadian.

Cahaya Ditengah Kegelapan


Senja di atas Indonesia teramat merah jingga, ketika syetan-syetan berkelebat memenuhi cakrawala. Lalu Nabi saw, menyabdakan agar kita menutup pintu-pintu rumah, menutup kendil dan makanan-makanan, menyuruh
anak-anak supaya segera masuk ke dalam rumah.
Sebab ketika senja menjelang surupnya, syetan berkeliaran di mana-mana.
Apa yang terjadi ketika musim senja tiba? Sebuah fakta, bahwa kita segera memasuki kegelapan malam. Jubah-jubah hitam membungkus bumi. Angin wabah menusuk jantung. Hanya hati kita yang bergantung di langit, bersama bintang-bintang, bahkan bersama siraman cahaya purnama. Hati kita.
Kita sedang istirah dalam doa-doa malam. Kita ditunggu Allah di sepertiga terakhirnya. Kita lampiaskan segala keluh kesah dan kekesalan atas kezaliman. Kita sampaikan pula segumpal darah yang menyelinap di dalam dada kita. Hati yang kita pasrahkan kepadaNya. Kita gemuruhkan tabuhan-tabuhan tasbih, sholawat dan permohonan ampunan. Kita gali sungai airmata dari mata air kemahaindahanNya (Jamaliyah-Nya). Sebab, Fajar Kehidupan menunggu masa depan kita.
Itulah awalnya. Ketika, kita bangun pagi, tiba-tiba di depan kita, negeri ini, adalah reruntuhan. Ia dihadapkan pada kenyataan, betapa bangsanya hanyut dalam mimpi 32 tahun, dan begitu bangun segalanya telah musnah. Dengan tertatih-tatih bersama sisa-sisa waktu, ada seorang pemimpin membangkitkan lagi semangat, menyalakan lagi api, meniupkan lagi nafas-nafas masa depan, mengumpulkan kembali sisa-sisa bangunan, dan mengaduk kembali mana yang bisa dipakai, mana yang harus dibuang, sembari membawa bahan-bahan baru yang mengokohkan bangunan rumah bangsa ini.
Dulu rumah bangsa ini runtuh karena dikuasai oleh hantu-hantu politik, hantu-hantu koruptor, hantu-hantu mafioso. Hantu itu beranak pinak, sampai menghuni seluruh sudut rumah bangsa, dan berjuta-juta penghuni rumah itu mengikuti kegelapan demi kegelapan hantu itu. Maka, ketika seorang Kiai menyalakan lilin dan menyiramkan cahaya, hantu-hantu mulai gentayangan kembali mencari celah-celah untuk mematikan lampu-lampu dan lilin-lilin itu. Kiai itu terjengah bukan main, setiap kali ia menyalakan lampu dan lilin, ada badai meniupnya, ada nafas-nafas malam yang kotor menyebulnya. Lalu sekuat tenaga ia kobarkan cahaya, tetapi badai kegelapan juga sangat berbahaya, bahkan mereka bagai siluman saling mengoyak, saling berebut untuk meniup cahaya-cahaya itu.
Istana yang dulu dihuni oleh hantu, dipenuhi oleh siluman negerinya, mulai sedikit bercahaya. Tetapi sayang sekali, cahayanya tidak sampai menembus di Gedung Rakyat yang gelap gulita, di wilayah Senayan sana. Sebab pesta kegelapan tak juga berakhir, sedangkan gedung itu adalah milik rakyat yang merindukan cahaya-cahaya masa depan.
Tak bisa dihindari akhirnya, sebuah pertempuran dahsyat antara cahaya dan kegelapan, antara benderang hati dan gelapnya nafsu, antara amanah-amanah yang harus dipikul dengan ambisi-ambisi yang ingin merebutnya, antara ruang-ruang peradaban melawan lorong-lorong mengerikan, antara mereka yang membawa kilat cakrawala dengan kemunafikan-kemunafikan yang menutup mata hatinya, menyumpal telinga jiwanya, membungkam lisan kebenarannya.
Tiba-tiba jarum jam sejarah berputar cepat memasuki empat belas abad silam. Ketika Nabi dengan para sahabatnya bertempur melawan angkara murka kafir-kafir Quraisy di lembah dan bukit-bukit Uhud. Kemenangan hampir-hampir di tangan, tiba-tiba kemunafikan menyelimuti sejumlah pasukannya, lalu mereka tersungku dalam perebutan jarahan perang, dan akhirnya mereka raih kekalahan.
Perang Uhud adalah kemenangan pasukan kegelapan, pasukan kemunafikan, pasukan kefasikan, pasukan yang memberhalakan duniawi, pasukan-pasukan berhala. Perang Uhud adalah kemenangan syetan dan Iblis, kemanangan asap hitam yang menyesakkan seluruh dada penghuni bumi, kemenangan siluman dengan sejuta topeng politiknya. Itulah hebatnya kafir-kafir, ketika ia terdesak dalam kekalahannya, tiba-tiba ia melemparkan umpan agar segera dijarah oleh hipokrit-hipokrit, sampai mereka lupa diri, dan setelah itu dihancurkan.
Saya memasuki kembali dunia normal saat ini. Di negeri ini, di alam nyata ini. Saya melihat melihat harapan ketika memangkan sebuah pertempuran melalui komitmen moral di padang pertempuran Badar Nusantara, dimana kekuatan minoritas kebenaran hendak mengalahkan mayoritas kemungkaran. Tak disangka, dalam membawa pasukan bangsa ini, kita harus melewati apa yang disebut Perang Uhud Nusantara. Di bukit dan lembah-lembah Uhud Nusantara, sesungguhnya strategi sudah dicanangkan, kemenangan sudah di tangan, tetapi tiba-tiba kemunafikan mengoyak-ngoyak kita semua. Konspirasi nafsu kita telah mengalahkan dan meniup cahaya kebenaran.
Sebuah bahaya besar mengguncang dari dalam tubuh bangsa ini, ketika kapal besar bangsa ini menyeberangi bahtera menuju benua impian, dan siap melawan bajak-bajak laut yang bertopeng mengerikan, tiba-tiba dari dalam kapal muncul pemberontakan yang disulut oleh segelintir manusia yang tidak menginginkan sang nakhoda dan wakil nakhoda bersatu menuju benua itu. Pertempuran melawan bajak-bajak laut itu tengah berkecamuk, dan kemenangan demi kemenangan diraihnya, tiba-tiba di saat hendak lari dari samudera kebangsaan, bajak laut itu melempar pundi-pundi agar diperebutkan para penunggang kapal besar bangsa ini.
Maka, bisa dibayangkan, betapa riuh rendahnya suara berebut dalam kapal besar itu. Melihat kenyataan seperti itu, bajak-bajak laut menyerang kembali, dan merobek kapal besar itu. Gemrincing pertempuran semakin seru, dan sungguh, kapal besar itu mulai tergenang gelombang samudera, pelan-pelan mulai tenggelam.
Para bajak laut dan kaum hipokrit itu mulai merayakan kemenangannya. Mereka berpesta, bahwa pasukan-pasukan kebenaran telah kalah, dan mereka angkat wakil Nakhoda itu menjadi pemimpin barunya, dengan kapal baru, dimana seluruh teknologi kapal itu sudah dikuasai para pembajak itu. Sehingga nakhoda baru itu hanya bisa mengikuti apa yang diperintahkan mereka.
Nakhoda dan seluruh bangsa yang masih mengikutinya, mulai ditenggelamkan oleh koyakan gelombang demi gelombang. Gelombang yang digerakkan oleh badai kejahatan. Tiba-tiba Lautan Putih muncul di permukaan, menarik kapal besar yang hendak tenggelam itu. Dan kapal itu pun bersandar pada pulau kebenaran di dalam samudera. Pulau itu adalah pulau Khidhir, dimana ada bangunan masjid yang dibangun dengan mutiara-mutiara hikmah dan pengetahuan, menaranya menjulang sampai ke Baitul Ma’mur sana. Betapa indah dan eloknya bangunan masjid itu, betapa agung dan megahnya ruang-ruang besar di dalamnya. Di luar bangunan masjid Khidhir ada bangunan-bangunan peradaban, bangunan Kota Ilahi yang dihuni oleh para Sufi. Nakhoda itu bersandar di sana, dan seluruh bangsa yang telah dibersihkan dari kemunafikannya.
Sementara para bajak laut dan kaum munafiq, menganggapnya, bahwa Nakhoda dengan kapal besarnya telah ditelan samudera, menjadi santapan hiu ganas, menjadi bangkai yang tak akan pernah hidup lagi.
Lebih baik mereka menyangka demikian. Biarkanlah, lebih baik mereka terus berpesta. Lebih baik mereka terus membagi-bagi tugas kemenangan yang diraihnya. Lebih baik mereka terus melaju dengan kapal hipokrianya. Lebih baik mereka terus melajukan kapalnya menuju sebuah benua, bukan benua masa depan, tetapi benua masa lalu tanpa hatinurani. Benua penyesalan.
Sebuah benua yang dituju oleh nakhoda itu, sesungguhnya bukanlah benua impian Dan benar ketika warna merah adalah merah senja yang jingga, bertepatan ketika kapal itu sampai di dekat benua. Gerbangnya adalah tengkorak-tengkorak manusia, sungainya adalah keringat rakyat, minumnya adalah darah, makanan-makanannya adalah aspal jalan raya dan hutan-hutan kayu yang dulu pernah rimbun penuh anugerah, pestanya adalah intrik-intrik politik, kata-katanya adalah kotoran, bangunan-bangunannya adalah hasil perampokan, menara-menara yang menjulang hanya sampai pada mendung hitam yang menggantung di cakrawala. Bahkan matahari pun tak pernah menembuskan cahayanya. Mengerikan.
Apa pun pesta yang sedang diselenggarakan itu, apa pun foya-foya kegembiraan yang disebar-sebar itu, apa pun bendera-bendera yang dikibarkan itu, masa lalu hanyalah sebuah penyesalan. Kita tidak ingin mengecewakan bangsa ini, dengan trauma-trauma, dengan darah dan kekerasan, dengan intrik, korupsi, kolusi, nepotisme dan segala hal yang terus menerus berselingkuh di balik celah-celah rumah bangsa.
Ayo! Kita berangkat! Menuju benua impian kita, menuju demokrasi yang sesungguhnya, menuju cahaya kebenaran yang dinyalakan oleh kalbu-kalbu kita. Jangan takut dan jangan gelisah, karena kekasih-kekasih Tuhan itu tidak pernah takut dan tidak pernah gelisah. Kita akan menaiki Kapal Jiwa bersama Allah, sebab, Allah menyertai kita.
Saya merekam seluruh peristiwa itu. L;alu saya tulis dengan tinta Lautan Khidhir dan gerak-gerik pena kefanaan jemari kehambaan. Saya tulis di atas kertas dari Cahaya Lauhul Mahfudz, agar kelak dibaca dan didengar oleh mereka yang sedang menyaksikan peradilan sejarah bangsa ini, siapa sesungguhnya yang benar, siapa sesungguhnya yang merekayasa, siapa sesungguhnya yang menjadi alat-alat, siapa sesungguhnya yang berselingkuh dalam kemunafikan, siapa sesungguhnya lawan yang sesungguhnya.
Saya mencoba menahan keharuan yang mengembang di atas kelopak mata. Tetapi dada telah basah oleh airmata. Terkadang yang tampak di depan mata saya adalah Sayyidina Al-Husein yang dikhianati dan dizalimi, terkadang yang tampak adalah pemuka Syuhada’ Sayyidina Hamzah yang jadi korban kemunafikan di lembah Uhud. Kadang yang tampak adalah senyum Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang miskin, kadang yang tampak adalah kegagahan Sholahuddin Al-Ayyubi. Kadang yang tampak adalah peristiwa kekalahan, lalu yang mengembang dari putik melati adalah aroma moral sejati seorang negarawan. Kadang yang tampak adalah Sayyidina Ali yang ditikam oleh intrik kemunafikan, kadang yang tampak adalah keelokan Yusuf yang dirobek bajunya dari belakang oleh nafsu Zulaikha.
Mungkin saja membuat anda muak, ketika nafsu anda bergerak membuka lembar demi lembar kebenaran. Mungkin saja jantung anda tertusuk, ketika darah hitam duniawi membisul dalam segumpal jantung anda. Mungkin saja bibir anda menyungging ke arah sudut paling sinis, ketika ambisi dan keangkuhan anda yang membaca. Bahkan tulisan ini menjadi sesuatu yang sangat menakutkan dan mengusir nurani anda, ketika anda membaca dengan kacamata kemunafikan.
Bacalah dengan mata hati dan kalbu kehambaan: Jika tulisan ini terasa pahit, biarlah jadi penyembuh duka anda. Jika terasa manis, semoga jadi penghangat kebekuan anda. Jika terasa asam, semoga pengejut kealpaan hati anda. Jika terasa pedas, jadikanlah sambal hidangan makanan jiwa anda. Jika terasa asin, itulah memang sari lautan yang mentralisir kebingunan anda. Selebihnya, Wallahu A’lam bish-Shawab.

Wudlu' Kaum Sufi


Wudlu' kita sehari-hari, ternyata tidak sekadar membasuh muka, tangan, kepala, telinga maupun kaki. Wudlu' diposisikan sebagai amaliah yang benar-benar menghantar kita semua, untuk hidup dan bangkit dari kegelapan jiwa. Dalam
Wudlu'lah segala masalah dunia hingga akhirat disucikan, diselesaikan dan dibangkitkan kembali menjadi hamba-hamba yang siap menghadap kepada Allah SWT.
Bahkan dari titik-titik gerakan dan posisi yang dibasuh air, ada titik-titik sentral kehambaan yang luar biasa. Itulah, mengapa para Sufi senantiasa memiliki Wudlu' secara abadi, menjaganya dalam kondisi dan situasi apa pun, ketika mereka batal Wudlu, langsung mengambil Wudlu seketika.
Mari kita buka jendela hati kita. Disana ada ayat Allah, khusus mengenai Wudlu.
"Wahai orang-orang yang beriman, apabila engkau hendak mendirikan sholat, maka basuhlah wajahmu dan kedua tanganmu sampai siku-siku, dan usaplah pada kepalamu dan kaki-kakimu sampai kedua mata kaki…"
Manusia yang mengaku beriman, apabila hendak bangkit menuju Allah ia harus berwudlu' jiwanya. Ia bangkit dari kealpaan demi kealpaan, bangkit dari kegelapan demi kegelapan, bangkit dari lorong-lorong sempit duniawi dan mimpi di tidur panjang hawa nafsunya.
Ia harus bangkit dan hadlir di hadapan Allah, memasuki "Sholat" hakikat dalam munajat demi munajat, sampai ia berhadapan dan menghadap Allah.
Sebelum membasuh muka, kita mencuci tangan-tangan kita sembari bermunajat:
Ya Allah, kami mohon anugerah dan barokah, dan kami berlindung kepadaMu dari keburukan dan kehancuran.
Lalu kita masukkan air untuk kumur-kumur di mulut kita. Mulut kita adalah alat dari mulut hati kita. Mulut kita banyak kotoran kata-kata, banyak ucapan-ucapan berbusakan hawa nafsu dan syahwat kita, lalu mulut kita adalah mulut syetan.
Mulut kita lebih banyak menjadi lobang besar bagi lorong-lorong yang beronggakan semesta duniawi. Yang keluar dan masuknya hanyalah hembusan panasnya nafsu dan dinginnya hati yang membeku.
Betapa banyak dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadits, betapa berlimpah ruahnya fatwa amar ma'ruf nahi mungkar, tetapi karena keluar dari mulut yang kotor, hanyalah berbau anyir dalam sengak hidung jiwa kita. Karena yang mendorong amar ma'ruf nahi mungkarnya bukan Alllah, tetapi hasrat hawa nafsunya, lalu ketika keluar dari jendela bibirnya, kata-kata indah hanyalah bau anyir najis dalam hatinya.
Sesungguhnya mulut-mulut itu sudah membisu, karena yang berkata adalah hawa nafsu. Ayo, kita masuki air Ilahiyah agar kita berkumur setiap waktu. Bermunajatlah ketika anda berkumur:
Oh, Tuhan, masukkanlah padaku tempat masuk yang benar, dan keluarkanlah diriku di tempat keluar yang benar, dan jadikanlah diriku dari DiriMu, bahwa Engkau adalah Kuasa Yang Menolongku.
Oh Tuhan, tolonglah daku untuk selalu membaca KitabMu dan dzikir yang sebanyak-banyaknya, dan tetapkanlah aku dengan ucapan yang tegas di dunia maupun di akhirat.
Baru kemudian kita masukkan air suci yang menyucikan itu, pada hidung kita. Hidung yang suka mencium aroma wewangian syahwat dunia, lalu jauh dari aroma syurga. Hidung yang menafaskan ciuman mesra, tetapi tersirnakan dari kemesraan ciuman hakiki di SinggasanaNya.
Oh, Tuhan, aromakan wewangian syurgaMu dan Engkau melimpahkan ridloMu…
Semburkan air itu dari hidungmu, sembari munajatkan
Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari aroma busuknya neraka, dan bau busuknya dunia.
Selanjutnya:
"Basuhlah wajah-wajahmu…"
Dengan menyucikan hatimu dengan air pengetahuan yang manfaat yang suci dan menyucikan, baik itu bersifat pengetahuan syariat, maupun pengetahuan hakikat, serta pengetahuan yang bisa menghapus seluruh penghalang-penghalang, hijab, antara dirinya dan Allah.
Faktanya setiap hari kita Wudlu' membasuh muka kita, tetapi wajah-wajah kita tidak hadir menghadap Allah, tidak "Fa ainamaa tuwalluu fatsamma wajhullah…" (kemana pun engkau menghadap, wajah hatimu menghadap arah Allah).
Kenapa wajah dunia, wajah makhluk, wajah-wajah kepentingan nafsu kita, wajah-wajah semesta, wajah dunia dan akhirat, masih terus menghalangi tatapmuka hati anda kepada Allah Ta'ala? Ini semua karena kebatilan demi kebatilan, baik kebatilan dibalik wajah batil maupun kebatilan dengan selimut wajah kebenaran, telah membatalkan wudlu jiwa kita, dan sama sekali tidak kita sucikan dengan air pengetahuan ma'rifatullah dan pengetahuan yang menyelamatkan dunia akhirat kita.
Hijab-hijab yang menutupi wajah jiwa kita untuk melihat Allah, sudah terlalu tua untuk menjadi topeng hidup kita. Kita bertopeng kebusukan, bertopeng rekayasa, bertopeng kedudukan dan ambisi kita, bertopeng fasilitas duniawi kita, bertopeng hawa nafsu kita sendiri, bahkan bertopeng ilmu pengetahuan kita serta imajinasi-imajinasi kita atau jubah-jubah agama sekali pun.
Lalu wajah kita bopeng, wajah ummat kita penuh dengan cakar-cakar nafsu kita, torehan-torehan noda kita, flek-flek hitam nafsu kita, dan alangkah bangganya kita dengan wajah-wajah kita yang dijadikan landskap syetan, yang begitu bebas menarikan tangan-tangannya untuk melukis hati kita dengan tinta hitam yang dipanggang di atas jahanam.
Karena wajah kita lebih senang berpaling, berselingkuh dengan dunia, berpesta dalam mabuk syetan, bergincu dunia, berparas dengan olesan-olesan kesemuan hidup, lalu memakai cadar-cadar hitam kegelapan semesta kemakhlukan.
Banyak orang yang mata kepalanya terbuka, tetapi matahatinya tertutup. Banyak orang yang mata kepalanya tertutup, matahatinya terbuka. Banyak orang yang matahatinya terbuka tetapi bertabur debu-debu kemunafikan duniawinya. Banyak orang yang sudah tidak lagi membuka matahatinya, dan ia kehilangan Cahaya Ilahi, lalu menikmati kepejaman matahatinya dalam kegelapan, yang menyangka ia dalam kebenaran dan kenikmatan.
Oh, Allah, bersihkan wajahkku dengan cahayaMu, sebagaimana di hari Engkau putihkan wajah-wajah KekasihMu. Ya Allah janganlah Engkau hitamkan wajahku dengan kegelapanMu, di hari, dimana Engkau gelapkan wajah-wajah musuhMu.
Tuhan, sibakkan cadar hitamku dari tirai yang membugkus hatiku untuk memandangMu, sebagaimana Engkau buka cadar para KekasihMu…
"Dan basuhlah kedua tanganmu sampai kedua siku-sikumu…"
Lalu kita basuh kedua tangan kita yang sering menggapai hasrat nafsu syahwat kita, berkiprah di lembah kotor dan najis jiwa kita, sampai pada tahap siku-siku hakikat kita dan manfaat agung yang ada di sana.
Tangan kita telah mencuri hati kita, lalu ruang jiwa kita kehilangan khazanah hakikat Cahaya hati. Tangan nafsu kita telah mengkorupsi amanah-amanah Ilahi dalam jiwa, lalu kita mendapatkan pundi-pundi duniawi penuh kealpaan dan kemunafikan.
Tangan-tangan kita telah merampas makanan-makanan kefakiran kita, kebutuhan hati kita, memaksa dan memperkosa hati kita untuk dijadikan tunggangan liar nafsu kita. Tangan-tangan kita telah memukul dan menampar wajah hati yang menghadap Allah, menuding muka-muka jiwa yang menghadap Allah, merobek-robek pakaian pengantin yang bermahkotakan riasan indah para Sufi.
Maka basuhlah tanganmu dengan air kecintaan, dengan beningnya cermin ma'rifat, dari mata air dari bengawan syurga.
Basuhlah tangan kananmu, sembari munajat:
Oh, Allah..berikanlah Kitabku melalui tangan kananku, dan hitanglah amalku dengan hitungan yang seringan-ringannya.
Basuhlah tangan kririmu dengan munajat:
Oh, Allah, aku berlindung kepadaMu, dari pemberian kitabku dari tangan kiriku atau dari belakang punggungku…
Lalu, mari kita usap kepala kita:
Karena kepala kita telah bertabur debu-debu yang mengotori hati kita, memaksa hati kita mengikuti selera pikiran kira, sampai hati kita bukan lagi menghadap kepadaNya, tetapi menghadap seperti cara menghadap wajah di kepala kita, yaitu menghadap dunia yang hina dan rendah ini.
Pada kepala kita yang sering menunduk pada dunia, pada wujud semesta, tunduk dalam pemberhalaan dan perbudakan makhluk, tanpa hati kita menunduk kepada Allah Ta'ala, kepada Asma-asmaNya yang tersembunyi dibalik semesta lahir dan batin kita, lalu kepala kita memalingkan wajah hati kita untuk berpindah ke lain wajah hati yang hakiki.
Mari kita usap dengan air Cahaya, agar wajah hati kita bersinar kembali, tidak menghadap ke arah remang-remang yang menuju gelap yang berlapis gulita, tidak lagi menengok pada rimba duniawi yang dipenuhi kebuasan dan liar kebinatangannya.
Kepala-kepala kita sering menunduk pada berhala-berhala yang mengitari hati kita. Padahal hati kita adalah Baitullah, Rumah Ilahi. Betapa kita sangat tidak beradab dan bahkan membangun kemusyrikan, mengatasnamakan Rumah Tuhan, tetapi demi kepentingan berhala-berhala yang kita bangun dari tonggak-tonggak nafsu kita, lalu kita sembah dengan ritual-ritual syetan, imajinasi-imajinasi, kebanggaan-kebanggan, lalu begitu sombongnya kepala kita terangkat dan mendongak.
Mari kita usap kepala kita dengan usapan Kasih Sayang Ilahi. Karena kepala kita telah terpanggang panasnya neraka duniawi, terpanaskan oleh ambisi amarah dan emosi nafsu syahwati, terjemur di hamparan mahsyar duniawi.
Sembari kita mengusap, masti munajat:
Oh Allah, payungi kepalaku dengan Payung RahmatMu, turunkan padaku berkah-berkahMu, dan lindungi diriku dengan perlindungan payung ArasyMu, dihari ketika tidak ada lagi paying kecuali payungMu. Oh, Tuhan….jauhkan rambutku dan kulitku dari neraka…Oh…
Usap kedua telingamu. Telinga yang sering mendengarkan paraunya dunia, yang anda kira sebagai kemerduan musik para bidadari syurga. Telinga yang berbisik kebusukan dan kedustaan, telinga yang menikmati gunjingan demi gunjingan. Telinga yang fantastik dengan mendengarkan indahnya musik duniawi, lalu menutup telinga ketika suara-suara kebenaran bersautan. Amboi, kenapa telingamu seperti telinga orang-orang munafik?
Apakah anda lebih senang menjadi orang-orang yang tuli telinga hatinya?
Munajatlah:
Oh Tuhan, jadikan diriku tergolong orang-orang yang mendengarkan ucapan yang benar dan mengikuti yang paling baik. Tuhan, perdengarkan telingaku panggilan-panggilan syurga di dalam syurga bersama hamba-hambaMu yang baik.
Lalu usaplah tengkukmu, sembari berdoa:
Ya Allah, bebaskan diriku dari belenggu neraka, dan aku berlindung kepadaMu dari belenggu demi belenggu yang merantai diriku.
Lalu basuh kaki-kakimu sampai kedua mata kaki:
Kaki-kaki yang melangkahkan pijakannya kea lam dunia semesta, yang berlari mengejar syahwat dan kehinaan, yang bergegas dalam pijakan kenikmatan dan kelezatan pesonanya.
Kaki-kaki yang sering terpeleset ke jurang kemunafikan dan kezaliman, terluka oleh syahwat dan emosinya, oleh dendam, iri dan dengkinya, haruslah segera dibasuh dengan air akhlaq, air yang berumber dari adab, dan bermuara ke samudera Ilahiyah.
Basuhlah kedua kakimu sampai kedua matakakimu. Agar langkah-langkahmu menjadi semangat baru untuk bangkit menuju Allah, menapak tilas Jalan Allah, secepat kilat melesat menuju Allah. Basuhlah dengan air salsabila, yang mengaliri wajah semesta menjadi jalan lurus lempang menuju Tuhan.
Selebihnya, Wudlu’ adalah Taubat, penyucian jiwa, pembersihan batin, di lembah Istighfar. Jangan lupakan Istighfar setiap basuhan anggota wudlu’mu.
Wallahu A'lam.

Rabu, 10 Juni 2015

Hijrah Menuju Cahaya Allah

Hijrah Menuju Cahaya Allah
“Syukur Alhamdulillah karena pagi ini anda telah selamat memasuki Tarekatullah (jalan kepada Allah), untuk itu kepada anda diminta untuk selalu istiqamah menyebut nama-Nya siang dan malam karena nama dengan yang punya nama tidak akan pernah berpisah, ketika kau menyebut nama-Nya dengan metode yang tepat maka Dia akan hadir dalam hati mu detik itu juga” (Sang Guru).
Kata-kata itu walaupun sudah sangat lama saya dengar, yaitu ketika pertama sekali habis shalat shubuh saya diterima menjadi murid Sang Guru, namun sampai saat ini nasehat tersebut masih terekam kuat dalam memori saya, seakan-akan Beliau mengucapkan baru tadi subuh.
Sejak subuh itu, saya merasakan kehidupan yang beda, menapaki jalan baru, jalan dibawah tuntunan dan bimbingan Wali Allah yang dengan sangat sabar menuntun menuju kehadirat-Nya. Tanggal subuh itu saya catat dan saya ingat, karena itu adalah hari pertama saya hijrah, berangkat dari kegelapan dan kebodohan menuju cahaya Allah yang penuh dengan pencerahan.
(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. [Ibrahim (14): 1]
Jalan yang di terangi oleh cahaya di atas cahaya sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nur 35 dan jalan yang merupakan pintu langsung menuju Allah SWT yaitu Wasilah sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Maidah 35.
Ketika kita memutuskan untuk menempuh jalan kepada-Nya, di bawah bimbingan Guru Mursyid yang Khalis Mukhlisin, saat itu tanpa sadar rohani kita sudah berada di alam akhirat sementara jasmani kita tetap berada di dunia.
“Kita ini ibarat orang-orang akhirat yang sedang bermain-main di muka bumi”, demikian Guru sering mengingatkan para murid agar mereka sadar bahwa tujuan hakiki bukanlah dunia ini tapi kehidupan akhirat, kehidupan bersama cahaya Allah yang harus kita miliki sejak kita hidup.
Segala sesuatu yang diperlukan di alam setelah kematian harus di selesaikan terlebih dulu di dunia ini, sehingga kita tidak lagi mencari dan berada di dalam kebingungan setelah berada di alam setelah kematian. Kita wajib mengenal Allah dengan benar dan berjumpa dengan-Nya ketika kita hidup agar setelah ruh meninggalkan jasad akan tetap bisa berjumpa dengan-Nya karena kewajiban menuntut ilmu adalah di dunia ini bukan di akhirat. Kalau di dunia tidak mengenal Allah, tidak bisa berjumpa dengan Allah maka di akhirat tidak ada yang menjamin untuk berjumpa.
Maka Hijrah menuju cahaya Allah adalah suatu yang wajib yang tidak bisa di tawar, karena tanpa itu kita akan selalu berada dalam kegelapan, kegelapan hati sejak hidup sampai di alam akhirat nanti.
Nabi 14 abad lalu telah memberikan contoh hijrah sebagai simbol, yaitu hijrah dari mekkah (kegelapan) menuju Madinah (cahaya), contoh itu yang harus diteladani oleh seluruh ummat Islam, berhijrah menuju cahaya Allah, sehingga kehidupan akan selalu di sinari cahaya Allah, dengan demikian segala gerak kita akan selalu dalam aturan-Nya, selalu atas keridhaan-Nya.
Semoga kita semua selalu di bimbing dan di tuntun oleh Allah menuju cahaya-Nya, amin ya Rabbal ‘Alamin.

WASILAH, Cara Berjumpa Dengan Allah


Semua manusia di dunia ini meyakini bahwa Tuhan adalah sosok yang Agung, Mulia, Sempurna dan segala gelar hebat di sandang oleh-Nya. Kalau di dunia ada Raja maka Tuhan adalah Maha Raja Diraja. Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Mulia tersebut, sebegitu tingginya sehingga hampir semua manusia merasa mustahil untuk berjumpa denga-Nya. Hanya golongan tertentu saja seperti Nabi yang diizinkan untuk menjumpai-Nya. Bahkan dalam pandangan kelompok tertentu dalam Islam, bahkan Nabi sendiri tidak pernah berjumpa dengan Allah di dunia, dalil tentang pengalaman Musa ingin melihat Tuhan dijadikan dalil untuk membenarkan pendapat mereka. Kelompok Mu’tazilah bahkan lebih ekstrim lagi, mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak bisa dilihat atau dijumpai baik di dunia maupun di akhirat.
Kelompok yang paling banyak adalah yang berpendapat bahwa Allah tidak bisa dilihat atau dijumpai didunia namun Dia bisa dijumpai di akhirat setelah manusia meninggal dunia. Karena banyak bahkan sangat banyak, pada umumnya kita juga meyakini atau dipaksa meyakini bahwa Tuhan tidak mungkin dilihat di dunia dengan alasan Dia Maha Tinggi dan Maha Segalanya.
Disisi lain, kaum Sufi meyakini dan memang mengalami hal yang mustahil bagi kaum awam, yaitu berjumpa, melihat dan berdialog dengan Allah sebagaimana yang diceritakan para Tokoh Sufi dalam berbagai karyanya, salah satu Imam al-Ghazali yang melihat dan berdialog dengan Tuhan di dalam mimpi Beliau.
Pertanyaan yang paling menggoda kita adalah, kenapa ketiga kelompok ini yang sama-sama mengambil sumber ilmu dari Al-Qur’an dan Hadist bisa begitu jauh berselisih paham dan ini telah terjadi dari zaman dulu sampai sekarang. Jawaban normative karena pikiran manusia berbeda-beda dan kemampuan untuk menyerap ilmu dari sumber yang Agung (Al-Qur’an juga berbeda.
Bagi kelompok yang tidak meyakini bahwa Allah bisa di lihat di akhirat, dengan segala dalil menyerang kelompok yang meyakini bahwa Allah bisa dilihat di akhirat. Kaum Mu’tazilah menganggap keliru pemahaman Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang meyakini Allah bisa dilihat di akhirat. Kemudian, orang yang meyakini bahwa Allah hanya bisa dilihat di akhirat menganggap keliru atau aneh bagi orang yang meyakini bahwa Allah bisa dilihat di dunia dan akhirat. Kalau kita terus menerus terjebak kepaa perdebatan tentang Tuhan, maka secara tidak sadar kita tidak pernah mau berusaha untuk menemukan kebenaran lain selain yang kita yakini.
Tuhan Maha Tinggi dan tidak seorangpun yang bisa menjangkat Zat Allah yang Maha tinggi tersebut, dan dalam hal ini kaum sufi yang meyakini bahwa Tuhan bisa dilihat juga berpendapat seperti ini. Tidak berarti bahwa ketika kaum sufi berkesempatan memandang Allah, lalu kedudukan Allah menjadi rendah. Semua manusia memposisikan Tuhan sesuai kadarnya masing-masing makanya dengan segala keyakinannya menampatkan TUhan ditempat yang tdak terjangkau agar kedudukan Tuhan tetap tinggi. Lalu, kalau Tuhan sudah sangat tinggi tidak dapat dijangkau, untuk apa adanya Tuhan?
Tuhan tidak sekedar sesuatu yang disembah, tapi Dia adalah sosok yang akrab dengan kita, tempat kita berkeluh kesah dan sahabat yang paling setia. Nabi Ibrahim menjadi “Khalilullah” Sabahat Allah karena kedekatan Beliau dengan Allah, lalu apakah hanya Ibrahim satu-satunya manusia yang layak menjadi Sahabat Allah? Nabi Muhammad terkenal sebagai “Habibullah” lalu apakah hanya Muhammad satu-satunya manusia yang layak menjadi kekasih Allah? Nabi Musa dikenal dengan “Kalamullah” orang yang diajak berbicara oleh Allah, apakah hanya Nabi Musa yang mengalami seperti itu. Bagaimana dengan kita yang awam, orang-orang yang bukan Nabi, apakah tidak boleh berhubungan dengan Allah dengan akrab?
Kaum sufi yang akrab dengan Tuhan juga tidak merasa dirinya hebat, tidak merasa dirinya suci dan mulia bahkan disetiap saat dengan kesadaran penuh dia merasa sebagai hamba yang hina, dhoif, papa tidak bisa apa, hanya karena kemuarahan hati TUhan saja yang membuat mereka bisa melakukan banyak hal di dunia ini. Kaum Sufi tidak pernah meyakini bahwa TUhan bisa menjadi manusi dan manusia karena kesuciannya bisa menjadi Tuhan, bahwa manusia itu bisa mencapai kedudukan mulia TUhan adalah pendapat diluarorang lain terhadap pemahaman Sufi. Kesalahan dalam memahami Wahdatul Wujud inilah kemudian yang membuat kaum sufi mendapat tuduhdan sebagai kelompok sesat dari orang-orang yang tidak memahaminya.
Kaum Sufi, dari manapun dia berasal dalam berhubungan dengan Allah tetap memakai meode yang diajarkan oleh Rassulullah yaitu lewat Wasilah. Karena tidak mungkin manusia bisa berhubungan dengan Allah tanpa ada unsur atau alat yang diberikan Allah. Dia yang Maha tinggi tidak mungkin dijangkau oleh manusia yang penuh dengan dosa dan kekurangan. Dalam hal ini seluruh manusia mempunyai kayakinan yang sama, termasuk Sufi. Allah yang Maha Pemurah memberikan “Alat Komunikasi” antara manusia dengan Dia yaitu berupa Nur Allah yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Nur tersebut setelah Nabi Muhammad wafat diberikan kepada para ulama pewaris Nabi, dengan itulah manusia bisa berhubungan dengan TUhan. Sebagai alat komunikasi, Wasilah bukanlah ciptaan manusia, bukan pula manusia, tapi dia adalah sesuatu yang berasal dari sisi Allah. Inilah yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai Tali Allah, yang pangkalnya ada pada Allah dan ujungnya ada pada kekasih-Nya. Jangankan Allah yang merupakan Cahaya Maha Tinggi, berhubungan dengan cahaya yang nampak saja harus ada alatnya. Gelombang radio atau televisi ciptaan manusia tidak bisa diterima tanpa adanya alat penerimanya apalagi Cahaya Allah yang begitu Tinggi.
Nabi bukanlah sekedar penyampai wahyu, tapi Beliau adalah pembawa Wasilah yang berasal dari sisi Allah sebagai media penyambug manusia dengan Allah. Hubungan manusia dengan Allah adalah hubungan langsung, tanpa perantara. Hubungan langsung yang dimaksud tentu saja hubungan dengan menggunakan metode yag tepat, metode yang telah disampaikan dan digunakan oleh Rasulullah SAW. Umumnya hubungan langsung yang diyakini oleh manusia secara umum, dia merasa yakin aja bahwa Tuhan yang disembah itu benar. Mulai dari dia bisa beribadah, dia meyakini yang disembah dalah Allah. Apkah memang demikian? Dari mana dia bisa tahu kalau yang berdiri didepannya itu sosok Iblis yang juga terdiri dari cahaya. Berpuluh-puluh tahun dia meyakini telah menyembah Allah lewat Shalat dan ibadah lainnya, ternyata yang disembah Iblis karena dia tidak bisa membedakan antara Allah dan Iblis. Ibadahnya berupa shalat itu diberi ganjaran Neraka oleh Allah karena yang disembah bukan Allah.
Apakah Iblis tidak bisa masuk kedalam Mesjid? Jangankan dalam mesjid atau rumah kita, kedalam surga pun dia bisa bolak balik, bebas keluar masuk. Jadi, kesmbongan kita menolak wasilah, menyembah Allah dengan metode Rasulullah ini yang menyembabkan kita mudah disusupi setan yang sangat Halus. Ingat, Nabi Adam digoda oleh Iblis bukan di Pasar Malam atau di Mall, tapi di dalam Surga yang dipagari oleh para Malaikat.
Kaum Sufi tidak ragu sedikitpun dia dalam beribadah karena dia sudah bisa membedakan antara Allah dan yang bukan Allah karena dia telah berjumpa dengan Allah. Bagi mereka Allah bukan hanya Maha Gaib (Al-Ghaibi) namun juga Maha Nyata (AD-Dzahir) seperti yang tertulis dalam Asmaul Husna. Bagi orang yang baru menempuh jalan kepada Allah (Thariqatullah), paling tidak dia telah mempunyai pembimbing (Mursyid) yang setiap saat akan menuntun dan membimbing dia kepada Allah secara zahir dan bathin. Godaan dan gangguan secara bathin dengan izin Allah akan mendapat Syafaat ( Bantuan) dari Guru Mursyid yang rohaninya selalu bersama rohani Rasulullah dan otomatis selalu bersama Allah.
Jadi, belum terlambat bagi siapapun kita yang belum menggunakan metode berhubungan dengan Allah berupa Wasilah untuk segera mencari Guru Pembimbing agar ibadahnya menjadi sempurna dan diterima oleh Allah SWT.

ZUHUD YANG SEBENARNYA


Sulthanul Aulia Ahli Silsilah ke-36 yang
mendapat gelar “Master Dunia Akhirat” mengatakan:
“Hanya orang bodoh dan orang gila yang tidak ingin kaya”
Syahdan, ada seorang syaikh yang hidup sederhana. Dia makan sekedar kebutuhan untuk bertahan-hidup saja. Karena profesinya nelayan, pagi-pagi dia memancing ikan. Setelah mendapat banyak ikan, dia membelah ikan-ikan itu menjadi dua: batang tubuh ikan itu dibagi-bagikan kepada tetangganya, sementara kepalanya dia kumpulkan untuk dimasak sendiri. Karena terbiasa makan kepala ikan itulah sehingga ia diberi julukan syaikh kepala ikan. Dia seorang sufi yang memiliki banyak murid.
Salah seorang muridnya hendak pergi ke Mursia, sebuah daerah di Spanyol. Kebetulan syaikh kepala ikan ini mempunyai seorang guru sufi besar disana (Syaikh Al-Akbar). “Tolong kamu mampir ke kediaman guruku di Mursia, dan mintakan nasihat untukku,” pesan syaikh kepada muridnya. Si muridpun pergi untuk berdagang. Setibanya di Mursia, dia mencari-cari rumah Syaikh Al-Akbar itu. Dia membayangkan akan bertemu dengan seorang tua, sederhana, dan miskin. Tapi ternyata orang menunjukkannya pada sebuah rumah besar dan luas. Dia tidak percaya, mana ada seorang sufi besar tinggal di sebuah bangunan yang mewah dan mentereng, penuh dengan pelayan-pelayan dan sajian-sajian buah-buahan yang lezat. Dia terheran-heran: “Guru saya hidup dengan begitu sederhana, sementara orang ini sangat mewah. Bukankah dia gurunya guru saya?” Dia pun masuk dan menyatakan maksud kedatangannya. Dia menyampaikan salam gurunya dan memintakan nasihat untuknya. Syaikh pun bertutur, “Bilang sama dia, jangan terlalu memikirkan dunia.” Si murid tambah heran dan sedikit marah, tidak mengerti. Syaikh ini hidup sedemikian kaya, dimintai nasihat oleh orang miskin malah menyuruh jangan memikirkan dunia. Akhirnya dengan kesal ia pulang.
Saat gurunya mendengar nasihat yang diperoleh melalui muridnya dia hanya tersenyum dan sedikit sedih si murid mengernyitkan kening tambah tidak paham. Apa maksud nasihat itu? Guru itu menjawab “Syaikh Akbar itu benar. Menjalani hidup tasawuf itu bukan berarti harus hidup miskin. Yang penting hati kita tidak terikat oleh harta kekayaan yang kita miliki dan tetap terpaut dengan Allah SWT. Bila jadi orang miskin harta, tapi hatinya terus memikirkan dunia. Saya sendiri ketika makan kepala ikan, masih sering membayangkan bagaimana makannya daging ikan yang sebenarnya?”
Kisah ini menunjukkan dua hal: menjadi orang kaya itu tidak mesti jauh dari kehidupan sufi dan menjadi orang miskin tidak otomatis mendekatkan orang pada kehidupan sufistik. Syaikh Al-Akbar yang disebut diatas adalah Muhyiddin Ibn ‘Arabi, salah satu sufi besar dan cemerlang dalam sejarah perkembangan tasawuf.
Sulthanul Aulia Ahli Silsilah ke-36 yang mendapat gelar “Master Dunia Akhirat” mengatakan: “Hanya orang bodoh dan orang gila yang tidak ingin kaya”. Beliau selalu menganjurkan murid-muridnya agar selalu berusaha, jangan malu dalam mencari nafkah asalkan halal dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist serta aturan-aturan negara. Agar bisa berhasil harus mencoba sampai 7 jenis usaha, Beliau mengistilahkan 7 sumber mata air. Beliau berusaha mengubah pandangan keliru terhadap tasawuf, bertasawuf tidak identik dengan kemiskinan, tapi justru dengan bertasawuf mengubah orang bodoh menjadi pandai, orang miskin menjadi kaya namun hatinya tetap bisa terus berzikir memuja Allah SWT.
Syaikh Nasiruddin Ubaidullah Al Ahrary As Samarqandi bin Mahmud bin Sihabuddin QS Salah satu Wali Qutub yang amat kaya. Kekayaannya pernah menutup hutang-hutang kerajaan Samarqan, membantu kerajaan Mugol India keluar dari krisis keuangan. Setiap tahun berzakat 60.000 ton gandum.
Seorang sufi lain mengatakan, kehidupan tasawuf adalah membiarkan tanganmu sibuk mengurusi dunia dan membiarkan hatimu sibuk mengingat Allah SWT.
Iman Ghazali mengatakan, jiwa harus merawat tubuh sebagaimana orang mau naik haji harus merawat untanya. Tapi kalau ia sibuk dan menghabiskan waktunya untuk merawat unta itu, memberi makan dan menghiasinya, maka kafilah (rombongan) akan meninggalkan ia. Dan ia akan mati di gurun pasir. Artinya, kita bukan tidak boleh merawat yang bersifat fisik, tapi yang tidak boleh adalah kita tenggelam didalamnya. Imam Al-Ghazali bertanya ”apakah uang itu membuat mu gelisah? Orang yang terganggu oleh uang belumlah menjadi seorang sufi”. Jadi persoalannya bukan kita tidak boleh mempunyai uang. Justru, bagaimana kita mempunyai uang cukup, tapi pada saat yang sama hati kita tidak terganggu dengan harta yang kita miliki.
Menurut Ibn ‘Arabi, dunia ini adalah tempat kita diberi pelajaran dan harus menjalani ujian. Ambillah yang kurang dari pada yang lebih didalamnya. Puaslah apa yang kamu miliki, betapapun yang kamu miliki itu kurang dari pada yang lain. Tapi dunia itu tidak buruk. Sebaliknya, ia ladang bagi hari akhirat. Apa yang kamu tanam didunia ini, akan kamu panen di akhirat nanti. Dunia adalah jalan menuju kebahagiaan puncak, dan karena itu baik, layak di puji dan dielu-elukan untuk kehidupan akhirat. Yang buruk, lanjut ‘Arabi, adalah jika apa yang kamu perbuat untuk duniamu itu menyebabkan kamu buta terhadap kebenaran oleh nafsumu dan ambisi terhadap dunia.
Nabi Muhammad SAW. Suatu kali ditanya, apa arti keduniawian itu? Rasulullah menjawab, “Segala sesuatu yang menyebabkan kamu mengabaikan dan melupakan Tuhanmu”. Kegiatan-kegiatan duniawi tidaklah buruk pada dirinya sendiri, tapi keburukannya terletak pada yang membuat lupa kepada Allah SWT.
Disamping Ibn ‘Arabi, konon banyak sufi yang hidup makmur. Fariduddin Al-Atthar, yang terkenal mengarang Al-Manthiq Al-Thair (Musyawarah Burung-Burung) itu, di gelari dengan al-Atthar karena perkerjaannya menjual minyak wangi. Junaid Al-Baghdadi dikenal sebagai al-Qawariri, penjual barang pecah belah. Kemudian Al- Hallaj al-Khazzaz, pemintal kapas: dia mencari nafkah dengan memintal kapas. Adalagi Sari as-Saqati, penjual rempah-rempah. Dan banyak lagi yang lain. Ini hanya gambaran bahwa sufi tidak harus menjauhi dunia.
Abu Zaid mengatakan bahwa seorang sufi yang sempurna bukanlah zahid yang tenggelam dalam perenungan tauhid. Bukan seorang wali yang menolak muamalat dengan orang lain. Sufi sejati adalah mereka yang berkiprah di masyarakat. Makan dan tidur bersama mereka. Membeli dan menjual di pasar. Mereka punya peran sosial, tapi tetap ingat kepada Allah SWT. Dalam setiap saat. Inilah hakikat zuhud yang sebenarnya.

Ajaran Guru Sufi; Ibnu 'Arabi


Muhiddin Abu Abdullah Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Abdullah Hatimi at-Ta'i (1165-1240) atau lebih dikenal dengan Ibnu Arabi adalah seorang sufi amat terkenal dalam perkembangan tasawuf di dunia Islam. Ibnu Arabi adalah keturunan Arab kuno dan ayahnya Ali ibn al-'Arabi adalah seorang yang berkedudukan tinggi dan berpengaruh. Ibnu Arabi adalah guru sufi yang terkenal dengan konsep Wihdatul Wujud-nya. Ia mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang wujud kecuali Tuhan, segala yang ada selain Tuhan adalah penampakan lahiriah dari-Nya. Menurutnya, keberadaan makhluk tergantung pada keberadaan Tuhan, atau berasal dari wujud ilahiah. Manusia yang paling sempurna adalah perwujudan penampakan diri Tuhan yang paling sempurna.
Awal dari ekstase (keadaan di luar kesadaran diri) adalah diangkatnya selubung, dan hadirnya kesepahaman, serta perenungan pada yang tak kasat mata, dan percakapan rahasia, dan memandang yang tidak ada, dan ini berarti kau telah beranjak dari tempat asalmu.
Ekstase adalah persinggahan pertama bagi kaum pilihan dan ia adalah warisan kepastian dari hasrat, dan bagi mereka yang telah mengalaminya, ketika cahayanya telah tersebar luas ke penjuru kalbu, semua keraguan dan kecurigaan meninggalkan mereka. Siapa yang terselimuti dari ekstase dan dikuasai oleh keakuannya sendiri, terhalang oleh kehidupan dan oleh maksud-maksud duniawi, karena keakuan terselubung oleh maksud-maksud semacam ini. Tetapi jika maksud-maksud duniawi dihilangkan dan pengabdian diri kepada Tuhan disucikan dari kepentingan pribadi dan kalbu kembali dimurnikan dan disucikan serta mengindahkan peringatan, ketika kalbu menyembah Tuhan dan mengutarakan doa-doanya dalam percakapan intim dengan-Nya, semakin dekatlah dia ke arah-Nya. Dia berbicara kepadanya dan ia mendengarkan dengan penuh perhatian.
Ekstase di dunia ini tidak berasal dari penyingkapan, tapi dari penglihatan kalbu dan kesadaran akan kebenaran dan keyakinan, dan siapa yang telah mengejarnya menyaksikan dengan luapan kegembiraan dan dengan pengabdian yang bebas hawa nafsu. Ketika ia terjaga dari penglihatan itu, dia kehilangan apa yang telah dia temukan, tapi pengetahuannya masih bersamanya, dan untuk waktu yang lama, ruhnya menikmatinya.
Jika seseorang meminta penjabaran lebih lanjut tentang ekstase, suruhlah dia berhenti menanyakannya, sebab bagaimana mungkin sesuatu dapat dijabarkan jika ia tidak memiliki penjelasan kecuali dirinya sendiri, dan tiada kesaksian kecuali dirinya. Siapa yang bertanya tentang aroma dan rasasanya berarti bertanya tentang kemustahilan, sebab aroma dan rasa tidak dikenal dengan penjabaran, melainkan dengan mengecap dan mengalaminya.

Fakir Terikat dan Kaya Terbebas


TERLEPAS DARI BEBAN DUNIA
Seorang nelayan yang shalih di Tunisia tinggal di sebuah gubuk yang sederhana dari tanah liat. Setiap hari ia melayarkan perahunya untuk menangkap ikan. Ia terbiasa menyerahkan seluruh hasil tangkapannya pada orang-orang miskin dan hanya menyisakan sepotong kepala ikan untuk ia rebus sebagai makan malamnya.
Nelayan itu lalu berguru kepada sufi besar, Ibnu ‘Arabi. Seiring dengan berlalunya waktu, ia pun menjadi seorang syaikh seperti gurunya.
Suatu saat, salah seorang murid sang nelayan akan mengadakan perjalanan ke Spanyol. Nelayan itu memintanya untuk mengunjungi Syaikhul Akbar Ibnu ‘Arabi. Nelayan itu berpesan agar dimintakan nasihat bagi dirinya. Ia merasakan kebuntuan dalam jiwanya.
Pergilah murid itu ke kota kediaman Ibnu ‘Arabi. Kepada penduduk setempat, ia menanyakan tempat tinggal sang syaikh. Orang-orang menunjukkan kepadanya sebuah puri indah bagai istana yang berdiri di puncak suatu bukit. “Itulah rumah Syaikh”, ujar mereka.
Murid itu amat terkejut. Ia berfikir betapa mewah dunia Ibnu ‘Arabi dibandingkan dengan gurunya sendiri, yang tak lebih dari seorang nelayan sederhana. Dengan penuh keraguan, ia pun pergi mengunjungi rumah mewah yang ditunjukkan itu.
Sepanjang perjalanan, ia melewati ladang-ladang yang subur, jalanan yang bersih, dan kumpulan sapi, domba dan kambing. Setiap kali ia bertanya kepada orang yang dijumpainya, selalu ia memperoleh jawaban bahwa pemilik dari semua ladang, lahan dan ternak itu tak lain ialah Ibnu ‘Arabi. Tak henti-hentinya ia bertanya kepada diri sendiri: “Bagaimana mungkin seorang materialis seperti itu menjadi seorang guru sufi?”
Ketika tiba ia di puri tersebut, apa yang paling ditakutinya terbukti. Kekayaan dan kemewahan yang disaksikannya di rumah sang syaikh tak pernah ia bayangkan. Dinding rumah itu terbuat dari marmer, seluruh permukaan lantainya ditutupi oleh permadani mahal. Para pelayannya mengenakan pakaian dari sutra. Baju mereka lebih indah dari apa yang dipakai oleh orang terkaya di kampung halamannya.
Murid itu meminta untuk bertemu dengan sang syaikh. Pelayan menjawab bahwa Syaikh Ibnu ‘Arabi sedang mengunjungi khalifah dan akan segera kembali.
Tak lama kemudian, ia menyaksikan sebuah arak-arakan mendekati puri tersebut. Pertama muncul pasukan pengawal kehormatan yang terdiri dari tentara khalifah lengkap dengan perisai dan senjata yang berkilauan serta mengendarai kuda-kuda arabia yang gagah. Lalu muncullah Ibnu ‘Arabi dengan pakaian sutra yang teramat indah lengkap dengan surban yang lazim dipakai para sultan.
Si murid lalu dibawa menghadap Ibnu ‘Arabi. Para pelayan yang terdiri dari para pemuda tampan dan gadis cantik membawakan kue-kue dan minuman. Murid itu pun menyampaikan pesan dari gurunya. Ia menjadi tambah terkejut dan geram ketika Ibnu ‘Arabi mengatakan kepadanya: “Katakanlah pada gurumu, yang menjadi problem baginya adalah ia masih terlalu terikat kepada dunia.”
Tatkala murid itu kembali ke kampungnya, guru nelayan itu dengan antusias menanyakan apakah ia sempat bertemu dengan syaikh besar itu. Dipenuhi keraguan, murid itu mengaku bahwa ia memang telah menemuinya.
“Lalu, apakah ia menitipkan kepadamu suatu nasihat bagiku?” tanya sang guru.
Pada awalnya, si murid enggan mengulangi nasihat dari Ibnu ‘Arabi. Ia merasa amat tak pantas mengingat betapa berkelimangan harta yang ia lihat pada kehidupan Ibnu ‘Arabi dan betapa berkekurangan kehidupan gurunya sendiri.
Namun karena guru itu terus memaksanya, akhirnya murid itu pun bercerita tentang apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Arabi. Mendengar itu semua, sang guru itu berurai air mata. Muridnya tambah keheranan, bagaimana mungkin Ibnu ‘Arabi yang hidup sedemikian mewah, berani menasihati gurunya bahwa ia terlalu terikat kepada dunia.
“Dia benar. Ia benar-benar tak peduli dengan semua yang ada padanya. Sedangkan aku, setiap malam ketika aku menyantap kepala ikan, selalu aku berharap seandainya saja itu seekor ikan yang utuh”, jawab sang guru.

Ajaran Guru Sufi; Rabi’ah al-'Adawiyah


Rabi’ah dilahirkan di Bashrah. Dia digambarkan oleh penulis-penulis biografinya sebagai “wanita yang luluh dalam penyatuan dengan Tuhan, wanita yang diterima para lelaki sebagai perawan Maryam kedua.”
Ketika masih kanak-kanak dia diculik dan dijual sebagai budak, tetapi kemudian dibebaskan oleh tuannya, ketika tuannya menyadari bahwa Rabi’ah adalah seorang pilihan Tuhan. Dia lalu memasrahkan diri untuk beribadah dan pengabdian kepada Allah. Rabi’ah memiliki banyak murid, yang mencari nasihat dan doa-doanya.
Suatu hari Rabi’ah terlihat membawa api di tangan kanannya dan air di tangan kirinya dan dia berlari dengan sangat cepat. Mereka menanyainya, apa arti perbuatannya itu dan kemana dia akan pergi. Dia menjawab, “Aku akan menyalakan api di surga dan menyiramkan air ke neraka, agar kedua selubung (yakni penghalang bagi pandangan sejati Tuhan) benar-benar terbuka bagi para peziarah, dan mereka menjadi yakin, dan hamba-hamba Tuhan mampu melihat-Nya, tanpa harap ataupun takut. Bagaimana jika harapan tentang surga dan ketakutan akan neraka tidak ada? Tak seorang pun menyembah Tuhan atau mematuhi-Nya.”
Hal terbaik bagi hamba yang ingin berdekatan dengan Tuhannya adalah untuk tidak memiliki apa pun di dunia ini atau di dunia esok kecuali Dia semata. Aku tidak mengabdi kepada Allah karena ketakutan akan neraka, karena aku akan menjadi hamba yang buruk, jika aku melakukannya karena rasa takut. Tidak juga karena kecintaan pada surga, karena aku akan menjadi hamba yang buruk jika aku mengabdi demi apa yang diberikannya. Tetapi aku telah beribadah kepada-Nya dan karena hasratku hanya kepada-Nya.
Tetangga dulu, baru kemudian rumah: tidakkah ini cukup bagiku bahwa aku diberi kebebasan untuk menyembah Dia? Sekalipun surga dan neraka tidak ada, tidakkah ini mendorong kita untuki mematuhinya? Dia layak mendapatkan persembahan tanpa maksud apapun.
Oh Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut kepada neraka, bakarlah aku di neraka, dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, buanglah aku dari sana, tetapi jika aku menyembah-Mu karena Engkau semata, maka jangan tampik aku dari Kecantikan Abadi-Mu.
Jeritan dan rintihan kekasih Tuhan tidak akan terpuaskan sampai ia memuaskan Sang Kekasih.
Aku telah menjadikan-Mu sahabat kalbuku
Tetapi tubuhku siap sedia bagi mereka yang
menginginkan persahabatan
dan tubuhku akrab dengan tamu-tamunya,
tetapi Sang Kekasih hatiku adalah Tamu jiwaku
Kedamaianku adalah dalam kesunyian, tetapi Kekasihku selalu bersamaku. Tak ada sesuatu pun dapat menggantikan cinta-Nya dan ini menjadi ujian bagiku di tengah makhluk hidup. Kapan pun aku merenungkan Keindahan-Nya, Dia adalah mihrab-ku, Dia adalah kiblatku. Oh Penyembuh jiwa-jiwa, hati penuh dengan hasratdan menjadi perjuangan keras untuk bersatu dengan-Mu yang telah menyembuhkan jiwaku. Engkau adalah Kesenangan dan Hidupku untuk selamanya. Engkau adalah sumber kehidupanku, dari Engkau luapan gembiraku. Aku telah menjauhkan diriku dari makhluk ciptaan-Mu. Harapku adalah bersatu dengan-Mu, karena itulah tujuan pengembaraanku.

Jalan Sufi Seorang Uwaisi

Jalan Sufi Seorang Uwaisi

Pencari pengetahuan dan gnosis (makrifat) harus mengikuti jalan di bawah bimbingan seorang guru, sampai datang suatu saat di mana ia harus dibiarkan sendiri. Guru itu ibarat tongkat yang tidak perlu digunakan lagi setelah si pencari dapat berjalan sendiri. Saat itu tiba bila si murid tidak lagi memerlukan guru jasmaniah karena kini ia telah terisi langsung ke dalam sumber kekuatan sejati.
Apabila seseorang mengatakan bahwa ia memerlukan guru lahiriah sepanjang hidupnya, maka ia telah salah membatasi ukuran sebenarnya dari potensi manusia dan kerahiman Ilahi. Jika seseorang mengatakan bahwa ia sama sekali tidak memerlukan seorang guru maka ia sombong (takabbur) dan angkuh dan akan hidup di bawah kezaliman nafsu yang rendah. Namun, bagi setiap aturan ada kekecualian. Kekecualian tersebut dalam kasus orang yang tidak memerlukan guru lahiriah, atau yang tidak kelihatan memiliki guru jasmaniah yang nyata, untuk mengarahkan dan membimbingya. Dalam tradisi sufi, orang semacam itu disebut uwaisi.

Istilah uwaisi berasal dari nama seorang lelaki, Uwais al-Qarni, yang tinggal di Yaman di masa Nabi Muhammad SAW. Walaupun ia belum pernah bertemu secara fisik dengan Nabi, namun ia telah melihat beliau dalam mimpi-mimpinya. Kabarnya Nabi SAW menyebutkan wali besar ini dengan mengatakan, "Nafas Yang Maha Pengasih datang kepada saya dari Yaman." Ketika orang mengetahui tentang tingkat spiritualnya, Uwais berusaha menyembunyikan diri di balik kehidupan biasa seorang gembala unta dan kambing, dan khalwat menjadi jalan hidupnya. Ketika ia ditanyai tentang hal ini, ia berkata, "mendoakan manusia dalam ketidakhadiran orang yang didoakan adalah lebih baik daripada mengunjunginya, karena aspek-aspek ego mereka, seperti pakaian atau citra diri, dapat mengalihkan perhatian saya." Ia juga biasa mengatakan, "Menyuruh orang berbuat baik tidak menyampaikan saya pada seorang sahabat," dan "Saya memohon kepada setiap orang yang lapar untuk memaafkan saya, karena saya tak mempunyai apa-apa dalam dunia ini selain apa yang ada dalam perut saya."


Bagi kaum sufi yang belakangan, Uwais menjadi prototipe orang sufi yang bersemangat yang tidak memihakkan dirinya kepada suatu tarekat sufi. Para sufi semacam itu menerima inisiasi atau cahaya mereka langsung dari cahaya (nur) Nabi, tanpa kehadiran secara fisik atau bimbingan dari seseorang guru spiritual yang hidup.

Bersedih Karena Dunia, Susah di Akhirat


FIRMAN DALAM HADITS QUDSY UNTUK HATI YANG GUNDAH

“Wahai anak Adam! Siapa yang bersedih karena dunia, hal itu hanya akan menjauhkannya dari Allah.
Di dunia dia lelah, di akhirat mendapat susah. Allah akan membuat hatinya selalu risau, selalu sibuk
berkepanjangan, -miskin tak pernah bisa kaya, dan selalu diliputi oleh angan-angan.


Wahai anak Adam! Umurmu setiap hari berkurang, tapi engkau tidak mengetahui, Setiap hari Aku
datang membawa rezekimu, tapi engkau tak pernah puas dengan yang sedikit, dan tak pernah
kenyang dengan harta yang banyak.

Wahai anak Adam! Setiap hari aku berikan rezeki padamu. Sementara setiap malam para malaikat
datang pada-Ku membawa amal burukmu. Engkau makan rezeki-Ku, tapi engkau bermaksiat kepada-
Ku. Engkau berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Kebaikan-Ku tercurahkan untukmu, tetapi
kejahatanmu yang sampai kepada-Ku. Sebaik-baik kekasihmu adalah Aku. Sedangkan seburuk-buruk
hamba-Ku adalah engkau. Engkau lepaskan apa yang Kuberikan padamu. Kututupi keburukanmu
setelah sebelumnya terbuka. Aku malu padamu, tetapi engkau tak pernah malu pada-Ku.

Engkau
melupakan-Ku dan mengingat yang lain. Engkau merasa takut pada manusia, dan merasa aman dari-
Ku. Engkau takut pada murka mereka dan tidak takut dengan murka-Ku.”
----Hadis Qudsi, dikutip dari kitab Kimiya As-Sa’adah karya Imam Al-Ghazali