Laman

Sabtu, 18 Oktober 2014

Sufi Road: Epistemologi Makrifat


Pengetahuan yang diperoleh melalui olah nalar disebut dengan ilmu ('ilm) dan pengetahuan yang diperoleh melalui olah batin disebut makrifat (ma'rifah). Secara kebahasaan, kata 'ilm berasal dari akar kata alima-ya'lamu, berarti mengetahui. Seakar kata dengan 'alam, berarti tanda, petunjuk, bendera.'Alamah berarti alamat atau suatu tanda yang melalui dirinya dapat diketahui sesuatu yang lain (ma bihi ya'lamu al-syai). Dalam pembahasan tentang alam dijelaskan segala sesuatu selain Allah (ma siwa Allah) adalah alam. Alam adalah tanda menunjuk kepada (adanya) Allah SWT. Alam juga sekaligus memberikan kesadaran dan pengetahuan tentang Allah SWT. Dari segi kebahasaan dapat ditangkap makna 'ilm dan 'alam memiliki konotasi fisik dan mekanik (hushuli).
Sedangkan, makrifah berasal dari kata 'arafa-yurif, memiliki berbagai makna yang lahir dari padanya, antara lain, mengetahui dan mengenal lebih dalam (i'rfah), pengakuan dosa (i'tiraf), wukuf di Arafah ('arrafah al-hujjaj), Padang Arafah ('arafat), tempat antara surga dan neraka (a'raf), bersetubuh ('arafah al-ma'ah), saling mengenal satu sama lain (ta'aruf), warisan tradisi lama yang positif ('urf), terkenal, masyhur (ma'ruf), ilmu pengetahuan luas (ma'arif), dan pengetahuan yang mendalam dan komprehensif ('irfan/ma'rifah). Dari segi kebahasaan dapat dipahami makna makrifat memiliki konotasi lebih tinggi dan agung (hudhuri).
Dengan perbedaan tersebut, dengan sendirinya antara ilmu dan makrifat memiliki ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang berbeda satu sama lain. Perbedaan ini bisa dipahami melalui perbedaan antara ilmu-ilmu hushuli dan ilmu-ilmu hudhuri (lebih lanjut mengenai hal ini lihat artikel terdahulu: "Antara Ilmu Hudhuri dan Ilmu Hushuli").
Secara ontologi, ilmu ('ilm) masih lebih banyak berkutat pada wilayah logika manusia. Referensi yang digunakan untuk memahami ilmu juga masih bersifat fisik dan visual, meskipun dalam tingkatannya yang lebih tinggi, khususnya dalam level filsafat makna, sudah ada yang mulai bertumpang tindih dengan level awal ontologi makrifat. Ontologi makrifat, sebagaimana arti dasarnya, lebih mengacu pada wilayah-wilayah yang dapat dikatakan asing bagi para ahli ilmu pengetahuan (saintis).
Meskipun demikian, sesungguhnya para saintis tidak bisa serta-merta menafikan keberadaan ontologi keilmuan makrifat karena secara de facto banyak peristiwa yang diungkap oleh pengetahuan makrifat sulit dibantah oleh para saintis. Sebutlah contoh tentang efek keberadaan Tuhan yang dulu dinafikan oleh para saintis positivisme, tetapi di dalam era posmodernisme mulai diberi ruang. Terakhir para saintis dalam era new age tidak bisa menyembunyikan adanya Godspot di dalam diri manusia. Kini para ilmuwan modern, sesekuler apa pun mereka, tidak dapat lagi terus-menerus 'menyerang' kaum agamawan (baca: agnostik) karena mereka sendiri meragukan dirinya sendiri.
Bahkan, di negara-negara maju sekarang sudah mulai demam kajian spiritual. Kabbalah (mistisisme Yahudi) yang dulu diharamkan oleh para Rabbi karena dianggap bid'ah kini laksana cendawan tumbuh di mana-mana. Di New York, tepatnya The Manhattan Center, yang terletak di 155 E/84 St, di jantung Kota New York berdiri tegak Kabbalah Center. Jauh sebelumnya, Karen Berg pernah mendirikan The National Research Institute of Kabbalah di Los Angeles, yang sampai sekarang ramai dikunjungi artis Hollywood dan ilmuwan Yahudi di sana. Di Eropa dan Amerika Latin juga demikian halnya. Lembaga-lembaga meditasi bahkan sudah dibuka di sejumlah universitas terkemuka. Buku-buku new age pernah mendominasi sejumlah toko buku di Amerika dan Eropa. Pusat-pusat sufistik akhir-akhir ini mungkin lebih ramai di Barat daripada di Timur. The Beshara School, sebuah lembaga spiritual yang bertaraf internasional, sudah mulai go public dan merambah hampir di seluruh negara. Begitu pun Ibnu 'Arabi Society, para anggotanya semakin besar, sebagaimana dapat dilihat di webnya. Pengikut Kabbani dan Bawa Muhaiyaddeen di AS juga semakin ramai dikunjungi pengikut. Di antara mereka bukan orang awam, tetapi sangat terdidik dan pejabat.
Meningkatnya gerakan sufisme di berbagai tempat menandakan adanya ketidakpuasan manusia terhadap capaian ilmu pengetahuan selama ini. Paling tidak kehausan intelektualitas manusia ternyata tidak mampu dipuaskan oleh ilmu pengetahuan ('ilm). Manusia menginginkan lebih dari sekadar ilmu yang hanya mampu memberikan kepuasan logika. Kepuasan sejati hanya dapat dirasakan manakala menyentuh aspek hakiki dari manusia yang namanya kepuasan batin. Justru kepuasan batin inilah yang kemudian mendatangkan kesadaran kemanusiaan yang lebih tinggi.
Untuk bisa sampai pada tingkat kepuasan batin ini dibutuhkan pengetahuan tingkat tinggi yang biasa disebut dengan makrifat, yang sesekali disebut irfan atau dalam istilah tasawuf biasa disebut dengan mukasyafah. Mukasyafah berarti penyingkapan tabir-tabir (hijab) yang selama ini menghijab manusia untuk mengakses sebuah dunia yang agung, di mana manusia bisa meraih kepuasan yang luar biasa.
Epistemologi makrifat lebih dari sekadar menempuh epistemologi keilmuan biasa. Persyaratan yang harus ada di dalam menggapai tingkat makrifat Al-Qusyairi ialah penyucian diri dari berbagai dosa dan maksiat, bersih dari urusan dan ketergantungan dunia, terus-menerus bermunajat di hadapan Allah dengan cara sirri, selalu memelihara kelembutan jiwa dan budi pekerti, serta penuh pengendalian dan mawas diri. Bagi orang yang mencapai tingkat mukasyafah (penyingkapan), ia akan berada pada tingkat musyahadah (penyaksian kepada zat Yang Mahamulia). Dalam keadaan seperti ini, manusia bisa memperoleh kepuasan intelektual hakiki yang tak terlukiskan.
Rawaim Ibnu Ahmad pernah menggambarkan orang yang mencapai tingkat makrifat bagaikan seorang menyaksikan cermin. Jika ia melihat cermin itu, akan tampak jelas Tuhannya. Zunnun al-Mishri melukiskan orang-orang yang bergaul dengan penerima makrifah seperti orang-orang yang bergaul dengan Allah SWT. Menurut al-Hallaj, "Jika seorang hamba telah sampai kepada makrifatullah, Allah akan membisikkan kepadanya dengan melalui hatinya dan menjaga hatinya dari kata hati yang tidak benar." Abu Yazid al-Busthami pernah ditanya perihal orang yang mencapai makrifat, ia menjawab, "Orang arif adalah penerbang dan orang zuhud itu pejalan kaki." Selanjutnya, ia menambahkan, "Ketika ia tidur ia tidak melihat selain Allah, ketika ia terjaga ia tidak melihat selain Allah, ia tidak beribadah selain kepada Allah."
Untuk urusan lebih teknik untuk memperoleh makrifat, Ahmad Ibnu Atho' berkomentar: "Makrifat itu memiliki tiga rukun, yaitu takut kepada Allah, malu kepada Allah, dan senang kepada Allah." Jadi, memang tidak gampang mencari dan menemukan makrifat. Hampir seluruh ulama sepakat bahwa cara untuk meraih sukses mencapai makrifat ialah kebersihan batin. Untuk itu, penyucian jiwa (tadzkiyah al-nafs) dan keindahan batin (tanwir al-qulub) serta niat yang tulus merupakan persyaratan mutlak yang harus diwujudkan di dalam diri murid.
Pada dasarnya, manusia itu memiliki kemampuan dan kecerdasan, bahkan makrifat. Hanya, mereka terkontaminasi oleh lingkungan sosial sehingga mereka perlu berzikir (mengingat kembali). Ayat yang sering dilibatkan kelompok ini, antara lain, fas'alu ahl al-dzikr inkuntum la ta'lamun. (Bertanyalah kalian kepada ahli zikir jika kalian tidak tahu); Afala tatadzakkarun (Mengapa kalian tidak mengingat kembali?), dan Aqim al-shala li dzikri (Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku). Kelompok ini mengedepankan penyucian diri dalam bentuk tazkirah, tashawwuf, tashwir, dan tazkiah untuk menjernihkan kembali pengetahuan inti yang pernah dibekalinya sejak lahir.
Menuntut ilmu-ilmu makrifat juga diperlukan kesantunan kepada guru (mursyid), sebagaimana dapat dilihat di lembaga-lembaga spiritual, termasuk dalam tradisi pondok pesantren. Ketawadhuan seorang murid dan kesantunan seorang guru atau kiai adalah adanya tradisi keluhuran dalam proses pencarian ilmu pengetahuan. Ini sejalan dengan ayat: "Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui." (QS al-Baqarah [2]: 151)

Sufi Road : Perbedaan Ilmu dan Ma'rifah : Imam Al Gazali

Sufi Road : Perbedaan Ilmu dan Ma'rifah : Imam Al Gazali
Ma'rifah adalah esensi taqarrub (pendekatan pada Tuhan). Ma'rifah merupakan hasil penyerapan jiwa yang mempengaruhi kondisi jiwa seorang hamba yang pada akhirnya akan mempengaruhi seluruh akd-vitas ragawi. Ilmu, diibaratkan seperti melihat api sementara ma'rifah ibarat cahaya yang memancar dari nyala api tersebut.
Ma'rifah secara etimologis adalah pengetahuan tanpa ada keraguan sedikit pun. Dalam terminologi kaum Sufi, ma'rifah disebut pengetahuan yang tidak ada keraguan lagi di dalamnya ketika pengetahuan itu terkait dengan persoalan Zat Allah Swt. dan sifat-sifat-Nya.
Jika ditanya, "Apa yang dimaksud dengan ma'rifah Zat dan apa pula maksud dari ma'rifah sifat?" Maka jawabnya: "Ma'rifah Zat mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Swt. itu Wujud dalam Keesaan, Tunggal, dengan segala Keagungan yang bersema-yam dalam diri-Nya, dan ddak ada satu pun yang menyerupai-Nya. Adapun ma'rifah sifat, adalah me-ngetahui bahwa sesungguhnya Allah Swt. Maha-hidup, Maha Mengetahui, Mahaberkuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat dan dengan segala sifat Kemaha-sempurnaan lainnya."
Jika ditanya: "Apa rahasia ma'rifah itu?" Rahasia dan ruhnya adalah ke-tawhid-an. "Yaitu dengan men-sucikan segala sifat; Hidup, Mengetahui, Kuasa, Kehendak, Mendengar, Melihat, berfirman-Nya dari penyerupaan dengan sifat-sifat makhluk. Karena, tidak ada serupa bagi-Nya."
Lalu manakala ditanya, "Apa tanda-tandanya?" Tanda-tandanya adalah hidupnya hati bersama-Nya. Allah Swt. mewahyukan pada Nabi Dawud As, "Mengertikah kau, apakah ma'rifah-Ku itu?" Nabi Dawud menjawab, "Tidak." Allah berfirman: "Hidupnya kalbu dalam musyahadah kepada-Ku."
Kalau ditanyakan, "Pada tahap atau maqam manakah hakikat kema'rifahan itu dibenarkan?" Jawabnya, "Pada tahap musyahadah (penyaksian), dan ru'yab (melihat) dengan segenap nurani (sirr). la melihat untuk mencapai ma'rifah, dan hakikat ma'rifah berada dalam badn mereka, lalu kemudian Allah Swt. menyingkap sebagian tabir penutup. Lantas diper-lihatkan pada mereka Cahaya Zat dan Sifat-sifat-Nya, dari balik tabir itu, agar mereka melihat-Nya. Tabir ddak disingkap secara keseluruhan, supaya mereka tidak terbakar."
Sang Sufi bersyair:
Seandairya Aku tampak tanpa hijab,
Tentu Aku telah menjadikan semua manusia sempuma
Namun hijab itu begitu lembut
Sehingga mampu membangkitkan hidup jiwa para perindu
Petampakan keagungan-Nya akan melahirkan perasaan takut (khawf), dan rasa kewibawaan (haybah). Petampakan kebajikan (al-husn) dan keindahan (al-jamat) tentu akan melahirkan kerinduan (asy-syawq). Sementara petampakan sifat-sifat-Nya akan melahir­kan kecintaan. Dan petampakan Zat, melahirkan ke-tawhid-an.
Sebagian ahli ma'rifah: "Demi Allah Swt., seseorang tidak akan menggapai apa pun dari dunia melainkan Allah Swt. akan membutakan hatinya, dan semua amalannya akan sia-sia. Sesungguhnya Allah Swt. menciptakan dunia sebagai kegelapan, dan menjadikan matahari sebagai cahayanya. Dan Allah Swt. juga menjadikan hati dalam kegelapan, cahaya ma'rifah-lah yang akan menyinarinya. Tatkala mendung menjelang, maka sirnalah cahaya matahari dari bumi. Dan ketika cinta dunia hadir dalam hati seorang hamba maka cahaya ma'rifah pun akan menyingkir darinya."
Ada pula yang mengatakan: "Hakikat dari ma'rifah adalah cahaya yang menyeruak dari kalbu seorang Mukmin, dan tiada sesuatu yang lebih mulia dalam had sesorang hamba kecuali ke-ma'rifah-an."
Sinyalir lain: "Matahari yang menerangi hati seorang ahli ma'rifah lebih cemerlang dan bercahaya dibandingkan dengan cahaya matahari yang sesungguhnya. Karena matahari pada sore hari harus tenggelam, sementara matahari ahli ma'rifah dada akan pernah tenggelam meski malam riba."
Mereka mendendangkan satu bait syair:
Sang surya akan tenggelam dengan datangnya malam,
Lain halnya dengan matahari kalbu yang tiada pernah tenggelam
Siapa pun yang mencinta kekasihnya
la akan terbang menemuinya dengan segala kerinduan
Zu an-Nun al-Misri berkata: "Hakikat ma'rifah adalah mengetahui rahasia-rahasia Yang Haqq melalui perantara kelembutan cahaya."
la menulis:
Bagi orang 'arif, kalbu menjadi mata mereka
Untuk menatap Cahaya llahi yang tersimpan di balik hijab
la tuli dari segala makhluk, dan dibutakan daripandangan mereka
Bisu untuk menjawab ajakan mereka yang berucap dusta
Ketika mereka ditanya, "Kapankah seorang hamba dapat diketahui kalau ia telah ma'rifah?" Yaitu ketika tidak ada lagi tempat tersisa di dalam hatinya sebagai singgasana bagi selain-Nya.
Ada lagi yang mengatakan bahwa, hakikat ma'rifah adalah musyahadah dengan Yang Haqq tanpa melalui mediasi, tanpa dengan metode, dan tidak juga dapat diumpamakan. Seperti diceritakan dari kisah 'Ali Ibn Abi Thalib kerika ia ditanya: "Ya Amirul Mukminin, Apakah Anda telah menyembah apa yang Anda lihat, atau Anda menyembah yang tidak Anda lihat?" Beliau menjawab: "Tidak. Aku menyembah Zat yang aku lihat, bukan dengan penglihatan mata, melainkan dengan penglihatan kalbu."
Ja'far as-Sadiq juga pernah ditanya: "Apakah Anda melihat-Nya?" Beliau menjawab: "Aku tidak akan menyembah Tuhan yang tidak bisa kulihat." la pun ditanya lagi: "Lalu bagaimana Anda melihat-Nya sementara la tidak dapat dilihat dengan mata kepala." Ja'far kembali menjawab: "Aku tidak akan mampu melihat-Nya dengan pandangan mata, tapi melihat-Nya dengan mata hati melalui hakikat keimanan. Dia tidak kasat indera dan tidak pula dapat diukur oleh manusia."
Sebagian ahli ma'rifah lain juga pernah ditanyai mengenai hakikat kema'rifahan, dan mereka menyatakan: "Hakikat ma'rifah adalah mensucikan rahasia dan segala kehendak, meninggalkan segala kebiasaan, menentramkan hati tertuju kepada-Nya tanpa melalui mediasi, dan meninggalkan sikap berpaling dari Allah Swt. dengan beralih pada selain-Nya. Karena ma'rifah pada substansi Zat-Nya, sifat-sifat-Nya dan juga hakikat-Nya, tidak mungkin dapat dicapai kecuali hanya dengan-Nya yang Mahaluhur dan Mahabijak. Segala puji hanya bagi-Nya."

Tangis Di Atas Tangis (Jack & Sufi)


Malam itu mata Jack berkaca-kaca. Ia memandang jauh kedepan, seperti ada yang kosong disana. Parjo mendampinginya, sambil memijit-mijti kakinya, Parjo ingin sekali bicara. Tapi ia segan, jangan-jangan bias menggangu Jack, dan tidak tahu apa yang sedang bergumpal di benak Jack.
Parjo tak tahan juga akhirnya. “Ada apa Jack, mbok sesekali bicara kalau ada masalah. Aku inikan sahabatmu juga muridmu.”
“Nggak, nggak ada apa-apa kok. Cumin aku agak lelah.”
“Yah, apa saya cerita-cerita yang lucu-lucu saja, tentag orang Maduru, atau orang Batak, atau orang Arab, apa kisah Abu Nawas. Terserah mana yang kamu pilih, saya punya semua…ha…ha…,” ajak Parjo untuk menghibur Jack.
Tiba-tiba malah air mata Jack menetes. Parjo tambah penasaran.
“Begini Jo, hati saya menangis, karena banyak orang menangis.”
“Maksudmu banyak bencana dan banyak jerit tangis karena bencana itu?”
“Bukan…”
“Lalu?”
“Karena kamu lihatkan? Tiap hari ditayangakan orang menangis di TV. Coba kamu lihat air mata itu, apakah air mata yang bersumber dari mata air ruhani, atau air mata yang bersumber dari mata air hawqa nafsu?”
“Maksudmu?”
“Iya, Jo. Orang menangis karena terharu akibat berdzikir itu mulia sekali. Tetapi kalau menangis karena tersentuh oleh orang yang sedang menangis, atau karena diusahakan agar menangis, itu namanya bukan nangis akibat dzikir. Tetapi karena hawa nafsunya menangis. Nanti paling banter ia begitu bangga dengan tangisan itu, lalu berakhir dengan statemen bahwa tangis adalah puncak ruhani. Padahal bukan!”
Parjo hanya manggut-manggut saja untuk mencoba memahami Jack.
“Jadi gimana dong?”
“Yah, kita nggak usah prihatin ya Jo. Memang Allah baru menakdirkan mereka sebatas itu, mau apalagi. Hidayah itu haknya Allah, bukan urusan kita.”
Lalu Jack berdiri mengajak Parjo pergi.
“Kemana kita?”
“Ketemu sahabat kita yang penjagal dulu, sambil melihat perkembangan anak-anak disana…”
Jack dan Jo, dengan Harley Davidsonnya melesat ke Puncak, Villa Indah Taman Ruhani. Sepanjang jalan Jakarta-Puncak, dua orang itu menyanyikan shoawat nabi dengan nada yang keras, mirip orang gila. Tetapi entah apa yang membuat gembira hati Jack malam itu ketika hendak melihat anak-anak disana.
“Serasa Nabi Muhammad SAW bersama kita Jo, ya?”
Sambil berkata begitu ia toleh Parjo. Si Parjo tersenyum sambil berhamburan airmatanya.
“Saya akan mendiskusikan dengan para ulama dan kyai di negri ini, Jo.”
“Tentang apa Jack?”
“Tentang Islam yang hari ini lebih banyak tampil sebagai teater.”
Parjo hanya menganggukkankepalanya. Tiba-tiba semakin dekat dengan villa di puncak itu. Perempuan cantik sudah disana, ngobrol dengan si mantan algojo.
Ah, ternyata Susi. T6ahu dari mana alamat villa rahasia itu?
Gadis itu ingin berhenti kerja di kafe. Ia ingin mengajar bahasa Inggris yang pernah ditekuni saat kuliah dulu. Anak-anak pinggir rel kereta itu butuh sentuhan Susi, butuh ibunda yang menyayangi.
Jack, hanya tersenyum mendengar pegakuan Susi. Ia bangga, dan terhibur kali ini.

Sufi Road :Tauhid dan Marifatullah


Menurut Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandari, siapapun yang merenung secara
mendalam akan menyadari bahwa semua makhluk sebenarnya menauhidkan Allah SWT lewat tarikan nafas yang halus. Jika tidak, pasti mereka akan mendapat siksa. Pada setiap zarah, mulai dari ukuran sub-atomis (kuantum) sampai atomis, yang terdapat di alam semesta terdapat rahasia nama-nama Allah. Dengan rahasia tersebut, semuanya memahami dan mengakui keesaan Allah. Allah SWT telah berfirman,
Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari (QS 13:15).
Jadi, semua makhluk mentauhidkan Allah dalam semua kedudukan sesuai dengan rububiyah Tuhan serta sesuai dengan bentuk-bentuk ubudiyah yang telah ditentukan dalam mengaktualisasikan tauhid mereka. Lebih lanjut Syeikh
mengatakan bahwa sebagian ahli makrifat berpendapat bahwa orang yang bertasbih sebenarnya bertasbih dengan rahasia kedalaman hakikat kesucian pikirannya dalam wilayah keajaiban alam malakut dan kelembutan alam jabarut.
Sementara sang salik, bertasbih dengan dzikirnya dalam lautan qolbu. Sang murid bertasbih dengan qolbunya dalam lautan pikiran. Sang Pecinta bertasbih dengan ruhnya dalam lautan kerinduan. Sang Arif bertasbih dengan sirr-nya dalam lautan alam gaib. Dan orang shiddiq bertasbih dengan kedalaman sirr-nya dalam rahasia cahaya yang suci yang beredar di antara berbagai makna Asmaasma dan Sifat-sifat-Nya disertai dengan keteguhan di dalam silih bergantinya waktu. Dan dia yang hamba Allah bertasbih dalam lautan pemurnian dengan
kerahasian sirr-al-Asrar dengan memandang-Nya, dalam kebaqaan-Nya.
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari [8] membagi tauhid dalam konteks makrifatullah menjadi empat samudera makrifat, berikut ini uraian untuk setiap tahapan ma’rifat tauhid dengan intepretasi pribadi, yaitu :
· Tauhid Af’al sebagai pengesaan terhadap Allah SWT dari segala macam perbuatan. Maka hanya dengan keyakinan dan penyaksian saja segala sesuatu yang terjadi di alam adalah berasal dari Allah SWT.
· Tauhid al-Asma adalah pengesaan Allah SWT atas segala nama. Ketika yang mewujud dinamai, maka semua penamaan pada dasarnya dikembalikan kepada Allah SWT. Allah sebagai Isim A’dham yang Mahaagung adalah asal dari semua nama-nama baik yang khayal maupun bukan. Karena dengan nama yang Maha Agung “Allah” inilah, Allah memperkenalkan dirinya.
· Tauhid As Sifat, adalah pengesaan Allah dari segala sifat. Dalam pengertian ini maka manusia dapat berada dalam maqam Tauhid as-Sifat dengan memandang dan memusyadahkan dengan mata hati dan dengan keyakinan bahwa segala sifat yang dapat melekat pada Dzat Allah, seperti Qudrah (Kuasa), Iradah (Kehendak), ‘Ilm (Mengetahui), Hayah (Hidup), Sama (mendengar), Basar (Melihat), dan Kalam (Berkata-kata) adalah benar sifat-sifat Allah. Sebab, hanya Allah lah yang mempunyai sifat-sifat tersebut. Segala sifat yang dilekatkan kepada makhluk harus dipahami secara metaforis, dan bukan dalam konteks sesungguhnya sebagai suatu pinjaman.
· Tauhid az-Dzat berarti mengesakan Allah pada Dzat. Maqam Tauhid Az- Dzat menurut Syekh al-Banjari adalah maqam tertinggi yang, karenanya, menjadi terminal terakhir dari memandangan dan musyahadah kaum arifin. Dalam konteks demikian, maka cara mengesakan Allah pada Dzat adalah dengan memandang dengan matakepala dan matahati bahwasanya tiada
yang maujud di alam wujud ini melainkan Allah SWT Semata. Tauhid Af’al pada pengertian Syeikh al-Banjari akan banyak berbicara tentang kehendak Allah SWT yang maujud sebagai ikhtiar dan sunnatullah manusia yaitu takdir. Apakah kemudian takdir yang dialami seseorang disebut baik atau buruk, maka itulah kehendak Allah sesungguhnya yang terealisasikan kepada semua makhluk yang memiliki kehendak bebas untuk memilah dan memilih, dengan
pengetahuan terhadap aturan dan ketentuan yang sudah melekat padanya sebagai makhluk sintesis yang ditempatkan dalam suatu kontinuum ruang-waktu relatif. Tauhid Af’al adalah
Samudera Pengenalan, di samudera inilah salik sebagai pencari wasiat Allah harus mendekat ke pintu ampunan Allah untuk bertobat dan menyucikan dirinya, menyibakkan pagar-pagar awal dirinya dengan ketaatan kepada-Nya dan meninggalkan kemaksiatan pada-Nya, mendekat
kepada-Nya untuk menauhidkan-Nya, beramal untuk-Nya agar memperoleh ridha-Nya. Kalau saya proyeksikan ke dalam sistem qolbu yang diulas sebelumnya mempunyai tujuh karakteristik dominan, maka di Samudera Af’al inilah seorang salik harus berjuang untuk me-metamorfosis-kan qolbunya dari dominasi nafs ammarah, menuju lawammah, menuju mulhammah, dan mencapai ketenangan dengan nafs muthmainnah.
Dalam Samudera Asma-asma, maka hijab-hijab tersingkap dengan masingmasing derajat dan keadaannya. Ia yang menyingkapkan, sedikit demi sedikit akan semakin melathifahkan dirinya ke dalam kelathifahan Yang Maha Qudus memasuki medan ruh ilahiah-nya (dominasi qolbu oleh ruh yang mengenal Tuhan). Samudera Asma-asma adalah Samudera Munajat dan Permohonan, difirmankan oleh Allah SWT bahwa “Dan bagi Allah itu beberapa Nama yang aik (al-Asma al-Husna) maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu (QS 7:180).” Di samudera inilah salik akan diuji dengan khauf dan raja, keikhlasan, keridhaan, kefakiran, kezuhudan, dan keadaan-keadaan ruhaniah lainnya.
Di tepian Samudera Asma-asma adalah lautan kerinduan yang berkilauan karena pendar-pendar cahaya rahmat dan kasih sayang Allah. Di Lautan Kerinduan atau Lautan Kasih Sayang atau Lautan Cinta Ilahi, sinar kemilau cahaya Sang Kekasih menciptakan riak-riak gelombang yang menghalus dengan cepat, menciptakan kerinduan-kerinduan ke dalam rahasia terdalam. Lautan Kerinduan adalah pintu memasuki hamparan Samudera Kerahasiaan.
Tauhid as-Sifat adalah Samudera Kerahasiaan atau Samudera Peniadaan karena di samudera inilah semua makhluk diharuskan untuk menafikan semua atribut kediriannya sebagai makhluk, semua hasrat dan keinginan, kerinduan yang tersisa dan apa pun yang melekat pada makhluk tak lebih dari suatu anugerah dan hidayah kasih sayang-Nya semata, maka apa yang tersisa dari Lautan Kerinduan atau Lautan
Cinta Ilahi adalah penafian diri. Apa yang melekat pada semua makhluk adalah manifestasi dari rahmat dan kasih sayang-Nya yang dilimpahkan, sebagai piranti ilahiah yang dipinjamkan dan akan dikembalikan kepada-Nya. Siapa yang kemudian menyalahgunakan semua pinjaman Allah ini, maka ia harus mempertanggungjawabkan dihadapan-Nya. Qolbu yang didominasi merahasiaan ilahiah didominasi kerahasiaan sirr dengan suluh cahaya kemurnian yang
menyemburat dari kemilau yang membutakan dari samudera yang paling rahasia sirr al–asrar yakni Samudera Pemurnian dari Tauhid Az-Dzat.
Di tingkatan Tauhid az-Dzat segala sesuatu tiada selain Dia, inilah Samudera
Penghambaan atau Samudera Pemurnian/Tanpa Warna sebagai tingkatan
ruhaniah tertinggi dengan totalitas tanpa sambungan. Suatu tingkatan tanpa
nama, karena semua sifat, semua nama, dan semua af’al sudah tidak ada.
Bahkan dalam tingkat kehambaan ini, semua deskripsi tentang ketauhidan hanya
dapat dilakukan oleh Allah Yang Mandiri, “Mengenal Allah dengan Allah”. Inilah
maqam Nabi Muhammad SAW, maqam tanpa tapal batas, maqam Kebingungankebingunan
Ilahiah. Maqam dimana semua yang baru termusnahkan dalam kedekatan yang hakiki sebagai kedekatan bukan dalam pengertian ruang dan waktu, tempat dan posisi. Di maqam ini pula semua kebingungan, semua peniadaan, termurnikan kembali sebagai yang menyaksikan dengan pra eksistensinya. Ketika salik termurnikan di Samudera Penghambaan, maka ia terbaqakan didalam-Nya. Eksistensinya adalah eksistensi sebagai hamba Allah semata. Maka, di Samudera Penghambaan ini menangislah semua hati yang terdominasi rahasia yang paling rahasia (sirr al-asrar),
Aku menangis bukan karena cintaku pada-Mu dan cinta-Mu padaku,
atau kerinduan yang menggelegak dan bergejolak yang tak mampu
kutanggung dan ungkapkan.
Tapi, aku menangis karena aku tak akan pernah mampu merengkuh-Mu.
Engkau sudah nyatakan Diri-Mu Sendiri bahwa “semua makhluk akan
musnah kalau Engkau tampakkan wajah-Mu.”
Engkau katakan juga, “Tidak ada yang serupa dengan-Mu.”
Lantas, bagaimanakah aku tanpa-Mu,
Padahal sudah kuhancurleburkan diriku karena-Mu.
Aku menangis karena aku tak kan pernah bisa menyatu dengan-Mu.
Sebab,
Diri-Mu hanya tersingkap oleh diriMu Sendiri
Dia-Mu hanya tersingkap oleh DiaMu Sendiri
Engkau-Mu hanya tersingkap oleh EngkauMu Sendiri,
Sebab,
Engkau Yang Mandiri adalah Engkau Yang Sendiri
Engkau Yang Sendiri adalah Engkau Yang Tak Perlu Kekasih
Engkau Yang Esa adalah Engkau Yang Esa
Engkau Yang Satu adalah Engkau Yang Satu.
Maka dalam ketenangan kemilau membutakan Samudera PemurnianMu,
biarkan aku memandangMu dengan cintaMu,
menjadi sekedar hambaMu dengan ridhaMu,
seperti Muhammad yang menjadi Abdullah KekasihMu.
Penguraian tauhid yang dilakukan oleh Syekh al-Banjari memang didasarkan
pada langkah-langkah penempuhan suluk yang lebih sistematis. Oleh karena,
pentauhidan sebenarnya adalah rahasia dan ruh dari makrifat, maka dalam
setiap tingkatan yang diuraikan menjadi Tauhid Af’al, Asma-asma, Sifat-sifat dan
Dzat, sang salik diharapkan dapat merasakan dan menyaksikan tauhid yang
lebih formal maupun khusus, yang diperoleh dari melayari keempat Samudera
Tauhid tersebut. Hasil akhirnya , kalau tidak ada penyimpangan yang sangat
mendasar, sebenarnya serupa dengan pengalaman makrifat para sufi lainnya
yakni pengertian bahwa ujung dari makrifat semata-mata adalah mentauhidkan
Allah sebagai Yang Maha Esa dengan penyaksian dan keimanan yang lebih
mantap sebagai hamba Allah.

Sufi Road : Marifat


Istilah Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf; antara lain:
a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan:
"Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."
b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:
"Ma'rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."
c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin
Abdillah yang mengatakan:
"Ma'rigfat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)."
Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan ma'rifat. Karena itu, Shufi yang sudah mendapatkan ma'rifat, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzuun Nuun Al-Mishriy yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:
a. Selalu memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.
b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma'rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.
Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai berikut:
a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT saja.
b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus meskipun hanya sekejap mata saja.
c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma'rifat itu adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidk pula secara terputus-putus.
Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tiak pula mengalami kesesatan.