Laman

Senin, 01 September 2014

Penghalang Makrifatullah


أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Ada beberapa perkara yang menghalangi seseorang mengenal Allah, diantaranya :
1. Bersandar kepada panca Indra (2:55, 4:153).
(2:55) Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang [50], kerana itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya [51]".
[50] Maksudnya: melihat Allah dengan mata kepala.
[51] Kerana permintaan yang semacam ini menunjukkan keingkaran dan ketakaburan mereka, sebab itu mereka disambar halilintar sebagai azab dari Tuhan.
(4:153) Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah Kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata : "Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata". Maka mereka disambar petir karena kezalimannya, dan mereka menyembah anak sapi [374], sesudah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata, lalu Kami maafkan (mereka) dari yang demikian. Dan telah Kami berikan kepada Musa keterangan yang nyata.
[374] Anak sapi itu dibuat mereka dari emas untuk disembah.
Mereka tidak beriman kepada Allah dengan dalil tidak melihat Allah, padahal banyak hal yang tidak boleh mereka lihat tetapi mereka meyakini akan keberadaannya seperti; gaya graviti bumi, arus listrik, akal fikiran, dan sebagainya.

2. Kesombongan (7:146).
(7:146) Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku) [569], mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mahu menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. Yang demikian itu adalah kerana mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.
[569] Yang dimaksud dengan ayat-ayat di sini ialah: ayat-ayat Taurat, tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah.
Kesombongan menghalangi mereka untuk mengenal Allah, walaupun telah diperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Allah tetapi mereka tetap mengingkari sehingga datang azab Allah.

3. Lengah (21:1-3).
(21:1) Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).
(21:2) Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Qur'an pun yang baru (di-turunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main,
(21:3) (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai. Dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka: "Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (jua) seperti kamu, maka apakah kamu menerima sihir itu [952], padahal kamu menyaksikannya?"
[952] Yang mereka maksud dengan sihir di sini ialah ayat-ayat Al Qur'an.

4. Bodoh (2:118).
(2:118) Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata: "Mengapa Allah tidak (langsung) berbicara dengan kami atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami?" Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka itu; hati mereka serupa. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin.

5. Ragu-ragu (6:109 - 110).
(6:109) Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahawa sungguh jika datang kepada mereka sesuatu mu'jizat, pastilah mereka beriman kepada-Nya. Katakanlah: "Sesungguhnya mu'jizat-mu'jizat itu hanya berada di sisi Allah". Dan apakah yang memberitahukan kepadamu bahawa apabila mu'jizat datang mereka tidak akan beriman [497].
[497] Maksudnya: orang-orang musyrikin bersumpah bahawa kalau datang mu'jizat, mereka akan beriman, karena itu orang-orang muslimin berharap kepada Nabi agar Allah menurunkan mu'jizat yang dimaksud. Allah menolak pengharapan kaum mu'minin dengan ayat ini.
(6:110) Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quraan) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.

6. Taqlid (5:104, 43:23).
(5:104) Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk ?.
(43:23) Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka".

DZIKIR LAGI


Ibnu Athaillah As Sakandary
Manusia terbagi menjadi tiga kelompok dalam bertauhid dan berdzikir :
Kelompok pertama, adalah kalangan umum, yaitu kalangan pemula. Maka tauhidnya adalah bersifat lisan (oratif) belaka, baik dalam ungkapan, wacana, akidahnya,
dan keikhlasan, melalui Cahaya Syahadat Tauhid, " Laa Ilaaha Illallah Muhamadur Rasululullah". Ini diklasifikasikan tahap Islam. Kelompok kedua, kalangan Khusus Menengah, yaitu Tauhid Qalbu, baik dalam apresiasi, kinerja qalbu maupun akidah, serta keikhlasannya. Inilah disebut tahap Iman. Khususul Khusus, yaitu Tauhidnya akal, baik melalui pandangan nyata, yaqin dan penyaksian (musyahadah) kepadaNya. Inilah Tahap Ihsan.Maqomat Dzikir
Dzikir mempunyai tiga tahap (maqomat) :
Dzikir melalui Lisan : Yaitu dzikir bagi umumnya makhluk.
Dzikir melalui Qalbu : Yaitu dzikir bagi kalangan khusus dari orang beriman.
Dzikir melalui Ruh: Yaitu dzikir bagai kalangan lebih khusus, yakni dzikirnya kaum 'arifin melalui fana'nya atas dzikirnya sendiri dan lebih menyaksikan pada Yang Maha Didzikiri serta anugerahnya apada mereka.
Perilaku Dzikir "Allah"
Bagi pendzikir Ismul Mufrad "Allah" ada tiga kondisi ruhani:
Pertama: Kondisi remuk redam dan fana'.
Kedua: Kondisi hidup dan baqo'.
Ketiga: Kondisi nikmat dan ridlo.
Kondisi pertama: Remuk redam dan fana'Yaitu dzikir orang yang membatasi pada dzikir "Allah" saja, bukan Asma-asma lain, yang secara khusus dilakukan pada awal mula penempuhan. Ismul Mufrod tersebut dijadikan sebagai munajatnya, lalu mengokohkan manifestasi "Haa' di dalamnya ketika berdzikir.
Siapa yang mendawamkan (melanggengkannya) maka nuansa lahiriyahnya terfana'kan dan batinnya terhanguskan. Secara lahiriyah ia seperti orang gila, akalnya terhanguskan dan remuk redam, tak satu pun diterima oleh orang. Manusia menghindarinya bahkan ia pun menghindar dari manusia, demi kokohnya remuk redam dirinya sebagai pakaian lahiriahnya. Rahasia Asma "Allah" inilah yang hanya disebut. Bila menyebutkan sifat Uluhiyah, maka tak satu pun manusia mampu menyifatinya. Ia tidak menetapi suatu tempat, yang bisa berhubungan dengan jiwa seseorang, walau di tengah khalayak publik, sebagaimana firman Allah swt :
"Tidak ada lagi pertalian nasab diantara mereka di hari itu dan tidak ada pula saling bertanya." (Al-Mu'minun: 101)
Sedangkan kondisi batinnya seperti mayat yang fana, karena dzat dan sifatnya diam belaka. Diam pula dari segala kecondongan dirinya maupun kebiasaan sehari-harinya, disamping anggota tubuhnya lunglai, hatinya yang tunduk dan khusyu'.
Sebagaimana firmanNya :
"Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat." (Al-Muzammil: 5)
"Dan kamu lihat bumi ini kering, dan apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah, dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumjbuhan yang indah." (Al-Hajj : 5)
Kondisi kedua: Dari kondisi hidup dan abadi (baqo'), yaitu manakala orang yang berdzikir dengan Ismul Mufrod "Allah" tadi mencapai hakikatnya, kokoh dan melunakkan dirinya, maka simbol-simbilnya dan sifat-sifatnya terhanguskan.
Allah meniupkan Ruh Ridlo setelah "kematian ikhtiar dan hasrat kehendaknya". Ia telah fana' dari hasrat kebiasaan diri dan syahwatnya, dan telah keluar dari sifat-sifat tercelanya, lalu berpindah (transformasi) dari kondisi remuk redam nan fana' menuju kondisi hidup dan baqo'. Kondisi tersebut menimbulkan nuansa kharismatik dan kehebatan dalam semesta, dimana segalanya takut, mengagungkan dan metrasa hina dihadapan hamba itu bahkan semesta meraih berkah kehadirannya.
Kondisi ketiga: Kondisi Nikmat dan Ridlo, maka bagi orang yang mendzikirkan "Allah" pada kondisi ini senantiasa mengagungkan apa pun perintah Allah swt, jiwanya dipenuhi rasa kasih sayang terhadap sesame makhluk Allah Ta'ala, tidak lagi sembunyi-sembunyi dalam mengajak manusia menuju agama Allah swt. Dari jiwanya terhampar luas bersama Allah swt, hanya bagi Allah swt.
Rahmat Allah swt meliputi keleluasaannya, dan tak satu pun makhluk mempengaruhinya, bahkan atak ada sesuatu yang tersisa kecuali melalui jalan izin Allah swt. Ia telah berpindah dari kondisi ruhani hidup dan baqo', menuju kondisi nikmat dan ridlo, hidup dengan kehidupan yang penuh limpahan nikmat selamanya, mulia, segar dan penuh ridloNya. Tak sedikit pun ada kekeruhan maupun perubahan. Selamat, lurus dan mandiri dalam kondisi ruhaninya, aman dan tenteram.
Sebegitu kokohnya, ia bagaikan hujan deras yang menyirami kegersangan makhluk, dimana pun ia berada, maka tumbuhlah dan suburlah jiwa-jiwa makhluk karenanya. Hingga ia raih kenikmatan dan ridlo bersama Allah Ta'ala, dan Allah pun meridloinya. Allah swt berfirman :
"Kemudian Kami bangkitkan dalam kehidupan makhluk (berbentuk) lain, maka Maha Berkah Allah sebagai Sebagus-bagus Pencipta" (Al-Mu'minun: 14)[pagebreak]
Suatu hari seorang Sufi sedang berada di tengah majlisnya Asy-Syibly, tiba-tiba berteriak, "Allah!"
Asy-Syibly menimpali, "Apa-apaan ini! Kalau kamu memang jujur, maka kamu masyhur (di langit), jika kamu dusta, kamu benar-benar hancur!".
Seorang lelaki juga berteriak di hadapan Abul Qasim al-Junayd ra, dan Al-Junayd berkomentar, "Saudaraku Bila yang anda sebut itu menyaksikanmu dan anda pun hadir bersamaNya, berarti engkau telah mengoyak tirai dan kehormatan, dan mendapatkan kecemburuan aroma pecinta yang diberikan. Namun jika anda mengingatNya, sedangkan anda ghaib dariNya, maka menyebut yang ghaib (tidak hadir) berarti menggunjing. Padahal menggunjing itu haram."
Dikisahkan dari Abul Hasan ats-Tasury ra, ketika beliau berada di rumahnya selama tujuh hari tidak makan dan tidak minum serta tidak tidur, ia tetap terus menerus menyebut Allah…Allah…
Kisah ini disampaikan kepada Al-Junayd atas tingkah lakunya itu.
"Apakah dia menjaga kewajiban waktunya?" Tanya al-Junayd.
"Dia tetap sholat tetap pada waktunya."
"Alhamdulillah, Allah yang menjagaNya, dan tidak memberikan jalan kepada syetan padanya." Kata al-Junayd.
Kemudian al-Junayd berkata kepada para santri-santrinya, "Ayo kalian semua berdiri dan mendatanginya, mungkin kita bias memberi manfaat padanya atau sebaliknya kita mengambil faedah darinya."
Ketika al-Junayd masuk di hadapannya, al-Junayd berkata, "Wahai Abul Hasan, apakah ucapanmu Allah..Allah..itu bersama Allah (Billah) atau bersama dirimu sendiri? Bila engkau mengucapkan bersama Allah, maka bukan andalah yang mengucapkannya. Karena Dialah yang berkalam melalui lisan hambaNya. Sang Pendzikir adalah diriNya bersama DiriNya. Namun bila yang menyebut tadi adalah dirimu bersama dirimu, sedangkan anda juga bersama dirimu sendiri, maka apalah artinya remuk redam."
"Engkaulah sebaik-baik sang pendidik wahai Ustadz," kata Ats-Tsaury. Dan rasa gelisah remuk redamnya tiba-tiba hilang.
Dan aku remuk redam bersamamu karena mengenangmu
Dan benar atas kebaikan yang melimpah dengan kenangnanmu
Dan fana bersasmamu penuh keasyikan.
Siapa yang tak pernah merindu pada cinta
Asmara yang mengalahkan akalnya
Demi umurku sungguh ia celaka.
Tak ada dzikir melainkan tenggelam sirna dengan dzikirnya dari merasa berdzikir
Hanya kepada Yang Diingatlah yang terkenang
Dalam fana dan pertemuan
Siapa yang masih ada akalnya, ia tak akan pernah berdzikir
Siapa yang hilang dari dzikir, maka benarlah ia telah membubung kepadaNya
Dzikir itu sendiri merupakan pembersihan dari kealpaan dan kelupaan, melalui pelanggengan hadirnya qalbu dan keikhlasan dzikir lisan, disertai memandangNya, dariNya. Sang Tuanlah yang mengalurkan ucapan dzikir melalui lisan hambaNya.
Dikatakan, Dzikir adalah keluar dari medan kealpaan menuju padang musyahadah (penyaksian kepadaNya).
Hakikat dzikir adalah mengkonsentrasikan Yang didzikir, dengan sirrnya si pendzikir dari dzikirnya, dan fananya si pendzikir dalam musayahadah dan kehadiran jiwa, sehingga ia tidak terhilangkan dirinya melalui musyahadah kepadaNya di dalam musyahadahnya. Maka si pendzikir menyaksikan Allah bersama Allah, sehingga Allahlah Yang Berdzikir dan Yang Didzikir.
Maka dari segi kemudahan dariNya untuk si hamba, dan keleluasaan untuk berdzikir melalui lisannya, maka Dialah Yang Berdzikir kepadahambaNya, lalu segala yang disebutnya adalah dariNya.
Dari segi intuisi awal yang dating dariNya, maka Dialah Yang Berdzikir pada DiriNya melalui lisan hambaNya. Sebagaimana riwayat hadits shahih disebutkan, bahwa Allah Ta'ala berfirman: "Akulah pendengaran yang dengannya ia mendengar, dan Akulah penghlihatan yang dengannya ia melihat, dan Akulah lisannya yang dengannya ia bicara."
Dalam riwayat lain juga disebutkan, "Maka Akulah pendengaran, penglihatan, lisan, tangan dan penguat baginya."

Hakikat Ma'rifatullah Menurut Sunan Kudus


أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Bismillahirrahmaanirrahim, Alhamdulillahi rabbil 'Aalamiin, Allahumma sholli 'alaa Muhammad Wa aali Muhammad, Ammaa Ba'du
Menurut Asy-Syaikh Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan (Sunan Kudus), siapapun yang tafakkur atau merenung secara mendalam akan menyadari bahwa semua makhluk sebenarnya menauhidkan Allah SWT lewat tarikan nafas yang halus. Jika tidak, pasti mereka akan mendapat siksa.
Pada setiap zarrah (atomis), mulai dari ukuran sub-atomis (quantum) sampai atomis, yang terdapat di alam semesta terdapat rahasia nama-nama Allah. Dengan rahasia tersebut, semuanya memahami dan mengakui keesaan Allah.
Allah SWT telah berfirman; "Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari." (QS. 13:15)
Jadi, semua makhluk mentauhidkan Allah dalam semua kedudukan sesuai dengan rububiyah Tuhan serta sesuai dengan bentuk-bentuk ubudiyah yang telah ditentukan dalam mengaktualisasikan tauhid mereka. Lebih lanjut Sunan Kudus mengatakan bahwa sebagian ahli makrifat berpendapat bahwa orang yang bertasbih sebenarnya bertasbih dengan rahasia kedalaman hakikat kesucian pikirannya dalam wilayah keajaiban alam malakut dan kelembutan alam jabarut.
Sementara sang salik, bertasbih dengan dzikirnya dalam lautan qolbu.
Sang murid bertasbih dengan qolbunya dalam lautan pikiran.
Sang Pecinta bertasbih dengan ruhnya dalam lautan kerinduan.
Sang Arif bertasbih dengan sirr-nya dalam lautan alam ghaib.
Dan orang shiddiq bertasbih dengan kedalaman sirr-nya dalam rahasia cahaya yang suci yang beredar di antara berbagai makna Asma-Asma dan Sifat-sifat-Nya disertai dengan keteguhan di dalam silih bergantinya waktu.
Dan dia yang hamba Allah bertasbih dalam lautan pemurnian dengan kerahasiaan Sirr al-Asrar dengan memandang-Nya, dalam ke'baqa'an-Nya.
Sunan Kudus membagi tauhid dalam konteks makrifatullah menjadi empat samudera makrifat, yaitu :
Tauhid Af'al sebagai pengesaan terhadap Allah SWT dari segala macam perbuatan. Maka hanya dengan keyakinan dan penyaksian saja segala sesuatu yang terjadi di alam adalah berasal dari Allah SWT.
Tauhid Asma' adalah pengesaan Allah SWT atas segala nama. Ketika yang mewujud dinamai, maka semua penamaan pada dasarnya dikembalikan kepada Allah SWT. Allah sebagai Isim A'dham yang Maha Agung adalah asal dari semua nama-nama baik yang khayal maupun bukan. Karena dengan nama yang Maha Agung “Allah” inilah, Allah memperkenalkan dirinya.
Tauhid Sifat adalah pengesaan Allah dari segala sifat. Dalam pengertian ini maka manusia dapat berada dalam maqam Tauhid as-Sifat dengan memandang dan memusyahadahkan dengan mata hati dan dengan keyakinan bahwa segala sifat yang dapat melekat pada Dzat Allah, seperti Qudrah (Kuasa), Iradah (Kehendak), ‘Ilm (Mengetahui), Hayah (Hidup), Sama' (mendengar), Basar (Melihat), dan Kalam (Berkata-kata) adalah benar sifat-sifat Allah. Sebab, hanya Allah lah yang mempunyai sifat-sifat tersebut. Segala sifat yang dilekatkan kepada makhluk harus dipahami secara metaforis, dan bukan dalam konteks sesungguhnya sebagai suatu pinjaman.
Tauhid Dzat berarti mengesakan Allah pada Dzat. Maqam Tauhid az-Dzat menurut Sunan Kudus adalah maqam tertinggi yang, karenanya, menjadi terminal terakhir dari pemandangan dan musyahadah kaum 'Arifin. Dalam konteks demikian, maka cara mengesakan Allah pada Dzat adalah dengan memandang dengan mata kepala dan mata hati bahwasanya tiada yang maujud di alam wujud ini melainkan Allah SWT Semata.
Tauhid Af'al pada pengertian Sunan Kudus akan banyak berbicara tentang kehendak Allah SWT yang maujud sebagai ikhtiar dan sunnatullah manusia yaitu takdir. Apakah kemudian takdir yang dialami seseorang disebut baik atau buruk, maka itulah kehendak Allah sesungguhnya yang terealisasikan kepada semua makhluk yang memiliki kehendak bebas untuk memilah dan memilih, dengan pengetahuan terhadap aturan dan ketentuan yang sudah melekat padanya sebagai makhluk sintesis yang ditempatkan dalam suatu kontinuum ruang-waktu relatif.
Tauhid Af’al adalah Samudera Pengenalan,
di samudera inilah salik sebagai pencari wasiat Allah harus mendekat ke pintu ampunan Allah untuk bertobat dan menyucikan dirinya,
menyibakkan pagar-pagar awal dirinya dengan ketaatan kepada-Nya dan meninggalkan kemaksiatan pada-Nya,
mendekat kepada-Nya untuk menauhidkan-Nya,
beramal untuk-Nya agar memperoleh ridha-Nya.
Kalau saya proyeksikan ke dalam sistem qolbu yang diulas sebelumnya mempunyai tujuh karakteristik dominan, maka di Samudera Af'al inilah seorang salik harus berjuang untuk me-metamorfosis-kan qolbunya dari dominasi nafs ammarah, menuju lawwamah, menuju mulhammah, dan mencapai ketenangan dengan nafs muthma'innah.
Dalam Samudera Asma', maka hijab-hijab tersingkap dengan masing-masing derajat dan keadaannya.
Ia yang menyingkapkan, sedikit demi sedikit akan semakin melathifahkan dirinya ke dalam kelathifahan Yang Maha Qudus memasuki medan ruh ilahiah-Nya (dominasi qolbu oleh ruh yang mengenal Tuhan).
Samudera Asma' adalah Samudera Munajat dan Permohonan,
difirmankan oleh Allah SWT bahwa “Dan bagi Allah itu beberapa Nama yang baik (al-Asma al-Husna) maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu." (QS. 7:180).
Di samudera inilah salik akan diuji dengan khauf dan raja', keikhlasan, keridhaan, kefakiran, kezuhudan, dan keadaan-keadaan ruhaniah lainnya.
Di tepian Samudera Asma' adalah lautan kerinduan yang berkilauan karena pendar-pendar cahaya rahmat dan kasih sayang Allah.
Di Lautan Kerinduan atau Lautan Kasih Sayang atau Lautan Cinta Ilahi, sinar kemilau cahaya Sang Kekasih menciptakan riak-riak gelombang yang menghalus dengan cepat, menciptakan kerinduan-kerinduan ke dalam rahasia terdalam.
Lautan Kerinduan adalah pintu memasuki hamparan Samudera Kerahasiaan.
Tauhid as-Sifat adalah Samudera Kerahasiaan atau Samudera Peniadaan karena di samudera inilah semua makhluk diharuskan untuk menafikan semua atribut kediriannya sebagai makhluk, semua hasrat dan keinginan, kerinduan yang tersisa dan apa pun yang melekat pada makhluk tak lebih dari suatu anugerah dan hidayah kasih sayang-Nya semata, maka apa yang tersisa dari Lautan Kerinduan atau Lautan Cinta Ilahi adalah penafian diri.
Apa yang melekat pada semua makhluk adalah manifestasi dari rahmat dan kasih sayang-Nya yang dilimpahkan, sebagai piranti ilahiah yang dipinjamkan dan akan dikembalikan kepada-Nya.
Siapa yang kemudian menyalahgunakan semua pinjaman Allah ini, maka ia harus mempertanggungjawabkan dihadapan-Nya. Qolbu yang didominasi kerahasiaan ilahiah didominasi kerahasiaan sirr dengan suluh cahaya kemurnian yang menyemburat dari kemilau yang membutakan dari samudera yang paling rahasia sirr al–asrar yakni Samudera Pemurnian dari Tauhid az-Dzat.
Di tingkatan Tauhid az-Dzat segala sesuatu tiada selain Dia, inilah Samudera Penghambaan atau Samudera Pemurnian/Tanpa Warna sebagai tingkatan ruhaniah tertinggi dengan totalitas tanpa sambungan. Suatu tingkatan tanpa nama, karena semua sifat, semua nama, dan semua af’al sudah tidak ada. Bahkan dalam tingkat kehambaan ini, semua deskripsi tentang ketauhidan hanya dapat dilakukan oleh Allah Yang Mandiri, “Mengenal Allah dengan Allah”. Inilah maqam Nabi Muhammad Saw, maqam tanpa tapal batas, maqam Kebingungan Ilahiah. Maqam dimana semua yang baru termusnahkan dalam kedekatan yang hakiki sebagai kedekatan bukan dalam pengertian ruang dan waktu, tempat dan posisi. Di maqam ini pula semua kebingungan, semua peniadaan, termurnikan kembali sebagai yang menyaksikan dengan pra eksistensinya.
Ketika salik termurnikan di Samudera Penghambaan, maka ia terbaqakan didalam-Nya. Eksistensinya adalah eksistensi sebagai hamba Allah semata. Maka, di Samudera Penghambaan ini menangislah semua hati yang terdominasi rahasia yang paling rahasia (sirr al-asrar).
Aku menangis bukan karena cintaku pada-Mu dan cinta-Mu padaku,
atau kerinduan yang menggelegak dan bergejolak yang tak mampu
kutanggung dan ungkapkan.
Tapi, aku menangis karena aku tak akan pernah mampu merengkuh-Mu.
Engkau sudah nyatakan Diri-Mu Sendiri bahwa “semua makhluk akan
musnah kalau Engkau tampakkan wajah-Mu.”
Engkau katakan juga, “Tidak ada yang serupa dengan-Mu.”
Lantas, bagaimanakah aku tanpa-Mu,
Padahal sudah kuhancurleburkan diriku karena-Mu.
Aku menangis karena aku tak kan pernah bisa menyatu dengan-Mu.
Sebab,
Diri-Mu hanya tersingkap oleh diri-Mu Sendiri
Dia-Mu hanya tersingkap oleh Dia-Mu Sendiri
Engkau-Mu hanya tersingkap oleh Engkau-Mu Sendiri,
Sebab,
Engkau Yang Mandiri adalah Engkau Yang Sendiri
Engkau Yang Sendiri adalah Engkau Yang Tak Perlu Kekasih
Engkau Yang Esa adalah Engkau Yang Esa
Engkau Yang Satu adalah Engkau Yang Satu.
Maka dalam ketenangan kemilau membutakan Samudera Pemurnian-Mu,
biarkan aku memandang-Mu dengan cinta-Mu,
menjadi sekedar hamba-Mu dengan ridha-Mu,
seperti Nabi Muhammad yang menjadi Abdullah Kekasih-Mu.
Penguraian tauhid yang dilakukan oleh Sunan Kudus memang didasarkan pada langkah-langkah penempuhan suluk yang lebih sistematis. Oleh karena, pentauhidan sebenarnya adalah rahasia dan ruh dari makrifat, maka dalam setiap tingkatan yang diuraikan menjadi Tauhid Af’al, Asma', Sifat dan Dzat, sang salik diharapkan dapat merasakan dan menyaksikan tauhid yang lebih formal maupun khusus, yang diperoleh dari melayari keempat Samudera Tauhid tersebut. Hasil akhirnya, kalau tidak ada penyimpangan yang sangat mendasar, sebenarnya serupa dengan pengalaman makrifat para sufi lainnya yakni pengertian bahwa ujung dari makrifat semata-mata adalah mentauhidkan Allah sebagai Yang Maha Esa dengan penyaksian dan keimanan yang lebih mantap sebagai hamba Allah.
(Wallaahu A'lamu Bish Shawwab)
Jika QOLBU disuapi dengan DZIKIR
Barang siapa hendak menyucikan qalbunya maka ia harus mengutamakan Allah Ta'ala dibanding keinginan dan nafsu jiwanya.
Karena qalbu yang tergantung dengan hawa nafsu akan tertutup dari Allah, sesuai kadar tergantungnya jiwa dengan hawa nafsunya.
Banyak orang menyibukkan qalbu dengan gemerlapnya dunia. Seandainya mereka sibukkan dengan mengingat Allah dan negeri akhirat, tentu qalbunya akan berkelana mengarungi makna-makna Kalamullah dan ayat2-Nya yang tampak ini. Ia pun akan menuai hikmah-hikmah yang langka dan faedah-faedah yang indah.
--
Jika qalbu disuapi dengan berzikir dan disirami dengan berpikir serta dibersihkan dari kerusakan, ia pasti akan melihat keajaiban dan diilhami hikmah.
Tidak setiap orang yang berhias dengan ilmu dan hikmah serta memeganginya akan masuk dalam golongannya. Kecuali jika mereka menghidupkan qalbu dan mematikan hawa nafsunya.
Adapun mereka yang membunuh qalbunya dengan menghidupkan hawa nafsunya, tidak akan muncul hikmah dari lisannya.
--
Rapuhnya qalbu adalah karena lalai dan merasa aman. Sedangkan makmurnya qalbu adalah karena takut kepada Allah & zikir. Maka jika sebuah qalbu merasa zuhud dari hidangan-hidangan dunia, dia akan duduk menghadap hidangan-hidangan akhirat. Sebaliknya, jika ia ridha dengan hidangan-hidangan dunia, ia akan terlewatkan dari hidangan akhirat.
--
Kerinduan bertemu Allah adalah angin semilir yang menerpa qalbu. Membuatnya sejuk dengan menjauhi gemerlapnya dunia. Siapa pun yang menempatkan qalbunya di sisi Rabb-nya, ia akan merasa tenang dan tenteram. Siapa pun yang melepaskan qalbunya di antara manusia, ia akan semakin gundah gulana.
--
Ingatlah! Kecintaan terhadap Allah tidaklah akan masuk ke dalam qalbu yang mencintai dunia, melainkan seperti masuknya unta ke lubang jarum (sesuatu yang sangat mustahil).
--
Jika Allah cinta kepada seorang hamba, maka Allah akan memilih dia untuk diri-Nya sebagai tempat pemberian nikmat-nikmat-Nya. Allah juga akan memilihnya di antara hamba-hamba-Nya, sehingga hamba itu pun akan menyibukkan harapannya hanya kepada Allah. Lisannya senantiasa basah dengan berzikir kepada-Nya, anggota badannya selalu dipakai untuk berkhidmat kepada-Nya.
--
Qalbu bisa sakit sebagaimana sakitnya jasmani dan kesembuhannya adalah dengan bertaubat. Qalbu pun bisa berkarat sebagaimana cermin, dan cemerlangnya adalah dengan berzikir. Qalbu bisa pula telanjang sebagaimana badan, dan pakaian keindahannya adalah takwa. Qalbu pun bisa lapar dan dahaga sebagaimana badan, maka makanan dan minumannya adalah mengenal Allah, cinta, tawakal, bertaubat, dan berkhidmat untuk-Nya.

Manfaat Keutamaan Istighfar


Manfaat istighfar bagi kita umat islam adalah begitu banyak. Karena kita sebagai manusia tentunya tak akan terlepas dari berbuat salah dan khilaf dalam kehidupan kita sehari-hari. Di dalam kelemahan manusia dalam berbuat dosa maka sebaik-baik manusia yang berbuat dosa adalah dengan bersegera memohon ampun atas dosa yang telah dilakukannya. Istighfar merupakan salah satu jalan untuk memohon ampunan-Nya. Istighfar mempunyai kedudukan yang tinggi dalam diri seorang hamba. Karena memang banyak hikmah keutamaan istighfar itu sendiri di dalam agama kita ini.
Dan diantara banyak dzikir yang diamalkan kita sebagai hamba Allah, salah satunya adalah dengan beristighfar. Dan untuk itulah maka dianjurkan untuk diperbanyak dan dikerjakan secara rutin adalah istighfar. Istighfar adalah meminta ampunan kepada Allah dengan mengucapkan doa atau dzikir yang menunjukkan pengakuan atas dosa yang kita perbuat, dengan harapan Allah akan memaafkan dan mengampuni dosa tersebut. Inilah yang dimaksud dengan pengertian istighfar.
Bacaan Istighfar berbunyi "Astaghfirullah" atau lengkapnya "Astaghfirullahhal’adhim" merupakan kalimat yang sangat pendek dan bisa di ucapkan dengan mudah. Namun demikian kalimat ini jika di baca secara rutin dalam setiap waktu dan kesempatan, terlebih setelah melaksanakan sholat akan memberikan dampak yang positif dan manfaat yang besar bagi si pelakunya.
Manfaat Keutamaan Hikmah Istighfar
Istighfar (memohon ampun) atas segala dosa dan kesalahan-kesalahan kita. Memperbanyak istighfar ketika kita telah berbuat dosa. Seorang muslim bila telah berbuat dosa dan aniaya, maka ia memohon ampun (beristighfar) kepada Allah. Ini merupakan solusi luar biasa saat seorang hamba terjerumus dalam dosa. Bila ia hamba yang bertakwa, ia akan selalu terbayang oleh dosanya, hingga dosa yang dilakukan tadi justeru berdampak positif terhadapnya di kemudian hari.
Berikut adalah salah satu dari keutamaan istighfar adalah seperti yang tersurat dalam sebuah hadist Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam yang artinya adalah :"Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Barangsiapa yang senantiasa beristighfar niscaya Allah akan menjadikan baginya kelapangan dari segala kegundahan yang menderanya, jalan keluar dari segala kesempitan yang dihadapinya dan Allah memberinya rizki dari arah yang tidak ia sangka-sangka." (HR. Abu Daud no. 1518, Ibnu Majah no. 3819, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra no. 6421 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kubra no. 10665). Inilah dalil mengenai manfaat dan juga hikmah ketika kita senantiasa berdzikir dan juga beristighfar kepada Allah Ta'ala.
Istighfar mempunyai banyak faedah baik didunia maupun diakhirat kelak, faedah tersebut ada yang memang langsung dapat kita rasakan dan ada juga yang diakhirkan oleh Allah SWT sampai hari kiamat.
Berikut adalah beberapa faedah manfaat serta hikmah di balik istighfar yaitu :
Akan dihapus kejelekannya dan diangkat derajatnya. Allah Ta'ala berfirman : "Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS An-Nisa' [4]: 110).
Akan dilapangkan rejekinya, mendapatkan ketenangan batin, harta yang halal seperti yang telah diutarakan di atas.Allah Ta'ala berfirman : "Maka, aku katakan pada mereka : "Mohon ampunlah kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun.Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat.Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan pula di dalamnya untukmu sungai-sungai."( QS. Nuh : 10 - 12 ).
Dihapuskannya dosa dan kesalahannya. Setiap dosa meninggalkan noda hitam pada hati. Noda hitam bisa lenyap dengan melakukan istighfar. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :"Sesungguhnya bila seorang Mukmin melakukan satu dosa, pada hatinya timbul satu noda hitam. Bila dia bertobat, berhenti dari maksiat, dan beristighfar, niscaya mengilap hatinya." (HR Ahmad).
Dimudahkannya dalam segala urusan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :"Barangsiapa membiasakan diri untuk beristighfar, Allah akan memberikan jalan keluar baginya dari setiap kesulitan, akan memberikan kebahagiaan dari setiap kesusahan, dan akan memberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka." (HR Abu Daud dan Ibnu Majah).
Salah satu ciri hamba-hamba Allah yang shalih dan meraih surga adalah banyak beristighfar, terlebih pada sepertiga malam yang terakhir, sebagaimana dijelaskan dalam surat Ali Imran [3]: 17 dan Adz-Dzariyat [51]: 18. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam sendiri telah memberikan keteladanan dan suri tauladan kepada umatnya dengan beristighfar minimal sebanyak 70 kali dalam sehari semalam. Maka sudah selayaknya bagi kita untuk menjadikan istighfar sebagai bagian penting dalam hidup kita sehari-hari.

Ujian Zikir


Ketika kita berdzikir dengan posisi duduk menghadap qiblat dan jangan bergerak. Qolbu juga kita suarakan (dzikir) Allah… Allah… Allah… terus sampai badan kita tak merasakan apa-apa. Qolbu terus bersuara….. masukkan lagi ke kedalaman yang paling dalam, lalu suarakan lagi dzikrullah ke kedalaman yang paling dalam itu, bersuara Allah… Allah… Allah… Setelah itu dengarkan dengan qolbu-mu, samakan dengan suara qolbumu. Sampai muncul adanya getaran. Dan rasakan getaran, kehidupan Roh terasa hidup dan makin hidup, hidup yang lebih hidupi dengan hidupnya Roh yang sedang berdzikir. Dan kita bisa katakan ; Hidup Dalam Roh yang Sedang Berdzikir. Dan kita bisa lebih mengenal Roh kita lewat dzikrullah.
Mari kita perhatikan sabda Rosullulah Muhamad Saw;
لِكُلِّ شَىْءٍ صَقَالَةٌ وَصَقَالَةُ الْقَلْبِ ذِكْرُاللهِ
“Bahwasanya bagi tiap sesuatu ada alat untuk mensucikan dan alat untuk mensucikan Qolbu itu ialah Dzikrullah.”
Pintu awal memasuki alam Roh adalah lewat qolbu, kalau qolbu sudah dibersihkan dengan dzikir qolbu, maka lambat laun Roh ikut menyuarakan dzikir. Dalam fase ini prosesnya melalui ritual-ritual Khusus. Dengan mengkhususkan diri dalam menjalankan ritual, maka kebersihan qolbu akan nampak dari kebeningan dalam pemikiran, karena qolbu selalu mengumandangkan dzikir, sedangkan Roh, dalam kondisi kesuciannya, ikut melantunkan dzikir. Dzikirnya Roh mampu merontokkan hijab jiwa yang sekian lama membelenggunya yang sulit dipisahkan.
Dalam surat As-Syam ayat 9 dan 10, Allah swt berfirman:
قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكَّهاَ ( 9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّهَا (10)
9. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya
10. dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotori jiwanya.
Selalu Berdzikir kepada Allah swt akan senantiasa menguatkan iman dan taqwa seseorang, sekaligus membersihkan qolbu serta Roh. Dalam perjalanan hidupnya, yang dipikirkan hanya pendekatan diri kepada Allah swt. Ilham-ilham pun sering didapatkan, menerima ilham lewat qolbu dan Roh sebagaimana firman Allah swt. Dalam surat As-Syam ayat 8:
فَاَلْهَمَهَافُجُوْرَهَاوَتَقْوَهَا (الشَّمْس 8)
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu(jalan) kefasikan dan (jalan) ketaqwaannya”(As-Syam ayat 8).
Jadi Allah swt juga masih menguji dan memberi cobaan kepada orang yang taqwa, cobaan itu berupa: kejelekan serta kehinaan. Apakah dia Oleng, goyahkah taqwanya? Atau tambah kokoh taqwanya? Sesungguhnya orang-orang yang taqwa, dia mampu mengantisipasi dan menangkal dengan kesabaran dan ketabahan hati. Dia tetap tegar dalam menghadapi segala cobaan yang menimpanya dan senantiasa mengokohkan posisi dalam kesuciannya yang tidak akan dicemari oleh siapapun. Karena Roh tetap suci. Jadi yang bisa dikotori itu adalah jiwa bagian luar, itu-pun hanya limbasan dari kotornya qolbu yang dililit pengaruh dari hawa nafsu serta keinginan yang menyesatkan

Maqam Orang Menangis


Syeikh Ahmad ar-Rifa’y
Rosullullah SAW bersabda: “Siapa pun anak yang dilahirkan, kemudian diberi nama Muhammad dalam rangka mendapatkan berkah darinya, maka ia dan anaknya berada di syurga.”
Hadits mulia ini mengandung rahasia cinta kepada Rasulullah Saw, yang bisa difahami oleh kalangan khusus yang dekat dengan Allah Swt. Mereka senantiasa menyebut namanya yang penuh berkah, yang kemudian memberikan hasrat untuk berakhlaq dengan akhlaq beliau yang suci, dalam rangka bersiteguh dengan jejak langkahnya. Sehingga anda tidak melihat mereka berhenti dalam stasiun dunia, ketika mereka menempuh jalan napak tilas Rasul Saw. Bahkan mereka senantiasa sadar dan [penuh] khusyu’, senantiasa takut kepada Allah Swt, mengikuti jejak Nabi mereka, mengamalkan sunnah Nabinya, dan merekalah yang disebut para ‘arifun.
Anak-anak sekalian. Ketahuilah kaum arifin senantiasa menangis, ketika kaum yang alpa sedang tertawa. Dan mereka sedang susah ketika kaum yang terpedaya dunia sedang gembira. Allah Swt, berfirman:
“Wajah-wajah mereka hari itu berseri-seri, kepada Tuhannya terus memandang.”
“Wajah-wajah mereka berseri, riang penuh gembira.”
Ragam orang menangis:
Sesungguhnya Allah Swt, telah menyebutkan bukti-bukti menuju ma’rifat. Dan diantara tanda kaum arifin senantiasa lebih banyak menangis dan mengalir air matanya karena Allah Ta’ala. Sebagaimana firmanNya: “Dan mereka sujud gelisah dengan menangis.”
Allah Swt mencerca kaum alpa, karena mereka lebih banyak bersendagurau dan tidak pernah menangis.
“Apakah dari kisah ini mereka heran dan mereka tertawa-tawa dan tidak menangis?”
Menangis itu ada kalanya:
Menangis mata
Menangis hati
Menangis rahasia batin.
Menangis mata adalah tangisan kaum ma’rifat yang kembali hatinya kepada Allah Swt.
Menangis hati adalah tangisan kaum ma’rifat yang sedang menempuh jalan menuju Allah Swt.
Menangis rahasia batin, adalah kaum ma’rifat yang menangis karena mereka menjadi pecinta Allah Swt.
Perlu diketahui, bahwa kalangan ahli ma’rifat mempunyai kesusahan yang tersembunyi di bawah rahasia batin mereka, tertutupi oleh pemikiran mereka, maka, ketika rahasia batinnya memuncah, berhembuslah angina rasa takut penuh cinta karena Kharisma Ilahi. Sedangkan hatinya begolak jilatan api kegelisahan, yang membakar seluruh remuk redamnya kealpaan dan kelupaan kepada Tuhannya Azza wa-Jalla.
Derajat Tangis
Tangisan itu terdiri enam arah:
Menangis karena malu, seperti tangisan Nabi Adam as.
Menangis karena kesalahan, seperti tangisan Nabi Dawud as.
Menangis karena takut, seperti tangisan Nabi Yahya bin Zakaria.
Menangis karena kehilangan, seperti tangisan Nabi Ya’qub as.
Menangis karena Kharisma Ilahi, seperti tangisan seluruh para Nabi as, yaitu dalam firmanNya: “Ketika dibacakan ayat-ayat Sang Rahman kepada mereka, maka mereka bersujud dan menangis.” (Maryam: 58)
Menangis karena rindu dan cinta, seperti tangisan Nabi Syu’aib as, ketika beliau menangis sampai matanya buta, kemudian Allah Swt, mengembalikan menjadi sembuh, lalu beliau menangis lagi hingga buta kembali sampai tiga kali. Lalu Allah Swt, memberikan wahyu kepadanya: “Wahai Syu’aib, bila tangisanmu karena engkau takut neraka, Aku sudah benar-benar mengamankan dirimu dari neraka. Dan jika tangismu karena syurga, Aku telah mewajibkan dirimu syurga.” Ayub menjawab, “Tidak Ya Tuhan, namun aku menangis karena rindu ingin memandangmu…”
Kemudian Allah Swt, menurunkan wahyu kepadanya, ”Sungguh wahai Syu’aib! Sangat benar orang yang menghendakiKu, menangis dari dalam rindu kepadaKu. Untuk penyakit ini tidak ada obatnya, kecuali bertemu denganKu.”
Diriwayatkan bahwa Nabi Saw, bersabda: “Bila seorang hamba menangis karena takut kepada Allah atas masalah ummat, sungguh Allah Swt memberikan rahmat bagi ummat itu, karena tangisan hamba tadi.”
Rabi’ah ra, berkata, “Aku menangis selama sepuluh tahun karena merasa jauh dari Allah Swt, dan sepuluh tahun lagi menangis karena bersama Allah Swt, kemudian sepuluh tahun menangis karena menuju kepada Allah Swt. Menangis karena bersama Allah, disebabkan sangat berharap padaNya. Sedangkan menangis jauh dari Allah Swt, karena takut kepadaNya. Adapun menangis karena menuju Allah Swt, karena sangat rindu kepadaNya.”
Salah satu Sufi berkata, “Aku masuk ke rumah abi’ah al-Bashriyah, ketika itu ia sedang sujud. Lalu aku duduk di sisinya, hingga ia bangun mengangkat kepalanya. Kulihat ditempat sujudnya menggenang air matanya. Aku bersalam kepadanya, dan ia jawab salamku. Ia berkata, “Apa kebutuhanmu?” tanyanya.
“Aku ingin datang kepadamu..” kataku.
Lalu ia menangis, dan memalingkan wajahnya dariku. Ketika ia menangis, ia mengatakan, “Sejuknya matahatiku harus datang dariMu? Sungguh mengherankan orang yang mengenalMu, bagaimana ia bisa sibuk dengan selain DiriMu? Mengherankan sekali! Orang yang menghendakiMu, bagaimana ia menginginkan selain DiriMu?”
Atha’ as-Sulamy ra, ketika menagis banyak berungkap: “Oh Tuhan, kasihanilah diriku yang putus menujuMu, kasihanilah berpalingku dari selain DiriMu, kasihanilah keterasinganku di NegeriMu, kasihanilah rasa takutku pada hamba-hambaMu dan berhentinya diriku di hadapanMu.”
Al-Fudhail bin Iyadh menegaskan, “Ketika aku sedang thawaf, aku bertemu seseorang yang roman mukanya berubah dan tubuhnya kurus kering, ia menangis dengan menderu, lalu aku dekati ia. Tiba-tiba ia berkata, “Oh Tuhanku!betapa mesranya hati para pecinta,betapa ringannya hati para airfin, sungguh tak akan putus harapan perindumu.”
Tiba-tiba kudengar bisikan suara mengatakan, “Wahai Waliyullah, sungguh tujuh langit ikut menangis. Diam! Sekarang apa yang kamu pinta!.”
Diriwayatkan bahwa Nabi Adam as, ketika diturunkan dari syurga, ia menangis sampai airmatanya menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, lalu Allah Swt, mewahyukan padanya, “Tangisan ini karena kehilangan syurga, lalu mana tangisan karena meninggalkan khidmah bakti padaKu?”
Lalu Nabi Adam as, terkejut, hingga sampai pada kalimat ikhlas. Lalu berucap”Laa Ilaaha Illa Anta Subhanaka…” (Tiada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau!)
Allah Swt, berfirman, : “Maka Adam mendapatkan kalimat-kalimat dari Tuhannya, lalu ia taubat kepadaNya.”
Dzun Nuun al-Mishry –semoga Allah Swt, merahmatinya– mengatakan, “Aku melihat lelaki di Makkah sedang menangis dengan tangisan ahli ma’rifat, lalu aku mendekat,
“Apakah engkau punya kekasih?” tanyaku.
“Betul!” jawabnya.
“Jauh apa dekat kekasihmu itu?”
“Dekat,” katanya.
“Selaras denganmu apa tidak?”
“Sungguh selaras denganku.”
“Subhanallah! Lalu kenapa engkau menagis?”
“Ketahuilah, siksaan karena dekat dan serasi itu lebih pedih, ketimbang siksaan karena jauh dan kontra…!”
Dikisahkan bahwa Rabiah –Rahimahallahu Ta’ala– suatu hari sedang lewat di salah satu jalan di Bashrah. Tiba-tiba ada tetesan yang menetes dari kesdihan, lalu ia bertanya, “Tetesan apakah itu?” Lalu dijawab, “Itu dari tangisan Hasan.” Rabi’ah lalu berkata, “Katakanj semua ya pada Hasan, seandainya airmata bertambah terus hingga sampai ke Arasy sana, sebagai rasa cinta kepada Allah Swt, sungguh airmata itu sangat sedikit sekali.”
Abbad bin Syumaid bin Ujlan berkata:”Apakah orang munafiq itu menmangis?”
Lalu dijawab, “Menangis dari mata kepala, memang. Tapi tangisan dari hati, tidak!”
Fudhail ra, mengatakan, “Bila anda melihat seseorang menangis tapi hatinya alpa, maka itulah tangisan munafiq. Tangisan yang sesungguhnya adalah tangisan qalbu.”
Malik bin Dinar ra, ditanya, “Tidakkah engkau datang dengan seorang qari’ yang membaca di hadapanmu?”
“Kematian kekasih tidak butuh pada peratap tangisan.”
Ka’b al-Ahbar ra, menandaskan, “Suatu tangisanku setets karena takut kepada Allah Ta’ala, lebih kucintai disbanding sedekah segunung emas.”
Dalam tangisan Malik bin Dinar ra, seringkali munajat, “Duh diriku! Engkau ingin bersanding pasa Sang Maha Jabbar, dan menjadi orang yang terpilih, lalu mana engkau tinggalkan syahwat nafsumu? Sudah sejauh mana engkau mendekat kepada Allah? Wali mana yang engkau cintai karena Allah? Musuh mana yang engkau benci karena Allah? Menahan diri yang mana yang engkau lakukan karena Allah? Tidak! Jika semua itu tidak karena ampunan dan rahmat Allah!”. Tiba-tiba ia pingsan.
Diriwayatkan, bahwa Allah Swt, berfirman kepada Nabi Musa as,: “Tak ada yang lebih dekat kepadaKu dibanding orang-orang yang menangis karena takut dan cinta kepadaKu.”
Tsabit an-Nasaj, ra berkata, “Nabi Dawud as, tidak pernah minum setegukpun setelah berbuat kesalahan, melainkan ia hanya menyerap airmatanya, hingga beliau menemui Allah Azza wa-Jalla (wafat).”
Ketika suatu hari melihat airmatanya banyak yang mengalir, ia berkata, “Ya Ilahi, apakah Engkau tidak kasihan atas tangisanku?”
Lalu ada suara dari langit, “Hai Dawud! Engkau masih ingat airmatamu, sedangkan engkau tidak mengingat dosa-dosamu?!”
Lantas Nabi Dawud as mengambil debu yang dipanaskan, lalu mengusap-usap kepalanya dengan debu pasir itu, sembari berkata, “Duh hilanglah air mukaku di hadapan Tuhanku.”
Di masa Hasan al-Bashry ra ada seorang lelaki yang punya anak perempuan sedang menangis, hingga matanya buta. Lelaki itu datang kepada Hasan agar didoakan dan dinasehatinya, siapa tahu ia menyadari dirinya. Lalu Hasan mendatangi gadis itu, dan berkata, “Kasihanilah dirimu!”
“Oh, guru! Mataku tidak lepas dari dua wajah, apakah layak untuk memandang Tuhanku atau tidak. Jika tidak layak maka sudah benar kalau mataku buta! Jika benar layak, maka ribuan seperti mataku ini pantas menjadi tebusan untuk memandangNya,” jawabnya.
“Aku datang untuk mengobati, malah aku yang diobati. Aku datang untuk jadi dokternya, malah aku menemukan dokterku.”
Salamah bin Khalid al-Makhzumy ra mengatakan, “Suatu hari perempuan dari Syam ada di Baitullah al-Haram, ia bisaa dipanggil Khazinah (Sang duka), karena selamanya menangis akibat rindunya kepada Allah Swt. Saat ia memandang pintu Ka’bah, selalu ia berucap, “Oh rumah Tuhanku, oh, rumah Tuhanku…”
Suatu saat pintu Ka’bah dibuka, lalu wanita itu melihat orang-orang sedang thawaf sembari menangis, dan berucap, “Diraja kami dan matahati kami…betapa panjang rindu kami kepadaMu…Kapan kami bertemu?” Wanita itu mendengarkan ucapan itu, lalu menjerit pingsan, hingga membuatnya mati.
Yahya bin Ashfar menandaskan, “Kami masuk bersama jamaah kami ke rumah Ufairah, perempuan ahli ibadah –semoga Allah Ta’ala merahmatinya-. Ia seorang yang buta karena banyaknya menangis, lalu salah satu dari kami mengatakan, “Betapa sedihnya kebutaan setelah sebelumnya bisa melihat!”.
Rupanya ia mendengar ucapan itu, dan berkata, “Hai hamba Allah! Butanya hati dari Allah Swt lebih pedih ketimbang butanya mata kepala! Aku sangat senang jika Allah memberikan kenyataan cintaNya kepadaku, dan sama sekali aku tidak ada kesedihan melainkan Allah Ta’ala mengambilnya dariku.”
Malam gelap gulita
Sedang pemaksiat lelap tidurnya.
Sang Arifun berdiri di hadap Tuhannya
Membacakan Ayat-ayat hidayah
Airmata mereka mengalir bercucuran
Tak sabar sedetik pun untuk tidak mengingatNya
Deru rindu bergelora
Sungguh pecinta tak pernah tidur.