Laman

Kamis, 24 Juli 2014

Jangan Sampai Menyembah Diri Sendiri~


Melaksanakan Rukun 13 spti berdiri, rukuk, sujud dan duduk dan termasuk rukun-rukun qalbi dan qauli, itu baru dikatakan perbuatan sholat, tetapi manakah sholat itu dan siapakah pemilik sebenar sholat itu?
Bagi pendapat di kalangan ahli sufi, selagi seseorang itu tdk merasakan Lamaujuda illallah di dlm melaksanakan kewajiban sholat,
belumlah lagi dikatakan ia telah menunaikan kewajiban sholat. Justeru itulah, mengapa ahli sufi tdk mengharapkan khusyuk atau perlu memahami bacaan-bacaan sholat.
Apa yg penting ialah seseorang itu sampai kepada tingkatan rasa Lamaujuda ilallah bahwa tidak ada dirinya di dalam sholat itu kecuali Allah saja yang ada dan melaksanakan segala perbuatan sholat itu.
Seseorang yg masih merasakan ada wujudnya sendiri dan mengaku ia yang melakukan sholat, itulah tanda belum sampai kepada tauhid dan hanya menyembah dirinya sendiri.
Seseorang yg sampai kepada tingkatan tauhid, tidak ada perasaan baginya sebagai memiliki sholat itu. Di dalam Lamaujuda ilallah itulah dia memperolehi rasa ketenangan yang luarbiasa, tanpa gangguan-gangguan yang menghalang sholatnya, dan pada ketika itulah dikatakan sesungguhnya sholat itu adalah mikraj bagi setiap mukmin.
Tujuan sholat bagi ahli sufi bukanlah krn mendambakan ganjaran pahala, tetapi untuk menghilangkan perasaan wujudnya dan menyatakan Allah saja.
Sholat itu adalah milik Allah dan telah ada sejak di Azali lagi sebelum jasad manusia itu lahir utk mengerjakan perintah sholat. Maka sebelum manusia melaksanakan sholat, sholat itu telah pun terlebih dahulu ada di Lauh Mahfudz,
siapakah yg mengerjakannya? Fikirkanlah.... mengapakah Nabi Muhammad s.a.w. diundang naik ke Sidrahtul Muntaha untuk menerima anugerah sholat?
Memang benar Allah tdk dapat dilihat dengan mata kepala di dunia ini. Tetapi untuk menyatakan adanya Allah, dirikanlah sholat sebagaimana sabda Nabi s.a.w. “Sholatlah kalian seolah-olah kalian melihat Allah. Dan jika kalian tidak melihatNYA, sesungguhnya Allah melihat kalian!”
Jadikan “Barulah kita akan memahami bahwa sebenarnya melihat Allah itu hanyalah dg cmata hati dan bukan dengan mata kepala. Melihat Allah itulah hakikat sholat, manakala rukun 13nya adalah perbuatan sholat.
.............. Wallahualam .................

Shalat Qadha 5 Waktu di Jum’at Terakhir Bulan Ramadhan.

Shalat Qadha 5 Waktu di Jum’at Terakhir Bulan Ramadhan.
Mengenai shalat kafarat (mengqodlo sholat lima waktu) adalah kebiasaan yang dilakukan oleh beberapa sahabat, diantaranya oleh Ali bin Abi Thalib kw, dan terdapat sanad yang muttashil dan tsiqah kepada Ali bin Abi Thalib kw bahwa beliau melakukannya di Kufah. Dan yang memproklamirkan kembali hal ini adalah AL Imam Al Hafidh Al Musnid Abubakar bin Salim rahimahullah, yaitu dilakukan pada setelah shalat jumat, pada hari jumat terakhir di bulan ramadhan, mengQadha shalat lima waktu, Tujuannya adalah barangkali ada dalam hari hari kita shalat yang tertinggal, dan belum di Qadha, atau ada hal hal yang membuat batalnya shalat kita dan kita lupa akannya maka dilakukan shalat tersebut.
Mereka melakukan hal itu menilik keberkahan dan kemuliaan waktu hari jumat dan bulan Ramadhan. Adapun tatacaranya adalah sholat dengan niat qadha` . pertama sholat dhuhur, kemudian setelah salam langsung bangun sholat ashar qadha` dan begitu seterusnya sampai sholat subuh.
Bersabda Rasulullah SAW : " Barangsiapa selama hidupnya pernah meninggalkan sholat tetapi tak dapat menghitung jumlahnya, maka sholatlah di hari Jum'at terakhir bulan Ramadhan sebanyak 4 rakaat dengan 1x tasyahud (tasyahud akhir saja), tiap rakaat membaca 1 kali Fatihah kemudian surat Al-Qadar 15 X dan surat Al-Kautsar 15 X .
Niatnya: " Nawaitu Usholli arba'a raka'atin kafaratan limaa faatanii minash-shalati lillaahi ta'alaa"
Sayidina Abu Bakar ra. berkata " Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Sholat tersebut sebagai kafaroh (pengganti) sholat 400 tahun dan menurut Sayidina Ali ra. sholat tersebut sebagai kafaroh 1000 tahun.Maka bertanyalah sahabat : umur manusia itu hanya 60 tahun atau 100 tahun, lalu untuk siapa kelebihannya ?". Rasulullah SAW menjawab, " untuk kedua orangtuanya, untuk istrinya, untuk anaknya dan untuk sanak familinya serta orang-orang yang didekatnya/ lingkungannya. " (Syaikh Abdul Qadir Jailani qs)
Niatnya: ”Nawaitu Usholli arba’a raka’atin kafaratan limaa faatanii minash-shalati lillaahi ta’alaa”.
MengQadha shalat tentunya wajib hukumnya bagi mereka yang meninggalkan shalat, namun tidak ada larangannya melakukan shalat fardhu kembali karena hukum shalat i’adah adalah hal yang diperbolehkan. Dan selama hal ini pernah dilakukan oleh para sahabat maka pastilah Rasul saww. yang mengajarkannya, mengenai tak teriwayatkannya pada hadits shahih maka hal itu tak bisa menafikan hal ini selama terdapat sanad yang tsiqah dan muttashil pada sahabat atau tabiin.
Sebab hadits yang ada kini tak sampai 1% dari hadits hadits Rasul saww. yang ada dizaman sahabat, Anda bisa bayangkan Jika Imam Ahmad bin Hanbal telah hafal 1 juta hadits dengan sanad dan hukum matannya, namun ia hanya mampu menulis sekitar 20 ribu hadits pada musnadnya, sisanya tak tertulis, lalu kemana 980 ribu hadits lainnya?, sirna dan tak tertuliskan, demikian pula Imam Bukhari yang hafal lebih dari 600 ribu hadit dengan sanad dan hukum matannya namun beliau hanya mampu menuliskan sekitar 7000 hadits pada shahihnya dan beberapa hadits lagi pada buku-buku beliau lainnya, lalu kemana 593 ribu hadits lainnya? Sirna dan tak sempat tertuliskan, Namun ada tulisan tulisan dan riwayat sanad yang dihafal oleh
murid-murid mereka, disampaikan pula pada murid murid berikutnya, nah demikianlah sanad yang sampai saat ini tanpa teriwayatkan dalam hadits shahih. Tentunya jalur mereka yang tak sempat terdata secara umum, namun masih tersimpan jalurnya dengan riwayat tsiqah dan muttashil kepada para sahabat. Hal ini merupakan Ikhtilaf, boleh mengamalkannya dan boleh meninggalkannya.
Setelah sholat sehabis salam membaca shalawat Nabi sebanyak 100 kali dengan shalawat apa saja, membaca Basmalah, Hamdalah, Istighfar, Yyahadat dan Doa ini tiga kali :
اللهم يا من لا تنفعك طاعتي ولا تضرك معصيتي تقبل مني ما لا ينفعك واغفر لي ما لا يضرك، يا من إذا وعد وفى، وإذا توعد تجاوز وعفا، اغفرلعبد ظلم نفسه، وأسألك اللهم إني أعوذ بك من بطر الغنى وجهد الفقر، إلهي خلقتني ولم أك شيئا، ورزقتني ولم أك شيئا، وارتكبت المعاصي، فإني مقر لك بذنوبي، فإن عفوت عني فلا ينقص من ملكك شيئا، وإن عذبتني فلا يزيد في سلطانك شيئا، إلهي أنت تجد من تعذبه غيري وأنا لا أجد من يرحمني غيرك اغفر لي ما بيني وبينك و اغفر لي ما بيني وبين خلقك، يا أرحم الراحمين ويا رجاء السائلين ويا أمان الخائفين ارحمني برحمتك الواسعة، أنت أرحم الراحمين يا رب العالمين، اللهم اغفر للمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات وتابع بيننا وبينهم بالخيرات، رب اغفر وارحم وأنت أرحم الراحمين، وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسلما كثيرا.
Allahumma yaa man laa tan-fa’uka thaa’atii wa laa tadhurruka ma’shiyatii taqabbal minnii maa laa yanfa’uka waghfirlii maa laa yadhurruka yaa man idzaa wa ‘ada wa fii, wa idzaa tawa’ada tajaawaza wa’afaa ighfirli’abdin zhaalama nafsahu, wa as’aluka. Allahumma innii a’uudzubika min bathril ghinaa wa jahdil faqri, ilaahii khalaqtanii wa lam aku syai’an, wa razaqtanii wa lam aku syaii’in, wartakabtu al-ma’ashii, fa-innii muqirun laka bi-dzunuubii,. Fa in ‘afawta ‘annii falaa yanqushu min mulkika syai’an, wa-in adzdzaabtanii falaa yaziidu fii sulthaanika syay-’an, Ilaahii anta tajidu man tu’adzdzibuhu ghayrii wa-anaa laa ajidu man yarhamanii ghaiyraka ighfirlii maa baynii wa baynaka waghfirlii ma baynii wa bayna khalaqika yaa arhamar rahiimiin wa yaa raja’a sa’iliin wa yaa amaanal khaifiina irhamnii birahmatikaal waasi’aati anta arhamur rahimiin yaa rabbal ‘aalaamiin. Allahummaghfir lil mukminiina wal mukminaat wal musliimina wal muslimaat wa tabi’ baynana wa baynahum bil khaiyrati rabbighfir warham wa anta khairur-rahimiin wa shallallaahu ‘alaa sayidina Muhammadin wa ‘alaa alihii wa shahbihi wasallama tasliiman katsiiran amiin. (3kali)
Artinya; Yaa Allah, yang mana segala ketaatanku tiada artinya bagiMu dan segala perbuatan maksiatku tiada merugikanMu. Terimalah diriku yang tiada artinya bagiMu. Dan ampunilah aku yang mana ampunanMu itu tidak merugikan bagiMu. Ya Allah, bila Engkau berjanji pasti Engkau tepati janjiMu. Dan apabila Engkau mengancam, maka Engkau mau mengampuni ancamanMu. Ampunilah hambaMu ini yang telah menyesatkan diriku sendiri, aku telah Engkau beri kekayaan dan aku mengumpat di saat aku Engkau beri miskin. Wahai Tuhanku Engkau ciptakan aku dan aku tak berarti apapun. Dan Engkau beri aku rizki sekalipun aku tak berarti apa-apa, dan aku lakukan perbuatan semua ma’siat dan aku mengaku padaMu dengan segala dosa-dosaku. Apabila Engkau mengampuniku tidak mengurangi keagunganMu sedikitpun, dan bila Kau siksa aku maka tidak akan menambah kekuasaanMu, wahai Tuhanku, bukankah masih banyak orang yang akan Kau siksa selain aku. Namun bagiku hanya Engkau yang dapat mengampuniku. Ampunilah dosa-dosaku kepadaMu. Dan ampunilah segala kesalahanku di antara aku dengan hamba-hambaMu. Ya Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih dan tempat pengaduan semua pemohon dan tempat berlindung bagi orang yang takut. Kasihanilah aku dengan pengampunanMu yang luas. Engkau yang Maha Pengasih dan Penyayang dan Engkaulah yang memelihara seluruh alam yang ada. Ampunilah segala dosa-dosa orang mu’min dan mu’minat, muslimin dan muslimat dan satukanlah aku dengan mereka dalam kebaikan. Wahai Tuhanku ampunilah dan kasihilah. Sesungguhnya Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Washollallahu ‘Ala sayyidina Muhammadin wa’ala alihi wasohbihi wasalim tasliiman kasiira. Amin. Diambil dari kitab “Majmu’atul Mubarakah”, susunan Syekh Muhammad Shodiq Al-Qahhawi.
(oleh: Habib Munzir al-Musawa dan dari berbagai sumber lainnya.)
Penulis : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus.

syariat hanya berupa hukum atau aturan.

Syariat bisa diibaratkan sebagai jasmani tempat ruh berada. Sementara hakikat ibarat ruh yang menggerakkan badan. Keduanya sangat berhubungan erat dan tidak bisa dipisahkan, badan memerlukan ruh untuk hidup sementara ruh memerlukan badan agar memiliki wadah.
Seorang ulama mengibaratkan syariat laksana baju sedangkan hakikat ibarat badan. Artinya penting merawat tubuh sebagai perhatian utama sedangkan merawat baju juga tidak boleh dilupakan.
Imam Malik Ra. mengatakan bahwa seorang mukmin sejati adalah orang yang mengamalkan syariat dan hakikat secara bersamaan tanpa meninggalkan salah satunya. “Hakikat tanpa syariat adalah kepalsuan (zindiq). Sedang bersyariat tanpa hakikat adalah kesia-siaan (fasiq). Siapa yang menghimpunkan keduanya maka itulah hakikat/kebenaran (haq).”
Syariat adalah hukum-hukum atau aturan-aturan dari Allah yang disampaikan oleh Nabi Saw. untuk dijadikan pedoman bagi umat manusia, baik aturan ibadah maupun yang lainnya. Apa yang tertulis dalam al-Quran hanya berupa pokok ajaran dan bersifat universal. Karenanya Nabi Saw. yang merupakan orang paling dekat dengan Allah dan paling memahami al-Quran menjelaskan aturan pokok tersebut lewat ucapan dan tindakan. Yang kemudian para sahabat menjadikannya sebagai pedoman kedua yang dikenal sebagai hadits atau as-Sunnah.
Sabda-sabda Nabi Saw. itu bernilai tinggi dan masih sarat dengan simbol-simbol yang memerlukan keahlian untuk menafsirkannya. Para sahabat sebagai orang-orang pilihan yang dekat dengan Nabi Saw. merupakan orang yang paling mengerti dan memahaminya. Penafsiran dari para sahabat itulah kemudian diterjemahkan dalam bentuk hukum-hukum oleh generasi selanjutnya.
Para ulama sebagai pewaris ilmu Nabi Saw. melakukan ijtihad, menggali sumber utama hukum Islam kemudian menterjemahkan sesuai dengan perkembangan zaman di masanya. Maka lahirlah cabang-cabang ilmu yang digunakan sampai generasi sekarang. Sumber hukum Islam itu kemudian dikenal memiliki 4 pilar yaitu; al-Quran, al-Hadits, al-Ijma’ dan al-Qiyas. Itulah yang kita kenal dengan syariat Islam.
Untuk melaksanakan syariat Islam terutama bidang ibadah harus dengan metode yang tepat sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan apa yang dilakukan Rasulullah Saw. sehingga hasilnya akan sama. Sebagai contoh sederhana, Allah memerintahkan kita untuk shalat, kemudian Nabi Saw. melaksanakannya, para sahabat pun mengikuti. Nabi Saw. bersabda: “Shalatlah kalian seperti aku shalat.”
Tata cara shalat Nabi Saw. yang disaksikan oleh sahabat dan juga dilaksanakan oleh sahabat kemudian dijadikan aturan oleh para ulama, maka kita kenal syarat dan rukun shalat. Kalau hanya sekedar shalat maka syarat dan rukun itu bisa menjadi pedoman untuk seluruh Muslimin agar shalatnya standar sesuai dengan shalat Nabi Saw. Akan tetapi, yang demikian itu belum diajarkan tata-cara supaya khusyuk dalam shalat dan mencapai ke tahap makrifat.
Syariat tidak mengajarkan hal-hal seperti itu karena syariat hanya berupa hukum atau aturan. Untuk bisa melaksanakan syariat dengan benar, ruh ibadah itu hidup, diperlukan metodologi pelaksanaan teknisnya yang dikenal dengan “thariqah”, jalan menuju Allah. Jadi tarekat/thariqah itu pada awalnya bukan perkumpulan orang-orang mengamalkan dzikir. Nama tarekat diambil dari sebuah istilah di zaman Nabi Saw., yaitu Thariqat as-Sirriyyah yang bermakna Jalan Rahasia atau Amalan Rahasia untuk mencapai kesempurnaan ibadah.
Munculnya perkumpulan tarekat di kemudian hari adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman agar orang-orang dalam ibadah lebih teratur, tertib dan terorganisir. Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw. jauh hari telah mengatakan: “Kebaikan yang tidak terorganisir akan terkalahkan oleh kejahatan yang terorganisir.”
Kalau ajaran-ajaran agama yang kita kenal dengan syariat itu tidak dilaksanakan dengan metode yang benar (thariqatullah) maka ibadah akan menjadi kosong, hanya sekedar memenuhi kewajiban agama saja. Shalat hanya mengikuti syarat-rukun dengan gerak kosong belaka, badan bergerak mengikuti gerakan shalat namun hati berkelana ke mana-mana. Sepanjang shalat akan muncul berjuta khayalan karena ruh masih di alam dunia belum sampai ke alam Rabbani.
Di sinilah sebenarnya letak kelalaian kaum Muslimin pada umumnya, terlalu disibukkan aturan syariat dan lupa akan ilmu untuk melaksanakan syariat itu dengan benar yaitu tarekat. Ketika ilmu tarekat dilupakan maka pelaksanaan ibadah menjadi kacau balau. Badan seolah-olah khusyuk beribadah sementara hatinya lalai, menari-nari di alam duniawi dan yang didapat dari shalat itu bukan pahala tapi ancaman neraka Wail.
Lalai di sini bermaksud sepanjang ibadah hatinya tidak mengingat Allah. Bagaimana mungkin dalam shalat bisa mengingat Allah kalau di luar shalat tidak dilatih berdzikir (mengingat) Allah? Dan bagaimana mungkin seorang bisa berdzikir kalau jiwanya belum disucikan?
Sebagai latihannya, maka urutan yang sesuai dengan perintah Allah Swt. dalam surat al-A’la adalah: “Beruntunglah orang yang telah disucikan jiwanya, kemudian dia berdzikir menyebut nama Tuhan dan kemudian menegakkan shalat.”
Alhasil, sebenarnya tidak ada pemisahan antara keempat unsur dalam Islam; Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat. Keempatnya adalah Satu paduan, harus berjalan secara sinergi dan bersamaan. Tidak boleh terpisah antara satu dengan yang lainnya. Wallahu A’lam.

Terbitnya Cahaya-cahaya


“Tempat terbitnya cahaya-cahaya adalah qalbu-qalbu dan rahasia qalbu”
Kenapa demikian? Karena sumbernya adalah pemahaman atau pengetahuan. Pemahaman itu ada pada qalbu, sedangkan munculnya pengetahuan adalah dari rahasia qalbu atau rahasia batin (asrar).
Dalam kitabnya, Syeikh Abul abbas al-Hadhramy menegaskan, “Pemahaman nuur itu menurut limpahan anugerah yang memancar di qalbu dan menurut kadar cahaya dalam batinnya qalbu.“ Beliau juga mengatakan, “Cahaya itu beragam dan berbeda-beda: Ada cahaya watak diri, ada cahaya akal, ada cahaya ruh, ada cahaya qalbu dan ada cahaya titik hitam dalam qalbu (suwaidaa’ul qalb), ada pula cahaya rahasia batin (sirr), dan cahaya dalam rahasia batin (sirr) itulah yang paling agung dan paling sempurna.
Setiap cahaya dari semua cahaya itu ada yang disebut dengan cahaya penakwilan (cahaya kecerdasan), ada cahaya pelimpahan anugerah (cahaya tanziil), ada cahaya transformatif (cahaya menuju yang lebih terang) dan cahaya perpindahan (cahaya tanqil).
Setiap tahap (maqam ruhani) ada penjelasan yang tak terjangkau oleh batin kita apalagi membuat batasan garis, “Dan tidak ada yang tahu pasukan-pasukan Tuhanmu kecuali Dia”.
Beliau melanjutkan:
“Ada cahaya yang dititipkan dalam qalbu, cahaya itu melimpah datang dari khazanah ghaib tersembunyi.”
Syeikh Zarruq dalam syarah Al-Hikam ini mengatakan, “Cahaya yang dititipkan dalam qalbu itu adalah yang tercetak dalam batin qalbu yang melimpah dari cahaya Musyahadah di Hari Perjanjian Azali :
“Bukankah Aku Tuhanmu? Mereka menjawab, “Benar (Engkaulah Tuhanku)”. (Al-A’raaf: 7)
Cahaya itulah yang diibaratkan sebagai cahaya mata kita ketika mata memandang. Namun datangnya cahaya itu setelah adanya cahaya Ilham yang memancar dari khazanah rahasia tersembunyi (khazainul ghuyub)….”.
Beliau melanjutkan:
“Ada cahaya yang tersingkap padamu melalui ciptaan-ciptaannya, dan ada cahaya yang tersingkap padamu melalui Sifat-sifatNya.”
Dua model cahaya yang tersingkap, dan keduanya bersifat batin semua. Bila muncul cahaya yang tersingkap dari perspektif ciptaan-ciptaanNya, maka anda akan melihat cahaya itu dengan suatu efek bahwa ciptaan-ciptaan itu hanyalah sesuatu yang serba kurang dan sirna di dunia ini. Tak ada yang abadi, kekal dan sempurna.
Dari sanalah seseorang menjadi penuh harap dan rasa takut, lalu mencari selamat dan pahala karena anda tahu sebenarnya dunia itu seperti apa. Pada saat yang sama anda tahu akhirat dan kekekalannya dan apa yang disediakan Allah Ta’ala pada orang yang patuh dan taat padaNya dan apa yang diancamkan pada orang yang maksiat padaNya.
Sebagian para Sufi menegaskan, “Apabila iman ada di luar qalbu, yakni pada al-Fuad, maka orang beriman mencintai Allah dengan cinta yang setengah-tengah saja, bila iman sudah merasuk ke dalam qalbu yaitu masuk pada titik hitamnya, ia akan mencintai Allah dengan cinta yang sangat kuat.”
Namun hati-hati, cahaya itu bisa menjadi hijab, sebagaimana ciptaan ini bisa jadi hijab. Lalu Ibnu Athaillah as-Sakandary menegaskan:
“Kadang qalbu tercengang (berhenti) oleh pesona cahaya, sebagaimana nafsu terhijab oleh alam kasat mata.”
Kadang memang demikian, karena itu harus hati-hati, jangan sampai cahaya Allah Swt, justru menjadi tirai antara anda dengan Allah Swt, karena indahnya pesona ruhani, membuat anda alpa dan kehilangan pada Sang Pemberi Cahaya.
Model orang yang terpesona oleh cahaya dan terhenti ini ada tiga faktor:
Sangat senang dan suka cita dengan cahaya, asyik maksyuk dengan fenomena cahaya.
Menenggelamkan diri pada indahnya cahaya batin dan tidak menjenguk apa yang ada dibalik atau sesudahnya (Allah Sang Maha Pencahaya)
Memandang cahaya itu sebagai tahap final dari perjalanan ruhaninya.
Karena itu Ibnul Jalla’, ra, menegaskan, “Siapa yang hasratnya terhenti pada selain Allah Swt, ia kehilangan Allah Swt. Karena Allah Swt Maha Besar, dan jauh untuk disertai yang lainNya.
Karena itu, disebutkan oleh Syeikh Ahmad ar-Rifa’y, bahwa kaum ‘arifin bisa terkena istidroj bila terhenti pada kema’rifatannya, bukan pada Sang Ma’ruf (Allah Yang dimakrifati).
Dengan begitu:
Ketika anda berdzikir, jangan terhenti pada indah dan nikmatnya dzikir, lalu lupa pada Yang anda Ingat (Allah Swt),
Ketika anda beristiqomah jangan terpaku pada karomahnya, alpa pada Dia yang mencintai Istiqomah anda.
Ketika anda berdoa, gembira pada wujud ijabahNYa, lupa pada agung takdir munajat anda kepadaNya.
Beliau Ibnu Athaillah as-Sakandary menyebutkan hikmah dibalik ditutupnya rahasia-rahasia para wali dari umumnya manusia, dan tidak muncul di tengah publik.
“Allah Swt menutupi cahaya-cahaya rahasia batin dengan alam lahiriyah, dalam rangka memuliakannya agar tidak tergelar di dalam wujud nyata (tampak). Sekaligus terhindarkan dari bahasa popularitas.”
Betapa mulianya cahaya-cahaya para ‘arifun dan para auliya’ itu, hingga Allah harus merahasiakannya, dibalik tampilan biasa, manusiawi dan alamiah belaka. Ibarat bintang di langit semakin tinggi semakin tidak tampak dan tidak bisa dipandang.
Bahkan orang-orang kafir pun terkecoh, ketika memandang para Nabi as. Ketika mereka mengatakan, “Ini tak lebih dari manusia seperti kalian, yang makan seperti makanan kalian dan minum seperti minuman kalian. “ (Al-Mu’minun 33), “Mereka mengatakan, Rasul macam apa ini yang makan makanan dan jalan di pasar-pasar?” (Al-Furqon: 7)
Karena itu mengenal wali, menurut Syeikh Abul Abbas Al-Mursy, lebih sulit disbanding mengenal Allah Swt. Karena Allah Ta’ala sangat jelas dengan keparipurnaan dan keindahanNya, sedangkan para wali, bagaimana anda tahu, mereka makan seperti anda, dan minum seperti minuman anda.”
Lalu Ibnu Athaillah menegaskan, “Bila Allah hendak mengenalkan anda pada seorang wali dari wali-waliNya, maka wujud manusiawinya disingkap pada anda, lalu dipersaksikan wujud keistemewaannya.”

SIAPAKAH KEKASIH ALLAH YANG SESUNGGUHNYA


سبحان من ستر سر الخصوصية بظهور وصف البشرية، وظهر بعظمة الربوبية فى اظهار العبودية
"Maha suci Dia Yang menyembunyikan keistimewaan hamba-hamba pilihan-Nya di balik sifat manusiawi yang ada pada diri mereka. Dan (sebaliknya) menampakkan eksistensi sifat ketuhanan di balik kehambaan mahluk-Nya." Di dunia ini, beragam mahluk hidup beriringan. Ada yang iman, ada juga yang kufur. Yang beriman pun bertingkat-tingkat. Iman seseorang tidak sama satu sama lain. Begitu seterusnya. Di antara hamba-hamba Allah, ada yang di pilih-Nya sebagai orang terdekat. Merekalah kelompok yang imannya kuat. Yang ketika sesuatu apapun menimpanya, baik atau buruk, mereka tetap menganggap sebagai nikmat. Kemudian Allah menganugerahi mereka dengan keistimewaan yang tidak dianugerahkan kepada yang lain. Merekalah wali-wali Allah, yang tak ada rasa takut yang berlebih dan tak pula merasa susah. Begitu tingginya derajat auliya' di sisi-Nya, sampai-sampai Allah memuji mereka di dalam Al-qur'an: الا ان اولياء الله لا خوف عليهم ولا هم يحزنون Dalam hadits qudsi dikatakan: من آذانى وليا فقد آذنته بالحرب "Barang siapa yang memusuhi seorang wali, maka Aku kabarkan perang atasnya." Dapat disimpulkan secara sederhana, bahwa memusuhi wali berarti menanti kerusakan pada diri. Jika tidak di dunia, kerusakan itu akan menunggu di alam kedua. Itulah yang akan terjadi jika kita lancang terhadap kekasih-Nya. Lantas kitapun ingin tahu siapakah yang termasuk wali yang sedang dibicarakan di atas? Masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa wali pasti mempunyai sifat yang berbeda dengan manusia biasa. Dia bisa terbang, berjalan di air, kebal senjata tajam, dll. Seakan tidak terima jika ada manusia yang juga makan, minum, hidup kekurangan, dikatakan seorang wali. "Apa mungkin wali seperti itu ?" Dahulu, nabi juga banyak yang tidak mau menirimanya sebagai utusan hanya karena beliau makan, minum, masuk ke pasar, dan melakukan sifat-sifat manusiawi lainnya. Pada akhirnya yang mampu menyadarkan hanyalah firman Allah : وقالوا ما ل هذا الرسول يأكل الطعام ويمشى فى الأسواق، لو لا أنزل اليه ملك فيكون معه نذيرا Tetapi tetap saja orang awam belum bisa menerima sepenuhnya. Oleh karena itulah, Syeikh Ibn 'Atho'illah As-Sakandari berkata: سبحان من ستر سر الخصوصية بظهور وصف البشرية Wali memang diberi keistimewaan dan kekhushusiyahan yang tidak dimiliki orang lain. Hanya saja, keistimewaan itu pasti di tutupi Allah. Yaitu dengan memyembunyikan keistimewaan tersebut di balik sifat kemanusiaan orang yang dipilih-Nya (wali-Nya). Tugas wali tersebut akan lebih sempurna justru ketika ia bisa menutupi jati dirinya. Ada beberapa wali abdal yang bertempat di Syam. Mereka diangkat sedemikian rupa derajatnya bukan semata-mata karena ibadah. Akan tetapi di dadanya terdapat sifat rahmah. Sebab mereka, kita terus diluaskan rizki. Sebab mereka pula, kita terus dirahmati. به ترزقون وبه ترحمون *** Satu lagi Hikmah Ilahiyah yang ada pada hamba-Nya yang Sholeh. Yaitu seorang wali diberi pengetahuan tentang hal-hal yang tidak diketahui orang lain. Di sini kita kenal dengan istilah hal ghaib. Di dalam dunia tasauf, dikenal istilah orang awam dan orang khosh. Dari sisi kuantitas, orang awam jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang telah mencapai derajat khosh. Sebab itulah, yang diwajibkan oleh Syari' - dalam hal ini Allah Subhanahu Wa Ta'ala - untuk dilakukan adalah syari'at. Tidak Thoriqot, bukan pula Hakikat. Hal-hal yang bersifat ghaib sengaja disamarkan dari pandangan orang awam. Hal ini dimaksudkan agar syari'at dapat berjalan lancar. Tatanan dunia akan hancur apabila pengetahuan tentang hal ghaib diketahui semua orang. Oleh sebab itulah, auliya' - yang notabenenya mempunyai pengetahuan ghaib - disembunyikan Allah. Tidak hanya disembunyikan, bahkan mereka dibuat Allah memiliki sebuah sikap yang sekiranya kita memandang, justru kita akan menganggap mereka yang sebenarnya wali bukan termasuk wali. Allah sengaja mengutus para kekasih-Nya untuk bersikap begitu sederhana justru agar dijauhi orang awam. Yang terjadi, mayoritas orang, khususnya zaman sekarang, lebih mencari keramat dan lebih percaya terhadap orang yang mengobral kehebatan-kehebatan di luar nalar yang diakui dimilikinya. Jadi kalau coba disadari, sikap orang yang suka mencari keramat dan keistimewaan tersebut sangat bertentangan dengan hikmah ilahiyah yang lebih memilih menutupi keistimewaan dari pada mengobralnya. Begitulah Allah menutupi para kekasihnya dari pengetahuan orang. Bahkan ada wali Allah yang dirinya sendiri tidak menyadari bahwa dia adalah wali Allah. Selanjutnya, sebagai imbangan menyembunyikan kekasih-Nya, Allah menampakkan eksistensi diri-Nya pada setiap ciptaan yang ada. Hal ini dimaksudkan agar yang menjadi tujuan utama dan menjadi tempat kembali dari segala urusan adalah Allah, bukan sesama mahluk. Kita akan menemukan Allah, pada tiap mahluk. Contoh; Kita bisa tahu Allah Mahakaya karena kita sadar akan kefaqiran kita. Allah Mahakuat, karena kita lemah. Begitu seterusnya. Dengan kata lain, yang menerjemahkan Allah sebagai Otoritas Tunggal atau Tuhan adalah para mahluk-Nya. Ini secara ringkasnya. Toh demekian, kita jangan berhenti pada titik kesimpulan ini. Sebab akan menyebabkan kesalahpahaman, bahwa Allah menjadi Tuhan hanya karena ada mahluk-Nya. Kalau mahluk tidak ada, Allah pun tidak lagi menjadi Tuhan yang Mahaperkasa. Kesalah pahaman ini meniscayakan kehadiran mahluk jika ingin Allah dikatakan sebagai Tuhan. Apa betul seperti itu? Sama sekali tidak! Ada dan tidak adanya mahluk sedikitpun tidak mempengaruhi sifat Rububiyyahnya Allah. Sifat ketuhanan tersebut sangat erat melekat pada dzat-Nya, tanpa membutuhkan yang lain. Tanpa mahluk, Allah tetap Dzat yang Mahapencipta dan Mahasegalanya. Kitalah yang membutuhkan Allah. Sebagai fitrah seorang hamba, kita membutuhkan adanya Tuhan. Untuk dapat lebih mengenal-Nya, kita perlu mengumpulkan keterangan-keterangan tentang Allah sebagai Tuhan. Allah pun memberi jalan kepada para hamba untuk lebih mengenal Dirinya. Yakni dengan menyertakan potongan-potongan informasi yang mengatakan kepada makhluk tentang tanda-tanda ketuhanan serta kekuasaan-Nya pada setiap ciptaan. Allah membuka sifat Rububiyyah-Nya melalui mahluk. Sebuah contoh kecil adalah diri manusia. Begitu lemahnya manusia pada waktu bayi. Tak berdaya, tak mempunyai upaya. San begitu lemahnya, bayi hanya bisa menangis di dalam pinta. Perkembangan mulai menunjukkan perubahan pada diri. Yang dahulunya merangkak saja tak mampu, saat menginjak remaja kaki semakin kokoh. Jangankan merangkak, berjalanpun sangat mudah. Beranjak dewasa, manusia mulai sempurna menggunakan akal pikirannya. Proses dari bayi sampai dewasa kemudian mampu berpikir ini seakan terjadi secara otomatis dan terprogram. Tak ada yang tahu bagaimana itu semua berproses. Yang jelas, manusia sama sekali tidak ikut andil di dalamnya. Hanya satu yang mengendalikan. Dia lah Allah Yang Mahakuasa. Inilah yang hendak diungkapkan Imam Ibn 'Atho'illah As-Sakandari melalui mutiara hikmahnya: وظهر بعظمة الربوبية فى اظهار العبودية Bila ada yang tidak mengetahui hal ini dan berpandangan bahwa dirinya sendiri yang menciptakan kekuatan tanpa otoritas lain, maka ini dapat disadarkan dengan cara mengajaknya bertafakkur tentang diri dan melihat sifat kehambaan dirinya. Kemudian andai masih enggan untuk mengakui, maka hanya ada satu hal yang akan menyadarkannya. Yaitu maut.