Laman

Senin, 24 Maret 2014

Dialog Sufi Bung Karno Dengan Syekh Kadirun Yahya


Suatu hari, pada sekitar bulan Juli 1965, Bung Karno berdialog dengan Syekh Kadirun Yahya [lengkapnya; Prof. Dr. H. SS.
Kadirun Yahya MA, Msc, Rektor Universitas Pembangunan Panca Budi Medan, Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah.], anggota dewan kurator seksi ilmiah Universitas Sumatra Utara (USU).
“Saya bertanya-tanya pada semua ulama dan para intelektual yang saya anggap tahu, tapi semua jawaban tidak ada yang memuaskan saya, en jij bent ulama, tegelijk intellectueel van de exacta en metaphysica-man.”
“Apa soalnya Bapak Presiden?”
“Saya bertanya lebih dahulu tentang hal lain, sebelum saya mengajukan pertanyaan yang sebenarnya. Manakah yang lebih tinggi, Presidentschap atau Generaalschap atau Professorschap dibandingkan dengan Surgaschap?”
“Surga-schap. Untuk menjadi presiden, atau profesor harus berpuluh-puluh tahun berkorban dan mengabdi pada nusa dan bangsa, atau ilmu pengetahuan, sedangkan untuk mendapatkan surga harus berkorban untuk Allah segala-galanya berpuluh-puluh tahun, bahkan menurut Hindu atau Budha harus beribu-ribu kali hidup baru dapat masuk nirwana.”
“Accord, Nu heb ik je te pakken Proffesor (sekarang baru dapat kutangkap Engkau, Profesor.)
Sebelum saya ajukan pertanyaan
pokok, saya cerita sedikit: Saya telah banyak melihat teman-teman saya matinya jelek karena banyak dosanya, saya pun banyak dosanya dan saya takut mati jelek. Maka saya selidiki Quran dan Hadits. Bagaimana caranya supaya dengan mudah menghapus dosa saya dan dapat ampunan dan mati senyum; dan saya ketemu satu hadits yang bagi saya sangat berharga.
Bunyinya kira-kira begini: Seorang wanita pelacur penuh dosa berjalan di padang pasir, bertemu dengan seekor anjing yang kehausan. Wanita tadi mengambil segayung air dan memberi anjing yang kehausan itu minum. Rasulullah lewat dan berkata, “Hai para sahabatku, lihatlah, dengan memberi minum anjing itu, terhapus dosa wanita itu di dunia dan akhirat dan ia ahli surga!!!
Profesor, tadi engkau katakan bahwa untuk mendapatkan surga harus berkorban segala-galanya, berpuluh tahun itu pun barangkali. Sekarang seorang wanita yang
banyak berdosa hanya dengan sedikit saja jasa, itu pun pada seekor anjing, dihapuskan Tuhan dosanya dan ia ahli surga. How do you explain it Professor? Waar zit‘t geheim?”
[Kadirun Yahya hening sejenak lalu berdiri meminta kertas.]
“Presiden, U zei, dat U in 10 jaren’t antwoor neit hebt kunnen vinden, laten we zein (Presiden, tadi Bapak katakan dalam 10 tahun tak ketemu jawabannya, mari kita lihat), mudah-mudahan dengan bantuan Allah dalam dua menit, saya dapat memberikan jawaban yang memuaskan.”
[Bung karno adalah seorang insinyur dan Kadirun Yahya adalah ahli kimia/fisika, jadi bahasa mereka sama: eksakta. KY menulis dikertas] “10/10 = 1.”
[Bung Karno menjawab] “Ya.”
“10/100 = 1/10.”
“Ya.”
“10/1000 = 1/100.”
“Ya.”
“10/bilangan tak berhingga = 0.”
“Ya.”
“1000000/ bilangan tak berhingga = 0.”
“Ya.”
“Berapa saja ditambah apa saja dibagi sesuatu tak berhingga sama dengan 0.”
“Ya.”
“Dosa dibagi sesuatu tak berhingga sama dengan 0.”
“Ya.”
“Nah…, 1 x bilangan tak berhingga= bilangan tak berhingga. 1/2 x bilangan tak berhingga = bilangan tak berhingga. 1 zarah x bilangan tak berhingga = tak berhingga. Perlu diingat bahwa Allah adalah Mahatakberhingga. Sehingga, sang wanita walaupun hanya 1 zarah jasanya, bahkan terhadap seekor anjing sekali pun, mengkaitkan, menggandengkan gerakkannya dengan Yang Mahaakbar, mengikutsertakan Yang Mahabesar dalam gerakkannya, maka hasil dari gerakkannya itu menghasikan ibadat paling besar, yang langsung dihadapkan pada dosanya yang banyak, maka pada saat itu pula dosanya hancur berkeping-keping. Hal ini dijelaskan sebagai berikut: (1 zarah x tak berhingga)/dosa = tak berhingga.”
[Bung Karno diam sejenak lalu bertanya]
“Bagaimana ia dapat hubungan dengan Sang Tuhan?”
“Dengan mendapatkan frekuensinya. Tanpa mendapatkan frekuensinya tidak mungkin ada kontak dengan Tuhan. Lihat saja, walaupun 1mm jaraknya dari sebuah zender radio, kita letakkan radio kita dengan frekuensi yang tidak sama, radio kita tidak akan mengeluarkan suara dari zender tersebut. Begitu juga, walaupun Tuhan dikabarkan berada lebih dekat dari kedua urat leher kita, tidak mungkin kontak jika frekuensinya tidak sama.
[BK berdiri dan berucap] “Professor, you are marvelous, you are wonderful, enourmous.”
[Kemudian dia merangkul KY dan berkata] “Profesor, doakan saya supaya saya dapat mati dengan senyum di belakang hari.”
Lima tahun kemudian (1970), Bung karno meninggal dunia, dalam keadaan senyum ketika menutup mata untuk selama-lamanya.
Sumber:
Sunardian, Dialog Bung Karno Dengan Sang Sufi, 2013

HOT GATE


Judul di atas terilham dari film 300 sebuah film yang menceritakan pertempuran antara pasukan Sparta yang hanya berjumlah 300 orang melawan pasukan Persia yang berjumlah ratusan ribu orang. 300 orang pasukan Sparta berhasil menahan serangan ratusan ribu pasukan Persia dengan menggunakan taktik bertahan di Hot Gate, celah batu sempit dengan lebar sekitar 5 meter dan tentu saja pasukan Persia dalam jumlah besar tidak ada manfaatnya ketika melewati celah sempit itu. Satu persatu pasukan Persia berhasil dikalahkan oleh 300 orang pasukan Sparta. Walaupun 300 pasukan Sparta itu tewas semua tapi heroisme mereka membangkitkan semangat seluruh Yunani dan mereka mengalahkan serta mengusir Persia dari Eropa di Battle of Salamis (480 BC) & Battle of Plataea. Film ini mendapat kritikan keras dari rakyat Iran karena dalam film ini digambarkan Raja Persia sebagai raja Babar dan cerita dalam film ini penuh rekayasa.
Saya tidak membahas film ini secara panjang lebar, yang menarik perhatian saya adalah HOT GATE, celah sempit yang dipakai pasukan Sparta untuk mengalahkan musuhnya. Musuh dalam jumlah besar sekalipun akan terbatas geraknya dan dengan mudah dapat dikalahkan.
Lalu apa hubungan HOT GATE dengan Tasawuf?
Seperti biasanya sebelum menonton film saya selalu berdo’a, “Ya Tuhan, ajari aku dari film yang akan aku tonton ini”. Biasanya kalau dimulai dengan niat baik pasti selalu ada hikmahnya. Saya teringat pesan Guru bahwa segala sesuatu itu tergantung dari niatnya dan kita dapat selalu belajar dari siapapun dan apapun. “Belajarlah dari alam, karena sesungguhnya alam ini adalah ayat-ayat Tuhan” Begitulah nesehat Guru kepada saya.
Tidak ada bedanya dengan berperang melawan syetan, baik setan dalam diri maupun setan diluar diri membutuhkan strategi dan taktik yang tepat agar bisa menang. HOT GATE dalam film itu ibarat kelambu bagi seorang ahli zikir, disanalah dia memulai dan memenangi perang melawan hawa nafsu dan mengalahkan musuh-musuhnya.
Suatu hari Guru saya bertanya :
“Sufimuda, menurutmu mana lebih mudah menangkap musuh di lapangan terbuka atau menangkap di dalam rumah?”
Saya jawab “Lebih mudah dalam rumah Guru”
“Benar, mana lebih mudah menangkap musuh dalam rumah atau dalam kamar?”
Saya jawab “Lebih mudah dalam kamar, Guru”
“Benar”
Kemudian Guru bertanya lagi, “Mana lebih mudah menangkap musuh dalam kamar ukuran 3meter x 3 meter dengan ruangan yang hanya berukuran 1meter x 1meter?”
Saya jawab, “Lebih mudah dalam ruangan ukuran 1 x 1 Guru”
Kemudian Guru berkata, “Tahukan kamu ruangan 1 x 1 yang aku maksudkan?”
Saya jawab, “Mohon ampun, itu Kelambu tempat zikir, Guru”
Sambil tersenyum Guru berkata, “Benar anakku, disanalah tempat paling mudah bagimu untuk mengalahkan musuh, dalam ruang yang sempit itu engkau memulai perang. Ikatlah satu kaki musuhmu maka dengan mudah dapat kau menangi peperangan itu.”
Kemudian Beliau bertanya lagi, “Kaki sebelah mana yang akan kau ikat sufimuda?”
Saya jawab, “Sebelah kiri Guru”.
Guru Bertanya lagi, “Bagaimana cara engkau mengikatnya”
Sambil tersenyum saya menjawab pertanyaan Guru, “Dengan mendudukkan kaki yang kiri Guru”.
Beliau tersenyum mendengarnya, kemudian Beliau berbisik ke telinga saya, “Jangan kau lupakan rumus Vini Vidi Vici”
“Saya Guru”
Ketika menonton film 300 saya jadi teringat lagi nasehat Guru tentang cara mengalahkan musuh dalam ruangan yang sempit. Dengan cara itu kita lebih mudah memantau musuh dan musuh sulit mengalahkan kita. Lewat film ini Tuhan mengajarkan kepada saya banyak hal.
Lalu bagaimana kita mengalahkan musuh yang bernama Iblis beserta bala tentaranya yang berumur jutaan tahun, tamat Universitas langit bisa menyerupai apa saja dan sangat berpengalaman. Tidak ada satupun manusia bisa mengalahkan Iblis, Setan dan kawan-kawannya karena dimensi setan itu di atas dimensi manusia.
Yang bisa mengalahkan adalah sesuatu yang dimensinya lebih tinggi dan tentu saja hanya Nur Allah yang bisa menghancurkan setan beserta balatentaranya.
Hakikat zikir tidak lain adalah menggabungkan rohani murid dengan Nur Allah yang disalurkan lewat dada Mursyid yang kemudian oleh sang murid diarahkan kepada musuh, barulah mencapai kemenangan.
Nasehat Guru saya, “Besertalah kamu dengan yang Maha Menang maka otomatis kamu ikut menang, yang ditakuti itu bukan dirimu, tapi rohani Gurumu yang terbit dari Zat dan Fi’il Allah semata”.
Pada hakikatnya yang berzikir itu bukanlah kita sebagaimana Firman Allah dalam Surat Al Anfal ayat 17:
“Bukan Engkau (ya Muhammad) yang melontar, memukul, memanah melainkan Aku (Allah)”.
Yang terlihat melontar, memukul dan memanah dalam perang adalah Nabi Muhammad SAW, lalu kenapa Allah mengatakan yang melakukan itu semua adalah Allah? Karena mamang pada hakikatnya seluruh gerak kita itu adalah atas kudrat dan Iradat Allah.
Zikir yang sempurna adalah apabila kita telah mampu hilang (fana) dalam keabadiaan (kebakaan) Allah SWT. Setiap gerak dalam tubuh seluruhnya memuja Allah, aliran darah dan seluruh rambut di badan memuja-Nya, itulah hakikat dari Zikir Kullu Jasad.
Mudah sekali mengucapkan kata fana akan tetapi sangat sulit untuk menerapkan karena sifat dasar manusia itu adalah sombong, angkuh, ingin terkenal dan ingin mendapat pujian dari setiap yang dikerjakannya.
Mari kita perbanyak zikir di HOT GATE agar musuh-musuh dalam terkalahkan dan tentu saja musuh terbesar bukan diluar diri kita tapi dalam diri kita yaitu hawa nafsu yang telah disusupi setan.
Berkat syafaat Guru kita beserta Para Aulia-Nya, Allah yang Maha Rahman dan Maha Rahim berkenan memberikan kepada kita kemenangan di dunia dan akhirat, amin.

Makna " BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM ".




maknaبِسْمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ yang mesti diketahui (secara ringkas saja) Al -Ba' atau huruf ba dalam bismillah mempunyai 3 makna yaitu makna Al- Half ( sumpah ) atau Ma'iyyah ( kebersamaan ), atau Ziyadah ( tambahan ).
Kalau dia berarti sumpah maka bahasa terjemahnya " Demi nama Allah Arrahman Arrahim", tapi bisa juga bermaksud Ma'iyyah, bermakan " Dengan nama Allah Arrahman Arrahim" , dan juga bisa bermakna Ziyadah, yang bermaksud tambahan saja yang maksudnya " nama Allah Arrahman Arrahim". ( itu kalimat ba' nya ).
Lalu kalimat Al- Ism berasal dari as- samu yaitu berasal dari kalimat tinggi yaitu nama, bismillah ( ringkaskannya ), kata yang ketiga adalah Allah yang perlu diketahui, kalimat Allah didalam tafsir Imam Ibn Abbas, مَأْخُوْذَةٌ من الإله الذي يألهون و يتألهون إليه الناس bahwa kalimat Allah berasal dari kalimat Al- Ilah lalu dipadukan menjadi Allah, yaitu الذي يألهون و يتألهون إليه الناس yaitu tempat orang mengadu dan meminta perlindungan dari kesulitan dan musibah, maka kalimat Allah merupakan gerbang penolong bagi seluruh hambaNya, jadi kalau kita ingin memaknai kalimat Allah maknanya apa, secara ringkas maknanya kalimat Allah maknanya Sang Maha Penolong dan Sang Maha memberikan bantuan yang sangat diharapkan saat kesulitan, ALLAH. Jika kita merenungkan kalimat ini saja,sudah sedemikian indahnya, ternyata kalimatMu itu wahai Allah adalah gerbang harapan bagi seluruh hambaNya, makna kalimat Allah itu adalah gerbang harapan, الذي يألهون و يتألهون إليه الناس Dzat yang orang berlindung padanya dan datang kepadaNya (dia) memberi pertolongan. Wahai Gerbang harapan! yang dijelaskan oleh Syekh Abdul Qader Al-Jaelany, kalimat Allah adalah ismul a'zhom, karena kalimat ini berpadu seluruh kalimat Allah, dan dijelaskan didalam Shahih Muslim, لَا تَقُوْمُ السَاعَةُ حَتَّى أَن لَا يُقَالَ عَلَى الْأرْضِ الله الله وَلَا تَقُوْمُ السَاعَةُ عَلَى رَجُلٍ يَقُولُ الله الله " tidak akan datang hari kiamat selama dimuka bumi ada yang menyebutkan, memanggil nama Allah, hari kiamat tidak akan datang menimpa seseorang ia menyebut nama Allah." karena Allah subhanahu wa ta'ala Sang Maha Pencipta, memberikan nama panggilan untuk DzatNYa adalah Gerbang Harapan, Ia berikan kepada hamba-hambaNya untuk memanggil DzatNya bukan dengan Sang Maha Raja, ya memang wahai Maha Raja ( al- Mulk ), tapi yang paling banyak adalah Allah, Gerbang Harapan. Gerbang Harapan berarti harapan terbesar layak bagi hambaNya kelak adalah Allah, yang Maha mengetahui apa yang diinginkan hambaNya dan apa yang akan menimpa hambaNya jika harapan itu diberikan, CONTOH=ada hamba yang jika diberikan harapannya maka akan terjadi musibah tanpa ia ketahui, ada hamba menginginkan sesuatu, seperti anak kecil, bocah, bayi, tidak tahu bara api itu panas, dilihat dia mau mempermainkannya mau menyentuhnya, tentunya dilarang tidak diberi bara apinya,dijauhkan darinya, kenapa? terbakar anak itu terkena bara api, atau kepada yang sedang luka,seperti jika anaknya yang masih bocah sedang luka liat bocah sedang berenang, mau ikutan berenang ditahan olehnya " kamu tidak boleh berenang, kamu luka, nanti infeksi luka kamu kena air". orang lain ikut main kok dia tidak? Nah, hal itu akan dijawab oleh Allah subhanahu wa ta'ala kelak, namun jangan dipersalahkan, " percuma dong saya berharap kepada Allah, Allah akan memberikan bagiku yang terbaik." عَسَى أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْأً وَهُوَ خَيرٌ لَكُمْ وَ عَسَى أَنْ تُحِبُّوْا شَيْأً وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ، وَاللهُ يَعْلَمُ وَ أَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ "Barangkali kalian tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagi kalian, barangkali kalian menyukai sesuatu, akan tetapi hal itu buruk bagi kalian, Allah Maha Tahu kalian tidak mengetahuinya." Allah Maha memilihkan yang terbaik, kita tidak tahu, makanan yang kita sukai barangkali beracun, kita lagi makan tiba - tiba tertendang oleh kaki kita meja tempat kita makan, tumpah " astaghfirullah ini makanan yang palng saya sukai, saya ingin makan, Allah Maha Tahu didalam makanan itu ada racun.banyak hal seperti ini terjadi, dan juga banyak hal yang tidak kita inginkan ternyata baik untuk kita, contohnya obat, kok kita bisa pasrah ya pada dokter tpi tidak pasrah sama Allah? sama dokter kita pasrah, mau disakiti, mau ditusuk dengan jarum, mau diisi obat yang kadarnya obat ini bawa efek samping ke tubuh yang lain, kok kita pasrah? mau dipasang oksigen, mau direbahkan, mau dirontgen, mau di ini mau di itu pasrah kita kepada dokter kenapa? percaya penuh, dia ahli. Bagaimana dengan ALLAH?? kalimat بِسْمِ اللهِ dengan nama Allah atau demi nama Allah, الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ ( secara ringkas ) , الرَحْمٰنِ adalah Maha Pelimpah Rahmat dan kasih sayang kepada seluruh makhlukNya, seluruh makhluk, sedang الرَحِيْمِ kasih sayang Allah yang diberikan kepada orang yang beriman saja. الرَحْمٰنِ untuk semua, yang tidak beriman, yang jahat, yang fajir, fasiq, semuanya dikasih kasih sayang Allah subhanahu wa ta'ala kehidupan dimuka bumi, diberikan Rahmah, الرَحِيْمِ kenikmatan dari Allah khusus untuk orang orang yang beriman, kebanyakan diterimanya di akherat, namun di bumi juga kebagian seperti khusyu', kenikmatan mustajab do'a, kenikmatan keringanan dari musibah, banyak kenikmatan Arrahim dari Arrahman, maka kalimat الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ memadukan seluruh kenikmatan Allah subhanahu wa ta'la yang pernah diberikan sejak alam semesta dicipta, hingga seluruh makhluk berakhir, hingga berlangsungnya kehidupan kekal dan abadi bagi hamba yang dikehendakiNya,semua tercakup dalam kalimat الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ Ketika kita bicara بِسْمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ dengan nama Allah yang Maha Pengasih (kepada seluruh makhluk) dan Maha Penyayang ( kepada mu'min ) sama saja kita menyebut seluruh kenikmatan anugerah Ilahi kepada para siddieqin, para auliya, para sholihin, para mu'minin, pada orang yang tidak baik, pada orang yang baik, pada orang ynag jahat, pada orang yang berbuat hina, pada orang yang berbuat mulia, semua itu terpadu dalam kalimat بِسْمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ seluruh kejadian alam semesta. dijelaskan bahwa kalimat بِسْمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ itu ada 19 huruf, maka oleh sebab itu al- Imam Umar alMuhdhor bin Abdurrahman Assegaf 'alaihi rahmatullah, sekali waktu ziarah, pergi berkhalwah ke makam Nabiallah Hud, tempatnya jauh dari tarem, pulang bawa 40 ekor onta penuh dengan bawaan, berapa bulan hilang, datang bawa 40 ekor penuh dengan tumpukan barang beban yang penuh, dikatakan ya syekh Umar Muhdhor, wahai imam! kau lama pergi entah kemana, tiba - tiba kau datang dengan 40 ekor onta yang penuh denagn beban, apa isi onta itu dan kau dimana ? maka berkata, " aku berkhalwat, di dekat makam Nabi Hud,( memang ada tempat khalwat disitu tempatnya lembah yang landai, ada danaunya ), aku khalwat disitu " " lalu 40 ekor onta ini apa isi bebannya ini?" dia berkata " buku" " buku?", 40 ekor onta penuh , berapa ratus ribu itu buku, satu ekor onta itu bisa membawa 100 kg lebih, 200 kg mungkin masih bisa, bagaimana dengan 40 ekor onta penuh bebannya?" buku apa wahai imam?" " aku menafsirkan baru بِسْمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ ayat pertama dari Al- Qur'anul karim, sudah diangkat, sudah ditulis dan diangkat oleh 40 ekor onta berapa ratus ribu kitab isinya baruبِسْمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ ayat pertama dari surat Al-Fatehah, belum selanjutnya selanjutnya selanjutnya. sayyidina Imam Abdullah bin Abdurrahman balfageh, Allamatuddunya ketika ia datang ke musim haji, dia seorang ulama besar hujjatul islam seorang imam besar disebut Allamtudunya karena dia disebut oleh ulama demikian karena ulama pada saat itu mengakui dia derajat nomer satu dari seluruh ulama dunia, ia pergi haji, tidak ketahuan karena pakaiannya sama semua, ketika masih memakai pakaian ihram hadir pengajian yang dihadiri guru - guru imam imam, para ulama dunia, terus berkata mufti Mekkah pada saat itu," aku ada satu masalah yang belum kutemukan jawabannya, kebetulan ini imam imam dari seluruh dunia hadir, aku ingin tanya, tolong jawabannya karena aku tidak tahu jawabannya ," maka disebutkan pertanyaannya, tidak ada satupun yang bisa menjawab. Maka disitu ada Imam Abdullah bin Abdurrahman balfageh namun tidak ketahuan karena masih memakai pakaian ihram ( yang lain sudahselesai namun ia belum selesai ihram ) maka duduk dibelakang, dan dia adalah yang tertinggi ilmunya dimasa itu, dan di seluruh ulama dunia, dia berkata kepada pemuda disebelahnya," kamu angkat tangan jawab! jawabannya ini," kemudian ( berkata pemuda itu ), " aku bisa menjawab wahai mufti Mekkah!" maka melirik seluruh ulama dunia itu, semua ulama yang hadir melirik ke pemuda ini, nah pemuda ini telah dikasih tahu jawabannya, " jawabannya ini," kaget seluruh ulama dunia ini termasuk mufti Mekkah " hei bukan kamu yang menjawab pasti, darimana kamu dapat jawab ini? jawaban ini tidak ada yang mengetahui kecuali Allamatuddunya Abdullah bin Abdurrahmna Balfageh,Allamatuddunya , maka saat itu dia berkata," aku dengar dari orang ini," maka berkata ( mufti ), " wahai imam! wahai imam besar maju kedepan kami ingin mendengar daripada ilmumu" maka dia berkata" aku tidak mempunyai waktu, aku ingin pulang,hanya beberapa hari saja aku tinggal disini," " walau beberapa haripun kami ingin membaca kitab" " iya tidak apa apa, " ia tinggal sampai satu bulan di Mekkah Almukarramah ngajar tiap harinya maghrib tentang satu kitab tapi masih tentang makana huruf ba', satu bulan belum selesai. baru ba'nya saja ditafsirkan , maknanya begini satu bulan sampai waktunya pulang belum selesai baru huruf ba',al Imam Syafi'i merujuk pada para sahabat dengan dalil dalil yang tsigah bahwaبِسْمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ bagian dari awal surat Alfatehah, demikian juga Imam Hambali, Ahmad bin Hanbal, namun Imam Malik berpendapat bahwa ia bukan bagian dari surat alfatehah, hanya awal dari setiap surat saja, trkecuali Attaubah, demikian riwayat yang kita ketahui, jadi kalau kita bermakmum dengan imam yang bermazhab HAnbali, mazhab Hanbali itu tetap mewajibkan basmalah namun dengan sirran(tidak disuaraka), atau dipelankan, tapi kalau tidak membaca bismillah, langsung aja maka tidak sah sholat kita bermakmum padanya,, masing masing mazhab mempunyai sanad keguruannya smpai kepada Rasul salallahu 'alaihi wa sllam dengan berpegang kepada riwayat riwayat yang kuat kepada Rasul salallahu 'alaihi wa sallam dan kita berada pada mazhab Syafi'i yang menjaharkan semua bacaannya. بِسْمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِini 19 huruf, terpadu dari 19 huruf, dan 19 huruf ini juga diriwayatkan dalam tafsir Imam Qurtuby, bahwa ii menunjukan jumlah kaum Hawariyyin, orang orang yang mendukung Nabiyallah 'Isa 'alaihi sholatu wa salam dimasa itu maksudnya بِسْمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ19 huruf itu isyarah bagi orang orang nasrani bahwa Allah mengetahi berapa yang menolong Nabiyallah 'Isa 'alaihi sholatu wa salam, yaitu 19 orang Hawariyyiin yang disebut dalam firman Allah subhanahu wa ta'ala قَالَ عِسَى ابْنُ مَرْيَمَ لِلحَوَارِيِّنَ مَنْ أَنْصَارِيْ إِلَى اللهِ قَالَ الحَوَارِيُّوْنَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللهِ ........... itu 19 orang, lalu berkata Nabiyallah 'Isa," maukah diantara kalian berkorban? ia nanti wajahnya ana seperti wajahku dan ia akan dihukum mati dan kujanjikan baginya surga, kemudian satu maju dari 19, maka ketika mereka ingin menangkap Nabiyallah 'Isa, ( dalam riwayat Imam Qurtuby da Imam Thabrany dalam tafsirnya ), disaat itu, Allah secepatnya mengangkat Nabiyallah 'Isa ke langit, diangkat oleh Allah subhanahu wa ta'ala, وَمَا قَتَلُوهُ وَ مَا صَلَبُوْهُ وَلٰكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ tidak dibunuh Nabiyallah 'Isa itu dan tidak disalib pula nanti akan tetapi satu orang diumpamakan wajahnya dirubah oleh Allah mirip dengan Nabiyallah 'Isa, dalam Tafsir Imam Qurtuby dan Thabrany mengatakan itu adalah salah satu dari kaum Hawaryyin, mereka tidak percaya, ketika Hawariyyun mengatakan bahwa "itu bukanlah Nabiyallah 'Isa akan tetapi itu salah satu dari kami," maka dihitung jumlahnya ternyata jumlah mereka 18, satu tidak ada kemana?? sudah dirubah oleh Allah wajahnya mirip Nabiyallah 'Isa ibn Maryam 'alaihi sholatu wa salam, oleh sebab itu,بِسْمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ itu 19 huruf dan kalimat ba' bisa bermakna ziyadah atau tambahan saja karena isyarat 19 itu satu diantaranya wafat untuk membela Nabiyallah 'Isa 'alaihi sholatu wa salam. بِسْمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ ini turun kepada Nabiyallah Sulaiman 'alaihi sholatu wa salam, dibawalah suratnya oleh burung Hud-hud kalau di kita burung yang bisa bicara, burung Beo, burung itu berkata ," aku membawa surat dari Sulaiman," بِسْمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ إِنَّهُ yang padanya tertulis sungguh Dialah Allah subhanahu wa ta'ala, ditulis surat itu oleh Nabiyallah Sulaiman diawali denganبِسْمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ " datanglah dengan selamat untuk menyerahkan diri jika kau ingin selamat" kata Ratu Balquis, Nabi Sulaiman diberikan Allah kekuasaan menguasai jin syeitan, manusia dan hewan dengan kekuatan بِسْمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ Berkata Imam Qurtuby," seluruh syariat Islam, agama islam berpadu dengan kalimat بِسْمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ karena Hablumminannas , berbuat baik kepada orang orang yang tidak baik itu adalah salah satu rahasia الرَحْمٰنِ kalau buat Allah ibadah yang wajib , berbuat baik kepada yang baik juga itu dari kalimat الرَحِيْمِ pecahannya, seluruh syariat ini berpadu dalam kalimatr بِسْمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ karena mengandung Dzat Allah dan sifat Allah subhanahu wa ta'aala. , Nabiyallah Dawud ayahnya Nabi Sulaiman punya anak 19, sama dengan jumlah huruf basmalah, tetapi dia tidak mewariskan harta, (namanya Nabi tidak mewariskan harta ) namun Nabiyallah Dawud mendapatkan kemuliaan untuk 19 anaknya berupa anugerah dari Allah, dipadukan oleh Allah kepadda salahsatunya saja yaitu Nabi Sulaiman yang diberikan padanya rahasia kemuliaan بِسْمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ dari 19 huruf itu. ,dan juga dijelaskan di dalam tafsir Ibn Katsir, jumlah tukang sihir Fir'aun yang ditundukkan oleh Nabiallah Musa berjumlah 19.000 orang lagi lagi angka 19 lagi, begitu juga 19 huruf ini adalah jumlah daripada malaikat yang menjaga neraka, dijelaskan oleh Imam Qurtuby Imam Thabrany dan lainnya bahwa neraka itu terdapat padanya 19 pintu, dan setiap pintu ada penjaganya yaitu Malaikat Zabaniyah dan 19. Disebutkan dalam surat Al- Mudatsir عَلَيْهَا تِسعَةَ عَشَرَ dineraka itu ada 19 maksudnya 19 malaikat Zabaniyah yang menjaga dari 19 pintu daripada nerakanya Allah subhanahu wa ta'ala. berkata sayyidina Ali Zainal 'Abidin bin Husein radhiallahu 'anhuma wa ardhohuma ," perbanyaklah kalian untuk membaca Basmalah, agar selamat dari 19 pintu neraka itu, dan 19 malaikat zabaniyah itu!" Demikian juga ucapan sayyidina Ja'far Sodieq bin Muhammad Al- Bagier bin Ali Zainal 'Abidin bin Husein radhiallahu 'anhum ajma'in, berkata sayyidina Ja'far Sodieq," perbanyaklah basmalah karena dengan memperbanyaknya kau akan mendapatkan surga dalam setiap hurufnya dan ketahuilah bahwa 19 malaikat Zabaniyah itu tidak erbuat terkecuali dengan basmalah kita " menyiksa hamba di neraka " bismillah...." lempar kedalam neraka, بِسْمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ lempar, kalau kau sering menyebutnya justru itu kekuatan mereka, kekuatan mereka terdapat di dalam بِسْمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ maka perbanyaklahبِسْمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ yangmana denagn itu engkau akan selamat dari 19 pintu neraka itu! sayyidina Busyro Al-Hady salah seorang ulama besar, ulama salaf sholeh yang masyhur, beliau awal awal sebelum diangkat menjadi Imam besar, ia melihat tulisan بِسْمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ di jalan, kemudian ia mengambilnya dan berkata " Robby, Robby" lalu menciumnya, dan menaruh di dahinya, dan diberikan wewangian kemudian ditaruh di tempat yang tinggi dirumahnya, maka Allah wangikan namanya diantara masyarakatnya dimasa itu , namanya wangi yaitu dicintai oleh banyak orang karena mewangikan nama Allah subhanahu wa ta'ala. Rasul slallahu 'alaihi wa sallam dalam setiap gerak geriknya tidak pernah lepas dari basmalah, duduk basmalah, berdiri basmalah, makan basmalah, minum basmalah, keluar basmalah, masuk basmalah, berbuat ini dan itu semuaبِسْمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ maka perbanyaklah! dan rahasia Al- Qur'anul karim itu keseluruhannya ada padaبِسْمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ yaitu ada pada surat Al-fatehah dan seluruh kemuliaan makna Al-Fatehah adapa pada kalimat بِسْمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ dan dari seluruh makna kalimat itu ada pada kalimat ALLAH

IBLIS PECINTA YANG MERANA


Iblis adalah sosok yang kontroversi dan unik di dalam literatur agama-agama samawi. Dia dibenci oleh sebagian besar ummat manusia dan konon kabarnya Iblis juga dikucilkan Tuhan sampai akhir zaman. Iblis menjadi ikon perlawanan terhadap aturan-aturan Tuhan dan menjadi musuh bagi hamba-hamba Tuhan yang taat kepada-Nya.
Awalnya Iblis adalah sosok yang sangat taat beribadah dan karena begitu mulianya kedudukan Iblis sehingga dia diangkat oleh Allah menjadi komandan seluruh malaikat, sebuah kedudukan yang sangat luar biasa. Nasib sial Iblis muncul ketika Adam diciptakan Allah dan mendapat perhatian dan perlakuan istimewa dari Allah. Hal ini yang membuat Iblis tidak senang sehingga dia berusaha mengambil kembali perhatian Allah yang selama ini tercurahkan untuknya.
Iblis kawatir Adam akan mengambil “kasih” yang selama ini diberikan sepenuhnya oleh Allah kepadanya. Secara sederhana hubungan antara Iblis dengan Adam adalah hubungan senior dan junior yang memperebutkan kasih sayang Tuhan.
Iblis dimurkai Allah karena sikap sombongnya yang tidak mau tunduk kepada perintah Allah untuk sujud kepada Adam. Kalangan ulama memperdebatkan tentang sujud dan penghormatan. Al-Qur’an menulis sebagai sujud dan sebagian ulama (syariat) mengartikan sebagai penghormatan, sementara sebagian lagi (hakikat) memaknai sebagai penyembahan.
Bagaimana mungkin Iblis mau sujud kepada Adam, sebelum Adam diciptakan oleh Tuhan, posisi Iblis sudah menjadi seorang ahli ibadah yang kehebatannya diatas rata-rata semua malaikat. Iblis terjebak dengan pandangan zahiriah (yang nampak) sehingga mata bathinnya tidak mampu melihat sosok yang ada dalam Adam yaitu Allah SWT.
“Maka apabila Aku sempurnakan dia dan Aku tiupkan padanya Ruh-Ku, hendaklah kamu tunduk sujud akan dia” (AL-HIJR: 29) menunjukkan bahwa Allah memerintahkan Iblis sujud kepada Adam bukan sujud kepada jasmaninya, bukan sujud sosok zahirnya akan tetapi sujud kepada “ruh-Ku”, sujud kepada nur Allah yang telah bertajali di dalam diri Adam.
Bagaimana mungkin Tuhan mau memberikan perintah yang sia-sia kepada malaikatnya untuk sujud kepada sosok zahir Adam kecuali memang dalam diri Adam telah ada unsur dari diri-Nya sendiri yaitu berupa Wasilah yang menjadi penyambung hubungan antara manusia dengan Allah.
Allah telah melihat bahwa Adam lah yang akan menjadi Khalifah (pengganti) Allah dimuka bumi dan dari keturunan Adam juga kelak yang akan meneruskan tongkat estafet kekhalifahan Allah di muka bumi ini.
Peristiwa pembangkangan Iblis terhadap Allah ini akan sangat mudah kita pahami kalau kita telah menjalani kehidupan berguru kepada Wali Allah. Setiap Guru sebelum Beliau wafat atas petunjuk dari Allah akan memberikan petunjuk siapa kelak yang akan meneruskan estafet kemursyidan dan kepada sosok itulah Guru memberikan seluruh ilmunya dan menumpahkan semua Nur Allah yang selama ini tersimpan dalam dadanya sebagai warisan dari Rasulullah SAW.
Maka kisah Iblis dan Adam akan kembali lagi terulang dalam versi yang berbeda. Iblis dengan segala kehebatan merasa bahwa dirinyalah yang paling berhak menjadi khalifah membawa seluruh nama dan kebesaran Allah. Iblis yang bermanifestasi kepada sosok murid yang merasa paling sakti dan hebat kemudian menyatakan dirinya sebagai pengganti Guru dan menolak keputusan yang dibuat Guru atas petunjuk Allah.
Iblis yang dipecat sebagai komandan malaikat tentu saja yang hilang hanya jabatan dan kedudukan sedangkan ilmu-ilmu yang didapat sebagai komandan malaikat masih dimiliki. Ibarat seorang jenderal yang dipecat oleh Raja atau Presiden, yang hilang hanyalah pangkat dan kedudukannya, sedangkan seluruh ilmu militer dan ilmu jendral akan tetap melekat bersama dirinya. Melihat potensi Iblis yang bisa membahayakan kekhalifahan Allah maka Allah mengumumkan kepada seluruh malaikat bahwa Iblis telah dipecat dan diberhentikan secara tidak hormat dan diperintahkan kepada seluruh malaikat untuk tidak lagi mengikuti instruksi Iblis. Warning itu juga diberikan kepada Adam dan diperintahkan Adam untuk menyampaikan pesan penting ini kepada anak cucunya agar tidak mengikuti langkah-langkah Iblis yang telah dimurkai Allah.
Walaupun demikian, posisi sebenarnya Iblis disisi Allah tidak ada yang mengetahui kecuali Allah. Apakah Allah membenci Iblis? Tentu saja tidak, karena Allah terbebas dari sifat-sifat tercela. Apakah Iblis musuh Allah? Tentu saja tidak, bagaimana mungkin Sang Maha Raja Dunia Akhirat, pemilik seluruh alam bisa memiliki musuh. Iblis adalah sosok yang pernah dicintai Allah, pernah menjadi kekasih yang sangat dikasihi oleh Allah dan tentu saja yang membuat Iblis mau menderita, dihina sepanjang masa dan mau kekal di neraka karena dia memang sangat mencintai Allah melebihi kecintaan malaikat terhadap Allah.
Iblis adalah sosok Pecinta Merana yang harus menanggung akibat atas kesalahannya kepada Sang Kekasih dan konon kabarnya Allah hanya memiliki Kekasih dan tidak memiliki mantan kekasih, sekali Allah menumpahkan kasih sayang maka itu akan abadi sepanjang masa.
Untuk menjadi pedoman kepada seluruh manusia, Allah telah membuat dua jalan untuk bisa sampai kepada-Nya, via Adam atau via Iblis. Karena kita diberikan pilihan maka sebagai keturunan Adam kita akan memilih mendekatkan diri kepada Allah via Adam, melalui para Rasul dan Wali. Kita tentu saja tidak memilih jalan kepada Allah via Iblis karena disamping itu bukan jalan yang “alamiah” buat kita, juga sangat mengandung resiko tinggi.

32 Cara Berbakti kepada Orangtua


Oleh: Asy Syaikh Muhammad Jamil Zainu
1. Berbicaralah kamu kepada kedua orang tuamu dengan adab dan janganlah mengucapkan “Ah” kepada mereka, jangan hardik mereka, berucaplah kepada mereka dengan ucapan yang mulia.
2. Selalu taati mereka berdua di dalam perkara selain maksiat, dan tidak ada ketaatan kepada makhluk di dalam bermaksiat kepada sang Khalik.
3. Lemah lembutlah kepada kedua orangtuamu, janganlah bermuka masam serta memandang mereka dengan pandangan yang sinis.
4. Jagalah nama baik, kemuliaan, serta harta mereka. Janganlah engkau mengambil sesuatu tanpa seizin mereka.
5. Kerjakanlah perkara-perkara yang dapat meringankan beban mereka meskipun tanpa diperintah. Seperti melayani mereka, belanja ke warung, dan pekerjaan rumah lainnya, serta bersungguh-sungguhlah dalam menuntut ilmu.
6. Bermusyawarahlah dengan mereka berdua dalam seluruh kegiatanmu. Dan berikanlah alasan jika engkau terpaksa menyelisihi pendapat mereka.
7. Penuhi panggilan mereka dengan segera dan disertai wajah yang berseri dan menjawab, “Ya ibu, ya ayah”. Janganlah memanggil dengan, “Ya papa, ya mama”, karena itu panggilan orang asing (orang-orang barat maksudnya –pent.).
8. Muliakan teman serta kerabat mereka ketika kedua orang tuamu masih hidup, begitu pula setelah mereka telah wafat.
9. Janganlah engkau bantah dan engkau salahkan mereka berdua. Santun dan beradablah ketika menjelaskan yang benar kepada mereka.
10. Janganlah berbuat kasar kepada mereka berdua, jangan pula engkau angkat suaramu kepada mereka. Diamlah ketika mereka sedang berbicara, beradablah ketika bersama mereka. Janganlah engkau berteriak kepada salah seorang saudaramu sebagai bentuk penghormatan kepada mereka berdua.
11. Bersegeralah menemui keduanya jika mereka mengunjungimu, dan ciumlah kepala mereka.
12. Bantulah ibumu di rumah. Dan jangan pula engkau menunda membantu pekerjaan ibumu.
13. Janganlah engkau pergi jika mereka berdua tidak mengizinkan meskipun itu untuk perkara yang penting. Apabila kondisinya darurat maka berikanlah alasan ini kepada mereka dan janganlah putus komunikasi dengan mereka.
14. Janganlah masuk menemui mereka tanpa izin terlebih dahulu, apalagi di waktu tidur dan istirahat mereka.
15. Jika engkau kecanduan merokok, maka janganlah merokok di hadapan mereka.
16. Jangan makan dulu sebelum mereka makan, muliakanlah mereka dalam (menyajikan) makanan dan minuman.
17. Janganlah engkau berdusta kepada mereka dan jangan mencela mereka jika mereka mengerjakan perbuatan yang tidak engkau sukai.
18. Jangan engkau utamakan istri dan anakmu di atas mereka. Mintalah keridhaan mereka berdua sebelum melakukan sesuatu karena ridha Allah tergantung ridha orang tua. Begitu juga kemurkaan Allah tergantung kemurkaan mereka berdua.
19. Jangan engkau duduk di tempat yang lebih tinggi dari mereka. Jangan engkau julurkan kakimu di hadapan mereka karena sombong.
20. Jangan engkau menyombongkan kedudukanmu di hadapan bapakmu meskipun engkau seorang pejabat besar. Hati-hati, jangan sampai engkau mengingkari kebaikan-kebaikan mereka berdua atau menyakiti mereka walaupun dengan hanya satu kalimat.
21. Jangan pelit dalam memberikan nafkah kepada kedua orang tua sampai mereka mengeluh. Ini merupakan aib bagimu. Engkau juga akan melihat ini terjadi pada anakmu. Sebagaimana engkau memperlakukan orang tuamu, begitu pula engkau akan diperlakukan sebagai orang tua.
22. Banyaklah berkunjung kepada kedua orang tua, dan persembahkan hadiah bagi mereka. Berterimakasihlah atas perawatan mereka serta atas kesulitan yang mereka hadapi. Hendaknya engkau mengambil pelajaran dari kesulitanmu serta deritamu ketika mendidik anak-anakmu.
23. Orang yang paling berhak untuk dimuliakan adalah ibumu, kemudian bapakmu. Dan ketahuilah bahwa surga itu di telapak kaki ibu-ibu kalian.
24. Berhati-hati dari durhaka kepada kedua orang tua serta dari kemurkaan mereka. Engkau akan celaka dunia akhirat. Anak-anakmu nanti akan memperlakukanmu sama seperti engkau memperlakukan kedua orangtuamu.
25. Jika engkau meminta sesuatu kepada kedua orang tuamu, mintalah dengan lembut dan berterima kasihlah jika mereka memberikannya. Dan maafkanlah mereka jika mereka tidak memberimu. Janganlah banyak meminta kepada mereka karena hal itu akan memberatkan mereka berdua.
26. Jika engkau mampu mencukupi rezeki mereka maka cukupilah, dan bahagiakanlah kedua orangtuamu.
27. Sesungguhnya orang tuamu punya hak atas dirimu. Begitu pula pasanganmu (suami/istri) memiliki hak atas dirimu. Maka penuhilah haknya masing-masing. Berusahalah untuk menyatukan hak tersebut apabila saling berbenturan. Berikanlah hadiah bagi tiap-tiap pihak secara diam-diam.
28. Jika kedua orang tuamu bermusuhan dengan istrimu maka jadilah engkau sebagai penengah. Dan pahamkan kepada istrimu bahwa engkau berada di pihaknya jika dia benar, namun engkau terpaksa melakukannya karena menginginkan ridha kedua orang tuamu.
29. Jika engkau berselisih dengan kedua orang tuamu di dalam masalah pernikahan atau perceraian, maka hendaknya kalian berhukum kepada syari’at karena syari’atlah sebaik-baiknya pertolongan bagi kalian.
30. Doa kedua orang itu mustajab baik dalam kebaikan maupun doa kejelekan. Maka berhati-hatilah dari doa kejelekan mereka atas dirimu.
31. Beradablah yang baik kepada orang-orang. Siapa yang mencela orang lain maka orang tersebut akan kembali mencelanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Termasuk dosa besar adalah seseorang mencela kedua orang tuanya dengan cara dia mencela bapaknya orang lain, maka orang tersebut balas mencela bapaknya. Dia mencela ibu seseorang, maka orang tersebut balas mencela ibunya.” (Muttafaqun ‘alaihi).
32. Kunjungilah mereka disaat mereka hidup dan ziarahilah ketika mereka telah wafat. Bershadaqahlah atas nama mereka dan banyaklah berdoa bagi mereka berdua dengan mengucapkan,
“Wahai Rabb-ku ampunilah aku dan kedua orang tuaku. Waha Rabb-ku, rahmatilah mereka berdua sebagaimana mereka telah merawatku ketika kecil”. (*)

SEBUAH TELADAN


Ini adalah sebuah kisah tentang kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib dalam Khulafaurrasyidin yang sangat patut kita teladani.
Tidak ada khalifah yang paling mencintai ukhuwwah, ketika orang berusaha menghancurkannya, seperti Ali ibn Abi Thalib. Baru saja dia memegang tampuk pemerintahan, beberapa orang tokoh sahabat melakukan pemberontakan. Dua orang di antara pemimpin Muhajirin meminta izin untuk melakukan umrah. Ternyata mereka kemudian bergabung dengan pasukan pembangkang. Walaupun menurut hukum Islam pembangkang harus diperangi, Ali memilih pendekatan persuasif. Dia mengirim beberapa orang utusan untuk menyadarkan mereka. Beberapa pucuk surat dikirimkan. Namun, seluruh upaya ini gagal. Jumlah pasukan pemberontak semakin membengkak. Mereka bergerak menuju Basra.
Dengan hati yang berat, Ali menghimpun pasukan. Ketika dia sampai di perbatasan Basra, di satu tempat yang bernama Alzawiyah, dia turun dari kuda. Dia melakukan shalat empat rakaat. Usai shalat, dia merebahkan pipinya ke atas tanah dan air matanya mengalir membasahi tanah di bawahnya. Kemudian dia mengangkat tangan dan berdo’a: “Ya Allah, yang memelihara langit dan apa-apa yang dinaunginya, yang memelihara bumi dan apa-apa yang ditumbuhkannya. Wahai Tuhan pemilik ‘arasy nan agung. Inilah Basra. Aku mohon kepada-Mu kebaikan kota ini. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya. Ya Allah, masukkanlah aku ke tempat masuk yang baik, karena Engkaulah sebaik-baiknya yang menempatkan orang. Ya Allah, mereka telah membangkang aku, menentang aku dan memutuskan bay’ah-ku. Ya Allah, peliharalah darah kaum Muslim.”
Ketika kedua pasukan sudah mendekat, untuk terakhir kalinya Ali mengirim Abdullah ibn Abbas menemui pemimpin pasukan pembangkang, mengajak bersatu kembali dan tidak menumpahkan darah. Ketika usaha ini pun gagal, Ali berbicara di hadapan sahabat-sahabatnya, sambil mengangkat Al-Qur’an di tangan kanannya: “Siapa di antara kalian yang mau membawa mushaf ini ke tengah-tengah musuh. Sampaikanlah pesan perdamaian atas nama Al-Qur’an. Jika tangannya terpotong peganglah Al-Qur’an ini dengan tangan yang lain; jika tangan itu pun terpotong, gigitlah dengan gigi-giginya sampai dia terbunuh.”
Seorang pemuda Kufah bangkit menawarkan dirinya. Karena melihat usianya terlalu muda, mula-mula Ali tidak menghiraukannya. Lalu dia menawarkannya kepada sahabat-sahabatnya yang lain. Namun, tak seorang pun menjawab. Akhirnya Ali menyerahkan Al-Qur’an kepada anak muda itu, “Bawalah Al-Qur’an ini ke tengah-tengah mereka. Katakan: Al-Qur’an berada di tengah-tengah kita. Demi Allah, janganlah kalian menumpahkan darah kami dan darah kalian.”
Tanpa rasa gentar dan penuh dengan keberanian, pemuda itu berdiri di depan pasukan Aisyah. Dia mengangkat Al-Qur’an dengan kedua tangannya, mengajak mereka untuk memelihara ukhuwwah. Teriakannya tidak didengar. Dia disambut dengan tebasan pedang. Tangan kanannya terputus. Dia mengambil mushaf dengan tangan kirinya, sambil tidak henti-hentinya menyerukan pesan perdamaian. Untuk kedua kalinya tangannya ditebas. Dia mengambil Al-Quran dengan gigi-giginya, sementara tubuhnya sudah bersimbah darah. Sorot matanya masih menyerukan perdamaian dan mengajak mereka untuk memelihara darah kaum Muslim. Akhirnya orang pun menebas lehernya.
Pejuang perdamaian ini rubuh. Orang-orang membawanya ke hadapan Ali ibn Abi Thalib. Ali mengucapkan do’a untuknya, sementara air matanya deras membasahi wajahnya. “Sampai juga saatnya kita harus memerangi mereka. Tetapi aku nasihatkan kepada kalian, janganlah kalian memulai menyerang mereka. Jika kalian berhasil mengalahkan mereka, janganlah mengganggu orang yang terluka, dan janganlah mengejar orang yang lari. Jangan membuka aurat mereka. Jangan merusak tubuh orang yang terbunuh. Bila kalian mencapai perkampungan mereka janganlah membuka yang tertutup, jangan memasuki rumah tanpa izin, janganlah mengambil harta mereka sedikit pun. Jangan menyakiti perempuan walaupun mereka mencemoohkan kamu. Jangan mengecam pemimpin mereka dan orang-orang saleh di antara mereka.”
Sejarah kemudian mencatat kemenangan di pihak Ali. Seperti yang dipesankannya, pasukan Ali berusaha menyembuhkan luka ukhuwwah yang sudah retak. Ali sendiri memberikan ampunan massal. Sejarah juga mencatat bahwa tidak lama setelah kemenangan ini, pembangkang-pembangkang yang lain muncul. Mu’awiyah mengerahkan pasukan untuk memerangi Ali. Ketika mereka terdesak dan kekalahan sudah di ambang pintu, mereka mengangkat Al-Qur’an, memohon perdamaian. Ali, yang sangat mencintai ukhuwwah, menghentikan peperangan. Seperti kita ketahui bersama, Ali dikhianati. Karena kecewa, segolongan dari pengikut Ali memisahkan diri. Golongan ini, kelak terkenal sebagai Khawarij, berubah menjadi penentang Ali. Seperti biasa, Ali mengirimkan utusan untuk mengajak mereka berdamai. Seperti biasa pula, upaya tersebut gagal.

Yang Orang Gelar TABLIGH


Sila baca jika anda sahabat saya...
Orang Tabligh,
Ajak keluar khuruj, bukannya nanti tak pulang,
Yang baru dapat gaji pun kata takde duit, nak bayar hutang,
Yang tadi sihat pun tiba2 migrain pulak datang,
Yang menganggur pun buat2 sibuk bukan kepalang,
Heh, dakwah ni kalau setakat cakap je memang la senang,
Cuba buat, memang nak kena sabar, nak kena tenang,
Lain la kalau ajak pada dunia, berbondong2 orang datang.
Orang Tabligh,
Lorong ke lorong, hati ke hati, pintu ke pintu,
Jumpe semua orang tak pilih bulu,
Dari ustaz sampai ke kutu,
Semua nak ditemu,
Nak diajak pada Allah yang Satu.
Orang Tabligh,
Jalan bawak periuk belanga,
Dipandang orang dengan sebelah mata,
Dituduh jahil, tinggal dunia perkara biasa,
Walaupun kekadang pedih jugak telinga, Nabi dulu2 pun kan selalu kena,
Dituduh dusta, dipanggil gila,
Itu Nabi, apatah lagi kita,
Yang banyak salah, yang banyak dosa,
La tahzan, Allah kan ada,
Yang Maha Mengetahui, yang mana intan, yang mana kaca.
Orang Tabligh,
Kekadang buat silap...adat la manusia,
Memang tengah nak belajar2 tiru sahabat(r. anhum) yg dah terbukti berjaya,
Terpancung, terlaser..sori, bukannya sengaja,
Nak dapat hikmah dalam berdakwah memang ambik masa,
Kena keluar lagi dan lagi la nampaknya.
Orang Tabligh,
Ada kat mana2,
Kat US, Afrika, kat Israel pun ada,
Dari petani, engineer, sampai la Raja,
Pelbagai adat, perangai berbeza,
Tapi boleh makan sedulang yang sama,
Bila keluar jemaah semua dilayan serupa,
Bila nak berpisah..isk2..terkeluar air mata.
Orang Tabligh,
Nak hidupkan sunnah Nabi,
Janggut, jubah, seluar atas buku lali,
Kalau nak diikutkan, memang ader banyak lagi,
Kekadang tu kena gak perli,
"Kita sekarang kan di zaman IT"
"Tak main la sunnah2 nih!"
Jangan la macam tu bang, kita kan nanti mati,
Kang menyesal esok, siapa yg rugi?
Kan diri sendiri..
Orang Tabligh,
Manusia biasa, ada hati,
Sedih bila diperli, sakit bila dimaki,
Bila tinggalkan rumah, rindukan famili,
Kalau nak ikutkan hati, memang nak dok rumah, bergurau dgn bini,
Or ajak anak main lari2,
Or layan PS2 sampai pagi,
Tapi untuk mengejar kebahagiaan abadi,
Kena korban lagi dan lagi,
Yelah.. hidup ni kan cuma sekali,
Kalau sekarang tak buat persediaan, bila lagi?
Orang Tabligh,
Malam2 doa hidayat,
Fikir risau, camne nak selamatkan umat,
Supaya di akhirat esok semua selamat,
Orang sekarang ingat hidayat boleh senang2 dapat,
Tak perlu susah2, tak perlu keringat,
Dan tak mau pulak jumpe masyarakat,
Just busy buat ibadat,
Kalau camtu takde la kita ni "The Best Ummat".
Orang Tabligh,
"Apasal la ulama India yg jadi ikutan??"
Mmmm...kan Nabi dulu dah pesan,
Sape saja yg bawak kebenaran,
Tak kisah la orang Arab ke bukan,
Semua kena bagi sokongan,
Yang Allah pandang bukan luaran tapi Iman,
Bab mazhab jangan bimbang still sendiri punye pegangan,
So tak jadik masalah la kan?
Orang Tabligh,
Ajak keluar 3 hari,
"I can't go..sorry!"
Yang dah kawin tak nak berenggang dengan isteri,
Yang si isteri mati2 tak nak suami dia pergi,
Berderai2 air mata keluar macam air pili,
"Kalau abang nak gi jugak, antar saya balik kampung esok pagi!!"
Heh, orang laki memang lemah bab air mata nih,
Si suami pun letak balik beg, tak jadi pergi,
Yang tadi josh (bersemangat) tak ingat pun, jadik lemah seluruh sendi,
Kes2 camni memang banyak terjadi,
Boleh tengok dengan mata kepala sendiri,
Tapi kalau bab dunia (cth:kursus naik pangkat),"no prob.,anytime kami ready!"
Si isteri lambai pemergian suami dengan wajah berseri2,
Hey, of course la, nanti husband I dapat naik gaji,
Wife mana la yang tak happy,
Heh..ni la realiti,
Bab dunia, tak payah diajak pun semua pakat2 reti,
Bab akhirat, masing2 buat tak kesah,tak amik peduli,
Ya Allah selamatkan lah kami!
Orang Tabligh,
Bukan nak takhta, harta, ataupun kuasa,
Atau nak berlagak macam dah tera,
Tak jugak nak kafirkan sape2,
Atau sibuk2 pergi mintak derma,
Cuma nak amalkan agama yang sempurna,
Dengan korbankan sendiri punya diri, duit dan masa,
Nak selamatkan manusia kesemuanya,
Dari kena masuk neraka,
Nak supaya Allah redha,masukkan kita dlm syurgaNya,
Itu saja.....
Olahan dari sumber yg tak diketahui.

Golongan_Sufi‬..

Bismillaah...

Allah telh menjadikan golongan ini
sebagai barisan kekasih-kekasih-Nya.
Dan
Dia(Allah) telah mengutamakan mereka di atas
seluruh hamba-hamba-Nya, setelah pra
Rasul dan Nabi-Nya.
Semoga Shalawat dan
salam senantiasa tercurah kepada mereka(aamiin 99x)

Allah menjadikan hati mereka sebagai
sumber rahasia-Nya, dan memberikan
keistimewaan di antara para ummat melalui
kecemerlangan cahaya-Nya.
Mereka adalah para penolong bagi
makhluk.

Mereka memerankan tingkah
lakunya bersama dan dengan Al-Haq. Allah
menjaga mereka di tempat-tempat
musyahadah , ketika ditempatkan hakikat-
hakikat Ahadiyah-Nya pada mereka.
Allah
menolong mereka dalam menegakkan adab
ubudiyah , dan Allah menempatkan secara
nyata kepada mereka jalan-jalan hukum
rububiyah .
Lalu mereka menegakkan sesuai
dengan kewajiban dan tugas, dan mereka
mewujudkan apa yang telah dianugerahkan
Allah swt. melalui kreasi dengan segala
kejujuran fakir dan sifat leburnya jiwa.

Mereka sama sekali tidak mengandalkan
apa yang telah dihasilkan itu, sebagai buah
amalnya. Atau kejernihan ilmu yang lahir
dari tingkah laku, sebagai ilmu mereka.

Segalanya dari Keagungan dan Keluhuran
Allah swt. Yang berbuat sesuai dengan
kehendak-Nya, memilih siapa yang
diinginkan-Nya, di antara para hamba. Dia
tidak dihukumi oleh makhluk. Pahal-Nya
merupakan awal dari fadhal, dan siksa-Nya
merupakan hukum keadilan, sedangkan
amar -Nya meruppakan qadha’ .

Awal mula "‪‎Simbol_Tashawuf‬"


ummat Islam setelah
periode Rasulullah saw. tidak memiliki suatu
nama tertentu pada masa mereka, kecuali
sebagai sahabat Rasulullah saw.
Sebab,
tidak ada lagi yang mengungguli keutamaan
mereka, lalu mereka disebut sebagai
“Sahabat”.

Pada periode ke dua, mereka yang
berguru kepada para sahabat itu disebut
sebagai “Tabi’in”, sebagai suatu nama yang
sangat mulia.
Lantas para generasi setelah
Tabi’in, dinamakan “Atbaa’u Tabi’in”.

Kemudian ummat Islam menjadi
sangat beragam, dan derajat status
keagamaan mereka pun semakin jelas. Bagi
kalangan khusus yang memiliki kepedulian
luar biasa dalam masalah keagamaan,
disebut sebagai ahli zuhud (zuhhaad) dan
ahli ibadat (‘ubbaad).

Di samping itu, muncul bid’ah yang
melahirkan berbagai perpecahan. Masing-
masing kelompok mengklaim di dalam
kelompoknya ada tokoh zuhud.

Sedangkan
kalangan khusus dari ahli Sunnah, yang
senantiasa menjaga diri bersama Allah swt,
dan menjaga hatinya dari jalan-jalan
kealpaan, menamakan simbolnya dengan
nama “Tasawuf”.

PRINSIP-PRINSIP TAUHID DALAM PANDANGAN KAUM SUFI

PRINSIP-PRINSIP TAUHID DALAM
PANDANGAN KAUM SUFI

Ketahuilah, para syeikh dari kaum Sufi
telah membangun kaidah-kaidah mereka di
atas prinsip tauhid yang shalih.

Mereka telah
membuat kaidah ini jauh dari bid’ah,
relevan dengan ajaran tauhid yang telah
diwariskan oleh generasi Salaf dan Ahi
Sunnah.
Tak ada rekayasa atau
penyimpangan di dalamnya.

Mereka
mengetahui yang menjadi Hak Allah, dan
mereka telah membuktikan hal-hal yang
menjadi predikat Wujud, dari segala yang
tiada.

Karena itu al-Junayd r.a. berkata : “Tauhid adalah
menunggalkan Yang Maha Dahulu (qadim)
dari yang datang kemudian (huduts).

Para Syeikh itu membangun aturan
dasar tauhid dengan argumentasi yang jelas
dan bukti yang layak.

Sebagaimana
dikatakan Ahmad bin Muhammad al-Jurairy
r.a. “ Siapa yang berpijak pada ilmu tauhid
yang tidak didasari oleh pembuktian dari
bukti argumentasinya, akan disirnakan oleh
bujuk yang mendahului dalam hasrat
kebinasaan .” Maksud Syeikh ini, barang
siapa bertaklid dan tidak merenungkan dalil-
dalil/bukti tauhid, ia gugur dari tradisi yang
menyelamatkannya. Ia akan terjerumus
dalam jurang kehancuran.

Sementara orang
yang mau merenungkan tulisan dan
keunggulan kalimat-kalimat mereka; ia akan
menemukan kumpulan ucapan dan
rinciannya yang memberikan kekuatan
kontemplatif; bahwa sanya kalangan mana
pun tidak bisa membatasi diri lewat angan
–angan dalam pembuktian, dan tidak
memasuki tahapan pencarian secara
menyimpang.

“Di antara kebijaksanaan orang yang bijak

“Di antara
kebijaksanaan orang yang bijak, hendaknya
ia memberi keluasan hukum kepada
temannya, sedang untuk dirinya memilih
hukum yang sempit. Sebab, keleluasaan
bagi mereka sebagai bentuk penyertaan
ilmu. Sedangkan penyempitan untuk dirinya
sebagai aturan wara’.

Abdullah bin Khafif berkata : “Aku
pernah meminta kepada Ruwaym, ‘Berilah
aku wasiat’ Ia menjawab, ‘Perkara tasawuf
tiada lain kecuali mencurahkan jiwa. Bila
anda berkenan, maka Anda masuk dengan
semangat tersebut. Bila tidak, Anda jangan
menyibukkan dengan lorong-lorong kaum
sufi.”

“ Engkau duduk besama manusia
pada umumnya, lebih selamat daripada
duduk bersama kaum Sufi. Khalayak
manusia duduk di atas aturan-aturan,
sedangkan kelompok Sufi duduk di atas
hakikat.

Tuntutan orang orang adalah
menerapkan praktik lahiriah syariat,
sedangkan mereka menuntut dirinya dengan
hakikat wara’ dan pelestarian kejujuran hati.
Barangsiapa duduk dengan mereka, lantas
kontra dengan mereka dalam suatu
persoalan hakikat, Allah swt, akan mencabut
cahaya iman dari hatinya .”

“Aku pernah melintasi salah satu
jalan di Baghdad pada terik siang hari,
sedang aku sangat haus. Aku berusaha
mencari minuman di suatu rumah. Seorang
bocah wanita membukakan pintunya
sembari membawa cangkir. Ketika ia
memandangku, bocah itu berkata. “seorang
sufi minum di siang hari”...’ Maka, sejak
saat itu aku tidak pernah berbuka (putus
puasa)”.

“Apabila Allah swt, menganungerakan
rezeki kepada Anda dengan ucapan dan
perbuatan, Allah swt, akan menghilangkan
ucapan, dan melestarikan perbuatan. Sebab
yang demikian merupaka nikmat.

Namun,
apabila Allah swt. melestarikan ucapan dan
menghilangkan perbuatan, itulah musibah.
Apabila kedua-duanya dihilangkan, itulah
penderitaan.

HATIM AL-ASHAM

Abu Abdurrahman – Hatim bin Alwan,
populer dengan panggilan al-Asham (wafat
237 H/851 M.)
, termasuk salah seorang
tokoh besar di Khurasan. Ia murid dari
Syaqiq dan guru dari Ahmad bin
Khadhrawaih.

Dikisahkan, bahwa
sebenarnya ia bukanlah orang yang tuli
(asham) tetapi karena sering berpura-pura
tuli, ia populer dengan panggilan si tuli.

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq –
rahimahullah ta’ala – berkata : “Ada wanita
yang datang kepada Hatim, untuk suatu
masalah yang harus diselesaikan. Tiba-tiba
muncul suara (semacam kentut) ketika itu.
Wanita itu tampak berubah roman mukanya,
karena malu. Hatim lantas berkata : “Tolong
keraskan suaramu!’ Hatim menampakkan
seakan-akan dirinya tuli. Melihat ketulian
Hatim, wanita itu berubah menjadi amat
gembira. Lantas wanita itu bilang,
“Sungguh, Hatim itu tidak dapat
mendengarkan suara.” Sejak saat itu ia
dikenal dengan sebutan al-Asham (si Tuli).”

Di antara ucapannya : “Tiada pagi,
tanpa ucapan setan yang muncul, ‘Anda
mau makan apa?
Mau memakai pakaian
mana?
Mau ke mana hari ini?
Lantas ku
katakan pada setan, “Aku akan makan
kematian dan memakai kafan, serta aku akan
menghuni kuburan.”

Ia pernah ditanya, “Apa yang paling
Anda senangi?” Ia menjawab “Aku senang
menjadi orang yang diampuni sejak siang
hari sampai malam hari.” Ditanya lagi,
“Bukankah hari-hari penuh ampunan?” Ia
menjawab, ‘Ampunan hari ini adalah bahwa
diriku, pada hari ini, tidak maksiat kepada
Allah swt.”

Ia mengisahkan, “Dalam suatu
pertempuran, aku tertangkap oleh tentara
Turki. Lantas aku ditelentangkan hendak
dipenggal. Dalam keadaan seperti itu, hatiku
sama sekali tidak berubah, bahkan aku
menunggu apa hukuman Allah swt, yang
akan dijatuhkan kepadaku. Di saat tentara
musuh itu mencabut pedang dari sarungnya,
tiba-tiba ada anak panah yang menghujam
tubuhnya, hingga ia terbunuh dan terlempar
dariku dengan sendirinya. Lantas aku
bangkit dari tempat pembaringanku.”

Ucapan yang lain, “Siapa yang
memasuki mazhab kami (Tasawuf),
hendaknya empat perkara kematian ini ada
dalam dirinya :
1) Mati putih, yaitu
berlapar-lapar;

2) Mati hitam, yaitu
menanggung beban penderitaan orang lain;

3) Mati meraha, yaitu beramal secara ikhlas
dalam menetang hawa nafsu; dan

4) mati
hijau, yaitu membuang ketololan satu demi
satu

“Para sufi adalah orang yg Tulus

“Para sufi
dikatakan demikian hanya karena kemurnian
(shafa) hati dan kebersihan tindakan mereka
(atsar).”
Bisyr ibn al-Harits mengatakan “ Sufi
adalah orang yang hatinya tulus (shafa) terhadap
Tuhan.”
Yang lain mengatakan : “ Sufi adalah
orang yang tulus terhadap Tuhan dan mendapat
rahmat tulus dari Tuhan.” Sebagian mereka
telah mengatakan : “Mereka dinamakan sebagai
para sufi karena berada pada baris pertama
(shaff) di depan Tuhan, karena besarnya
keinginan mereka kpda Dia(Allaah) kecenderungan hati
mereka terhadap-Nya dan tingginya bagian-
bagian rahasia dalam diri mereka di hadapan-
Nya.”
Yang lain telah mengatakan : “mereka
dinamakan Sufi karena sifat-sifat mereka
menyamai sifat orang-orang yang tinggal di
serambi masjid (shufffah), yang hidup pada
masa Nabi saw.” Yang lain-lain lagi telah
mengatakan : “Mereka dinamakan Sufi hanya
karena kebiasaan mereka mengenakan baju
bulu domba (shuf).”
Orang-orang yang menisbahkan orang-orang
Sufi dengan orang-orang yang tinggal di serambi
masjid dan dengan bulu domba, manampakkan
aspek lahiriah keadaan meraka; sebab meraka
adalah orang-orang yang telah meninggalkan
dunia ini, pergi dari rumah-rumah mereka, dan
dari sahabat-sahabat mereka. Mereka berkelana
ke sluruh negeri, menganggap tabu hasrat-
hasrat jasmani dan menelanjangi tubuh mereka;
mereka mengambil benda-benda dunia hanya
asal cukup untuk menutupi ketelanjangan
mereka dan menghilangkan kelaparan.
Karena
kepergian mereka dari rumah, mereka
dinamakan “orang-orang asing”. Karena
banyaknya pengembaraan yang mereka lakukan,
mereka dinamakan “Pengembara”; karena
perjalanan mereka di padang-padang pasir dan
pengungsian mereka di gua-gua pada waktu
terdesak, orang-orang tertentu di negeri itu
(diyar) menamai mereka Syikaftis, sebab kata
syikaft dalam bahasa mereka berarti “Gua” atau
gua besar.” Orang-orang syria menamai
mereka : “Orang-orang yang lapar”, sebab
mereka hanya makan asal cukup untuk
mempertahankan kekuatan mereka pada waktu
terdesak.
maka Nabi saw. mengatakan :
“Cukuplah bagi putra-putra Adam biji-bijian
yang bisa menjaga kekuatan mereka.” Sarri as
Saqathi melukiskan mereka begini : Makanan
mereka adalah makanan orang sakit, tidur
mereka adalah tidur orang yang tenggelam,
pembicaraan mereka adalah pembicaraan orang
bodoh.”
Karena mereka tidak memiliki apa-apa,
maka mereka dinakamakan “Pengemis”. Salah
seorang dari mereka ditanya “Siapakah Sufi
itu?” Dia menyahut : “Orang yang tidak memiliki,
tak pula dimiliki.” Dengan sahutan itu
dimaksudkan bahwa dia bukan budak nafsu.
Yang lain mengatakan : “Sufi adalah orang yang
tidak memiliki apa-apa, atau kalau dia memiliki,
dihabiskannya.” Dikarenakan baju dan cara
mereka memakainya, maka mereka dinamai
orang-orang Aufi; sebab, mereka tidak
mengenekanakn pakaian yang lembut atau
indah, demi menyenangkan jiwa; mereka
berpakaian hanya untuk menyembunyikan
ketelanjangan mereka, memuaskan diri mereka
sendiri dengan kain dan bulu domba yang
kasar.
Nah, semua ini merupakan kenyataan keadaan
hidup oarng-orang yang tinggal di serambi
masjid di masa Nabi saw. sebab mereka semua
adalah orang-orang asing, melarat, terbuang,
teusir dari tempat tinggal dan harta milik
mereka. Abu Hurairah dan Fudhalan ibn ‘Ubadi
melukiskan mereka sebagai berikut : “Mereka
hampir mati kelaparan, sehingga orang-orang
Badui menganggap mereka gila.” Pakaian
mereka dari bulu domba, sehingga bila mereka
berkeringat, bau mereka seperti bau domba
kehujanan. Begitulah sesungguhnya mereka
dilukiskan orang. Uyainah ibn Hisn berkata
kepada Nabi saw. : “bau orang-orang ini
menyusahkan saya.” Tidakkah itu menyusahkan
Anda juga?” Bulu domba addalah juga pakaian
para Nabi dan Wali. Abu Musa al-Asy’ari
menceritakan kisah berikut dari Nabi : “Di dekat
karang di Rawha, tujuhpuluh orang Nabi
bertelanjang kaki, berpakaian “aba” (baju dari
kulit domba) kembali dari Rumah Lama (Ka’bah)
. Al-Hasan a-Bashri mengatakan : “Isa .s. biasa
mengenakan kain, makan buah dari pepohonan
dan melewatkan malam di mana saja beliau
kebetulan berada.” Abu Musa al-Asy’ari
mengatakan : “Nabi saw. biasa mengenakan
bulu domba, mengendarai keledai dan
menerima undangan orang-orang jelata (untuk
makan bersama mereka).” Hasan al-Bashri
mengatakan : “Saya mengenal tujuh puluh orang
yang ikut bertempur di Badr, yang bajunya dari
bulu domba.”
Nah, karena kelompok ini memiliki sifat-sifat yag
sama dengan orang-orang yag tinggal di
serambi masjid, seperti yang telah kami lukiskan
dan berpakaian seperti mereka, maka mereka
dinamakan “Shuffiyah-shuffiyah.”. Orang-orang
yag menghubungkan mereka dengan serambi
masjid dan “Barisan Pertama” menceritakan
hati dan batin mereka sebagai berikut : “Sebab
kalau orang-orang meninggalkan dunia ini dan
kemudian menjauhi minuman keras dan
menyisih darinya, Tuhan menyucikan (shaffa)
hati nuraninya (sirr) dan menerangi hatinya.
Nabi saw. telah mengatakan : “Kalau cahaya
merasuk hati, dia akan meluas dan membesar.”
Mereka berkata : “Dan apabila tandanya, wahau
Rasul Allah?”
Beliau menjawab : “Mengelak dari kebohongan,
beralih kepda kekekalan dan bersiap untuk mati
sebelum kematian datang.”
Maka Nabi saw. mengatakan bahwa jika
seseorang mengelak dari dunia ini, Tuhan akan
menyinari hatinya.
Nabi saw. bertanya kepada Haritshah : “Apakah
buktinya keimananmu?
Dia menjawab : “Saya telah menjauhkan jiwa
saya dari dunia ini, saya selalu berpuasa di
siang hari dan berjaga di malam hari, dan
seolah-olah saya melihat singgasana Tuhan, dan
para penghuni surga saling berkunjung-
mengunjungi dan penghuni neraka saling
membenci satu sama lain.” Dengan begitu dia
memberi tahu kita bahwa kalau dia menjauhkan
jiwanya dari dunia ini, maka Tuhan akan
menyinari hatinya, sehingga apa yang (secara
normal) tidak bisa dilihatnya muncul dalam
pandangannya. Nabi juga berkata : “Jika aa
orang yang ingin melihat seorang hamba yang
hatinya telah disinari Tuhan, suruhlah dia
melihat Haritsah.” Karena sifat-sifat tersebut,
kelompok ini juga dinamai kelompok “Yang
diterangi” (nuriyah).

BEGITU BANYAK HAL BERHARGA YANG BERLALU YANG PATUT DI SUKURI TAHUKAH KAMU ASAL MU.....

DI UJUNG MALAM SETELAH SEMUA DATANG DAN PERGI
BEGITU BANYAK HAL BERHARGA YANG BERLALU
YANG PATUT DI SUKURI
TAHUKAH KAMU ASAL MU.....
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur.” (Qs. Al-Insan [76]:2);
Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan … . ” (Az Zumar : 6)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Abi ‘Abdurrahman ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata :
Telah menceritakan kepada kami Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan beliau adalah yang selalu benar (jujur) dan dibenarkan. Beliau bersabda (yang artinya) “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan kejadiannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah. Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga (40 hari). Kemudian menjadi gumpalan seperti sekerat daging selama itu pula. Kemudian diutus kepadanya seorang Malaikat maka ia meniupkan ruh kepadanya dan ditetapkan empat perkara, ditentukan rezkinya, ajalnya, amalnya, sengsara atau bahagia. Demi Allah yang tiada illah selain Dia, sungguh salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli Surga sehingga tidak ada di antara dia dan Surga melainkan hanya tinggal sehasta, maka telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka sehingga ia memasukinya. Dan sungguh salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli neraka sehingga tidak ada antara dia dan neraka melainkan hanya tinggal sehasta. Maka telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli Surga sehingga ia memasukinya. ” (HR. Bukhari )
APA TUJUANNYA KAMU DI CIPTAKAN :
Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?” (Terj. QS. Al Mu’minuun: 115)
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. (Terj. QS. Adz Dzaariyaat: 56)
IBADAH BAGAIMANA YANG DI MAKSUD :
Di antara sekian ibadah, yang paling utama dan paling dicintai Allah setelah tauhid adalah shalat pada waktunya. Dalilnya adalah hadits berikut:
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amal apa yang paling dicintai Allah Ta’ala?” Beliau menjawab: “Shalat pada waktunya.” Aku bertanya lagi, “Lalu apa?” Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya lagi, “Lalu apa?” Beliau menjawab: “Berjihad fii sabiilillah.” (HR. Bukhari-Muslim)
CINTA ALLAH SWT YANG SANGAT LUAS :
“Seandainya kamu menghitung nikmat yang diberikan Allah, niscaya kamu tidak mampu menghitungnya” (QS. Ibrahim:34).
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan menunjukkan kepadanya jalan keluar dari kesusahan, dan diberikanNya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka, dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, nescaya Allah mencukupkan keperluannya.”
(Surah At-Talaq ayat 2-3)
RASULULLAH BERPESAN
Malaikat Jibril membisikkan di dalam hatiku, bahwa suatu jiwa tidak akan mati hingga telah sempurna rezekinya. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan carilah (rezeki) dengan cara yang baik —halal, proporsional dan tidak tersibukkan dengannya— dan hendaklah tertundanya (lambatnya datang) rezeki tidak mendorong kalian untuk mencarinya dengan kemaksiatan kepada Allah, karena sesungguhnya keridhaan di sisi Allah tidak akan bisa diraih kecuali dengan ketaatan kepada-Nya (HR Abu Nu’aim, al-Baihaqi dan al-Bazar dari Ibn Mas’ud).
KEMANAKAH HIDUP INI MEMBAWA MANUSIA :
Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada Hari Kiamat hingga ia ditanya:Umurnya dia habiskan untuk apa; ilmunya diamalkan untuk apa; hartanya dari mana ia peroleh dan dibelanjakan untuk apa dan tubuhnya digunakan untuk apa. (HR at-Tirmidzi).
Maka setiap manusia memiliki pasangan :
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri. (QS. Ar-Rum [30] : 21)
Dan Kami menciptakan kalian berpasang-pasangan.(QS. An-Naba’ [78] : 8)
KISAH MU YANG LUAS MEMILIKI AKHIR SEGALANYA :
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. (QS. Ali Imran [3]: 145).
Tidak ada suatu umat pun yang dapat mendahului ajalnya dan tidak pula dapat memundurkannya (QS. al-Hijr [15]: 5; al-Mu’minun [23]: 43)
“Sesungguhnya kematian yang kalian lari darinya tetp akan menemui kalian.” (QS. al-Jumu’ah [62]: 8).
Di mana saja kalian berada, kematian akan menjumpai kalian kendati kalian berada dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. (QS. an-Nisa’ [4]: 78).
Siapa saja yang suka dilapangkan rezekinya dan ditambah umurnya hendaklah ia bersilaturahmi.
(HR al-Bukhari, Muslim, Abu dan Ahmad).
Sesungguhnya Allah tidak akan mengakhirkan (kematian) seseorang jika telah datang ajalnya. Sesungguhnya bertambahnya umur itu dengan keturunan salih yang Allah karuniakan kepada seorang hamba, lalu mereka mendoakannya sesudah kematiannya sehingga doa mereka menyusulinya di kuburnya. Itulah pertambahan umur. (HR Ibn Abi Hatim dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir di dalam tafsirnya QS. Fathir [35] : 11).
NASEHAT YANG TERBAIK DARI SAHABAT MU SANG WAKTU :
Mereka yang paling banyak mengingat maut dan paling baik persiapannya untuk menghadapi maut itu sebelum turun kepada mereka. Mereka itulah yang termasuk Mukmin yang paling cerdas. (HR Ibn Majah, al-Hakim, al-Baihaqi, Abu Nu’aim dan ath-Thabrani).

Yang menetapkan ada didahulukan atas yang meniadakan

 Hal yang perlu kita ingat selalu bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Sehingga dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah yang perlu diketahui dan dikuasai bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seperti ilimu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).

Selain itu perlu mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Qur’an dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Qur’an dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.

Tidak sempurna pula jika hanya mengetahui dan menguasai ilmu nahwu dan sharaf tanpa mengetahui dan menguasai ilmu balaghah atau ilmu sastra Arab sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/07/penyebab-ketidakseimbangan/ atau pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/10/ilmu-sastra-arab/

Fungsi sastra adalah fungsi rekreatif, didaktif, estetis, moralitas dan religius yang semua itu berhubungan dengan hati sehingga dapat membuka mata hati yang berujung dapat menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh).

Kalau dalam berijtihad dan beristinbat atau menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah tanpa ilmu maka akan sesat dan menyesatkan

Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwaisnberkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98)

Contoh salah satu kaidah ushul fiqih

المثبت مقدم على النافى    

Artinya: “ Yang menetapkan ada didahulukan atas yang meniadakan “.

Kita telah melihat kenyataan bahwa para pengikut ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah atau firqah  Wahabi yang telah memerintah Kerajaan Saudi Arabia sejak tahun 1925 telah menetapkan bahwa imam shalat tidak membaca "Bismillah" pada permulaan Fatihah dan juga tidak membaca qunut dalam shalat shubuh, tetapi kalau shalat tarawih 23 raka'at (termasuk witir).

Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/20/tetaplah-sebagai-ormas/ bahwa Prof. Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan slogan “Muhammadiyah bukan Dahlaniyah” artinya Muhammadiyah hanyalah sebuah organisasi kemasyarakatan atau jama’ah minal muslimin bukan sebuah sekte atau firqoh yang mengikuti pemahaman KH Ahmad Dahlan karena KH Ahmad Dahlan sebagaimana mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) pada masa sekarang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.

Prof.Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA  menyampaikan pada http://www.sangpencerah.com/2013/08/profdr-yunahar-ilyas-lc-ma-ini.html bahwa Kyai Haji Ahmad Dahlan pada masa hidupnya mengikuti fiqh mahzab Syafi’i, termasuk mengamalkan qunut dalam shalat subuh dan shalat tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdiriya Majelis Tarjih, ormas Muhammadiyah tidak lagi mengikuti apa yang telah diteladani oleh pendirinya Kyai Haji Ahmad Dahlan

Jadi ketika sebuah jama’ah minal muslimin atau sebuah kelompok kaum muslim atau sebuah ormas menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang atau pemahaman sebuah majlis dari kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dan tidak berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak atau ahli istidlal maka berubahlah menjadi sebuah sekte atau firqah.

Sedangkan Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qoyyim Al Jauziah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Abduh ataupun Albani maupun Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, mereka bukanlah Imam Mujtahid Mutlak sehingga tidak patut untuk ditaklidi (diikuti) oleh kaum muslim

Ulama yang sholeh terdahulu kita dari kalangan Sunni Syafei yang ternama sampai Semenanjung Tanah Melayu, Brunei Darussalam, Singapur sampai Pathani, negeri Siam atau Thailand yakni KH. Sirajuddin Abbas (lahir 5 Mei 1905, wafat 23 Ramadhan 1401H atau 5 Agustus 1980) dalam buku berjudul I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah yang diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Baru, Jl Tebet Barat XA No.28, Jakarta Selatan 12810 dalam cetakan ke 8, 2008 tercantum dua buah sekte atau firqoh dalam Islam yakni firqoh berdasarkan pemahaman Ibnu Taimiyyah dari halaman 296 sampai 351 dan firqoh berdasarkan pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab dari halaman 352 sampai 380.

Sebagaimana tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/22/kabar-waktu-lampau/ bahwa di dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) halaman 9-10 menasehatkan untuk tidak mengikuti pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab , Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Abdil Hadi

Begitupula wasiat ulama dari Malaysia, Syaikh Abdullah Fahim sebagaimana contohnya yang termuat pada http://hanifsalleh.blogspot.com/2009/11/wasiat-syeikh-abdullah-fahim.html

***** awal kutipan *****
Supaya jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada timbul di Malaya mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4 mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah. Maksud mereka itu hendak mengelirukan faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan bangsa Melayuyang jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.

Hukum-hukum mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada kitab Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyim al-Khariji, maka Ibnul Qayyim dan segala kitabnya ditolak oleh ulama AhlisSunnah wal Jama`ah.
***** akhir kutipan *****

Sebagaimana wasiat di atas, para ulama memasukkan mazhab atau pemahaman Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya yang bertemu langsung seperti Ibnu Qoyyim Al Jauziyah maupun yang tidak bertemu langsung seperti Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai mazhab khawarij artinya mazhab yang menyempal keluar (kharaja) dari mazhab Imam Mazhab yang empat.

Marilah kita mengikuti sunnah Rasulullah untuk menghindari firqah-firqah yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan (menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)

Mayoritas kaum muslim pada masa generasi Salafush Sholeh adalah orang-orang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in

Sedangkan pada masa sekarang mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) adalah bagi siapa saja yang mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.

Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat semata-mata dikarenakan terbentuk setelah adanya furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash. Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif), mutaghayirat disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi nash yang digunakan sama, namun cara pengambilan kesimpulannya berbeda.

Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat tidak dapat dikatakan pendapat yang satu lebih kuat (arjah atau tarjih) dari pendapat yang lainnya atau bahkan yang lebih ekstrim mereka yang mengatakan pendapat yang satu yang benar dan yang lain salah.

Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan “perbedaan adalah rahmat”. Sedangkan perbedaan pendapat di antara bukan ahli istidlal adalah kesalahpahaman semata yang dapat menyesatkan orang banyak.

Silahkan baca serangkaian tulisan sebelumnya yang terkait pada

1. http://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/02/27/dibalik-ajakan/  tulisan tentang salah satu fitnah akhir zaman adalah orang-orang pada masa kini (khalaf) yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun pada kenyataannya tentu mereka tidak bertemu dengan Salafush Sholeh untuk mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh.

2. http://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/03/10/abaikan-kaidah-tafsir/ tentang akibat memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan ulama salaf (terdahulu) bersandarkan arti bahasa saja dapat terjerumus bertasyabuh kepada kaum Nasrani yang ghuluw (melampaui batas) dalam beragama yakni melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya atau mengharamkan yang sebenarrnya tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya

3. http://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/03/12/cara-membuat-fatwa/ tentang  akibat memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan ulama salaf (terdahulu) selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir dari sudut arti bahasa saja adalah dapat terjerumus kekufuran dalam i’tiqod

4. http://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/03/14/penguasa-memaksakan-kehendak/ tentang kemudharatan seperti konflik yang dialami oleh umat Islam sehingga terjadi pertumpahan darah diakibatkan karena penguasa negeri tidak lagi mentaati nasehat ulil amri yang sebenarnya

Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/21/terhasut-mengikuti-shahafi/ bahwa mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi

Firman Allah ta’ala yang artinya,

“orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)

Mereka terhasut untuk membuang-buang waktu atau menyibukkan diri mengulang kembali apa yang telah dikerjakan dan dihasikan oleh Imam Mazhab yang empat namun mereka tidak berkompetensi sebagai mujtahid mutlak.

Protokol Zionis yang ketujuhbelas

…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para ulama non-Yahudi (termasuk Imam Mazhab yang empat) dalam rangka menghancurkan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama telah dikumandangkan dimana-mana. Tinggal masalah waktu maka agama-agama itu akan bertumbangan…..

Salah satu upaya mengdiskreditkan Imam Mazhab yang empat adalah menyalahgunakan perkataan atau pendapat Imam Mazhab yang empat yang jsutru untuk meninggalkan apa yang telah dikerjakan dan dihasilkan oleh Imam Mazhab yang empat sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/13/tidak-bermazhab/

Mereka yang “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak (shahafi) meninggalkan Imam Mazhab yang empat dengan alasan seperti “kita harus mengikuti hadits shahih bukan mengikuti ulama.

Mereka mengingatkan bahwa Al-Imam Al-Syafi’i sendiri berkata, “Idza shahha al-hadits fahuwa mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku)”.

Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.

Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i sering kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”

Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat terkenal.” ["Majmu' Syarh Al-Muhadzab" 1/105]

Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu“

Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, contohnya pada http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-adalah-mazhabku-bag-2/

Perlu kita ingat bahwa hadits yang telah terbukukan dalam kitab-kitab hadits jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal 300.000 hadits). Sedangkan jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Imam Mazhab yang empat, jumlahnya lebih besar dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah

Mereka pada umumnya juga salah memahami pendapat seperti Imam Syaukani yang berkata: “Seseorang yang hanya mengandalkan taqlid (mengikut pandangan tertentu) seumur hidupnya tidak akan pernah bertanya kepada sumber asli yaitu “Qur’an dan Hadits”, dan ia hanya bertanya kepada pemimpin mazhabnya. Dan orang yang senantiasa bertanya kepada sumber asli Islam tidak dikatagorikan sebagai Muqallid (pengikut)”.

Mereka salah memahami perkataan Imam Syaukani yang terbatas bagi siapa saja yang mampu mencapai tingkatan mujtahid mutlak

Penjelasan tentang derajat mujtahid mutlak dan tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i, silahkan baca tulisan pada http://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi’i/

Berikut kutipannya

****** awal kutipan ******
Definisi madzhab adalah apa-apa yang dipilih oleh Imam As Syafi’i dan para pengikutnya terhadap hukum dalam berbagai masalah, sebagaimana disebutkan Imam Al Mahalli dalam Syarh beliau terhadap Al Minhaj. (lihat, Hasyiyatani Qalyubi wa Umairah, 1/7)

Dengan definisi di atas, otomatis madzhab As Syafi’i tidak hanya mencakup pendapat Imam As Syafi’i saja, namun, juga pendapat para pengikutnya. Nah, siapa para pengikut yang berhak memberi kontribusi kepada madzhab? Pendapatnya diperhitungkan sebagai pendapat madzhab? Tentu, itu bisa terjawab dengan pemaparan tingkatan para mufti yang dianggap mu’tabar dalam madzhab.

Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’  Syarh Al Muhadzdzab (1/71), mengenai tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i. Merujuk kepada pendapat Al Hafidz Ibnu Shalah, beliau membagi mufti dalam madzhab menjadi beberapa kelompok:

1. Mufti Mustaqil

Mufti mustaqil adalah mufti yang berada dalam peringkat tertinggi dalam madzhab, Ibnu Shalah juga menyebutkannya sebagai mujtahid mutlaq. Artinya, tidak terikat dengan madzhab. Bahkan mujtahid inilah perintis madzhab. Tentu dalam Madzhab As Syafi’i, mufti mustaqil adalah Imam As Syafi’i. Imam An Nawawi sendiri menyebutkan pendapat beberapa ulama ushul bahwa tidak ada mujtahid mustaqil setelah masa As Syafi’i. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72)

Keistimewaan mufti mustaqil yang tidak dimiliki oleh tingkatan mufti di bawahnya adalah kemampuannya menciptakan metode yang dianut madzhabnya.

2. Mujtahid Madzhab

Yakni, mufti yang tidak taklid kepada imamnya, baik dalam madzhab (pendapat) atau dalilnya namun tetap menisbatkan kepada imam karena mengikuti metode imam. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72)

Contoh ulama Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah Imam Al Muzani dan Al Buwaithi, sebagaimana disebutkan Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)

Sedangkan Imam An Nawawi juga menyebutkan bahwa Abu Ishaq As Syairazi yang masa hidupnya jauh dari masa Imam As Syafi’i mengaku sampai pada derajat ini. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72)

Di kalangan muta’akhirin Imam As Suyuthi juga mengaku sampai pada derajat ini, sebagaimana disebutkan Syeikh Ba’alawi. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)

Mufti golongan inilah yang relevan bagi mereka perkataan Imam As Syafi’i yang melarang taklid, baik kepada beliau maupun kepada para imam lainnya, sebagaimana disebutkan Imam An Nawawi (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).

Dan hal itu tidak berlaku kepada ulama yang berada di bawah level ini, sebab itulah Ibnu Shalah sendiri berpendapat bahwa pelarangan taklid dari para imam tidak bersifat mutlak. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72).

Golongan ini pula yang menurut Ibnu Shalah dan Imam An Nawawi yang berhak mengoreksi pendapat Imam, di saat mereka mengetahui ada hadits shahih yang bertantangan dengan pendapat imam. Kenapa harus mereka? Karena bisa jadi imam sengaja meninggalkan hadits walau ia shahih dikarenakan manshukh atau ditakhsis, dan hal ini tidak akan diketahui kecuali yang bersangkutan telah menela’ah semua karya As Syafi’i dan para pengikutnya, dan hal ini amatlah sulit, menurut penilaian ulama sekaliber Imam An Nawawi sekalipun. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/99 dan Ma’na Al Qaul Al Imam Al Muthallibi Idza Shahah Al Hadits fa Huwa Madzhabi)

Jika sesorang sampai pada derajat ini, ia bisa menyelisihi pendapat imamnya sendiri, dan hal ini tidaklah jadi persoalan, karena sudah sampai pada derajat mujtahid walau tetap memakai kaidah imam. Tak heran jika beberapa pendapat Imam Al Muzani berbeda dengan pendapat Imam As Syafi’i seperti dalam masalah masa nifas, Imam As Syafi’i berpendapat bahwa maksimal masa nifas 60 hari sedangkan Al Muzani 40 hari. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 2/106)

3. Ashab Al Wujuh

Ashab Al Wujuh, yakni mereka yang taklid kepada imam dalam masalah syara’, baik dalam dalil maupun ushul Imam. Namun, mereka masih memiliki kemampuan untuk menentukan hukum yang belum disebutkan imam dengan menyimpulkan dan menkiyaskan (takhrij) dari pendapat Imam, sebagaimana para mujtahid menentukannya dengan dalil. Biasanya mereka mencukupkan diri dengan dalil imam. (lihat Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)

Imam An Nawawi menyebutkan bahwa para ulama As Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah ashab al wujuh. Yakni mereka yang mengkiyaskan masalah yang belum di-nash oleh imam kepada pendapat imam. Sehingga, orang yang merujuk fatwa mereka pada hakikatnya tidak bertaklid kepada mereka, namun bertaklid kepada imam. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)

Contoh dari para ulama yang mencapai derajat ini adalah Imam Al Qaffal dan Imam Abu Hamid atau Ahmad bin Bisyr bin Amir, Mufti Syafi’iyyah di Bashrah, sebagaimana disebutkan Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al Qurdi (lihat, Mukhtashar Al Fawaid Al Makiyyah, hal.53).

4. Mujtahid Fatwa

Golongan ini termasuk para ulama yang tidak sampai pada derajat ashab al wujuh, namun menguasai madzhab imam dan dalilnya serta melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat dalam madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)

Perlu diketahui, dengan adanya mufti-mufti yang berada di atas tingkatan ini, dalam madzhab sudah banyak terjadi khilaf, baik antara imam dengan mujtahid madzhab juga disebabkan perbedaan kesimpulan para ashab al wujuh terhadap pendapat imam. Disinilah ulama pada tingkatan ini berperan untuk mentarjih.

Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi menyebutkan bahwa yang berada dalam tingkatan ini Imam Ar Rafi’i dan Imam An Nawawi yang dikenal sebagai mujtahid fatwa.(lihat, An Nihayah, hal. 7 dan Al Bughyah, hal. 7)

Hal ini nampak dalam corak karya Ar Rafi’i seperti Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, juga karya Imam An Nawawi seperti Raudhah At Thalibin dan Minhaj At Thalibin. Sehingga bagi para penuntut ilmu jika ingin mengetahu perkara yang rajih dalam madzhab bisa merujuk kepada buku-buku tersebut.

5. Mufti Muqallid

Tingkatan mufti dalam madzhab yang paling akhir adalah mereka yang menguasa madzhab baik untuk masalah yang sederhana maupun yang rumit. Namun tidak memiliki kemampuan seperti mufti-mufti di atasnya. Maka fatwa mufti yang demikian bisa dijadikan pijakan penukilannya tentang madzhab dari pendapat imam dan cabang-cabangnya yang berasal dari para mujtahid madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)

Ibnu Hajar Al Haitami,  Imam Ar Ramli dan As Subramilsi termasuk kelompok mufti Muqallid, walau sebagian berpendapat bahwa mereka juga melakukan tarjih dalam beberapa masalah. (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal 7)

Jika tidak menemui nuqilan dalam madzhab, maka ia tidak boleh mengeluarkan fatwa, kecuali jika mereka memandang bahwa masalahnya sama dengan apa yang nash madzhab, boleh ia mengkiyaskannya. Namun, menurut Imam Al Haramain, kasus demikian jarang ditemui. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).

Namun tentunya tidak boleh berfatwa dengan semua pendapat tanpa melihat mana yang rajih menurut madzhab. Syeikh Ba’ alawi menilai orang yang demikian sebagai orang yang bodoh dan menyelisihi ijma. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 9)

Jika demikian, para mufti yang berada di jajaran ini akan banyak berinteraksi dengan karya-karya para mujtahid fatwa, yang telah menjelaskan pendapat rajih dalam madzhab.

Penutup

Imam An Nawawi menyebutkan bahwa para mufti selain mufti mustaqil, yang telah disebutkan di atas termasuk mufti muntasib, dalam artian tetap menisbatkan diri dalam madzhab. Dan semuanya harus menguasai apa yang dikuasai oleh mufti muqallid. Barang siapa berfatwa sedangkan belum memenuhi syarat di atas, maka ia telah menjerumuskan diri kepada hal yang amat besar! (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)

Tentu, amat tidak mudah untuk masuk jajaran mufti di atas hatta mufti muqallid jika orang sekaliber Ibnu Hajar Al Haitami dan Imam Ar Ramli masih dinilai berada dalam tingkatan itu! Namun ironisnya banyak anak-anak muda yang baru mencari ilmu dengan tanpa beban menyesat-nyesatkan siapa saja yang bertaklid. Kemudian menyerukan untuk mentarjih pendapat sesuai berdasarkan dalil yang ia pahami seakan-akan ia setingkat dengan Imam An Nawawi, atau bahkan menggugurkan pendapat mujtahid mustaqil dengan berargumen, idza shahah al hadits fahuwa madzhabi, seakan-akan ia satu level dengan Imam Al Muzani! Padahal yang bersangkutan belum menghatamkan dan menguasai kitab fiqih yang paling sederhana sekalipun dalam madzhab.

Mudah-mudahan kita terlindung dari hal-hal yang demikian. Dan tetap bersabar untuk terus mencari ilmu, hingga sampai kepada kita keputusan Allah, sampai dimana ilmu yang mampu kita serap dan kita amalkan.
******* akhir kutipan *******

Dalam perkara membaca qunut ketika sholat Subuh banyak nash yang menjelaskan dan menetapkan bahwa Rasulullah membacanya dan yang ditinggalkan adalah qunut dengan melaknat 

Dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bila bangun dari ruku’-nya pada shalat shubuh di rakaat kedua, beliau mengangkat kedua tanggannya dan berdoa: Allahummahdini fii man hadait…dan seterusnya.” (HR Al-Hakim dan dishahihkan)

Dari Ibnu Abbas ra. berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengajari kami doa untuk dibaca dalam qunut pada shalat shubuh. (HR Al-Baihaqi)

Dengan adanya beberapa hadits ini, maka para ulama salaf seperti Imam Asy-Syafi’i, Al-Qasim, Zaid bin Ali dan lainnya mengatakan bahwa melakukan doa qunut pada shalat shubuh adalah sunnah.

Tersebut dalam Al majmu’ syarah muhazzab jilid III/504 sebagai berikut :“Dalam madzab Imam Syafi’i disunnatkan qunut pada waktu shalat subuh baik ketika turun bencana atau tidak. Dengan hukum inilah berpegang mayoritas ulama salaf dan orang-orang yang sesudah mereka. Dan diantara yang berpendapat demikian adalah Abu Bakar as-shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin affan, Ali bin abi thalib, Ibnu abbas, Barra’ bin Azib – semoga Allah meridhoi mereka semua. Ini diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang shahih. Banyak pula orang tabi’in dan yang sesudah mereka berpendapat demikian. Inilah madzabnya Ibnu Abi Laila, Hasan bin Shalih, Malik dan Daud.”

Dalam kitab al-umm jilid I/205 disebutkan bahwa Imam Syafi’i berkata :“Tidak ada qunut pada shalat lima waktu selain shalat subuh. Kecuali jika terjadi bencana, maka boleh qunut pada semua shalat jika imam menyukai”.

Imam Jalaluddin al-Mahalli berkata dalam kitab Al-Mahalli jilid I/157 :“Disunnahkan qunut pada I’tidal rekaat kedua dari shalat subuh dan dia adalah “Allahummahdinii fiman hadait….hingga akhirnya”.Demikian keputusan hukum tentang qunut subuh dalam madzab Imam Syafi’i.

Ada orang yg berpendapat bahawa Nabi shallallahu alaihi wasallam melakukan qunut satu bulan saja berdasarkan hadith berikut,

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Abdurrahman telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Qatadah dari Anas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan doa qunut selama sebulan, beliau mendo’akan kebinasaan terhadap sejumlah penduduk dusun arab, setelah itu beliau meninggalkannya. (HR Muslim 1092)

Hadits tersebut kita akui sebagi hadits yang sahih dan terdapat dalam kitab Bukhari dan Muslim. Akan tetapi yang menjadi permasalahan sekarang adalah kata “thumma tarakahu” , “setelah itu beliau meninggalkannya”

Apakah yang ditinggalkan oleh Nabi itu ?

Untuk menjawab permasalahan ini marilah kita perhatikan baik-baik penjelasan Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ jld.3, hlm.505 maksudnya: “Adapun jawaban terhadap hadits Anas dan Abi Hurairah r.a dalam ucapannya dengan (thumma tarakahu) maka maksudnya adalah meninggalkan doa melaknat kepada orang-orang kafir itu saja. Bukan meninggalkan seluruh qunut atau meninggalkan qunut pada selain subuh. Pentafsiran seperti ini mesti dilakukan karena hadits Anas di kesempatan yang lain adalah ’sentiasa Nabi qunut di dalam solat subuh sehingga beliau meninggal dunia’ adalah shahih lagi jelas maka wajiblah menggabungkan di antara kedua-duanya.”

Imam Baihaqi meriwayatkan dan Abdur Rahman bin Madiyyil, bahwasanya beliau berkata, maksudnya: “Hanyalah yang ditinggalkan oleh Nabi itu adalah melaknat.” Tambahan lagi pentafsiran seperti ini dijelaskan oleh riwayat Abu Hurairah ra yang berbunyi, maksudnya: “Kemudian Nabi menghentikan doa kecelakaan ke atas mereka.”Dengan demikian dapatlah dibuat kesimpulan bahwa qunut Nabi yang satu bulan itu adalah qunut nazilah dan qunut inilah yg ditinggalkan, bukan qunut pada waktu sholat subuh.

Sedangkan dalam perkara membaca "bismillah", sebagai kaum muslim kita berprasangka baik bahwa imam membaca "bismillah" namun dengan sirr (tidak dikeraskan membacanya)  karena Imam Ishak bin Rahuwiyah pernah ditanya tentang seseorang yang meninggalkan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Maka dia menjawab; “Siapa yang meninggalkan ba’, atau sin, atau mim dari basmalah, maka shalatnya batal, karena Al-hamdu (Al-Fatihah) itu tujuh ayat”. (Hal ini akan ditemukan pada kitab Sayr A’lam Al-Nubmala’ [XI:369] karangan Ad-Dzahabi).

Diriwayatkan dari Ummu Salamah ra. bahwa, “Rasulallah shallallahu alaihi wasallam membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim dalamn shalat, dan beliau menganggapnya sebagai satu ayat…”. (HR.Abu Dawud dalam as-Sunan [IV:37], Imam Daraquthni [I:307], Imam Hakim [II:231], Imam Baihaqi [II:44] dan lain-lainnya dengan isnad shahih).

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah [ra] serta yang lainnya: “ Bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam  menjaharkan (bacaan) Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim”. (Hadits dari Ibnu ‘Abbas, diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar [I:255]; Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra [II:47] dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar [II:308] dan lain-lainnya ; Al-Haitsami dalam Mujma’ Al-Zawaid [II:109] mengatakan, hadits tersebut di riwayatkan oleh Al-Bazzar dan rijal-nya mautsuuquun (terpercaya)

Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al-Mujmir seorang Imam, Faqih, terpercaya termasuk periwayat hadits Shohih Enam sempat bergaul dengan Abu Hurairah ra. selama 20 tahun : “Aku melakukan sholat dibelakang Abu Hurairah ra., maka dia membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim lalu dia membaca Ummu Alqur’an hingga sampai kepada Wa laadh dhaalliin kemudian dia mengatakan amin. Dan orang-orang pun mengucapkan amin. Setiap (akan) sujud ia mengucapkan Allahu Akbar. Dan apabila bangun dari duduk dia meng ucapkan Allahu Akbar. Dan jika bersalam (mengucapkan assalamu‘alaikum). Dia kemudian mengatakan, ‘Demi Tuhan yang jiwaku ada pada kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku orang yang lebih mirip shalatnya dengan Rasulallah shallallahu alaihi wasallam daripada kalian”. (Imam Nasa’i dalam As-Sunan II:134; Imam Bukhori mengisyaratkannya hadits tersebut dalam shahihnya [II:266 dalam Al-Fath] ; Ibnu Hibban dalam shohihnya [V:100] ; Ibn Khuzaimah dalam shohihnya I:251 ; Ibn Al-Jarud dalam Muntaqa halaman 184 ;Al-Daraquthni [I:300] mengatakan semua perawinya tsiqah ; Hakim dalam Al-Mustadrak [I:232] ; Imam Baihaqi dalam As-Sunan [II:58] dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar [II:371] dan mengatakan isnadnya shahih. Dan hadits itu dishahihkan oleh sejumlah para penghafal hadits seperti Imam Nawawi, Ibn Hajar dalam Al-Fath [II:267] bahkan dia mengatakan bahwa Imam Nawawi membuat bab khusus ‘Menjaharkan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim’, itulah hadits yang paling shahih mengenai hal tersebut) 

Perkataan orang yang menyebutkan bahwa Rasulallah shallallahu alaihi wasallam. kadang-kadang melirihkan dan kadang-kadang menjaharkan (bacaan basmalah), itu tidak benar. Karena mereka juga berdalil dengan hadits-hadits mu’allal yang ditolak. Bahkan sebagiannya hanya disimpulkan dari hasil pemahaman (al-mafhum) yang berlawanan dengan hadits al-manthuq, yang jelas menyatakan adanya menjahar bacaan basmalah. Sedangkan yang manthuq itu harus didahulukan atas yang mafhum, sebagaimana ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih.

Ada pun hadits Anas ra. yang antara lain mengatakan: “Aku melakukan shalat dibelakang Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam., Abu Bakar, Umar dan ‘Utsman. Mereka membuka (bacaan Alquran) dengan Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan mereka tidak menyebut (membaca) Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim baik di awal pembacaannya mau pun di akhirnya”. Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka aku tidak mendengar salah satu di antara mereka membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, yang diriwayatkan Imam Muslim dalam shohih-nya [I:299 no.50 dan 52].

Hadits tersebut mu’allal (hadits yang mempunyai banyak ‘ilat atau yang menurunkannya dari derajat shohih). Diantara ‘ilat atau penyakit yang melemahkan derajat hadits itu adalah, ungkapan terakhir dalam hadits tersebut ‘Mereka tidak menyebut atau membaca Bismillah’. Sebenarnya itu bukan dari perkataan (hadits) Anas, tetapi hanya perkataan salah seorang perawi yang memahami kata-kata Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan tidak bermaksud untuk meniadakan basmalah dari Al-Fatihah.

Begitupula Buya Hamka juga mempergunakan kaidah ushul fiqih “Yang menetapkan lebih didahulukan dari pada yang menidakkan (meniadakan)”

**** awal kutipan *****
Masalah Jahr dan Sirr bacaan Basmalah

Didalam Buku Tafsirnya, Hamka membahas masalah Jahr dan Sirr ini secara panjang lebar pada halaman 122-131 (10 halaman).

Dalil-dalil golongan yang memilih (Madzhab) jahar.

Hadis 1, (Hadis fi’li). Dirawikan oleh jama’ah dari pada sahabat-sahabat, di antaranya Abu Hurairah dan Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Ali bin Abi Thalib, Samurah bin Jundab dan isteri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Ummu Salmah. Bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam men-jahar-kan membaca Bismillahir Rahmanir Rahim.

Hadis fi’li adalah hadis yang menceritakan perbuatan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam

Hadis 2, (bukan Hadis Nabi tetapi Atsar sahabat). Ada pula satu riwayat dari Na’im bin Abdullah Al-Mujmar. Dia berkata: “Aku telah sembahyang di belakang Abu Hurairah. Aku dengar dia membaca Bismillahir Rahmanir Rahim, setelah itu dibacanya pula Ummul Qur’an.

Setelah selesai sembahyang diapun, mengucapkan salam lalu berkata kepada kami: “Sesungguhnya akulah yang lebih mirip sembahyangku dengan sembahyang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Hadits ini dirawikan oleh An-Nasai dan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya. Lalu disambungnya; “Adapun jahar Bismillahir Rahmanir Rahim itu maka sesungguhnya telah tsabit dan sah dari Nabi shallallahu alaihi wasallam

Hadits ini dirawikan pula oleh Ibnu Hibbaan dan Al-Hakim atas syarat Bukhari dan Muslim. Dan berkata Al-Baihaqi: ‘Shahih isnad-nya”.

Hadis 3, (Hadis fi’li). Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi senantiasa memulai sembahyangnya dengan men-jahar-kan Bismillah.

Tentang ini ada riwayat dari Ad-Daruquthni, dan ada juga riwayat dari Al-Hakim.

Adapun yang me-NAFI-kan Jahar dan yang memandang lebih baik SIRR saja, mereka berpegang pula kepada Hadits:

Hadis 4, (Bukan Hadis Nabi tetapi Hadis sahabat). “Dari pada Ibnu Abdullah bin Maghfal: “Aku dengar ayahku berkata; padahal aku membaca Bismillahir Rahmanir Rahim. Kata ayahku: “Hai anakku. Sekali-kali jangan engkau mengada-ada. Dan kata Ibnu Abdullah tentang ayahnya itu:

Tidak ada aku melihat sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan bersama Abubakar, bersama Umar dan bersama Utsman, maka tidaklah pernah aku mendengar seorangpun di antara mereka membaca. Sebab itu janganlah engkau baca akan dia. Kalau engkau membaca, maka baca sajalah Alhamdulillahi Rabbil Alamin”. (Dirawikan oleh yang berlima, kecuali Abu Daud). Hadits ini di Hasankan oleh At-Turmudzi.

Definisi Hadis Hasan menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani adalah : “Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hapalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung cacat, dan tidak janggal.”

Kemudian Hamka menguraikan kelemahan Hadis ini sebagai berikut:

Hadits inipun diperkajikan orang karena Al-Jariri merawikannya seorang diri, dan setelah tua, fikirannya kacau, sebab itu Hadits yang dirawikannya diragukan. Kemudian Abdullah bin Maghfal, yang jadi sumber pertama Hadits ini. Setengah ahli Hadits mengatakan bahwa dia itu Majhul (seorang yang tidak dikenal).

Kontroversi Hadis Anas bin Malik r.a.

Anas bin Malik r.a. adalah pelayan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam selama 10 tahun dan juga sahabat Nabi yang banyak meriwayatkan Hadis. Beliau meriwayatkan masalah Bismillah ini di 2 Hadis yang saling bertentangan

(1) Hadis Anas r.a. yang men-jahar-kan :

Hadis 5, (Hadis fi’li). “Ditanyakan orang kepada Anas, bagaimanakah bacaan Nabi shallallahu alaihi wasallam maka diapun menjawab: “Bacaan Nabi adalah panjang”

Kemudian beliau baca Bismillahir Rahmanir Rahim; dipanjangkannya pada Bismillah dan dipanjangkannya pula pada Ar-Rahman, dan Ar-Rahim” (Dirawikan oleh Bukhari).

Menurut pendapat yang menjahar : tidak mungkin Anas berkata sejelas itu kalau tidak didengarnya.

(2) Hadis Anas r.a. yang men-sirr-kan.

Hadis 6, (Hadis fi’li). “Dari pada Anas bin Malik, berkata dia: “Aku telah sembahyang bersama Rasululah shallallahu alaihi wasallam, Abubakar, Umar dan Utsman, maka tidaklah saya mendengar seorangpun dari pada mereka yang membaca Bismillahir Rahmanir Rahim. (Dirawikan oleh Ahmad dan Muslim).

Karena kontroversi ini maka ditanyakan kepada Anas r.a. diwaktu beliau sudah tua sebagai berikut:

Hadis 7, (Bukan Hadis Nabi tetapi Hadis Sahabat). Hadits yang dirawikan oleh Ad-Daruquthni dari Abi Salmah, demikian bunyinya. “Aku telah tanyakan kepada Anas bin Malik, apakah ada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membuka sembahyang dengan Alhamdulillah, atau dengan Bismillahi Rahmanir Rahim? Beliau menjawab: “Engkau telah menanyakan kepadaku satu soal yang aku tidak ingat lagi, dan belum pernah orang lain menanyakan soal itu kepadaku sebelum engkau”. Lalu saya tanyakan pula: “Apakah ada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sembahyang dengan memakai sepasang terompah; Beliau jawab: “Memang ada!”.

Setelah membahasnya secara panjang lebar (10 halaman), Hamka menyimpulkan :

(1) Kedua pihak yang men-jahar-kan dan men-sirr-kan tidak membawa Hadis qauli (dimana Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam menyuruh membaca atau tidak membaca Bismillah) melainkan hanya Hadis fi’li (menyaksikan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan/atau sahabat membaca / tidak membaca Bismillah), atau bukan Hadis Nabi melainkan Hadis Sahabat saja.

(2) Karena Hadis Anas bin Malik r.a. adalah Hadis Sahih yang kontroversi maka dipakai Qaidah Ushul Fiqh dan Ilmu Hadits bahwa :

Yang menetapkan lebih didahulukan dari pada yang menidakkan (meniadakan)”.

(3) Maka sandaran pihak yang men-sirr-kan tinggal Hadis Sahabat saja (Hadis nomor 7).

Akhirnya Hamka menganggap bahwa yang dalilnya lebih kuat adalah dari pihak yang men- j-a-h-a-r-kan Bismillah.
**** akhir kutipan ****

Dalam perkara shalat yang merupakan bentuk ibadah yang dipraktekkan maka kitapun dapat bertanya kepada para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah karena mereka mendapatkan pengajaran cara sholat Rasulullah dalam bentuk praktek yang mereka peroleh dari orang tua mereka secara turun temurun tersambung kepada apa yang dipraktekkan oleh sayyidina Ali karramallahu wajhu yang diajarkan secara langsung oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga lebih terpercaya daripada mengikuti pendapat ulama kemudian (khalaf) yang berkesimpulan dari upayanya memahami hadits yang ada bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri dan tidak dikenal berkompetensi sebagai imam mujtahid mutlak.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?

Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)

Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.

Dari http://www.facebook.com/photo.php?fbid=364436613697536 ada sebuah pernyataan “mengapa firqah Wahabi hampir tidak pernah menukil pendpat dari Sayyidina Ali ?”

Untuk menjawab mengapa mereka tidak menukil atau berfatwa berdalilkan perkataan atau mengambil hadits yang dirawayatkan oleh Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhu maka kita telusuri apa pendapat Ibnu Taimiyyah terhadap Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhu sebagaimana contoh yang termuat pada http://ustadchandra.wordpress.com/2010/02/13/sosok-dan-pemikiran-ibn-taimiyah/

Jadi berdasarkan contoh informasi dari situs tersebut maka kemungkinannya Ibnu Taimiyyah tidak menukil atau berfatwa berdalilkan perkataan atau mengambil hadits yang dirawayatkan oleh Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhu adalah karena  Ibnu Taimiyah beranggapan bahwa Imannya Sayyidina Ali tidak sah, sebab beliau masuk Islam sebelum baligh. Imam Ali ra. menurutnya mempunyai 17 kesalahan. Dan beliau berperang karena cinta kedudukan.

Sedangkan Sayyidina Ali karramallahu wajhu sebagaimana sabda Rasulullah , “Aku adalah kota ilmu, manakala Ali pula pintunya. maka barangsiapa yang inginkan ilmu maka hendaklah datang melalui pintunya (Ali).”

Bahkan Rasulullah bersabda “Wahai Ali sungguh berdusta orang yang mengaku mencintaiku namun membencimu”

Kita dapat menemukan mereka yang meninggalkan para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah karena menganggapnya sebagai kaum syiah sebagaimana contoh tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/07/ke-alam-barzakh/

Padahal para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendapatkan pengajaran agama dari dua jalur yakni

1. Melalui nasab (silsilah / keturunan). Pengajaran agama baik disampaikan melalui lisan maupun praktek yang diterima dari orang tua mereka secara turun temurun tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

2. Melalui sanad ilmu ( sanad guru). Pengajaran agama dengan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat yakni para ulama yang sholeh memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat yang mengikuti Salafush Sholeh dengan cara bertemu langsung bukan melalui perantaraan mutholaah (menelaah kitab).

Sehingga para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lebih terjaga kemutawatiran sanad, kemurnian agama dan akidahnya.

Bahkan dapat pula kita temukan orang-orang yang membenci, ahlul bait.  Mereka adalah An-Nawaashib mufradnya naashib atau biasa disebut dengan nashibi adalah orang-orang yang membenci ahlul bait , keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Imam at Tirmidzi dan Imam ath Thabrani meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas ra., ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Cintailah Allah agar kalian memperoleh sebagian nikmat-Nya, cintailah aku agar kalian memperoleh cinta Allah, dan cintailah keluargaku (ahlul baitku) agar kalian memperoleh cintaku.”

Imam Syafi’i ~rahimahullah bersyair, “Wahai Ahlul-Bait Rasulallah, mencintai kalian adalah kewajiban dari Allah diturunkan dalam al-Quran cukuplah bukti betapa tinggi martabat kalian tiada sholat tanpa shalawat bagi kalian.”

Jabir ibnu Abdillah berkisah: “Aku melihat Rasulullah dalam haji Wada` pada hari Arafah. Beliau menyampaikan khutbah dalam keadaan menunggangi untanya yang bernama Al-Qashwa. Aku mendengar beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia! Sungguh aku telah meninggalkan pada kalian dua perkara yang bila kalian mengambilnya, maka kalian tidak akan sesat yaitu kitabullah dan ‘itrati ahlul baitku.” (Hadits diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3786, kitab Al-Manaqib ‘an Rasulillah , bab Manaqib Ahli Baitin Nabi shallallahu alaihi wa sallam)

Abu Said Al-Khudri dan Zaid bin Arqam meriwayatkan, “Sungguh aku meninggalkan pada kalian perkara yang bila kalian berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan sesat sepeninggalku. Salah satu dari perkara itu lebih besar daripada perkara yang lainnya, yaitu kitabullah tali Allah yang terbentang dari langit ke bumi. Dan (perkara lainnya adalah) ‘itrati, yaitu ahlul baitku. Keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya mendatangiku di haudl. Maka lihatlah dan perhatikanlah bagaimana kalian menjaga dan memperhatikan keduanya sepeninggalku.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 3/14,17 dan At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3788)

Cara untuk menelusuri kebenaran adalah melalui para ulama yang sholeh yang memiliki sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena kebenaran dari Allah ta’ala dan disampaikan oleh RasulNya

Pada asalnya, istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu hadits (Mustolah Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi dengan perawi sebelumnya pada setiap tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pada matan haditsnya.

Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari segi bahasa, maka penggunaannya sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan: “Isnad dari sudut bahasa terambil dari fi’il “asnada” (yaitu menyandarkan) seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan ini kepada si fulan. Artinya, menyandarkan sandaran, yang mana ia diangkatkan kepada yang berkata. Maka menyandarkan perkataan berarti mengangkatkan perkataan (mengembalikan perkataan kepada orang yang berkata dengan perkataan tersebut)“.

Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32)

Tanda atau ciri seorang ulama tidak terputus sanad guru (sanad ilmu) adalah pemahaman atau pendapat ulama tersebut tidak menyelisihi pendapat gurunya dan guru-gurunya terdahulu hingga tersambung kepada Rasulullah serta berakhlak baik

Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“

Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.

Imam Malik ~rahimahullah berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu) dan dari orang yang mendustakan perkataan manusia (ulama) meskipun dia tidak mendustakan perkataan (hadits) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam”

Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”

Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203

Jadi fitnah tanduk syaitan adalah fitnah dari orang-orang yang menjadikan gurunya syaitan karena memahami Al Qur’an dan Hadits bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri sebagimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/07/fitnah-tanduk-syaitan/

Ilmu agama adalah ilmu yang diwariskan dari ulama-ulama terdahulu yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)

Hadits tersebut bukanlah menyuruh kita menyampaikan apa yang kita baca dan pahami sendiri dari kitab atau buku

Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dan didengar dari para ulama yang sholeh dan disampaikan secara turun temurun yang bersumber dari lisannya Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Oleh karenanya ulama dikatakan sebagai pewaris Nabi.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi” (HR At-Tirmidzi).

Dalam memahami  kalimat “pewaris para Nabi”  kita pahami dahulu arti kata mewarisi

Dalam kamus besar bahasa Indonesia atau contoh penjelasan pada http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/petunjuk_praktis/185 pengertian mewarisi adalah:

1. memperoleh warisan atau
2. memperoleh sesuatu yang ditinggalkan

Jadi ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulama yang sholeh sebelumnya secara turun-temurun tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi  wasallam.

Pada hakikatnya Al Qur’an dan Hadits disampaikan tidak dalam bentuk tulisan namun disampaikan melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh dengan imla atau secara hafalan.

Dalam khazanah Islam, metode hafalan merupakan bagian integral dalam proses menuntut ilmu. Ia sudah dikenal dan dipraktekkan sejak zaman baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Setiap menerima wahyu, beliau langsung menyampaikan dan memerintahkan para sahabat untuk menghafalkannya. Sebelum memerintahkan untuk dihafal, terlebih dahulu beliau menafsirkan dan menjelaskan kandungan dari setiap ayat yang baru diwahyukan.

Jika kita telusuri lebih jauh, perintah baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk menghafalkan Al-Qur’an bukan hanya karena kemuliaan, keagungan dan kedalaman kandungannya, tapi juga untuk menjaga otentisitas Al-Qur’an itu sendiri. Makanya hingga kini, walaupun sudah berusia sekitar 1400 tahun lebih, Al-Qur’an tetap terjaga orisinalitasnya. Kaitan antara hafalan dan otentisitas Al-Qur’an ini tampak dari kenyataan bahwa pada prinsipnya, Al-Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm), tetapi “bacaan” (qira’ah). Artinya, ia adalah ucapan dan sebutan. Proses turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan-(transmisi)-nya, semuanya dilakukan secara lisan dan hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang dimaksud dengan “membaca” Al-Quran adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin).

Dengan demikian, sumber semua tulisan itu sendiri adalah hafalan, atau apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’. Sedangkan fungsi tulisan atau bentuk kitab sebagai penunjang semata.

Oleh karenanya dikatakan sami’na wa ato’na (kami dengar dan kami  taat) bukan kami baca dan kami taat


Wassalam