Laman

Senin, 17 Februari 2014

JAM’ DAN FARQ


Dua kata tersebut cukup populer di
kalangan ahli tasawuf. Syeikh Abu Ali ad-
Daqqaq berkata : “Al-farq, suatu kondisi yang
dihubungkan kepada diri sendiri, dan al-Jam’,
berkaitan dengan hal yang menyirnakan diri
sendiri.

Artinya, Segala upaya hamba seperti
menegakkan ubudiyah dan hal-hal yang layak
dengan tingkah laku manusiawi, disebut al-
Farq.

Sementara jika datang dari arah Al-Haq
(Allah swt.) seperti mucnulnya makna-makna
dan datangnya kelembutan serta ihsan, maka
disebut al-Jam’.

Dafinisi ini merupakan kondisi paling
sederhana dalam konteks jam’ dan farq.

Sebab, kondisi tersebut merupakan bagian
dari penyaksian segala bentuk perbuatan.

Siapa yang menyaksikan dirinya di hadapan
Al-Haq dalam perbuatan-perbuatannya seperti
ketatan dan pegingkaran dirinya, maka hamba
tersebut dideskripsikan dalam pemisahan
(tafriqah).

Sedangkan yang menyaksikan
dirinya di hdapan Al-Haq melalui perbuatan
yang didelegasikan dari Af’al Allah swt, maka
sang hamba telah menyaskikan al-Jam’.

Penetapan makhluk merupakan pintu tafriqah,
dan penetapan al-Haq merupakan predikat al-
jam’.

Bagi hamba, haruslah berkondisi jam’
dan farq. Sebab siapa yang tidak berposisi
farq, ia tidak memiliki penghambaan
(ubudiyah), dan siapa pun yang tidak
berposisi jam’, ia tidak pernah ma’rifat
kepada-Nya.

F irman Allah swt. (Hanya
Kepadamu Kami menyembah), merupakan
isyarat terhadap al-farq.

Sedangkan firman-
Nya (dan hanya kepada-Mu kami memohon
pertolonan), merupakan isyarat al-jam’.

Apabila hamba berbicara kepada
Tuhannya, melalui bahwa munajat, apakah
memohon mendoa, memuji, bersyukur,
menyucikan diri atau pun meminta, maka ia
telah menempati tahap berpisah (tafriqah).

Namun apabila ia telah terpesona melalui sirri-
nya terhadap apa yang dimunajatkannya
kepada Tuhan, kemudian mendengarkan
melalui kalbunya apa yag telah dikatakan
lewat munajat itu, hal-hal yang dimohonkan
atau dimunajatkan kepada-Nya, atau pun yang
dikenalkan oleh-Nya, maka makna-Nya, atau
bahkan yang dihamparkan dalam hatinya dan
di perlihatkan oleh-Nya, maka ia telah
menyaksikan dalam al-jam’.

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-
Daqqaq r.a. berkata : “Aku menguraikan
beberapa ucapan di sisi Ustadz Abu Sahl ash-
Sha’luky r.a. (Engkau buat menjadi bersih
pandanganku ke padamu’).

Ketika itu Abul
Qasim an- Nashr Abadzy hadir di sana. Lalu
Ustadz Abu Sahl berkata : “(huruf ta’
dinashab’),. Maka Abu Nashr Abadzy,
berkata : (Huruf ta’ didhammah’).”

Artinya, barangsiapa mengucapkan
perkataan (“ kujadikan”), berarti mengabarkan
sikap perilakunya sendiri, seakan-akan sang
hamba berkata, “ ini ”!. Jika ia berkata (“
engkau
jadikan”), seakan-akan mengatakan, bebas
dari beban. Bahkan ia berkata kepada Tuhan-
nya, “Engkau-lah yang mengkhususkan
kepadaku dengan ini, bukan aku, melalui
kemampuanku .

” Yang pertama, berkaitan
dengan bisikan do’a, dan yang ke dua,
dengan sifat bebas dari upaya dan ikrar
melalui keutamaan dan sariguna. Maka,
bedakan antara orang yang mengatakan,
“Melalui jerih payahku, aku menyembah-Mu,”
dan ucapan orang : “Melalui keutamaan dan
kelembutan-Mu, aku menyaksikan-Mu.”

Adapun jam’ul jam’i di atas semua itu.
Manusia memiliki frekuensi masing-masign
sesuai dengan manifestasi perilaku dan
kepautan derajat mereka.

Barang siapa
menetapkan atas dirinya, berarti menetapkan
kemakhlukan, namun menyaksikan
keseluruhan, berarti ia telah mandiri kepada
Yang Haq, dan inilah al-Jam’.

Tetapi jika yang
terlibas dari penyaksian terhadap
kemakhlukan, lebur dari dirinya, dan teraih
universalitas, dari segala hal yang tampak dan
terdelegasi dari kekuasaan hakikat, maka
tahap inilah yang disebut jam’ul jam’i.”

Tafriqah adalah penyaksian terhadap
makhluk, hanya untk Allah swt.

Al-jam’ adalah
penyaksian terhadap makhluk bersama Allah
swt. dan jam’ul jam’i, berarti sirna dengan
univeraslitas, dan fana’-nya rasa kepada
selain Allah swt.

ketika terlanda hakikat.
Jam’ul jam’i merupakan kondisi mulia.

Sebagian kaum menamakan tahap ini sebagai
al-farq kedua. Yaitu dikembalikan pada tahap
rasa pasca sirna, pada saat menjalani waktu-
waktu fardhu, agar tetap konsisten terhadap
kefarduan dengan segenap waktunya,
sehingga ia kembali, hanya untuk dan
bersama Allah swt, bukan bagi hamba
bersama hamba.

Sang hamba melihat dirinya
pada kondisi seperti itu dalam perbuatan Al-
Haq. Ia menyaksikan awal Zat-nya dan
kenyataannya bersama Qudrat-Nya.

Sedangkan tempat pijakan ketika menjalankan
perbuatan dan tingkah lakunya hanya bersama
Ilmu dan Kehendak-Nya.

Sebagian Sufi mengisyaratakan kata al-
Jam’ dan al-farq kepada Perbuatan Al-Haq
atas seluruh makhluk. Maka globalitas dari
keseluruhan dalam proses bolak balik dan
perbuatan, harus dilihat dari satu arah, bahwa
sebenarnya Allah-lah yang memunculkan
substansi-substansi mereka itu. Allah-lah yang
menjalankan sifat-sifat mereka.

Kamudian
Allah swt. memisahkan dalam ragam : Satu
kelompok, Allah swt. membahagiakan mereka,
dan kelompok lain Allah swt. menjauhkan dan
menyengsarakan mereka.

Satu kelompok lagi
Allah swt. menarik hati mereka, dan kelompok
yang lain dilupakan dan diputus-asakan dari
rahmat-Nya, dan satu golongan lagi Allah swt,
memutus kehendak mereka untuk
menyatakanDiri-Nya. Ada kelompok yang
disadarkan pada tahap rasa mereka dan ada
yang disirnakan. Ada kelompok yang
didekatkan dan dihadirkan, Kemudian Allah
meminumkan karunia hingga mereka
dimabukkan ruhaninya, namun juga ada
golongan yang dicelakakan dan diakhirkan,
kemudian dijauhkan dan disingkirkan.

Ragam
Af’al-Nya tidak bisa dijangkau oleh batasan,
sementara rinciannya tidak dapat diuraikan
dan diingat.

Para Sufi pernah melantunkan
syair bagi al-Junayd, mengenai makna jama’
dan farq :

Engkau telah membuat nyata-Mu
Dalam rahasiaku
Lalu lisanku munajat pada-Mu
Kita berkumpul bagi makna-makna
Dan berbpisah bagi makna-makna pula
Jika Gaib-Mu adalah
Keagungan dari lintasan mataku
Toh Engkau buat keserasian dari dalam
Yang mendekatku.

Mereka bersyair lagi :
Jika telah tampak padaku
Keagungan, lalu keluar dalam tingkah
orang
Yang tak dikehendaki
Maka aku berkumpul dan berpisah
dengan-Nya
Sedang ketunggalan yang saling
bertemu
Adalah dua dalam satu bilangan

Nasehat Para Sufi Untuk Hati


Jika engkau berharap untuk menemukan al-Haqq, kecintaan Allah, dan Dukungan-Nya, maka tinggalkanlah perilaku negatif, kendalikanlah sifat buruk dan kemarahanmu . Jika engkau tidak mampu untuk tidak marah, setidaknya jangan perlihatkan marahmu; maka Allah akan senang dan betapa setan akan kecewa kepadamu. Engkau pun akan mulai untuk mendidik egomu, menguatkan dan mendekatkanmu kepada Jalanmu. Kemarahan merupakan hasil dan sebuah tanda dari adanya ego yang tidak terkendali, bagaikan seekor hewan buas liar bebas tidak terkurung. Mengeluarkan marah, bagai tali kekang yang engkau buang dari atas kepalamu dan memasukkan banyak keburukan ke dalamnya. Jinakkanlah kepalamu, kau ajarkan bagaimana berpikir dengan benar, untuk taat kepada Allah, sehingga tiada orang lain yang engkau sakiti ataupun dirimu sendiri.
Begitu engkau berhasil mengekang pikiranmu, maka begitu menghadapi orang yang kehilangan kendali dirinya dan marah-marah kepadamu, maka engkau akan menghadapinya dengan tenang. Kau tidak akan bereaksi agresif pada penyerangannya. Kau tidak akan menghukum atau merespon perilaku negatifnya dengan kekasaran juga, melainkan kau abaikan saja. Mengabaikan lebih efektif daripada membalasnya. Barangkali ia akan melihat akibat-akibat dari perbuatannya, akibat dari kemarahannya, menyadari hal benar – salah, dan akhirnya mengakui kesalahannya.
Perhatikanlah saran-saran tentang pengendalian marah ini dan jadikanlah sebagai karakter dirimu; maka tentu engkau akan memperoleh hasil dan ganjaran positif di dunia maupun di akhirat. Timbangan al-haqq mu akan berat. Itulah ganjaran dan kemuliaan terbesar yang akan engkau terima. Mengeluarkan kemarahan hanya akan mengundang murka besar Allah, Dia akan menghukummu. Pemaafanmu akan diganjar dengan ampunan-Nya. Adakah keberuntungan yang lebih baik yang bisa diharapkan oleh seseorang yang disakiti oleh saudara-saudaranya seiman selain ampunan Allah semata?
Allah akan memperlakukanmu sama dengan perlakuanmu terhadap orang lain. Jadi berusahalah untuk memiliki kualitas perilaku yang baik: pendamai, penolong, lemah – lembut, dan penuh cinta. Dengan perilaku tersebut, berjama’ahlah. Engkau akan melihat bagaimana perilaku tersebut akan merahmati sekelilingmu, menciptakan harmoni, cinta – kasih, saling menghargai dan menghormati. Sang Kekasih Allah, Nabi Muhammad saw., memerintahkan kita untuk saling mencintai satu sama lain dan memelihara hubungan silaturahiim. Betapa Rasulullah Muhammad saw. mengulang-ulangi perintah ini dalam banyak cara, dalam banyak pernyataan. Untuk meninggalkan kemarahan, gantilah ia dengan penderitaan menahannya, memaafkan, dan tetap saling menjaga dan memperhatikan orang yang menyakiti. Kesemuanya merupakan, menjadi pilar dari tumbuh dan berkembangnya cinta.
Bukalah hatimu lebar-lebar, luaskanlah agar mampu menerima Rahmat Allah. Sebuah hati yang terahmati menjadi cermin manifestasi Allah. Ketika manifestasi Allah muncul dan datang melaluimu, begitu kau merasakan Kehadiran-Nya, maka kau akan malu ketika berperilaku salah. Hal itu akan menyebabkan antara engkau dan orang lain memiliki keterhubungan hati. Rahmat-Nya pun akan melindungimu dan orang lain dari dosa.
Ketika Malaikat Jibril bertanya kepada Nabi Muhammad saw., “Apakah yang dimaksud dengan Rahmat Allah?” Nabi Muhammad saw. menjawab, “Shalat dan mengabdi kepada Allah seolah-olah engkau berada di Dalam Kehadiran-Nya, seolah-olah engkau melihat-Nya.” Rasa menghormati Allah terefleksi di dalam hati seorang mukmin yang mencapai level demikian.
Lalu Nabi Muhammad saw. melanjutkan, “Bagi engkau yang tak mampu melihat-Nya, yakinilah Dia tentu mampu melihatmu.”
Seorang mukmin yang mencapai level Rahmat Allah akan memiliki hati nurani. Dia akan merasakan bahwa Allah senantiasa mengawasinya sehingga membuatnya malu untuk berbuat dosa. Nabi Muhammad saw. berkata lagi, “Memiliki hati nurani adalah kebaikan sempurna.” Jika seorang mukmin memiliki hati nurani, ia akan menyadari apa yang ia lakukan dan ia tidak boleh melakukan kesalahan. Seseorang dengan hati yang dipenuhi Allah, maka hawa nafsunya tak akan membahayakannya baik ketika ia berada di dunia maupun di akhirat nanti. Tanda-tanda seseorang yang sudah memiliki hati nurani, yaitu: berkurangnya arogansi dan merasa diri penting; keduanya merupakan ego. Orang seperti itu tidak akan pernah mencoba atau berusaha untuk mendominasi atau menguasai seseorang. Semoga kalian semua mencapai level Rahmat Allah dan memiliki hati nurani, dan semoga kalian semua memiliki kekuatan dan pandangan tajam menuju Allah semata. Amiin, ya, Robbal ‘alamiin

Puncak Dzikr


Puncak Dzikr adalah Ketenangan
Puncak Ketenangan adalah Kelembutan Hati
Puncak kelembutan Hati adalah Pembukaan Spiritual
Puncak Pembukaan Spiritual adalah Pemahaman
Puncak Pemahaman adalah Kekuatan
Puncak Kekuatan adalah Kesabaran
Puncak Kesabaran adalah Kearifan
Puncak Kearifan adalah Kepemimpinan
Puncak Kepemimpinan adalah Keteladanan moral
Puncak Keteladanan moral adalah Penjagaan diri
Puncak Penjagaan diri adalah Keimanan Tauhid Sejati
Puncak Keimanan Tauhid Sejati adalah Keihsanan
Puncak Keihsanan adalah Keselamatan
Puncak Keselamatan adalah Kedamaian
Puncak Kedamaian adalah Keadilan
Puncak Keadilan adalah Kemanusiaan
Puncak Kemanusiaan adalah Kembali kepada Pencipta sebelum ajal tiba
Puncak Kembali kepada Pencipta adalah Keikhlasan Takwa
Puncak Keikhlasan Takwa adalah Kesucian
Puncak Kesucian adalah Ketangguhan
Puncak Ketangguhan adalah Keruhanian murni
Puncak Keruhanian murni adalah Keagungan
Puncak Keagungan adalah Cinta Ilahi tanpa syarat
Puncak Cinta Ilahi tanpa syarat adalah Kesempurnaan ciptaan

Hiduplah dengan Cinta
Bernafaslah dengan Cinta
Hingga Matilah dengan Cinta

" Dan orang-orang yang berjuang untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta (ikut Menemani, Melindungi, Membantu Memudahkan jalan) orang-orang yang berbuat kebajikan. "
( QS. Al-'Ankaabut, 69 )

Ya Allah... Berikan Aku Cinta


Ya Allah... berikan aku cinta
yang lebih berkilau dari emas dan permata
yang lebih dalam dari dalamnya lautan dan samudra
yang lebih indah dari indahnya mutiara
yang lebih bersinar dari sinaran mentari dan gemintang
yang lebih luas dari luasnya jagad raya
yang lebih mulia dari cintanya sultan dan auliya

Ya Allah... berikan aku cinta
yang melebihi keagungan cinta dan
memberikan rasa aman serta penjagaan dari
seorang ibu kepada anaknya
yang dengannya aku bangkit dari kefuturan (kelemahan iman)
yang membuka pintu hidayah dalam setiap langkah da'wah
yang memberikan kesabaran atas segala ujian dan cobaan
yang menguatkan tawakal atas segala penderitaan
yang memberikan senyuman dan tawa dari setiap kesedihan
yang menumbuhkan kesyukuran atas segala ni'mat dan pemberian
yang menjaga diri dari kemaksiatan karena rasa malu dan khauf (ketakutan)
yang menjadi penghibur dan teman setia dari keterasingan dunia
yang menggelorakan semangat jihad dan pengorbanan
yang membenamkan diri dalam lautan dzikir
yang menjadikan kemuliaan dalam penjagaan Qur'an dan Sunnah

Ya Allah... berikan aku cinta
cintanya para anbiya -'alahis salam-
cintanya para shahabat -rodiyallahu anhuma ajma'iin-
cintanya para imam fuqaha (ahli fiqih),
mufassirin (ahli tafsir) dan muhadditsin (ahli hadits) -rahiimahu mullah-
cintanya para wali dan kekasih abadi
cintanya para ulama generasi ahlus sunnah
cintanya para mujahid dan mujahidah
cintanya para syuhada
cintanya para hafizh dan hafizhah
cintanya para da'i dan dai'ah
cintanya para ahli thoreqot, ahli dzikir dan ahli ma'rifat
cintanya para ahlul bait yang lurus lagi terpercaya
cintanya para perindu Cinta Ilahi

cintanya orang-orang yang hanif dan berserah diri
cintanya orang-orang yang taubat dari maksiat
cintanya orang-orang yang sabar lagi tawakal
cintanya orang-orang yang zuhud dari dunia

Cinta pada kampung akhirat
Kerinduan pada kehidupan yang abadi
Dalam naungan arrasy Ilahi

Abu Hamid al-Ghazali dilahirkan pada tahun 405 H/ 1058 M di kota Tush yaitu kota kedua setelah Naisabur di daerah Khurasan atau pada saat ini berada pada bagian timur laut negara Iran . Al Ghazali dengan nama lengkap Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi ini mendapat banyak gelar dalam dunia islam. Diantara gelar yang paling terkenal adalah Hujjah al-Islam dan Zain al-‘Arifin. Ia diberikan gelar Hujjah al- Islam karena ia menjadikan tasawuf sebagai hujjahnya dalam berbagai perbincangan kesufian. adalah sosok sufi sekaligus filosof yang melansir konsep ma’rifat. Menurutnya, ma’rifat adalah: “ Tampak jelasnya rahasia-rahasia ketuhanan dan pengetahuan, yaitu soal ketuhanan yang mencakup segala yang ada . Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan, ma’rifat adalah: Memandang kepada wajah (rahasia) Allah[3].
Menurut Al-Ghazali, orang yang mempunyai ma’rifat tentang Tuhan (arif), tidak akan mengatakan “ya Allah atau ya Rabb” karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa ini menyatakan bahwa Tuhan ada di belakang tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya itu .
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat ada terlebih dahulu daripada mahabbah karena mahabbah muncul dari ma’rifat. Namun mahabbah yang dimaksud Al-Ghazali berlainan dengan mahabbah yang diucapkan oleh Rabi’ah al Adawiyah, yaitu mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rizki, kesenangan, dan lain-lain. Al-Ghazali berpendapat bahwa ma’rifat dan mahabbah adalah level paling tinggi yang bisa dicapai seorang sufi. Dan, pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat lebih tinggi mutunya daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal .
Dari aspek bahasa, ma’rifat berasal dari kata عرف , يعرف , عرفا, yang artinya pengetahuan atau pengalaman. Bisa juga berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa dipelajari oleh orang-orang pada umumnya[6]. Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, melainkan pada hal-hal yang bersifat batin. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan dan segala yang maujud berasal dari yang satu[7].
Ma’rifat adalah salah satu tingkatan dalam tasawuf yang diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Pengetahuan ini sedemikian lengkap dan jelas sehingga jiwa seseorang merasa satu dengan yang diketahuinya, yaitu Tuhan[8]. Menurut Harun Nasution, ma’rifat menggambarkan hubungan rapat dalam dalam bentuk gnosis, pengetahuan, dan hati sanubari . Ma’rifat berarti mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu kaum sufi mengatakan:
1. Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, maka mata kepalanya akan tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.
2. Ma’rifat adalah cermin, kalau seorang arif melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah.
3. Yang dilihat orang arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4. Seandainya ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya. Dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang gilang-gemilang[10].
Dari beberapa definisi tersebut dapat diketahui bahwa ma’rifat adalah mengetahui rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari. Dengan demikian, tujuan yang ingin dicapai oleh ma’rifat adalah mengetahui rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan.
Alat yang dapat digunakan untuk menggapai ma’rifat telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb (hati), tetapi artinya tidak sama dengan Heart dalam bahasa Inggris karena qalb selain merupakan alat untuk merasa, juga alat untuk berpikir. Bedanya qalb dengan akal ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedangkan qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Qalb yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkaian zikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan karena qalb yang bersangkutan telah disinari cahaya Tuhan .
Proses sampainya qalb pada cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli, tajalli. Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat. Hal ini dilanjutkan dengan tahalli yaitu menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan amal ibadah. Sedangkan tajalli adalah terbukanya hijab sehingga tampak jelas cahaya Tuhan. Hal ini diilustrasikan dalam firman Allah:
Artinya : “ Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya Menampakkan diri kepada gunung itu[565], dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, Dia berkata: "Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman". (QS. Al A’raf : 143)

Pengertian tajalli juga dijelaskan dalam kitab Insan al-Kamil sebagai berikut: Dalam laku tajalli, seorang hamba melihat Allah. Ketika itu, perbuatan, gerak, dan diam seorang hamba adalah bagi Allah semata[12]. Tajalli juga bisa diartikan: Siapa pun yang mendapat tajalli dari Allah, maka dia mampu menangkap nur Ilahi. Dia lalu meretas jalan menuju ma’rifat dan mampu menyelami dunia batin karena sifat kebaruannya telah fana. Dia pun sampai kepada maqam Haqqul Yaqin[13].
Kutipan tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa tajalli adalah jalan untuk mendapatkan ma’rifat setelah melampaui proses al-fana, yaitu hilangnya sifat-sifat dan rasa kemanusiaan karena melebur pada sifat-sifat Tuhan. Alat yang digunakan untuk mencapai tajalli adalah hati, yaitu hati yang telah mendapatkan cahaya dari Tuhan .
Kemungkinan manusia mencapai tajalli atau mendapatkan limpahan cahaya Tuhan bisa dilihat juga dari isyarat ayat berikut:
Artinya : “ Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus[1039], yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya)[1040], yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(An Nur : 35)

Dengan limpahan cahaya Tuhan itulah manusia dapat mengetahui rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Dia lalu bisa mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia biasa. Orang yang sudah mencapai ma’rifat bisa berhubungan langsung dengan sumbar ilmu yaitu Allah. Dengan hati yang telah dilimpahi cahaya, seseorang bagaikan memiliki antena parabola yang mendapatkan pengetahuan langsung dari Tuhan.
Allah swt berfirman:
Artinya : “dan tatkala telah datang kepada mereka kebenaran dari sisi Kami, mereka berkata: "Sesungguhnya ini adalah sihir yang nyata". (QS. Yunus : 76)

Ma’rifat yang dicapai seseorang terkadang diberi nama beragam. Al-Syarbasi menyebutkan ilmu Al Mauhubah (pemberian)[15], Al Syuhrawardi menyebutkan al Isyraqiyah (pancaran), dan Ibn Sina menyebutkan al Fa’id (limpahan). Sementara itu, kalangan pesantren mengistilahkannya sebagai Futuh (pembuka), kalangan masyarakat Jawa menyebutnya ilmu laduni, dan kalangan kebatinan menamakannya sebagai wangsit .
Uraian di atas telah menginformasikan bahwa ma’rifat adalah pengetahuan tentang rahasia-rahasia dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya melalui pancaran cahaya-Nya yang dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi. Dengan demikian, ma’rifat berhubungan dengan Nur (Cahaya Tuhan). Di dalam Al-Qur’an, dijumpai tidak kurang dari 43 kata “nur” dan sebagian besar dihubungkan dengan Tuhan[17].Misalnya ayat yang berbunyi:
Artinya : “ atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila Dia mengeluarkan tangannya, Tiadalah Dia dapat melihatnya, (dan) Barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah Tiadalah Dia mempunyai cahaya sedikitpun. (QS. An Nur : 40)

Artinya : “ Maka Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (QS. Az Zumar : 22)

Dua ayat tersebut sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Mereka yang mendapatkan cahaya dengan mudah mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan mereka yang tidak mendapatkan cahaya akan menemui kesesatan. Dalam ma’rifat kepada Allah, yang didapat seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran ma’rifat sangat dimungkinkan terjadi dalam Islam, dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an .
Selanjutnya, simak juga hadits qudsi berikut:
“Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakan mahluk. Oleh karena itu Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka mereka mengenal Aku[19].
Hadits tersebut memberi petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh manusia. Caranya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkan bahwa ma’rifat dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Pengertian Mahabbah


Cinta atau yang dikenal dalam bahasa Arab Mahabbah berasal dari kata أحب , يحب , محبة, yang secara bahasa berarti mencintai secara mendalam, kecintaan, atau cinta yang mendalam . Dalam Al-Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan, Mahabbah (cinta) adalah lawan dari kata al Baghd (benci)[21]. Al- Mahabbah dapat pula berarti al Wadud, yakni yang sangat pengasih atau penyayang[22]. Selain itu, al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja pada pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sunguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak,yaitu cinta kepada Tuhan .


Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan suatu paham atau aliran dalam tasawwuf. Dalam hubungan ini, objek mahabbah lebih ditunjukkan kepada Tuhan. Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan di atas , tampaknya ada juga yang cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhani kepada Tuhan[24].


Mahabbah dalam pengertian tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan oleh Al-Qusyairi sebagai berikut: “Al-Mahabbah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikan nya (kemutlakan) Allah Swt oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasiha-Nya”[25].


Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang mencintai-Nya itu selanjutnya dapat mengambil bentuk iradah dan rahmah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang melimpah[26]. Mahabbah berbeda dengan al Raghbah. Mahabbah adalah cinta yang tidak dibarengi dengan harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi, sedangkan al Raghbah adalah cinta yang disertai dengan keinginan yang kuat untuk mendapatkan sesuatu, meskipun harus mengorbankan segalanya[27]. Menurut Harun Nasution, pengertian mahabbah adalah:
1. Patuh kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi,yaitu Tuhan .
Menurut Al-Sarraj, sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution, ada tiga macam tingkatan mahabbah, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq, dan mahabbah orang yang arif.
a. Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan berzikir, memuji Allah, suka menyebut nama-nama Allah, dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Allah.
b. Mahabbah orang shidiq adalah cinta dari seseorang yang kenal kepada Allah, kepada kebesaran-Nya, kepada kekuasaan-Nya, kepada ilmu-Nya, dan lain-lain. Juga cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini membuat seseorang sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta kepada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.
c. Mahabbah orang yang arif adalah cinta dari seseorang yang tahu betul kepada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai[29].
Dari ketiga tingkatan mahabbah yang dikemukakan oleh Harun Nasution tersebut tampak menunjukkan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya melalui dzikir, dilanjutkan dengan leburnya diri (fana) pada sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kekal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dari ketiga tingkatan ini tampaknya cinta yang terakhirlah yang ingin dituju oleh mahabbah ini .
Dengan urain tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk kedalam diri yang mencintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa. Selain itu, uraian di atas juga menggambarkan bahwa mahabbah adalah merupakan hal yaitu keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya. Hal bertalian dengan maqam karena hal bukan diperoleh atas usaha manusia, melainkan karena anugrah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat semaentara, datang dan pergi, sebagaimana datang dan perginya seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan[31].
Terlepas dari banyaknya penjelasan mengenai defenisi dan “seluk-beluk” cinta atau mahabbah tersebut, namun yang pasti, mahabbah pada dasarnya merupakan sebuah sikap operasional. Dengan kata lain, konsep mahabbah (cinta kepada Allah) adalah salah satu ajaran pokok yang memungkinkan Islam membawa rahmat bagi seluruh isi alam. Cinta pada hakikatnya bukanlah sebutan untuk emosi semata-mata yang hanya dipupuk di dalam batin saja, akan tetapi ia adalah cinta yang memiliki kecenderungan pada kegiatan nyata sekaligus menjadi sumber keutamaan moral.
Hanya saja dalam perjalanan sejarah umat Islam, term “cinta” atau “mahabbah” telah menjadi salah satu pokok pembicaraan orang-orang sufi. Mereka menggeser penekanan cinta kearah idealisme emosional yang dibatinkan secara murni. Sehingga di kalangan sufi, mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan makrifat, baik dalam penempatannya maupun dalam pengertiannya. Kalau makrifat merupakan tingkat pengetahuan tentang Tuhan melalui hati, sedang mahabbah adalah merupakan perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Seluruh jiwa terisi oleh rasa kasih dan kasih dan cinta kepada Tuhan. Rasa cinta yang tumbuh dari pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan, sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan cinta, tetapi”diri yang dicintai”. Oleh karena itu menurut al-Gazali, mahabbah itu adalah manifestasi dari makrifat kepada Tuhan.
Demikian cintanya orang-orang sufi kepada Tuhan, mereka rela mengorbankan dirinya demi memenuhi keinginan Tuhannya. Olehnya itu, cinta atau mahabbah pada hakikatnya adalah lupa terhadap kepentingan diri sendiri, karena mendahulukan kepentingan yang dicintainya yaitu Tuhan. Mahabbah adalah suatu ajaran tentang cinta atau kecintaan kepada Allah. Tetapi bagaimana bentuk pelaksanaan kecintaan kepada Allah itu tidak bisa dirumuskan secara pasti karena hal itu menyangkut perasaan dan penghayatan subyektif tiap sufi.

C. Konsep Falsafah Hub al-Illah Rabi’ah
Rabi’ah Al Adawiyah tergolong dalam kelompok sufi periode awal. Ia memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam sajak-sajak berkualitas tinggi. Rabi’ah dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master). Hakikat tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai Allah SWT). Ibadah yang ia lakukan bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau rasa penuh harap akan pahala atau surga, melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menyelami keindahan–Nya yang azali. Mahabbah Rabi’ah merupakan versi baru dalam masalah ubudiyah kedekatan pada Tuhan.
Rabi’ah adalah seorang zahidah sejati. Memeluk erat kemiskinan demi cintanya pada Allah. Lebih memilih hidup dalam kesederhanaan. Definisi cinta menurut Rabi’ah adalah cinta seorang hamba kepada Allah Tuhannya. Ia mengajarakan bahwa yang pertama, cinta itu harus menutup yang lain, selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta, yaitu bahwa seorang sufi harus memalingkan punggungnya dari masalah dunia serta segala daya tariknya. Sedangkan yang kedua, ia mengajarkan bahwa cinta tersebut yang langsung ditujukan kepada Allah dimana mengesampingkan yang lainnya, harus tidak ada pamrih sama sekali. Ia harus tidak mengharapkan balasan apa-apa. Dengan Cinta yang demikian itu, setelah melewati tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi mampu meraih ma’rifat sufistik dari “hati yang telah dipenuhi oleh rahmat-Nya”. Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian dari Allah dan dari ma’rifat inilah akan mendahului perenungan terhadap Esensi Allah tanpa hijab. Rabi’ah merupakan orang pertama yang membawa ajaran cinta sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam.
Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalan mencapai ketulusan. Sesuatu yang diangap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berujar:


Wahai Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di neraka. Jika aku menyembah-Mu karena surga, jangan masukkan ke dalamnya. Tapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, jangan sembunyikan dariku keindahan abadi-Mu.
Dalam fase selanjutnya, hidup Rabia'ah hanya diisi dengan dzikir, tilawah, dan wirid. Duduknya hanya untuk menerima kedatangan muridnya yang terdiri dari kaum sufi yang memohon restu dan fatwanya. Rabi'ah berusaha mengajarkan generasi Muslim sesudahnya sehingga mereka mampu mengangkat derajat mereka dari nafsu rendah. Sebab kondisi masyarakat Basrah pada waktu itu terlena dalam kehidupan duniawi, berpaling dari Allah Swt dan menjauhi orang-orang yang mencintai Allah serta segala sesuatu yang dapat mendekatkan diri pada Allah Swt. Mengajarkan pada manusia arti cinta ilahi dengan mendidik manusia dengan akhlaq yang mulia sehingga mendapatkan kedudukan tinggi. Hidup Rabi'ah penuh untuk beribadah kepada Tuhan hingga akhir hayatnya.


Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.
Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap cinta kepada dan karena Allah semata .
Cinta Rabi’ah kepada Allah sebegitu kuat membelenggu hatinya, sehingga hatinya pun tak mampu untuk berpaling kepada selain Allah. Pernah suatu ketika Rabi’ah ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak mencintai Rasul?” Ia menjawab, “Ya, aku sangat mencintainya, tetapi cintaku kepada Pencipta membuat aku berpaling dari mencintai makhluknya.” Rabi’ah juga ditanya tentang eksistensi syetan dan apakah ia membencinya? Ia menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong sedikit pun dalam diriku untuk rasa membenci syetan.”
Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintai Allah dengan sesungguh hati dan keimanan. Karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup.


Menurut kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai kepada maqam mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ke tahapan maqam tersebut, Rabi’ah terlebih dahulu melampaui tahapan-tahapan lain, antara lain tobat, sabar dan syukur. Tahapan-tahapan ini ia lampaui seiring dengan perwujudan Cintanya kepada Tuhan. Tapi pada tahap tertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya seakan masih belum terpuaskan, meski hijab penyaksian telah disibakkan. Oleh karena itu, Rabi’ah tak henti-hentinya memohon kepada Kekasihnya itu agar ia bisa terus mencintai-Nya dan Dia pun Cinta kepadanya.
Dalam kegamangannya itu, Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa dan bermunajat kepada Allah. Bahkan dalam doanya itu ia berharap agar tetap mencintai Allah hingga Allah memenuhi ruang hatinya.
Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya.


Abu Thalib al-Makki dalam mengomentari sya’ir di atas mengatakan, dalam Cinta rindu itu, Rabi’ah telah melihat Allah dan mencintai-Nya dengan merenungi esensi kepastian, dan tidak melalui cerita orang lain. Ia telah mendapat kepastian (jaminan) berupa rahmat dan kebaikan Allah kepadanya. Cintanya telah menyatu melalui hubungan pribadi, dan ia telah berada dekat sekali dengan-Nya dan terbang meninggalkan dunia ini serta menyibukkan dirinya hanya dengan-Nya, menanggalkan duniawi kecuali hanya kepada-Nya. 


Sebelumnya ia masih memiliki nafsu keduniawian, tetapi setelah menatap Allah, ia tanggalkan nafsu-nafsu tersebut dan Dia menjadi keseluruhan di dalam hatnya dan Dia satu-satunya yang ia cintai. Allah telah memebaskan hatinya dari keinginan duniawi, kecuali hanya diri-Nya, dan dengan ini meskipun ia masih belum pantas memiliki Cinta itu dan masih belum sesuai untuk dianggap menatap Allah pada akhirnya, hijab tersingkap sudah dan ia berada di tempat yang mulia. Cintanya kepada Allah tidak memerlukan balasan dari-Nya, meskipun ia merasa harus mencintai-Nya. Al-Makki melanjutkan, bagi Allah, sudah selayaknya Dia menampakkan rahmat-Nya di muka bumi ini karena doa-doa Rabi’ah (yaitu pada saat ia melintasi Jalan itu) dan rahmat Allah itu akan tampak juga di akhirat nanti (yaitu pada saat Tujuan akhir itu telah dicapainya dan ia akan melihat wajah Allah tanpa ada hijab, berhadap-hadapan). Tak ada lagi pujian yang layak bagi-Nya di sini atau di sana nanti, sebab Allah sendiri yang telah membawanya di antara dua tingkatan itu (dunia dan akhirat)[36].

Dalam shahih Bukhari-Muslim, sebuah hadis diriwayatkan oleh Anas bin Malik menyatakan bahwa Rasulullah bersabda, “ Kamu belum beriman sebelum Allah dan RasulNya lebih kamu cintai daripada selain keduanya.” Tirmidzi pun meriwayatkan bahwa Rasullullah bersabda, “ Cintailah Allah karena nikmat yang dianugerahkanNya kepadamu. Cintailah aku karena kecintaanmu kepada Allah. Dan Cintailah keluargaku karena kecintaanmu kepadaku.”


Kini Rabi’ah telah tiada. Perempuan kekasih Ilahi itu meninggal untuk selamanya, dan akan kembali hidup bersama Sang Kekasih di sisi-Nya. Jasad kasarnya hilang ditelan bumi, tetapi ruh sucinya terbang bersama para sufi, para wali, dan para pecinta Ilahi.

KEHIDUPAN RUMAH TANGGA


Menarik untuk dicatat, bahwa penampilannya di
depan umum selaras dengan kehidupan
perkawinannya. Sampai Tahun 521 H, yakni pada
usia kelimma puluh satu, ia tak pernah berpikir
tentag perkawinan.

Bahkan ia menganggapnya
sebagai penghambat upaya ruhaniahnya. Tetapi,
begitu beliau berhubungan dengan orang-orang,
demi mematuhi perintah Rasul dan mengikuti
Sunnahnya, ia pun menikahi empat wanita,s
emuanya saleh dan taat kepadanya.

Ia
mempunyai empat puluh sembilan anak – dua
puluh putra, dan yang lainnya putri.

Empat putranya termasyhur akan kecendekian
dan kepakarannya :
Satu (1) Syeikh Abdul Wahab, putra tertua,a
dalah seorang alim besar, dan mengelola
madrassah ayahnya pada tahun 543 H. Sesudah
sang wali wafat, ia juga berkhutbah dan
menyumbangkan buah pikirannya, berkenaan
dengan masalah-masalah Syari’at Islam. Ia juga
memimpin sebuah kantor negara, dan demikian
termasyhur.

Dua (2) Syeikh Isa. Ia adalah seorang guru hadis
dan seorang hakim besar. Dikenal juga sebagai
seorang penyair. Ia adalah seorang khatib yang
baik, dan juga Sufi. Ia mukim di Mesir, hingga
akhir hayatnya.

Tiga (3) Syeikh Abdur Razaq. Ia adalag seorang
alim, sekaligus penghafal hadis. Sebagaimana
ayahnya, ia terkenal takwa. Ia mewarisi beberapa
kecenderungan spiritual ayahnya, dan
sedemikian masyhur di Baghdad, sebgaimana
ayahnya.

Empat (4) Syeikh Musa. Ia adalah seorang alim
terkenal. Ia hidrah ke Damaskus, hingga wafat.
Tujuh puluh delapan wacana sang wali sampai
kepada kita melalui Syeikh Isa. Namanya
termaktub pada mukadimah buku ini.

Dua
wacana terakhir, yang memaparkan saat-saat
terakhir sang wali, diriwayatkan oleh Syeikh
Abdul Wahab. Syeikh Musa termaktub pada akhir
buku ini, pada wacana ke tujuh puluh sembilan
dan kedelapan puluh. Pada dua wacana terakhir
ini disebutkan pembuatnya adalah Syeikh Abdul
Razaq dan Syeikh Abdul Aziz, dua pytra sang
wali, dengan di imlakkan oleh sang wali, pada
saat-saat terakhirnya.

Syaikh Abdul Qadir AJ

Bersuci dan najis

Bismillaah...
Jika pada suatu tempat dari badan yang bersuci terdapat najis yang tidak dimaafkan, haram atasnya menyentuh Mushaf dengan tempat yang bernajis itu tanpa ada perselisihan dan tidak haram dengan lainnya menurut madzhab yang sahih dan yang masyhur yang dikatakan oleh sebagian besar sahabat kami dan para ulama lainnya.

Abdul Qasim Ash-Shaimari salah seorang sahabat kami berkata, haram.

Al-Qadhi Abui Thayyib berkata, pendapat ini tertolak menurut ijmak.

Kemudian menurut pendapat yang masyhur, sebagian sahabat kami mengatakan makruh. Pendapat yang terpilih adalah tidak makruh.

Barangsiapa tidak menemukan air, kemudian bertayamum sebagaimana dia dibenarkan melakukan tayamum, maka dia bisa menyentuh Mushaf, sama saja tayamum itu untuk sembahyang atau untuk keperluan lain yang mengharuskan tayamum.

Sementara siapa yang tidak menemukan air ataupun tanah, maka dia bisa sembahyang saja dan tidak bisa menyentuh Mushaf karena dia berhadas.

Kami bisakan baginya sembahyang karena darurat.

Sekiranya ada bersamanya Mushaf dan tidak menemukan orang yang bisa diamanahkannya sedang dia tidak dapat berwudhu, duharuskan baginya membawanya karena darurat.

Al-Qadhi Abu Thayyib berkata, tidak wajib baginya bertayamum. Kalau dia membimbangkan Mushaf terbakar atau tenggelam atau jatuh dalam najis atau jatuh ke tangan orang kafir, maka dia bisa mengambilnya karena darurat, meskipun dia berhadas..


Jika orang yang berhadas atau junub atau perempuan haid menyentuh atau membawa sebuah kitab fiqh atau kitab ilmu lain yang berisi ayat-ayat Al-Qur’an atau bersulam ayat Al-Qur’an atau yang uang dirham atau uang dinar berukiran ayat Al-Qur’an atau membawa barang-barang yang di antaranya terdapat Mushaf atau menyentuh dinding atau makanan kuil atau roti yang berukiran Al-Qur’an, maka madzhab yang sahih adalah bisa melakukan semua ini karena ia bukan Mushaf.

Terdapat satu pendapat yang mengatakan haram. Qadhi besar Abu Hasan Al-Mawardi dalam kitabnya AlHaawi berkata, bisa menyentuh baju yang bersulam Al-Qur’an dan tidak bisa memakainya tanpa ada perselisihan karena tujuan memakainya adalah tabarruk (mengambil berkat) dengan Al-Qur’an.

Pendapat yang disebutkan atau dikatakannya ini adalah lemah dan tidak seorang pun yang berpendapat seperti itu menurut pengetahuan saya. Bahkan Asy-Syeikh Abu Muhammad Al-Juwaini dan lainnya menegaskan keharusan memakainya.
Inilah pendapat yang benar. Wallahua’lam.

Manakala Kitab tafsir Al-Qur’an, apabila Al-Qur’an yang terdapat di dalamnya lebih banyak dari lainnya, haram menyentuh dan membawanya.
Kalau lainnya lebih banyak sebagaimana pada umumnya, maka ada tiga pendapat. Pedapat yang lebih shahih tidak haram.

Pendapat kedua, haram.

Pendapat ketiga, kalau Al-Qur’an di tulis dengan huruf yang kelas karena tebal atau dengan huruf merah atau lainnya, maka haram.

Jika tulisannya tidak jelas, maka tidak haram Saya katakan: Dan haram menyentuhnya apabila sama antara keduanya.
Sahabat kami penulis kitab At-Titimmah berkata, apabila kami katakan, tidak haram, maka hukumnya makruh. Sementara menulis hadits Rasulullah saw jika tidak terdapat ayat-ayat Al-Qur’an di dalamnya, tidaklah haram menyentuhnya.

Pendapat yang lebih utama adalah tidak disentuh, kecuali dalam keadaan suci.

Kalau terdapat ayat-ayat dari Al-Qur’an, tidaklah haram menurut madzhab kami, tetapi makruh. Dalam hal ini ada satu pendapat bahwa hal itu haram, yaitu yang terdapat dalam kitab-kitab Fiqh. Sedangkan ayat yang dinasakh tilawahnya seperti rejam dan selain itu, maka tidak haram menyentuh ataupun membawanya.
Para sahabat kami berkata, demikian jugalah Taurat dan Injil