Laman

Kamis, 27 November 2014

Tidak Ada Perantara Antara Manusia dengan Allah


Dalam hadist Qudsi Allah berfirman, “Jadikanlah dirimu beserta dengan Allah…”, ini perintah Allah yang utama. Setiap manusia berusaha dengan segenap kemampuannya, dengan ikhtiar ibadahnya untuk bisa senantiasa selalu beserta atau bersama dengan Allah. Karena tidak semua manusia mengetahui rahasia untuk berhubungan dengan Allah maka Allah memberikan rumus, “Jika engkau belum bisa berhubungan dengan Allah maka adakanlah dirimu beserta dengan orang yang beserta dengan Allah, maka dialah yang mengantarkan dirimu kepada Allah”. Dari hadits Qudsi tersebut jelas bahwa Allah tidak menyuruh kita mengambil perantara tapi mencari orang yang bisa menuntun dan membimbing kita kepada-Nya dalam hal ini Nabi dan kemudian diteruskan oleh para Wali Allah.
Pengamal tarekat tidak pernah menjadikan Gurunya sebagai perantara antara manusia dengan Allah, Guru Mursyid bertugas untuk membimbing, mengarahkan dan menuntun murid kepada jalan Allah, jalan yang sudah berulang kali di lewati oleh Sang Guru sehingga paham di mana jurang terjal dan di mana tikungan tajam sehingga para murid selamat sampai ke tempat tujuan.
Guru, Mursyid dan Wasilah
Hal yang harus kita pahami dengan baik terlebih dulu adalah perbedaan antara Guru, Mursyid dan Wasilah agar kita lebih mudah memaknai hakikat langsung hubungan dengan Allah. Kalau kita menyebut Guru berarti kita sedang membicarakan sosok manusia dalam hal ini lebih khusus kepada Guru tarekat. Gelar yang diberikan kepada Guru Tarekat bisa Syekh, Saidi Syekh, Tuan Guru, Sunan, Kanjeng, Kiayi, Abuya, Abi dan gelar lain yang sesuai dengan kondisi masyarakat setempat yang tujuannya adalah untuk menghargai sang Guru. Guru Tarekat dalam keseharian bisa saja berprofesi sebagai pimpinan pasantren, iman mesjid, ahli pengobatan, Guru di Universitas dan bahkan sebagai pekerja biasa. Profesi duniawi Guru tidak mempengaruhi derajat Beliau di sisi Allah. Guru sebagaimana manusia biasa memiliki sifat-sifat alamiah manusia juga seperti: sedih, sakit, tersinggung, senang, susah dan sifat-sifat alamiah manusia lainnya. Seorang murid harus memahami akan kepribadian Gurunya, karena itu dalam tarekat ada istilah Hadab/Adab atau sopan santun dari murid kepada Guru agar kasih sayang Guru bisa mengalir kepada murid-muridnya.
Mursyid adalah pembimbing rohani, ketika menyebut kata Mursyid lebih bersifat kepada rohani. Mursyid akan membimbing rohani para murid secara 24 jam dari dunia sampai ke akhirat kelak karena rohani Mursyid telah berada pada tingkatan sempurna lagi menyempurnakan.
Sama halnya dengan Nabi atau Rasul yang merupakan pangkat kerohanian, Muhammad bin Abdullah adalah manusia biasa sama seperti umumnya manusia lain yang memiliki kekurangan, mengalami sakit dan sedih sedangkan Rasulullah (rohani Muhammad) adalah suci lagi mensucikan yang terbit dari dzat dan sifat Allah, Rasulullah ini lah yang berfungsi membimbing rohani ummat menuju Allah SWT.
Dalam dunia tarekat sudah menjadi kelaziman kata Guru dan Mursyid di gabung menjadi satu karena fungsi seorang Guru Tarekat bukan hanya menuntun murid secara zahiriah dengan ilmu-ilmu agama tapi juga membimbing rohani para murid setiap saat 24 jam agar jauh dari godaan setan. Kita sering menyebut Guru Tarekat sebagai Guru Mursyid atau Syekh Mursyid.
Sedangkan Wasilah adalah pancaran cahaya Allah atau dikenal dengan Nur Muhammad yang berasal langsung dari sisi Allah. Dengan Nur inilah manusia bisa berkomunikasi dengan Allah. Manusia tidak akan mungkin bisa sampai kehadirat Allah, siapapun itu tanpa kecuali, tanpa adanya wasilah, tanpa adanya cahaya Allah tanpa adanya AL-BURAQ. Dengan Cahaya Allah itu pula seluruh Nabi/Rasul termasuk Nabi Muhammad berhubungan dengan Allah, karena Beliau diberi Wasilah berupa Nur itulah yang membuat pangkat Beliau menjadi Rasulullah, utusan Allah. Satu hal yang harus di pahami, utusan Allah itu bukanlah Muhammad bin Abdillah yang sudah wafat 14 abad yang lain, bukan sama sekali. Utusan Allah adalah Nur Muhammad, cahaya Allah yang diberikan ke dalam dada Muhammad yang telah terlebih dulu di sucikan oleh Jibril as dengan menggunakan metodologi yang berasal dari Allah. Dengan memiliki Wasilah tersebut maka Muhammad adalah sebagai pembimbing seluruh manusia saat itu untuk bisa berkomunikasi dengan Allah. Siapapun yang menggunakan metode yang persis digunakan oleh Nabi Muhammad maka dia akan mendapat hasil yang sama yaitu komunikasi yang murni dengan Allah Ta’ala.
Nabi Muhammad dengan kedudukan sebagai utusan Allah bisa diibarat sebagai Pemancar gelombang radio yang meneruskan gelombang dari pusat kemudian diteruskan keseluruh alam, sehingga radio tersebut bisa diterima oleh semua orang yang telah memiliki radio, dengan syarat radio nya hidup dan menyetel di chanel yang tepat.
Hubungan antara manusia dengan Allah dengan Wasilah ini sangat ilmiah dan tak terbantahkan, inilah sebagai sumber power bagi ummat Islam sehingga musuh-musuh Islam berusaha dengan sekuat tenaga menghancurkan hal yang Maha Penting ini, menghembuskan keraguan ke dalam kaum muslim tentang Wasilah. Kabar buruknya propaganda yang dilakukan berabad-abad untuk menghancurkan metode warisan Nabi ini (Tarekatullah) telah mulai berhasil dilakukan oleh orientalis pada abad ke-19 yang dimulai dari jantung peradaban Islam yaitu Mekkah dan Madinah, dari sanalah dimulai gerakan untuk menghancurkan ajaran tasawuf, warisan Nabi yang tak ternilai harganya.
Wasilah yang tertanam dalam dada nabi Muhammad itu kemudian diteruskan kepada sahabat, diteruskan ke generasi berikut, sampai akhir zaman. Jadi, Nabi, Rasul dan para Wali itu bukanlah Wasilah, mereka hanya sebagai pembawa wasilah yang berasal dari sisi Allah.
Ketika seorang hamba pilihan dititipkan Wasilah oleh Allah maka secara otomatis dalam dirinya bersemayam Nur Allah, apapun yang terpancar dalam dirinya berasal dari Allah swt. Pada tahap ini persis seperti yang di firmankan Allah dalam hadits Qudsi, “Apabila melihat AKU-lah matanya”, “Apabila berjalan AKU-lah kakinya” dan “Apabila bermohon niscaya KU kabulkan”. Orang yang mempunyai kedudukan seperti di atas sangat langka, tidak semua manusia yang dalam matanya ada mata Allah, di kakinya ada kaki Allah dan dalam bahasa sederhana diseluruh tubuhnya telah dipenuhi dengan cahaya Allah sehingga ketika orang memandang wajahnya adalah Allah disana. Orang yang telah mendapat wasilah ini disebut oleh Nabi, “Barang siapa memandang kepada wajah orang Alim sekali dengan pandangan yang senang, niscaya Allah menjadikan pandangan tersebut malaikat yang memintakan ampun baginya hingga hari kiamat”. Bukan hanya memandang wajah, namanya pun begitu mulia sebagaimana disebut dalam hadist, “Sebaik-baik manusia adalah yang apabila namanya disebut maka nama Allah ikut disebut”. Siapakah manusia yang namanya tidak pernah berpisah dengan nama Allah, yang menyebut namanya sama dengan menyebut nama Allah? Mareka adalah orang-orang yang diberi kedudukan mulia oleh Allah, para kekasih Allah yang hanya Allah yang mengetahui keberadaan mereka. Mereka pula yang telah begitu akrab dengan Allah bisa mengantarkan seluruh manusia dengan mudah di sisi-Nya.

Tasawuf adalah Ajaran Rasulullah SAW dan Para Sahabat


Benih-benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan perilaku nabi Muhammad SAW.
Peristiwa dan Perilaku Hidup Nabi. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari beliau berkhalawat (mengasingkan diri) di Gua Hira, terutama pada bulan Ramadhan disana nabi banyak berzikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Pengasingan diri Nabi SAW digua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalawat. Kemudian puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah SWT tercapai ketika melakukan Isra Mikraj. Di dalam Isra Mikraj itu nabi SAW telah sampai ke Sidratulmuntaha (tempat terakhir yang dicapai nabi ketika mikraj di langit ke tujuh), bahkan telah sampai kehadiran Ilahi dan sempat berdialog dgn Allah. Dialog ini terjadi berulang kali, dimulai ketika nabi SAW menerima perintah dari Allah SWT tentang kewajiban shalat lima puluh kali dalam sehari semalam. Atas usul nabi Musa AS, Nabi Muhammad SAW memohon agar jumlahnya diringankan dengan alasan umatnya nanti tidak akan mampu melaksanakannya. Kemudian Nabi Muhammad SAW terus berdialog dengan Allah SWT. Keadaan demikian merupakan benih yang menumbuhkan sufisme dikemudian hari.
Perikehidupan (sirah) nabi Muhammad SAW juga merupakan benih-benih tasawuf yaitu pribadi nabi SAW yang sederhana, zuhud, dan tidak pernah terpesona dengan kemewahan dunia. Dalam salah satu Doanya ia memohon: ”Wahai Allah, Hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin” (HR.at-Tirmizi, Ibnu Majah dan al-Hakim).
“Pada suatu waktu Nabi SAW datang kerumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq. Ternyata dirumahnya tidak ada makanan. Keadaan ini diterimanya dengan sabar, lalu ia menahan lapar dengan berpuasa” (HR.Abu Dawud, at-Tirmizi dan an-Nasa-i) .
Ibadah Nabi Muhammad SAW. Ibadah nabi SAW juga sebagai cikal bakal tasawuf. Nabi SAW adalah orang yang paling tekun beribadah. Dalam satu riwayat dari Aisyah RA disebutkan bahwa pada suatu malam nabi SAW mengerjakan shalat malam, didalam salat lututnya bergetar karena panjang dan banyak rakaat salatnya. Tatkala rukuk dan sujud terdengar suara tangisnya namun beliau tetap melaksanakan salat sampai azan Bilal bin Rabah terdengar diwaktu subuh. Melihat nabi SAW demikian tekun melakukan salat, Aisyah bertanya: ”Wahai Junjungan, bukankah dosamu yang terdahulu dan yang akan datang diampuni Allah, mengapa engkau masih terlalu banyak melakukan salat?” nabi SAW menjawab:” Aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur” (HR.Bukhari dan Muslim).
Selain banyak salat nabi SAW banyak berzikir. Beliau berkata: “Sesungguhnya saya meminta ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya setiap hari tujuh puluh kali” (HR.at-Tabrani).
Dalam hadis lain dikatakan bahwa Nabi SAW meminta ampun setiap hari sebanyak seratus kali (HR.Muslim). Selain itu nabi SAW banyak pula melakukan iktikaf dalam mesjid terutama dalam bulan Ramadan.
Akhlak Nabi Muhammad SAW. Akhlak nabi SAW merupakan acuan akhlak yang tidak ada bandingannya. Akhlak nabi SAW bukan hanya dipuji oleh manusia, tetapi juga oleh Allah SWT. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah SWT yang artinya: “Dan sesungguhnya kami (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”.(QS.Al Qalam:4) ketika Aisyah ditanya tentang Akhlak Nabi SAW, Beliau menjawab: Akhlaknya adalah Al-Qur’an”(HR.Ahmad dan Muslim). Tingkah laku nabi tercermin dalam kandungan Al-Qur’an sepenuhnya.
Dalam diri nabi SAW terkumpul sifat-sifat utama, yaitu rendah hati, lemah lembut, jujur, tidak suka mencari-cari cacat orang lain, sabar, tidak angkuh, santun dan tidak mabuk pujian. Nabi SAW selalu berusaha melupakan hal-hal yang tidak berkenan di hatinya dan tidak pernah berputus asa dalam berusaha.
Oleh karena itu, Nabi SAW merupakan tipe ideal bagi seluruh kaum muslimin, termasuk pula para sufi. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya:”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.”.
Kehidupan Empat Sahabat Nabi Muhammad SAW.
Sumber lain yang menjadi sumber acuan oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat yang berkaitan dengan keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh karena setiap orang yang meneliti kehidupan rohani dalam islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi diabad-abad sesudahnya.
Kehidupan para sahabat dijadikan acuan oleh para sufi karena para sahabat sebagai murid langsung Rasulullah SAW dalam segala perbuatan dan ucapan mereka senantiasa mengikuti kehidupan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu perilaku kehidupan mereka dapat dikatakan sama dengan perilaku kehidupan Nabi SAW, kecuali hal-hal tertentu yang khusus bagi Nabi SAW. Setidaknya kehidupan para sahabat adalah kehidupan yang paling mirip dengan kehidupan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW karena mereka menyaksikan langsung apa yang diperbuat dan dituturkan oleh Nabi SAW. Oleh karena itu Al-Qur’an memuji mereka: ” Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk islam) diantara orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah sediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya, mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”. (QS.At Taubah:100).
Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi menulis didalam bukunya, Kitab al-Luma`, tentang ucapan Abi Utbah al-Hilwani (salah seorang tabiin) tentang kehidupan para sahabat:” Maukah saya beritahukan kepadamu tentang kehidupan para sahabat Rasulullah SAW? Pertama, bertemu kepada Allah lebih mereka sukai dari pada kehidupan duniawi. Kedua, mereka tidak takut terhadap musuh, baik musuh itu sedikit maupun banyak. Ketiga, mereka tidak jatuh miskin dalam hal yang duniawi, dan mereka demikian percaya pada rezeki Allah SWT.”
Adapun kehidupan keempat sahabat Nabi SAW yang dijadikan panutan para sufi secara rinci adalah sbb:
Abu Bakar as-Siddiq.
Pada mulanya ia adalah salah seorang Kuraisy yang kaya. Setelah masuk islam, ia menjadi orang yang sangat sederhana. Ketika menghadapi perang Tabuk, Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, Siapa yang bersedia memberikan harta bendanya dijalan Allah SWT. Abu Bakar lah yang pertama menjawab:”Saya ya Rasulullah.” Akhirnya Abu Bakar memberikan seluruh harta bendanya untuk jalan Allah SWT. Melihat demikian, Nabi SAW bertanya kepada: ”Apalagi yang tinggal untukmu wahai Abu Bakar?” ia menjawab:”Cukup bagiku Allah dan Rasul-Nya.”
Diriwayatkan bahwa selama enam hari dalam seminggu Abu Bakar selalu dalam keadaan lapar. Pada suatu hari Rasulullah SAW pergi kemesjid. Disana Nabi SAW bertemu Abu Bakar dan Umar bin Khattab, kemudian ia bertanya:”Kenapa anda berdua sudah ada di mesjid?” Kedua sahabat itu menjawab:”Karena menghibur lapar.”
Diceritakan pula bahwa Abu Bakar hanya memiliki sehelai pakaian. Ia berkata:”Jika seorang hamba begitu dipesonakan oleh hiasan dunia, Allah membencinya sampai ia meninggalkan perhiasan itu.” Oleh karena itu Abu Bakar memilih takwa sebagai ”pakaiannya.” Ia menghiasi dirinya dengan sifat-sifat rendah hati, santun, sabar, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan ibadah dan zikir.
Umar bin Khattab
Umar bin Khattab yang terkenal dengan keheningan jiwa dan kebersihan kalbunya, sehingga Rasulullah SAW berkata:” Allah telah menjadikan kebenaran pada lidah dan hati Umar.” Ia terkenal dengan kezuhudan dan kesederhanaannya. Diriwayatkan, pada suatu ketika setelah ia menjabat sebagai khalifah, ia berpidato dengan memakai baju bertambal dua belas sobekan.
Diceritakan, Abdullah bin Umar, putra Umar bin Khatab, ketika masih kecil bermain dengan anak-anak yang lain. Anak-anak itu semua mengejek Abdullah karena pakaian yang dipakainya penuh dengan tambalan. Hal ini disampaikannya kepada ayahnya yang ketika itu menjabat sebagai khalifah. Umar merasa sedih karena pada saat itu tidak mempunyai uang untuk membeli pakaian anaknya. Oleh karena itu ia membuat surat kepada pegawai Baitulmal (Pembendaharaan Negara) diminta dipinjami uang dan pada bulan depan akan dibayar dengan jalan memotong gajinya.
Pegawai Baitulmal menjawab surat itu dengan mengajukan suatu pertanyaan, apakah Umar yakin umurnya akan sampai bulan depan. Maka dengan perasaan terharu dengan diiringi derai air mata , Umar menulis lagi sepucuk surat kepada pegawai Baitul Mal bahwa ia tidak lagi meminjam uang karena tidak yakin umurnya sampai bulan yang akan datang.
Disebutkan dalam buku-buku tasawuf dan biografinya, Umar menghabiskan malamnya beribadah. Hal demikian dilakukan untuk mengibangi waktu siangnya yang banyak disita untuk urusan kepentingan umat. Ia merasa bahwa pada waktu malamlah ia mempunyai kesempatan yang luas untuk menghadapkan hati dan wajahnya kepada Allah SWT.
Usman bin Affan
Usman bin Affan yang menjadi teladan para sufi dalam banyak hal. Usman adalah seorang yang zuhud, tawaduk (merendahkan diri dihadapan Allah SWT), banyak mengingat Allah SWT, banyak membaca ayat-ayat Allah SWT, dan memiliki akhlak yang terpuji. Diriwayatkan ketika menghadapi Perang Tabuk, sementara kaum muslimin sedang menghadapi paceklik, Usman memberikan bantuan yang besar berupa kendaraan dan perbekalan tentara.
Diriwayatkan pula, Usman telah membeli sebuah telaga milik seorang Yahudi untuk kaum muslimin. Hal ini dilakukan karena air telaga tersebut tidak boleh diambil oleh kaum muslimin.
Dimasa pemerintahan Abu Bakar terjadi kemarau panjang. Banyak rakyat yang mengadu kepada khalifah dengan menerangkan kesulitan hidup mereka. Seandainya rakyat tidak segera dibantu, kelaparan akan banyak merenggut nyawa. Pada saat paceklik ini Usman menyumbangkan bahan makanan sebanyak seribu ekor unta.
Tentang ibadahnya, diriwayatkan bahwa usman terbunuh ketika sedang membaca Al-Qur’an. Tebasan pedang para pemberontak mengenainya ketika sedang membaca surah Al-Baqarah ayat 137 yang artinya:…”Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” ketika itu ia tidak sedikitpun beranjak dari tempatnya, bahkan tidak mengijinkan orang mendekatinya. Ketika ia rebah berlumur darah, mushaf (kumpulan lembaran) Al-Qur’an itu masih tetap berada ditangannya.
Ali bin Abi Talib
Ali bin Abi Talib yang tidak kurang pula keteladanannya dalam dunia kerohanian. Ia mendapat tempat khusus di kalangan para sufi. Bagi mereka Ali merupakan guru kerohanian yang utama. Ali mendapat warisan khusus tentang ini dari Nabi SAW. Abu Ali ar-Ruzbari , seorang tokoh sufi, mengatakan bahwa Ali dianugerahi Ilmu Laduni. Ilmu itu, sebelumnya, secara khusus diberikan Allah SWT kepada Nabi Khaidir AS, seperti firmannya yang artinya:…”dan telah Kami ajarkan padanya ilmu dari sisi Kami.” (QS.Al Kahfi:65).
Kezuhudan dan kerendahan hati Ali terlihat pada kehidupannya yang sederhana. Ia tidak malu memakai pakaian yang bertambal, bahkan ia sendiri yang menambal pakiannya yang robek.
Suatu waktu ia tengah menjinjing daging di Pasar, lalu orang menyapanya:”Apakah tuan tidak malu memapa daging itu ya Amirulmukminin (Khalifah)?” Kemudian dijawabnya:”Yang saya bawa ini adalah barang halal, kenapa saya harus malu?”.
Abu Nasr As-Sarraj at-Tusi berkomentar tentang Ali. Katanya:”Di antara para sahabat Rasulullah SAW Amirulmukminin Ali bin Abi Talib memiliki keistimewahan tersendiri dengan pengertian-pengertiannya yang agung, isyarat-isyaratnya yang halus, kata-katanya yang unik, uraian dan ungkapannya tentang tauhid, makrifat, iman, ilmu, hal-hal yang luhur, dan sebagainya yang menjadi pegangan serta teladan para sufi.
Kehidupan Para Ahl as-Suffah. Selain keempat khalifah di atas, sebagai rujukan para sufi dikenal pula para Ahl as-Suffah. Mereka ini tinggal di Mesjid Nabawi di Madinah dalam keadaan serba miskin, teguh dalam memegang akidah, dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Diantara Ahl as-Suffah itu ialah Abu Hurairah, Abu Zar al-Giffari, Salman al-Farisi, Mu’az bin Jabal, Imran bin Husin, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan Huzaifah bin Yaman. Abu Nu’aim al-Isfahani, penulis tasawuf (w. 430/1038) menggambarkan sifat Ahl as-Suffah di dalam bukunya Hilyat al-Aulia`(Permata para wali) yang artinya: Mereka adalah kelompok yang terjaga dari kecendrungan duniawi, terpelihara dari kelalaian terhadap kewajiban dan menjadi panutan kaum miskin yang menjauhi keduniaan. Mereka tidak memiliki keluarga dan harta benda. Bahkan pekerjaan dagang ataupun peristiwa yang berlangsung disekitar mereka tidak lah melalaikan mereka dari mengingat Allah SWT. Mereka tidak disedihkan oleh kemiskinan material dan mereka tidak digembirakan kecuali oleh suatu yang mereka tuju.
Diantara Ahl as-Suffah itu ada yang mempunyai keistimewahan sendiri. Hal ini memang diwariskan oleh Rasulullah SAW kepada mereka seperti Huzaifah bin Yaman yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW tentang ciri-ciri orang Munafik. Jika ia berbicara tentang orang munafik, para sahabat yang lain senantiasa ingin mendengarkannya dan ingin mendapatkan ilmu yang belum diperolehnya dari Nabi SAW. Umar bin Khattab pernah tercengang mendengar uraian Huzaifah tentang ciri-ciri orang munafik.
Adapun Abu Zar al-Giffarri adalah seorang Ahl as-Suffah termasyur yang bersifat sosial. Ia tampil sebagai prototipe (tokoh pertama) fakir sejati. Abu Zar tidak pernah memiliki apa-apa, tetapi ia sepenuhnya milik Allah SWT dan akan menikmati hartanya yang abadi. Apabila ia diberikan sesuatu berupa materi, maka materi tersebut dibagi-bagi kepada para fakir miskin.
Begitu juga Salman Al Farisi salah seorang Ahli Suffah yang hidup sangat sederhana sampai akhir hanyatnya. Beliau merupakan salah satu Ahli Silsilah dari Tarekat Naqsyabandi yang jalur keguruan bersambung kepada Saidina Abu Bakar Siddiq sampai kepada Rasulullah SAW.
Mudah-mudahan tulisan di atas menjadi informasi yang bermanfaat bagi kita semua sehingga tidak ragu dalam berguru mengamalkan ajaran Tasawuf yang merupakan inti sari Islam yang bersumber dari ajaran Rasulullah SAW dan kemudian ajaran mulia ini diteruskan oleh Para Sahabat, Tabi’in, Tabi Tabi’in serta para Guru Mursyid sambung menyambung dengan tetap menjaga kemurniannya sehingga ajara tasawuf zaman Rasulullah SAW sampai kepada kita tetap dalam keadaan murni. Para Guru Mursyid adalah khalifah Rasulullah SAW ulama Warisatul Anbiya yang menjaga amanah Rasulullah SAW, tidak berani menambah dan mengurangi sehingga ilmu Tasawuf itu tetap terjaga sepanjang zaman.

Hijrah Menuju Cahaya Allah


“Syukur Alhamdulillah karena pagi ini anda telah selamat memasuki Tarekatullah (jalan kepada Allah), untuk itu kepada anda diminta untuk selalu istiqamah menyebut nama-Nya siang dan malam karena nama dengan yang punya nama tidak akan pernah berpisah, ketika kau menyebut nama-Nya dengan metode yang tepat maka Dia akan hadir dalam hati mu detik itu juga” (Sang Guru).
Kata-kata itu walaupun sudah sangat lama saya dengar, yaitu ketika pertama sekali habis shalat shubuh saya diterima menjadi murid Sang Guru, namun sampai saat ini nasehat tersebut masih terekam kuat dalam memori saya, seakan-akan Beliau mengucapkan baru tadi subuh.
Sejak subuh itu, saya merasakan kehidupan yang beda, menapaki jalan baru, jalan dibawah tuntunan dan bimbingan Wali Allah yang dengan sangat sabar menuntun menuju kehadirat-Nya. Tanggal subuh itu saya catat dan saya ingat, karena itu adalah hari pertama saya hijrah, berangkat dari kegelapan dan kebodohan menuju cahaya Allah yang penuh dengan pencerahan.
(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. [Ibrahim (14): 1]
Jalan yang di terangi oleh cahaya di atas cahaya sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nur 35 dan jalan yang merupakan pintu langsung menuju Allah SWT yaitu Wasilah sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Maidah 35.
Ketika kita memutuskan untuk menempuh jalan kepada-Nya, di bawah bimbingan Guru Mursyid yang Khalis Mukhlisin, saat itu tanpa sadar rohani kita sudah berada di alam akhirat sementara jasmani kita tetap berada di dunia.
“Kita ini ibarat orang-orang akhirat yang sedang bermain-main di muka bumi”, demikian Guru sering mengingatkan para murid agar mereka sadar bahwa tujuan hakiki bukanlah dunia ini tapi kehidupan akhirat, kehidupan bersama cahaya Allah yang harus kita miliki sejak kita hidup.
Segala sesuatu yang diperlukan di alam setelah kematian harus di selesaikan terlebih dulu di dunia ini, sehingga kita tidak lagi mencari dan berada di dalam kebingungan setelah berada di alam setelah kematian. Kita wajib mengenal Allah dengan benar dan berjumpa dengan-Nya ketika kita hidup agar setelah ruh meninggalkan jasad akan tetap bisa berjumpa dengan-Nya karena kewajiban menuntut ilmu adalah di dunia ini bukan di akhirat. Kalau di dunia tidak mengenal Allah, tidak bisa berjumpa dengan Allah maka di akhirat tidak ada yang menjamin untuk berjumpa.
Maka Hijrah menuju cahaya Allah adalah suatu yang wajib yang tidak bisa di tawar, karena tanpa itu kita akan selalu berada dalam kegelapan, kegelapan hati sejak hidup sampai di alam akhirat nanti.
Nabi 14 abad lalu telah memberikan contoh hijrah sebagai simbol, yaitu hijrah dari mekkah (kegelapan) menuju Madinah (cahaya), contoh itu yang harus diteladani oleh seluruh ummat Islam, berhijrah menuju cahaya Allah, sehingga kehidupan akan selalu di sinari cahaya Allah, dengan demikian segala gerak kita akan selalu dalam aturan-Nya, selalu atas keridhaan-Nya.
Semoga kita semua selalu di bimbing dan di tuntun oleh Allah menuju cahaya-Nya, amin ya Rabbal ‘Alamin.

Mencari Tuhan?


kaligrafi-allah-3Kunci Rahasia untuk memudahkan kita mencari sepupu jauh yang berada di Tiongkok adalah dengan ditemani oleh orang yang sudah sangat kenal dan sering berjumpa dengan sepupu kita tersebut, maka istilah yang tepat bukan mencari tapi “diperkenalkan”. Begitu juga dalam hal mencari Tuhan, istilah yang tepat adalah “diperkenalkan” sebagaimana Nabi Muhammad diperkenalkan kepada Allah oleh malaikat Jibril as sebagai pembimbing rohani Beliau. Mula-mulai diperkenal nama-Nya, “Bacalah (hai Muhammad”, bacalah dengan nama Tuhanmu..”, disini Muhammad diajari cara menyebut atau memanggil nama-Nya, diajarkan dzikir tersembunyi menyebut nama Allah pagi dan petang.
Secara bertahap atau dalam mujadah Nabi selama bertahun-tahun, maka terbukalah hijab pembatas antara Muhammad dengan Allah, maka bertemulah antara hamba dengan Tuhannya yang terungkap di Tahiyat dalam shalat, Allah berseru “Keselamatan, rahmat Allah dan keberkahan-Nya bagimu wahai Nabi…”. Karena shalat adalah proses Mikraj nya seorang mukmin maka seharusnya apabila shalat mengalami kesempurnaan maka kita juga mendapat seruan yang sama dari Allah, “Keselamatan, rahmat Allah dan keberkahan-Nya bagimu wahai fulan”.
Berulangkali saya menulis bahwa mencari Tuhan lewat akal akan lebih banyak keliru dari pada benarnya. Akal fikiran diciptakan Allah untuk mengungkapkan rahasia hasil ciptaan Allah untuk dipergunakan demi kemaslahatan manusia. Akal fikiran tidak di rancang untuk menemukan Sang Pencipta sebagai mana peringatan Allah, “Fikirkanlah ciptaanku dan jangan kau fikirkan Dzat-Ku”. Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa Allah tidak akan mungkin bisa ditemukan dengan akal fikiran. Namun demikian bukan berarti firman Allah tersebut menunjukkan bahwa Allah tidak bisa ditemukan sama sekali. Sebagian keliru memaknai “Jangan kau fikirkan dzat-Ku” sebagai bentuk kemustahilan manusia untuk menemukan dzat Allah. Firman Allah tersebut mengingatkan kita bahwa ada cara khusus telah dirancang Allah untuk mengenal-Nya yaitu lewat bimbingan orang yang sudah mengenal-Nya.
Ketika pencarian Tuhan mengalami kebuntuan, maka cara terbaik adalah dengan mengikuti apa yang telah diwariskan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabat dan ulama pewaris Nabi yang dengan menemukan Wasilah yang menghubungkan kita dengan Allah SWT.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan bersungguh-sungguh pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.“ ( Qs al-Maidah : 35 )
Silahkan memaknai Wasilah menurut pemahaman masing-masing, sebagian memaknai wasilah sebagai ibadah yang mendekatkan diri kepada-Nya dan makna wasilah menurut pemahaman Tasawuf adalah gelombang atau frekwensi yang membuat kita tersambung kepada Allah swt. Wasilah bukanlah ibadah akan tetapi Nur Allah yang diberikan kepada Nabi SAW dan kemudian diteruskan kepada ulama pewaris Nabi. Nabi sendiri bukanlah wasilah, Beliau hanya sebagai pembawa wasilah, ibarat gelas dengan air, Nabi adalah gelas sedangkan wasilah adalah air.
Wasilah akan terus berlanjut dan berkesinambungan, secara estafet tanpa putus diwariskan kedalam dada para Ulama dan wasilah ini yang kita gunakan untuk bisa berhubungan dengan Allah SWT. Ibarat listrik dengan kabel, wasilah sebagai listrik sedangkan kabel ibarat Nabi atau Wali Allah, fungsi kabel membawa arus listrik sampai kepada kita.
Perumpamaan ini hanya untuk memudahkan kita dalam memahami karena hal yang paling banyak diperdebatkan oleh orang yang belum menekuni tarekat adalah kedudukan seorang Guru Mursyid bagi pengamal tarekat yang menurut mereka diperlakukan dengan berlebihan. Anda tidak mungkin bisa menikmati listrik kalau tanpa menggunakan kabel, dan suatu hal yang wajar kalau rasa terima kasih kepada kabel yang telah begitu berjasa membawa listrik kepada anda.
Hal yang wajar kalau anda berterima kasih kepada gelas dan memperlakukan gelas dengan istimewa karena tanpa gelas anda tidak bisa minum air. Antara Mursyid dengan Wasilah walaupun berbeda unsur tapi tidak bisa dipisahkan sama sekali, keduanya telah menyatu. Kalau anda ingin menyambungkan diri dengan wasilah, anda harus menyambungkan diri dengan Guru Mursyid terlebih dulu.
Dalam hadist qudsi Allah berfirman, “…Apabila dia telah Ku cintai maka apabila melihat Aku lah matanya…” ini menunjukkan orang-orang yang dicintai oleh Allah (Guru Mursyid) memiliki keistimewaan dimana ketika kita memandang wajah Beliau ada cahaya Allah disana. Itulah sebabnya kenapa para pengamal tarekat selalu melakukan rabithah kepada Gurunya agar Allah selalu berhampiran dengan mereka dan terjauh dari gangguan setan.
Saya mengakhiri tulisan ini dengan kesimpulan bahwa Allah tidak perlu cari karena Dia tidak pernah hilang, yang dilakukan adalah mencari orang yang sudah bersama-Nya, maka orang tersebut yang akan menuntun kita kepada-Nya sebagai mana firman Allah dalam hadist Qudsi : “Jadikanlah dirimu beserta dengan Allah, Jika engkau belum bisa beserta dengan Allah maka jadikanlah dirimu beserta dengan orang yang telah beserta dengan Allah, maka dialah yang mengantarkan dirimu kepada Allah”
Semoga tulisan di hari Jum’at penuh berkah ini bermanfaat hendaknya, amin ya Rabbal ‘Alamin

Senin, 24 November 2014

Ada Hikmah Disetiap Rintangan


Setiap manusia pasti tidak pernah berjalan tanpa hambatan
selalu ada rintangan yang datang silih berganti dalam kehidupan
seorang bayi tidak akan pernah bisa berjalan jika enggan
untuk menghadapi rintangan, dengan jatuh berkali-kali
begitu pula seorang siswa SD tidak akan pernah bisa membaca
jika tidak pernah mau belajar menghadapi kesesusahan & rintangan
Ada sebuah cerita renungan singkat yang mudah2
bermanfaat buat kita semua tentang seorang raja
yang sangat bijak dalam memberi pelajaran berharga
kepada rakyatnya, pada suatuhari seorang raja yang terkenal
arif lagi bijaksana bertafakur dan berfikir untuk
memberikan pelajaran hidup kepada rakyatnya..
maka terbesitlah dalam fikiran raja untuk mengajarkan
tentang hikmah disetiap rintangan.
maka sang raja arif pun menempatkan sebuah batu besar
di tengah-tengah jalan. Raja tersebut kemudian bersembunyi,
untuk melihat apakah Ada yang mau menyingkirkan batu itu dari jalan.
sudah hampir 4 jam sang raja bersembunyi
tidak ada satupun orang yang maumenyingkirkan batu besar
itu ditepi jalan. bahkanv Beberapa pedagang terkaya
yang menjadi rekanan raja tiba di tempat untuk berjalan
melingkari batu besar tersebut.
Banyak juga yang datang, kemudian memaki-maki sang Raja,
karena tidak membersihkan jalan dari rintangan.
Tetapi tidak Ada satupun yang mau melancarkan jalan
dengan menyingkirkan batu itu.
Kemudian datanglah seorang petani,
yang menggendong banyak sekali sayur mayur.
Ketika semakin dekat, petani ini kemudian
meletakkan dahulu bebannya Dan mencoba
memindahkan batu itu kepinggir jalan.
Setelah banyak mendorong Dan mendorong,
akhirnya IA berhasil menyingkirkan batu besar itu.
Ketika is petani ingin mengangkat kembali sayurnya,
ternyata di tempat batu tadi Ada kantung yang berisi
banyak uang emas Dan surat Raja. Surat yang mengatakan
bahwa emas ini hanya untuk orang yang mau menyingkirkan
batu tersebut dari jalan.
Petani mendapat pelajaran berharga,
dalam hidup ada satu pelajaran
yang kita tidak pernah bisa mengerti.
Bahwa pada dalam setiap rintangan,t
ersembunyi kesempatan
yang bisa dipakai
untuk memperbaiki hidup kita.
Saudara fillah....
Dunia yang kita tempati ini hanya sementara
ada suatu masa kita harus meninggalkannya
meninggalkan segala yang kita miliki
harta, gelar, jabatan, rumah mewah
dan semua materi yang kita punya
semua itu tidak ada yang bisa menyelamatkan kita
hanya amal salih yang kita lakukan didunia ini
dan ridho allah swt yang bisa menyelamatkan kita dari api neraka
Saudaraku...
Ada Hikmah Disetiap Rintangan
Perjuangan untuk menjadi hamba yang baik
didunia ini semakin hari semakin berat
dan kita harus siap untuk menghadapi
semua rintangan itu, jika kita terpengaruh
dengan dunia yang semakin gila ini
kita pasti akan menyesal dan semakin hancur
Tetaplah Istiqomah dijalannya
jangan hiaraukan perkataan
orang-orang yang tidak sesuai
dengan suara hatimu, karena sesungguhnya
hanya kamu satu-satunya penanggung jawab
segala yang kamu lakukan didunia ini
bukan mereka, bukan mereka semua...
Ada Hikmah Disetiap Rintangan
Setiap manusia pasti tidak pernah berjalan tanpa hambatan
selalu ada rintangan yang datang silih berganti dalam kehidupan
seorang bayi tidak akan pernah bisa berjalan jika enggan
untuk menghadapi rintangan, dengan jatuh berkali-kali
begitu pula seorang siswa SD tidak akan pernah bisa membaca
jika tidak pernah mau belajar menghadapi kesesusahan & rintangan
Ada sebuah cerita renungan singkat yang mudah2
bermanfaat buat kita semua tentang seorang raja
yang sangat bijak dalam memberi pelajaran berharga
kepada rakyatnya, pada suatuhari seorang raja yang terkenal
arif lagi bijaksana bertafakur dan berfikir untuk
memberikan pelajaran hidup kepada rakyatnya..
maka terbesitlah dalam fikiran raja untuk mengajarkan
tentang hikmah disetiap rintangan.
maka sang raja arif pun menempatkan sebuah batu besar
di tengah-tengah jalan. Raja tersebut kemudian bersembunyi,
untuk melihat apakah Ada yang mau menyingkirkan batu itu dari jalan.
sudah hampir 4 jam sang raja bersembunyi
tidak ada satupun orang yang maumenyingkirkan batu besar
itu ditepi jalan. bahkanv Beberapa pedagang terkaya
yang menjadi rekanan raja tiba di tempat untuk berjalan
melingkari batu besar tersebut.
Banyak juga yang datang, kemudian memaki-maki sang Raja,
karena tidak membersihkan jalan dari rintangan.
Tetapi tidak Ada satupun yang mau melancarkan jalan
dengan menyingkirkan batu itu.
Kemudian datanglah seorang petani,
yang menggendong banyak sekali sayur mayur.
Ketika semakin dekat, petani ini kemudian
meletakkan dahulu bebannya Dan mencoba
memindahkan batu itu kepinggir jalan.
Setelah banyak mendorong Dan mendorong,
akhirnya IA berhasil menyingkirkan batu besar itu.
Ketika is petani ingin mengangkat kembali sayurnya,
ternyata di tempat batu tadi Ada kantung yang berisi
banyak uang emas Dan surat Raja. Surat yang mengatakan
bahwa emas ini hanya untuk orang yang mau menyingkirkan
batu tersebut dari jalan.
Petani mendapat pelajaran berharga,
dalam hidup ada satu pelajaran
yang kita tidak pernah bisa mengerti.
Bahwa pada dalam setiap rintangan,t
ersembunyi kesempatan
yang bisa dipakai
untuk memperbaiki hidup kita.
Saudara fillah....
Dunia yang kita tempati ini hanya sementara
ada suatu masa kita harus meninggalkannya
meninggalkan segala yang kita miliki
harta, gelar, jabatan, rumah mewah
dan semua materi yang kita punya
semua itu tidak ada yang bisa menyelamatkan kita
hanya amal salih yang kita lakukan didunia ini
dan ridho allah swt yang bisa menyelamatkan kita dari api neraka
Saudaraku...
Ada Hikmah Disetiap Rintangan
Perjuangan untuk menjadi hamba yang baik
didunia ini semakin hari semakin berat
dan kita harus siap untuk menghadapi
semua rintangan itu, jika kita terpengaruh
dengan dunia yang semakin gila ini
kita pasti akan menyesal dan semakin hancur
Tetaplah Istiqomah dijalannya
jangan hiaraukan perkataan
orang-orang yang tidak sesuai
dengan suara hatimu, karena sesungguhnya
hanya kamu satu-satunya penanggung jawab
segala yang kamu lakukan didunia ini
bukan mereka, bukan mereka semua...

Mengenai maqām, Ibn Atha’illah membaginya tingkatan maqam sufi menjadi 9 tahapan;


1. Maqam taubat2. Maqam zuhud3. Maqam shabar4. Maqam syukur5. Maqam khauf6. Maqam raja’7. Maqam ridha8. Maqam tawakkal9. Maqam mahabbah
----------------------------------------------
Maqam Taubat
Taubat adalah maqam awal yang harus dilalui oleh seorang salik. Sebelum mencapai maqam ini seorang salik tidak akan bisa mencapai maqam-maqam lainnya. Karena sebuah tujuan akhir tidak akan dapat dicapai tanpa adanya langkah awal yang benar.
Cara taubat sebagaimana pandangan Ibn Atha’illah adalah dengan bertafakkur dan berkhalwat. sedang tafakkur itu sendiri adalah hendaknya seorang salik melakukan instropeksi terhadap semua perbuatannya di siang hari. Jika dia mendapati perbuatannya tersebut berupa ketaatan kepada Allah, maka hendaknya dia bersyukur kepada-Nya. Dan sebaliknya jika dia mendapati amal perbuatannya berupa kemaksiatan, maka hendaknya dia segera beristighfar dan bertaubat kepada-Nya.
Untuk mencapai maqam taubat ini, seorang salik harus meyakini dan mempercayai bahwa irodah (kehendak) Allah meliputi segala sesuatu yang ada. Termasuk bentuk ketaatan salik, keadaan lupa kepada-Nya, dan nafsu syahwatnya, semua atas kehendak-Nya.
Sedangkan hal yang dapat membangkitkan maqam taubat ini adalah berbaik sangka (husn adz-dzon) kepada-Nya. Jika seorang salik terjerumus dalam sebuah perbuatan dosa, hendaknya ia tidak menganggap bahwa dosanya itu sangatlah besar sehingga menyebabkan dirinya merasa putus asa untuk bisa sampai kepada-Nya.
Maqam Zuhud
Dalam pandangan Ibn ‘Aţā’illah, zuhd ada 2 macam;
1. Zuhd Ẓahir Jalī seperti zuhd dari perbuatan berlebih-lebihan dalam perkara ḥalal, seperti: makanan, pakaian, dan hal lain yang tergolong dalam perhiasan duniawi.
2. Dan Zuhd Bāţin Khafī seperti zuhd dari segala bentuk kepemimpinan, cinta penampilan zahir, dan juga berbagai hal maknawi yang terkait dengan keduniaan”.
Hal yang dapat membangkitkan maqām zuhd adalah dengan merenung (ta’ammul). Jika seorang sālik benar-benar merenungkan dunia ini, maka dia akan mendapati dunia hanya sebagai tempat bagi yang selain Allah, dia akan mendapatinya hanya berisikan kesedihan dan kekeruhan. Jikalau sudah demikian, maka sālik akan zuhd terhadap dunia. Dia tidak akan terbuai dengan segala bentuk keindahan dunia yang menipu.
Maqām zuhd tidak dapat tercapai jika dalam hati sālik masih terdapat rasa cinta kepada dunia, dan rasa ḥasud kepada manusia yang diberi kenikmatan duniawi. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Ibn ‘Aţā’illah: ”Cukuplah kebodohan bagimu jika engkau ḥasud kepada mereka yang diberi kenikmatan dunia. Namun, jika hatimu sibuk dengan memikirkan kenikmatan dunia yang diberikan kepada mereka, maka engkau lebih bodoh daripada mereka. Karena mereka hanya disibukkan dengan kenikmatan yang mereka dapatkan, sedangkan engkau disibukkan dengan apa yang tidak engkau dapatkan”.
Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas kenikmatan dunia yang tidak didapat.
Seorang salik tidak dituntut menjadi orang yang faqir yang sama sekali tidak memiliki apa-apa. Karena ciri-ciri seorang zuhd ada dua;
yaitu saat kenikmatan dunia tidak ada dan
saat kenikmatan dunia itu ada.
Ini dimaksudkan bahwa jika kenikmatan dunia itu didapat oleh sālik, maka dia akan menghargainya dengan bersyukur dan memanfaatkan nikmat tersebut hanya karena Allah. Sebaliknya, jika nikmat sirna dari dirinya, maka dia merasa nyaman, tenang dan tidak sedih.
Maqam Sabar
Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam
1. sabar terhadap perkara haram,
2. sabar terhadap kewajiban, dan
3. sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha.
Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia.
Sedangkan sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan
Bentuk sabar yang ketiga yaitu sabar yang menuntut salik untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya.
“Sabar atas keharaman adalah sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan sabar atas kewajiban adalah sabar atas kewajiban ibadah. Dan semua hal yang termasuk dalam kewajiban ibadah kepada Allah mewajibkan pula atas salik untuk meniadakan segala angan-angannya bersama Allah”.
Sabar bukanlah suatu maqam yang diperoleh melalui usaha salik sendiri. Namun, sabar adalah suatu anugerah yang diberikan Allah kepada salik dan orang-orang yang dipilih-Nya.
Maqam sabar itu dilandasi oleh keimanan yang sempurna terhadap kepastian dan ketentuan Allah, serta menanggalkan segala bentuk perencanaan (angan-angan) dan usaha.

Maqam Ridha dan Tawakkal


Riḍa dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah adalah penerimaan secara total terhadap ketentuan dan kepastian Allah. Hal ini didasarkan pada QS. al-Mā’idah ayat 119:
(Allah riḍa terhadap mereka, dan mereka riḍa kepada Allah), dan juga sabda Rasulullah SAW.:
(Orang yang merasakan [manisnya] iman adalah orang yang riḍa kepada Allah).
Maqam riḍa bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik sendiri. Akan tetapi riḍa adalah anugerah yang diberikan Allah.
Jika maqam riḍa sudah ada dalam diri sālik, maka sudah pasti maqām tawakkal juga akan terwujud. Oleh karena itu, ada hubungan yang erat antara maqām riḍa dan maqām tawakkal. Orang yang riḍa terhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya, dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.
Maqām tawakkal akan membangkitkan kepercayaan yang sempurna bahwa segala sesuatu ada dalam kekuasaan Allah. Sebagaimana termaktub dalam QS. Hūd ayat 123:
(…kepada-Nya lah segala urusan dikembalikan, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya).
Sebagaimana maqām-maqām lainnya, maqām riḍa dan tawakkal tidak akan benar jika tanpa menanggalkan angan-angan. Ibn ‘Aţā’illah menyatakan bahwa angan-angan itu bertentangan dengan tawakkal, karena barangsiapa telah berpasrah kepada Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntunnya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya, dan jika sudah demikian tiadalah bagi dirinya segala bentuk angan-angan.
“Perencanaan (tadbīr) juga bertentangan dengan maqam tawakkal karena seorang yang bertawakkal kepada Allah adalah orang yang menyerahkan kendali dirinya kepada-Nya, dan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya. Barangsiapa telah menetapi semua hal tersebut, maka tiada lagi perencanaan baginya, dan dia berpasrah terhadap perjalanan takdir. Peniadaan perencanaan (isqaţ tadbīr) juga terkait dengan maqām tawakkal dan riḍa, hal ini jelas, karena seorang yang riḍa maka cukup baginya perencanaan Allah atasnya.
Maka bagaimana mungkin dia menjadi perencana bersama Allah, sedangkan dia telah rela dengan perencanan-Nya. Apakah engkau tidak tahu bahwa cahaya riḍa telah membasuh hati dengan curahan perencanan-Nya. Dengan demikian, orang yang riḍa terhadap Allah telah dianugrahkan baginya cahaya riḍa atas keputusan-Nya, maka tiada lagi baginya perencanaan bersama Allah…”
Hikmah riḍa kepada qaḍā’ dan qadar, antara lain dapat menghilangkan keruwetan dan kesusahan. Musibah yang diperoleh seseorang, jika dihadapi/dengan pikiran yang lapang dan dengan bekerja yang sungguh-sungguh di sanalah seseorang akan mendapatkan jalan dan petunjuk yang lebih berguna, daripada dihadapi dengan meratapi kesusahan-kesusahan itu, yang tidak ada berkesudahan.
Dasar riḍa akan qaḍā’ dan qadar, ialah firman Allah dalam al-Qur’an:
“Orang-orang (yang mu’min) jika mereka mendapat sesuatu bencana berkatalah mereka “Bahwasanya kami ini kepunyaan Allah, dan kami (semua) pasti kembali lagi kepada-Nya.”Jika seseorang ditimpa bencana hendaklah dia riḍa, hatinya tidak boleh mendongkol. Riḍa dengan qaḍā’ ialah menerima segala kejadian yang menimpa diri seseorang, dengan rasa senang hati dan lapang dada."
Meriḍai qaḍā’ dan qadar, karena ditimpa bencana atau menderita sesuatu, sangat disukai oleh agama. Tetapi sekali-kali tiada dibenarkan seseorang meriḍai kekufuran dan kemaksiatan.
Riḍa dengan taqdir Allah adalah suatu perangai yang terpuji dan mulia serta membiasakan jiwa menyerahkan diri atas keputusan Allah, juga dapat mendapatkan hiburan yang sempurna di kala menderita segala bencana. Dialah obat yang sangat mujarab untuk menolak penyakit gelap mata hati. Dengan riḍa atas segala ketetapan Allah, hidup seseorang menjadi tenteram dan tidak gelisah.
Seseorang wajib berkeyakinan, bahwa bencana yang menimpa seseorang, adakalanya juga merupakan cobaan bagi seorang hamba, untuk lebih suka mengoreksi segala amal perbuatan pada masa-masa yang lampau, agar seseorang dapat mengubah dan memperbaiki jejak langkah dan perbuatannya pada masa-masa yang akan datang.
Menyerah kepada qaḍā’illah (keputusan takdir) Allah termasuk tidak boleh mengandai-andaikan, misalnya andaikan tadinya dia tidak ikut rombongan ini, barangkali dia tidak termasuk korban kecelakaan ini, sebagaimana firman Allah SWT.:
Hai orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir, yang berkata kepada saudara-saudara mereka tatkala mereka bepergian di bumi, atau sedang bertempur : Sekiranya bersama-sama kami, niscaya mereka tidak akan mati, dan tidak akan terbunuh.
Yang demikian karena Allah hendak jadikan yang tersebut itu duka cita di hati-hati mereka dan Allah rnenghidupkan dan mematikan, dan Allah Maha melihat akan apa yang engkau kerjakan.
Maqam Mahabbah
Imam al-Ghazālī berpendapat bahwa maqām maḥabbah adalah maqām tertinggi dari sekian maqām-maqām dalam tarekat. Dia menggambarkan bahwa maḥabbah adalah tujuan utama dari semua maqām.
Namun, Ibn ‘Aţā’illah memiliki pandangan yang berbeda tentang konsep maḥabbah bahwa dalam maḥabbah seorang sālik harus menanggalkan segala angan-angannya. Dia berpendapat demikian karena alasan bahwa sālik yang telah sampai pada maḥabbah (cinta) bisa jadi dia masih mengharapkan balasan atas cintanya kepada yang dicintainya. Dari sini tampak bahwa rasa cinta sālik didasarkan atas kehendak dirinya untuk mendapatkan balasan cinta sebagaimana cintanya. Karena pecinta sejati adalah orang yang rela mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi yang dicintainya, dan tidak mengharapkan imbalan apapun dari yang dicintainya, yang dalam konteks ini adalah Allah SWT.
”…maḥabbah (cinta) kepada Allah adalah tujuan luhur dari seluruh maqām, titik puncak dari seluruh derajat. Tiada lagi maqām setelah mahabbah, karena maḥabbah adalah hasil dari seluruh maqām, menjadi akibat dari seluruh maqām, seperti rindu, senang, riḍa dan lain sebagainya. Dan tiadalah maqām sebelum maḥabbah kecuali hanya menjadi permulaan dari seluruh permulaan maqām, seperti taubat, sabar, zuhd dan lain sebagainya…”

Tokoh Sufi: Fariduddin Ath-Thar, Si Penyebar Wangi


Nama lengkapnya Fariduddin Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim, namun lebih dikenal dengan sebutan Ath-Thar, si penyebar wangi. Meskipun sedikit yang diketahui tentang riwayat hidupnya, dapat dikatakan bahwa ia dilahirkan pada 1120 Masehi dekat Nisapur, Persia. Berdasarkan catatan pribadinya yang tersebar di sejumlah tulisannya, Ath-Thar melewatkan tiga belas tahun masa mudanya di Meshed.
Suatu hari, konon Ath-Thar sedang duduk dengan seorang kawannya di depan pintu kedainya, ketika seorang darwis datang mendekat, singgah sebentar, mencium bau wangi, kemudian menarik nafas panjang dan menangis. Ath-Thar mengira darwis itu berusaha hendak membangkitkan belas kasihan mereka, lalu menyuruhnya pergi.
“Baik," kata si darwis. "Tak ada satu pun yang menghalangi aku meninggalkan pintumu dan mengucapkan selamat tinggal pada dunia ini. Apa yang kupunya hanyalah khirka lusuh ini. Tetapi aku sedih memikirkanmu, Ath-Thar. Mana mungkin kau pernah memikirkan maut dan meninggalkan segala harta duniawi ini?”
Ath-Thar menjawab bahwa ia berharap akan mengakhiri hidupnya dalam kemiskinan dan kepuasan sebagai seorang darwis.
“Kita tunggu saja,” kata darwis itu, dan segera sesudah itu ia pun merebahkan diri dan mati.
Peristiwa ini menimbulkan kesan yang mendalam di hati Ath-Thar sehingga ia meninggalkan kedai ayahnya, menjadi murid Syekh Buknuddin yang terkenal, dan mulai mempelajari sistem pemikiran Sufi, dalam teori dan praktik.
Hampir 40 tahun lamanya ia mengembara ke berbagai negeri, belajar di pemukiman-pemukiman para syekh dan mengumpulkan tulisan-tulisan para sufi yang saleh, sekalian dengan legenda-legenda dan cerita-cerita mereka.
Setelah itu Ath-Thar kembali ke Nisapur, di mana ia melewatkan sisa hidupnya. Konon ia memiliki pengertian yang lebih dalam tentang alam pikiran sufi dibandingkan dengan siapa pun di zamannya. Ia menulis sekitar 200.000 sajak, 114 buku, termasuk masterpiece-nya, Musyawarah Burung.
Semasa hidupnya, selain menulis Musyawarah Burung, ia juga menulis prosa yang tak kurang tenarnya; Kenang-Kenangan Para Sufi dan Buku Bijak Bestari. Musyawarah Burung yang ditulis dalam gaya sajak alegoris ini, melambangkan kehidupan dan ajaran kaum sufi.
Kendati Ath-Thar merupakan salah seorang guru sufi besar dalam literatur klasik, dan pengilham Rumi, dongeng dan ajaran-ajaran guru-guru Sufi dalam karyanya Kenang-Kenangan Para Sufi, harus menunggu hampir tujuh setengah abad untuk diterjemahkan dalam bahasa Inggris.
Ath-Thar hidup sebelum Jalaluddin Rumi. Ketika ditanya siapa yang lebih pandai di antara keduanya itu, seorang menjawab, “Rumi membubung ke puncak kesempurnaan bagai rajawali dalam sekejap mata. Ath-Thar mencapai tempat itu juga dengan merayap seperti semut.
Padahal Rumi sendiri berkata, “Ath-Thar ialah jiwa itu sendiri.”
Ajaran-ajaran Ath-Thar banyak disertai gambaran-gambaran biografi, fabel, pepatah dan apologi, yang tidak hanya mengandung ajaran moral tetapi kiasan-kiasan yang menggambarkan tentang tahap-tahap khusus perkembangan manusia. Misalnya dalam Musyawarah Burung, ia membuat sketsa tahap-tahap individual dalam kesadaran manusia, meski hal ini direpresentasikan sebagai kejadian terhadap individu yang berbeda atau terhadap suatu komunitas seluruhnya.
Ath-Thar menggunakan tema suatu 'perjalanan' atau 'pencarian' sebagai analogi dari tahap-tahap keberhasilan jiwa manusia dalam mencari kesempurnaan.
Tradisi-tradisi sufisme menegaskan bahwa karya Ath-Thar sangat penting, karena dengan membaca secara keseluruhan akan membantu menegakkan struktur sosial dan standar etika Islam. Sementara seleksi-seleksi khususnya mengandung materi inisiator yang tersembunyi oleh bagian-bagian teologikal yang berat.
Ath-Thar menolak untuk menerima tanda jasa dari kaki tangan penjajah Mongolia, di Asia Tengah. Ia dikabarkan wafat di tangan tentara Jengis Khan, setelah membubarkan murid-muridnya—dengan mengirim mereka ke tempat-tempat aman—ketika memprediksi invasi Mongol pada abad ke-13. Ia diperkirakan meninggal dunia sekitar tahun 1230, dalam usia 110 tahun.

Maqam Syukur


Syukur dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam;
Pertama syukur dengan lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat.
Kedua, syukur dengan anggota tubuh, yaitu syukur yang diimplementasikan dalam bentuk ketaatan.
Ketiga, syukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia semata-mata dari-Nya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Ibn ‘Ata’illah:
“Dalam syukur menurut Ibn ‘Ata’illah terdapat tiga bagian; syukur lisan yaitu memberitakan kenikmatan (pada orang lain), syukur badan adalah beramal dengan ketaatan kepada Allah, dan syukur hati adalah mengakui bahwa Allah semata Sang Pemberi nikmat. Dan segala bentuk kenikmatan dari seseorang adalah semata-mata dari Allah.”
Ibn ‘Ata’illah juga menjelaskan bahwa bentuk syukur orang yang berilmu adalah dengan menjadikan ilmunya sebagai landasan untuk memberi petunjuk kepada manusia lainnya. Sedangkan bentuk syukur orang yang diberi kenikmatan kekayaan adalah dengan menyalurkan hartanya kepada mereka yang membutuhkan. Bentuk syukur orang yang diberi kenikmatan berupa jabatan dan kekuasaan adalah dengan memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap orang-orang yang ada dalam kekuasaannya.
Lebih lanjut Ibn ‘Aţā’illah memaparkan bahwa shukur juga terbagi menjadi 2 bagian; shukur ẓāhir dan shukur bāţin. Syhukur ẓāhir adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan shukur bāţin adalah mengakui dan meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan hanyalah dari Allah semata.
Manfaat dari syukur adalah menjadikan anugerah kenikmatan yang didapat menjadi langgeng, dan semakin bertambah. Ibn ‘Ata’illah memaparkan bahwa jika seorang salik tidak mensyukuri nikmat yang didapat, maka bersiap-siaplah untuk menerima sirnanya kenikmatan tersebut. Dan jika dia menshukurinya, maka rasa shukurnya akan menjadi pengikat kenikmatan tersebut. Allah berfirman: لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ (Jika kalian bersyukur [atas nikmat-Ku) niscaya akan kutambah [kenikmatan itu]).1
Jika seorang salik tidak mengetahui sebuah nikmat yang diberikan Allah kepada-Nya, maka dia akan mengetahuinya ketika nikmat tersebut telah hilang. Hal inilah yang telah diperingatkan oleh Ibn ‘Ata’illah.
Lebih lanjut Ibn ‘Ata’illah menambahkan hendaknya seorang salik selalu bersyukur kepada Allah sehingga ketika Allah memberinya suatu kenikmatan, maka dia tidak terlena dengan kenikmatan tersebut dan menjadikan-Nya lupa kepada Sang Pemberi Nikmat.
Meskipun pada dasarnya semua kenikmatan pada hakikatnya adalah dari Allah, syukur kepada makhluk juga menjadi kewajiban seorang salik. Dia harus bersyukur terhadap apa yang telah diberikan orang lain kepadanya, karena hal ini adalah suatu tuntutan shari‘at, seraya mengakui dan meyakini dalam hati bahwa segala bentuk kenikmatan tersebut adalah dari Allah.
Pengejawantahan syukur tetap harus dilandasi dengan menanggalkan segala bentuk angan-angan dan keinginan. Akal adalah kenikmatan paling agung yang diberikan Allah kepada manusia. Karena akal inilah manusia menjadi berbeda dari sekalian makhluk. Namun, dengan kelebihan akal ini pula manusia memiliki potensi untuk bermaksiat kepada Allah. Dengan akal ini manusia dapat berpikir, berangan-angan, dan berkehendak. Sehingga manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah yang harus ditiadakan dalam pengejawantahan syukur.
Maqam khauf
Seorang salik dapat mencapai derajat maqam khauf apabila dia merasa takut atas sirnanya ḥal dan maqamnya, karena dia tahu bahwa Allah memiliki kepastian hukum dan kehendak yang tidak dapat dicegah. Ketika Allah berkehendak untuk mencabut suatu maqām dan ḥal yang ada pada diri salik, seketika itu juga Allah akan mencabutnya.
“Bukti dari makna ini mengharuskan maqām khauf bagi seorang hamba terwujud, ketika dia memiliki ucapan yang baik dan perilaku yang terpuji maka dia tak akan terputus maqām khauf ini, serta dia tidak terpedaya dengan urusan duniawi, karena hukum kepastian dan kehendak Allah terwujud.”
Khauf seorang sālik bukanlah sekedar rasa takut semata. Khauf pasti diiringi dengan rajā’ (harapan) kepada Allah, karena khauf adalah pembangkit dari rajā’. Maqām khauf adalah maqām yang membangkitkan maqām rajā’. Rajā’ tidak akan ada jika khauf tidak ada.
Ibn ‘Atā’illah menyatakan bahwa jika sālik ingin agar dibuka baginya pintu rajā’ maka hendaknya dia melihat apa yang diberikan Allah kepadanya berupa anugerah maqām, ḥal dan berbagai kenikmatan yang dia terima. Jika dia ingin agar terbuka baginya pintu khauf, maka hendaknya dia melihat apa yang dia berikan kepada-Nya berupa peribadatan dan ketaatan penuh pada-Nya. Sebagaimana diutarakan oleh Ibn ‘Atā’illah:
”Jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu rajā’, maka lihatlah segala sesuatu yang diberikan Allah kepadamu. Dan jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu khauf, maka lihatlah apa yang telah kau berikan kepada-Nya.”
Rajā’ bukan semata-mata berharap, rajā’ harus disertai dengan perbuatan. Jika rajā’ hanya berupa harapan tanpa perbuatan, maka tidak lain itu hanyalah sebuah angan-angan atau impian belaka. Dengan demikian wajib bagi seorang sālik untuk menyertakan rajā’nya dengan amal kepatuhan, dan peribadatan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah secara kontinu.
Jika rajā’ sudah ada dalam diri sālik, maka rajā’ ini akan semakin menguatkan khauf yang ada pada dirinya. Karena suatu harapan, pasti akan disertai dengan rasa takut akan sesuatu, sehingga dapat dinyatakan bahwa khauf akan melahirkan rajā’, dan rajā’ akan menjadi penguat khauf.

Minggu, 16 November 2014

PECINTA ILAHI (Pencari Cinta)


Jiwa para pecinta rindu untuk berjumpa dan memandang wajah Allah yang Maha Agung.. “Orang orang yang yakin bahwa mereka akan bertemu dengan Tuhan mereka “‘(QS. 2: 46). Tentang kerinduan para pecinta terhadap Allah Swt., sufi besar Jalaluddin Rumi menggambarkan dalam matsnawi sebagai kerinduan manusia pada pengalaman mistikal primordial di hari “alastu” sebagai kerinduan seruling untuk bersatu kembali pada rumpun bambu yang merupakan asal muasal ia tercipta. Hidup di dunia merupakan perpisahan yang sangat pilu bagi para pecinta, mereka rindu sekali kepada Rabbnya seperti seseorang yang merindukan kampung halamannya sendiri, yang merupakan asal-usulnya. Jiwa para pecinta selalu dipenuhi keinginan untuk melihat Allah Swt. dan itu merupakan cita-cita hidupnya. Menurut Al-Ghazali makhluk yang paling bahagia di akhirat adalah yang paling kuat kecintaannya kepada Allah Swt. Menurutnya, ar-ru’yah (melihat Allah).merupakan puncak kebaikan dan kesenangan. Bahkan kenikmatan surga tidak ada artinya dengan kenikmatan kenikmatan perjumpaan dengan Allah Swt. Meminta surga tanpa mengharap perjumpaan dengan-Nya merupakan tindakan “bodoh” dalam terminologi sufi dan mukmin pecinta.
“Shalat adalah mi’rajnya orang beriman” begitulah bunyi sabda Nabi Saw. untuk menisbatkan kualitas shalat bagi para pecinta. Shalat merupakan puncak pengalaman ruhani di mana ruh para pecinta akan naik ke sidratul muntaha, tempat tertinggi di mana Rasulullah di undang langsung untuk bertemu dengan-Nya. Seorang Aqwiya (orang-orang yang kuat kecintaannya pada Tuhan) akan menjalankan shalat sebagai media untuk melepaskan rindu mereka kepada Rabbnya, sehingga mereka senang sekali menjalankannya dan menanti-nanti saat shalat untuk waktu berikutnya, bukannya sebagai tugas atau kewajiban yang sifatnya memaksa. Ali bin Abi Thalib ra pernah berkata: “Ada hamba yang beribadah kepada Allah karena ingin mendapatkan imbalan, itu ibadahnya kaum pedagang. Ada hamba yang beribadah karena takut siksaan, itu ibadahnya budak, dan ada sekelompok hamba yang beribadah karena cinta kepada Allah Swt, itulah ibadahnya orang mukmin”. Seorang pecinta akan berhias wangi dan rapi dalam shalatnya, melebihi saat pertemuan dengan orang yang paling ia sukai sekalipun. Bahkan mereka kerap kali menangis dalam shalatnya. Kucuran air mata para pecinta itu merupakan bentuk ungkapan kerinduan dan kebahagiaan saat berjumpa dengan-Nya dalam sholatnya.
Mencintai Allah Swt. bisa di pelajari lewat tanda-tanda-Nya yang tersebar di seluruh ufuk alam semesta. Pada saat yang sama, pemahaman dan kecintaan kepada Allah ini kita manifestasikan ke bentuk yang lebih nyata dengan amal saleh dan akhlakul karimah yang berorientasi dalam segenap aspek kehidupan.

Jalan Istiqomah


Syeikh Ahmad ar-Rifa’y
Diriwayatkan oleh Ummu Habibah ra, ia berkata, bahwa Rasulullah saw, bersabda:
“Tak seorang pun hamba yang muslim, sholat Lillahi Ta’ala setiap hari dua belas rekaat, sholat sunnah, bukan sholat fardlu, kecuali Allah
membangunkan rumah di dalam syurga.” (Hr. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’y).
Hadits ini memotifasi untuk menegakkan ibadah-ibadah sunnah, karena ibadah sunnah salah satu bentuk taqarrub kepada Allah Ta’ala, sekalgus menjadi bekal kaum ‘arifun dalam menempuh jalan mneuju kepada Allah swt. Sekaligus menjadi perilaku kaum yang mengkhususkan (menyendiri) jiwanya di sisi Allah swt.
Anak-anak sekalian! Ketahuilah siapa yang hakikat batinnya menyendiri bersama Allah secara total, dan rahasia sirrnya benar-benar manunggal, akan terbuka seluruh tirai, segala bukti menjadi nyata, ketika musyahadah pada Cahaya Al-Haq Allah swt.
Di sanalah ia Allah menuangkan minuman dengan gelas CintaNya, hingga ia mabuk dari lainNya, segalanya menjadi riang nan ringan. Segala diamnya adalah dzikir, nafasnya adalah tasbih, kalamnya adalah penyucian, dan tidurnya adalah sholat (do’a). Sang hamba senantiasa menaiki kendaraan ma’rifat, hingga bertemu Yang Dima’rifati. Bila sudah bertemu, ia abadi selamanya bersamaNya, tidak berpaling ke lainNya.
Qalbu itu ibarat istana, dan ma’rifat adalah rajanya, akal adalah menterinya yang punya department dan instrument. Lisan sebagai penerjemah, sedangkan rahasia batinnya dari khazanah Ar-Rahman. Masing-masing konsisten dengan posisinya, sedangkan arah seluruhnya adalah istiqomahnya sirr bersama Allah swt.
Bila Sirr istiqomah, maka ma’rifat menjadi istiqomah, lalu akal menjadi lurus. Bila akal konsisten, qalbu akan konsisten. Bila qalbu konsisten, jiwa akan konsisten. Bila nafsu konsisten (dalam pengendalian), perilaku batin akan konsisten.
Sirr dicahayai oleh Sifat Jamal dan JalalNya. Akal dicahayai oleh cahaya kesadaran dan renungan pelajaran. Qalbu dicahayai oleh cahaya rasa takut dan cinta disertai kontemplasi fikiran.
Nafsu dicahayai dengan cahaya olah jiwa dan pengekangan.
Sirr adalah lautan dari samudera anugerah pemberianNya, dan gelombangnya tak terhingga, tiada henti pula. Jika Sirr konsisten bersama Allah swt, maka senantiasa akan abadi dalam musyahadah, dan sirna dari penglihatan pada Istiqomahnya.
Perlu diketahui bahwa Jalan Istiqomah (konsistensi) itu laksana tenda agung dari jalan akhirat, dan berjalan di tepinya lebih sulit disbanding jalan di tepian akhirat. Alam rahasia bias menjadi tipudaya, karena Allah swt tidak suka pada hati hamba yang masih ada cinta pada yang lain selain Dia.
Mereka tidak ingin sesuatu dari Allah kecuali Allah. Dalam sebagaian kitabNya Allah Ta’ala berfirman : “Bila yang kesibukan jiwa hambaKu lebih kepadaKu disbanding yang lain, maka Kujadikan nikmat dan hasrat ada dalam mencintaiKu, dan Aku singkapkan hijab antara diriKu dengan dirinya.” Ada seseorang sedang masuk dalam tempat Syeikh Sary as-Saqathy, lantas lelaki itu bertanya, “Manakah yang bias mendekatkan pada Allah Ta’ala, hingga sang hamba bias mendekat kepadaNya?”
Maka As-Sary menangis, lalu berkata, “Orang seperti anda ini masih bertanya seperti itu? Yang paling utama cara mendekatkan hamba kepada Allah Subhanahu wa-Ta’ala, hendaknya Allah swt, muncul di hatimu, dan anda tidak mau sama sekali pada dunia dan akhirat, kecuali hanya padaNya.”
Ibrahim bin Adham ra mengatakan, “Puncak dari hasrat dan citaku dalam hubunganku dengan Allah Ta’ala adalah, hendaknya Dia menjadikan diriku condong terus kepadaNya, hingga aku tak memandang apa pun selain Dia, dan aku tidak sibuk dengan siapa pun selain sibuk denganNya, aku tak peduli Dia jadikan diriku jadi debu, atau hilang sama sekali.”
Nabi Ibrahim as, pernah ditanya, “Dengan cara apa anda dapatkan keakraban dengan Allah Ta’ala?” “Dengan memutuskan diriku hanya kepada Tuhanku, dan pilihanku kepadaNya dibanding lainNya, serta aku tidak pernah makan kecuali bersama tamuku.”
Rabi’ah al-Bashriyah ra mengatakan :
“Oh Tuhanku, hasratku di dunia dan di akhirat nanti hanya mengingatmu, dan hasratku di akhirat dari akhirat hanya memandangMu, maka lakukanlah antara keduanya sekehendakMu.”
Abu Yazid al-Bisthamy ra menegaskan, “Rahasia batinku naik menuju Allah swt, lalu terbang dengan sayap ma’rifat dengan cahaya kecerdasan di cakrawala Wahdaniyah (KemahatunggalanNya). Tiba-tiba nafsu menghadapku dan berkata, “Kemana kau pergi? Akulah nafsumu dan engkau harus bersamaku.” Namun rahasia batinku (sirr) sama sekali tidak menoleh padanya.
Kemudian makhluk-makhluk lain menghadap sirrku, mereka bertanya, “Kemana kau pergi? Kami adalah teman dan tempat curhatmu, engkau harus bersama kami, demi solidaritas padamu!” Sirrku sama sekali tidak menoleh.
Lantas syurga dengan segenap isinya menghadap sirrku, mereka bertanya, “Kemana engkau pergi? Engkau itu bagiku dan engkau harus di sini denganku.” Maka sirrku sama sekali tidak berpaling.
Lalu anugerah dan pemberian menghadapku, begitu juga karomah-karomah, hingga melewati kerajaanNya, sampai pada kemah Fardaniyah (KetunggalanNya), lantas melampaui universalitas dan keakuan, hingga sirrku sampai di hadapan Allah swt. Dialah yang kucari!”
Allah swt berfirman kepada Nabi Musa as, “Wahai Musa! Sesungguhnya orang yang menjumpaiKu pasti tidak akan kembali dariKu, dan tidak akan kembali kecuali dari Jalan (lurusKu).” Abul Abbas nin Atha’ ra, mengatakan, “Manakala akhirat muncul dalam diri hamba, dunia menjadi sirna di sisinya, sehingga sang hamba hanya menetap di negeri keabadian. Namun manakala sang hamba berada dalam penyaksian Allah Ta’ala, segala hal selain Allah Ta’ala sirna, dan hamba abadi bersama Allah swt.” Ada lelaki di hadapan Abu Yazid ra, berkata, “Ada informasi sampai kepadaku bahwa engkau punya Ismul A’dzom, sangat senang jika engkau mengajariku.”
Abu Yazid menjawab, “Nama Allah itu tidak terbatas. Namun kosongkan hatimu hanya bagi KemahaesaanNya, meninggalkan berpaling pada selain Allah Ta’ala. Jika anda bisa demikian, raihlah Ism (Nama) mana pun yang kau kehendaki, maka dengan Isim itu anda bisa pergi dari timur hingga barat, dalam sekejap dan anda telah kembali.”
Dzun Nun al-Mishry ra, mengatakan, “Ketika aku naik haji, tiba-tiba ada anak muda mengatakan : “Oh Tuhanku, aku telah mengumpulkan tebusanMu, dan engkau Maha Tahu, lalu apa yang Engkau berlakukan pada mereka?”
Lalu kudengar suara : “TebusanKu banyak, dan yang mencariKu sedikit.” Sebagian Sufi ditanya, “Seberapakah antara Allah swt dan hambaNya?” “Empat langkah saja: Satu langkah meninggalkan dunia; satu langkah meninggalkan makhluk; satu langkah meninggalkan nafsu; dan satu langhkah meninggalkan akhirat, maka sang hamba sudah dihadapan Allah swt.” Jawabnya.
Sarry ra berkata, “Siapa yang bangkit untuk taat kepada Allah Ta’ala tanpa ada yang lain, Allah akan memberi minuman dari mata air cinta dariNya, dan dihantar menuju tempat yang benar.”
Sayyidina Ali Karromallahu Wajhah mengatakan, “Orang arif manakala keluar dari dunia tak ada pemandu maupun penyakdi di hari kiamat, tidak ada Malaikat Ridlwan di syurga, juga tidak ada Malaikat Malik di neraka.”
Beliau ditanya, “Lalu dimana sang arif di jumpai?”
“Di hadapan Allah Yang Maha Diraja, di tempat yang benar. Ketika mereka bangkit dari kuburnya mereka tidak bertanya-tanya, “Mana keluarga dan anakku? Mana Jibril dan Mikail? Mana syurga dan pahala?” Namun justru berkata, “Manakah Kekasihku dan kemesraan hatiku?”
Qalbu kaum airfin punya mata Yang memandang apa yang tak biasa dipandang manusia Sedangkan lisannya berkata dengan rahasia batinnya
munajat dari malaikat-malaikat mulia di sisiNya yang mencatat :
Sayap-sayap yang terbang tanpa bulu
Hinggap di sisi Rabbul ‘alamin.
Lalu bagai gembalaan di taman suci menari
Dan meminum dari lautan para RasulNya
Para hamba yang menuju kepadaNya
Hingga mendekat, sampai bertemu denganNya.

Meninggal Tubuhnya Dikafani Malaikat


Kisah Islamiah malam dengan kisah Sakaratul Maut,kisah yang menceritakan tentang dicabutnya roh seorang manusia pecinta Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Kisahnya.
Semasa hidupnya Abu Abdillah adalah seorang yang sangat mencintai Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Apapun yang dikatakan oleh Rasulullah SAW, dia selalu mentaatinya.
Subhanallah….
Ketika meninggal dunia tubuhnya dikafani sendiri oleh Malaikat.

Sungguh sangat beruntung apa yang dialami oleh Abu Abdillah tersebut.
Dia manusia yang mati dalam kondisi yang baik atau Khusnul Khatimah.
Cerita ini bersumber dari Kitab Al Husayn ibn Sa’id Al Ahwani.
Diceritakan bahwa pada suatu saat Rasulullah SAW, Ali bin Abi Thalib ra, Malaikat Jibril, Malaikat Mikail dan malaikat Isroil sedang berada di suatu tempat.
Di hadapan mereka terdapat seorang sahabat Nabi SAW, Abu Abdillah yang tengah sakit keras.
“Demi Allah, amalmu akan diterima dan dosamu akan diampuni oleh Allah,” ujar Rasulullah SAW kepada Abu.
Pada saat itu Abu tidak dapat berbuat apa-apa, ia hanya terbaring lemah di hadapan mereka. Kemudian Malaikat Jibril mendekati Abu dan berkata kepada Rasulullah SAW,
“Orang ini mencintaimu, maka sayangilah ia.”
Mencintai Rasulullah SAW.
Rasul SAW berkata kepada Malaikat Jibril,
“Wahai Jibril, sesungguhnya orang ini telah mencintai Allah, RasulNya, dan aku juga menyayanginya.”
Begitu mendengar penuturan Rasulullah yang demikian, maka Malaikat Jibril kemudian mendekati Malaikat Maut,
“Wahai Malaikat maut, orang ini telah mencintai Allah, RasulNya selama hidupnya, maka sayangi dia dan lemah lembutlah terhadapanya.”
Kemudian Malaikat Maut tersebut mendekat ke tubuh Abu yang lemah lunglai dan berbisik kepadanya,
“Wahai makhluk Allah, apakah kamu telah mendapatkan kebebasanmu, keselamatanmu dan ampunanmu?”
Terasa aneh, meskipun Abu yang sebelumnya tidak mampu berbicara karena tubuhnya lemah, mendadak saja ia mampu berbicara.
“Ya,” jawab Abu.
“Apakah engkau berpegangan pada pegangan besar dalam kehidupan di dunia?” tanya Malaikat Maut lagi.
“Benar,” jawab Abu lirih.
Tubuh berbau Harum.
“Siapakah mereka,” tanya Malaikat Maut.
“Mereka adalah Nabi Muhammad SAW kekasihku dan Ali bin Abi Thalib,” jawab Abu.
Kemudian Malaikat Maut berkata,
“Kamu telah berkata dengan benar. Allah SWT telah menganugerahimu keselamatan dari apa yang menakutkanmu dan kamu telah menerima apa yang kamu dambakan. Terimalah berita baik ini bahwa kamu telah bersama dengan para pendahulumu yang lurus.”
Kemudaian Malaikat Maut menarik roh dari Abu dan menurunkan kain kafan serta minyak kasturi dari surga. Tak hanya itu, tubuh Abu dilumuri dengan minyak kasturi dari surga.
“Tidurlah seperti tidurnya seorang pengantin di ranjangnya. Terimalah berita gembira, kesegaran, keharuman dan kenikmatan dari Allah SWT,” ujar Malaikat Maut.

Rasulullah SAW Melarang Memukul Anak Kecil


yang Sedang Menangis
Rasulullah SAW bersabda : Janganlah kamu
memukul anak- anak kamu di sebabkan
mereka menangis dalam masa setahun.
Karena pada empat bulan pertama
kelahirannya Ia bersyahadat LAA ILAAHA
ILLALLAH. Pada empat bulan kedua pula ia
berselawat ke atas Nabi SAW Dan pada
empat bulan seterusnya pula ia mendoakan
kedua ayah bunda nya. ( H.R. Abdullah Ibnu
Umar r.a. )
Baginda Rasulullah SAW menjelaskan bahwa
tangisan anak di waktu kecil pada bulan
pertama adalah tanda ia bertauhid kepada
Tuhan Nya dan empat bulan kedua pula ia
membacakan selawat kepada Nabi nya dan
empat bulan seterus nya ia memohon
istighfar untuk kedua ayah bunda nya.
Rasulullah SAW Bersabda : Anak-anak
sebelum sampai ia baligh maka apa-apa
yang di perbuat nya daripada kebaikan maka
di tuliskan untuknya dan kedua ibu
bapaknya.
Dan apa yang di perbuat nya daripada
kejahatan maka tiadalah di tulis untuk nya
dan tidak pula di tulis untuk kedua ibu
bapaknya. Apabila ia telah baligh maka
berlakulah yang di tulis itu atasnya ia itu
segala amal baik atau buruknya. ( H.R.Imam
Anas bin Malik r.a.)
Sabda Rasulullah SAW ;”Siapa yang
menyampaikan satu ilmu dan orang
membaca mengamalkannya maka dia akan
beroleh pahala walaupun sudah tiada.” (HR.
Muslim)

Jumat, 14 November 2014

Sufi Road : Al-Fana dan al-Baqa (Abu Yazid al-Busthami )


Pokok Pemikiran Abu Yazid al-Busthami
Al-Fana dan al-Baqa
Abu Yazid al-Bisthami adalah tokoh sufi pertama yang memperkenalkan konsep al-fana dan al-baqa serta konsep ittihad. Fana adalah sirnanya segala sesuatu selain Allah dari pandangan seorang sufi. Di mana ia tidak lagi menyaksikan kecuali hakekat yang satu yaitu Allah. Dan baqa adalah merupakan konsekuensi dari adanya fana, ketika seseorang bersatu dengan Tuhan (ittihad), dalam hal ini baqa mengandung pengertian kekal dalam kebaikan. Sehingga apa yang diupayakannya bisa tercapai yaitu bisa bersatu dengan Tuhan, yang dalam bahasa Abu Yazid disebut dengan istilah ittihad.
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu, dan al-fana jauh lebih berbeda dengan al-fasad (rusak), fana artinya tidak kelihatannya sesuatu, sedang al-fasad adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Konsep ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Sina di mana ketika membedakan antara benda-benda yang bersifat samawiyah dan bersifat alam, di mana ia mengambil konklusi bahwa keberadaan benda alam itu berdasarkan permulaannya, bukan perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yang lain, dan hilangnya benda alam itu dengan cara fana bukan dengan fasad.
Adapun makna fana dalam pandangan kaum sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya dan dari makhluk lainnya sebenarnya dirinya tetap sadar dengan dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya
Dalam konteks lain fana mengandung pengertian gugurnya sifat-sifat tercela, makna lainnya bergantung sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan
Menurut Abu Yazid, manusia yang pada hakikatnya seesensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu meleburkan eksistensi sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari pribadinya (fana an-nafs). Fana an-nafs adalah hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyatu ke dalam iradah Allah, bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan dzat Allah
Dengan fana, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan bahwa ia telah berada dekat dengan Tuhan, hal ini dapat dilihat dari kalimat-kalimat bersayap yang belum dikenal sebelumnya (syathahat) yang dia ungkapkan, seperti : “Tidak ada Tuhan selain Aku. Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku”.
Al-Bisthami pernah mengatakan bahwa ketika ia naik haji untuk pertama kali, yang ia lihat adalah bangunan Ka’bah dan dirinya, kemudian ia naik haji lagi, maka selain melihat bangunan Ka’bah dan dirinya, ia merasakan Tuhan Ka’bah. Pada haji ketiga, ia tidak merasakan apa-apa lagi kecuali Tuhan Ka’bah.
Tentang kefanaan Abu Yazid al-Bisthami ini pernah dikisahkan oleh sahabatnya. Zunnun al-Mishri mengutus untuk menemui Abu Yazid, ketika utusan itu sampai, diketuklah pintu rumah Abu Yazid, terjadilah percakapan antara tamu dengan Abu Yazid :
Abu Yazid : “Siapa di luar?”
Utusan : “ Kami hendak berjumpa dengan Abu Yazid”
Abu Yazid : “Abu Yazid siapa? Dimana dia? Sayapun mencari Abu Yazid
Rombongan utusan itupun pulang dan kemudian memberitahukan kepada Zunnun. Mendengar keterangan itu Zunnun berkata : “Sahabatku Abu Yazid telah pergi kepada Allah dan dia sedang fana"
Kejadian yang menimpa Abu Yazid ini disebabkan keinginannya untuk selalu dekat dengan Tuhan. Bahkan ia selalu berusaha untuk mencari jalan agar selalu berada di hadirat Tuhan. Ia pernah berkata : “Aku bermimpi melihat Tuhan”, Akupun bertanya : “Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu?”. Ia menjawab : “Tinggalkan dirimu dan datanglah”.
Menurut Abu Yazid ada empat situasi gradual dalam proses fana, yakni :
-Tingkatan fana yang paling rendah yaitu fana yang dicapai atau dihasilkan melalui mujahadah.
-Tingkatan fana terhadap kenikmatan surga dan kepedihan siksa neraka
-Fana terhadap pemberian Allah
-Fana terhadap fana itu sendiri (fana al-fana)
Apabila seseorang telah mencapai fana pada tahap akhir, seseorang akan secara totalitas lupa terhadap segala sesuatu yang sedang terjadi padanya. Hatinya sudah tidak lagi terisi oleh kesan apapun yang ditangkap oleh panca indera
Konsekuensi dari terjadinya fana itu, maka terjadi pulalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal. Sedangkan dalam kaca mata sufi baqa mengandung makna, kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Sedangkan menurut Abu Yazid baqa adalah hilangnya sifat-sifat kemanusiaan yang dirasakan hanyalah sifat-sifat Tuhan yang kekal dalam dirinya dengan kata lain merasa hidupnya selaras dengan sifat-sifat Tuhan,sistem kerja fana-baqa ini selalu beriringan, sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli tasawuf
اِذَا اَشْرَقَ نُوْرُ الْبَقَاءِ فَيَفْنَ مَنْ لَمْ يَكُنْ وَيَبْقَ مَنْ لَمْ يَزَلْ
“Apabila nampaklah Nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yang kekal”
Kata al-Bisthami, “Ia telah membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup”, aku berkata : bila pada diriku adalah kehancuran (fana) sedang gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup (baqa)”. Al-Bisthami juga berkata : “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, sampai aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka aku hidup.
Untuk mencapai station al-baqa ini seseorang perlu melakukan perjuangan dan usaha-usaha yang keras dan kontinyu, seperti dzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak terpuji.
Jika dilihat dari sisi lain, yang disebut fana dan baqa itu dapat pula disebut sebagai ittihad.
Ittihad
Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan fana dalam pengertian tersebut di atas, maka pada saat itu ia telah dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau al-baqa. Di dalam perpaduan dirinya ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, itulah yang dimaksud dengan ittihad
Faham ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari faham fana dan baqa. Ungkapan Bayazid berikut ini akan memperjelas pengertian ittihad. Bayazid berkata
رفعنى الله عزة فأ قامنى بين يديه وقال لى يا أبا يزيد : ان خلقى يحبون ان يروك فقلت زينى بوحد انيتك والبسنى انا نيتك وارفعنى الى احاديتك حتى اذا ارانى خلقك. قالوا رايناك فتكون انت ذاك ولا اكون اناهناك.
Dan pada kesempatan lain beliau berkata : “Pada suatu ketika aku dinaikkan ke hadirat Tuhan dan ia berkata : ‘Hai Zayid, makhluk-Ku ingin melihat engkau’. Aku menjawab : ‘Kekasihku, aku ingin melihat mereka, tetapi jika itulah kehendak-Mu, maka aku tak berdaya menentang kehendak-Mu, hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata : “Telah kami lihat Engkau”. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah engkau, karena itu aku tak ada di sana”.
Situasi ittihad itu diperjelas lagi dalam ungkapannya : “Tuhan berkata : semua mereka kecuali Engkau, adalah makhlukku. Akupun berkata : Aku adalah engkau, Engkau adalah Aku”.
Ungkapan kata Abu Yazid ini telah mendapat tanggapan, bahkan kecaman dari para ulama di zamannya. Bagi para ulama yang toleran menilainya sebagai suatu penyelewengan, tetapi bagi ulama yang ekstrim menilainya sebagai suatu kekufuran. Namun ada pula yang menilainya merupakan kasus tertentu bagi seorang sufi dan kata-kata yang dilontarkan adalah kata-kata yang terlontar di kala kondisi kejiwaannya tidak stabil. Dalam kondisi seperti ini, seorang sufi tidak sepenuhnya bisa mengandalkan diri pribadinya, dan dia pada saat itu tidak mampu lagi mengendalikan dirinya
----------------------
Abu Yazid, seperti kita ketahui adalah sufi pertama yang memunculkan faham fana dan baqa dalam tasawuf. Dia selalu ingin selalu dekat (ber-taqarrub) dengan Tuhan. Karena keinginan yang mendalam untuk selalu dekat dengan Tuhan, mengakibatkan seakan-akan Abu Yazid merasa bersatu dengan Tuhan.
Dengan fana, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan, bahwa ia telah dekat dengan sang khaliq, ini dapat dicermati dari syathahat yang diucapkannya, dan dalam hal ini ucapan tersebut tidak dapat dipegangi dan dikenakan hukum. Karena orang yang berkata pada waktu itu sedang mabuk. Mabuk oleh fananya, oleh tiada sadar diri lagi, sebab tenggelam dalam tafakkur. Ungkapan Abu Yazid tentang fana dan ittihad menurut al-Taftazani : “memang terlalu berlebih-lebihan”, antara lain seperti yang diucapkan Abu Yazid : “Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali aku, maka sembahlah Aku”. Yazid juga pernah mengatakan : Tuhan berfirman : “Semua mereka, kecuali Engkai adalah Aku, dan Aku adalah Engkau"
Secara harfiah ungkapan-ungkapan Bayazid itu adalah pengakuan dirinya sebagai Tuhan dan atau sama dengan Tuhan. Akan tetapi sebenarnya bukan demikian maksudnya. Dengan ucapannya Aku adalah Engkau bukan ia maksudkan akunya Bayazid pribadi. Dialog yang terjadi pada waktu itu pada hakekatnya adalah monolog. Kata-kata itu adalah sabda Tuhan yang disalurkan melalui lidah Bayazid yang sedang dalam keadaan fana an-nafs. Pada saat bersatunya Bayazid dengan Tuhan ia berbicara atas nama Tuhan karena yang ada pada ketika itu hanya satu wujud, yaitu Tuhan, sehingga ucapan-ucapannya itu pada hakikatnya adalah kata-kata Tuhan. Dalam hal ini Bayazid menjelaskan :
لانه هو الذى يتكلم بلسانى اما انا فقد فنلبت
“Sebenarnya Dia berbicara melalui lidah saya, sedangkan saya sendiri dalam keadaan fana”.
Oleh karena itu sebenarnya Bayazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan seperti apa yang dilakukan oleh Fir’aun. Proses ittihad ini menurut Bayazid adalah naiknya jiwa manusia kehadirat Ilahi, bukan melalui reinkarnasi. Sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya, yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan tidak menyadari dirinya sendiri karena dirinya terlebur dalam Dia yang terlihat.
Sudah banyak usaha dilakukan untuk menjelaskan kepribadian dan ucapannya yang penuh teka-teki yang terbaik kata Schimmel, adalah sebuah telaah pendek namun mendalam yang dilakukan oleh Helmut Ritter, R.C. Zaehner telah menekankan kemungkinan adanya pengaruh India pada Abu Yazid. Tampaknya R.A. Nicholson juga cenderung berpendapat bahwa Abu Yazid, khususnya faham fana dipengaruhi oleh ajaran India yang diterima dari Abu Ali al-Sindi Annemarie Schimmel meragukan pendapat yang mengatakan bahwa Abu Yazid menerima ajaran dari Abu Ali al-Sindi
Memang di kalangan para sufi sendiri terjadi perbedaan pendapat seperti yang pernah penulis singgung namun demikian menurut Ust. Drs. Moh. Saifullah al-Aziz, di dalam bukunya Risalah Memahami Tasawuf, kita tidak bisa begitu saja khususnya di kalangan mujtahid untuk terus berkiprah berusaha menggali tasawuf dari sumber aslinya untuk mencari kemurnian tasawuf itu hingga saat ini, seperti Muhammad Iqbal, Prof. Dr. H. Abdul Karim Amrullah (HAMKA) dan sebagainya. Dan hasil pengkajian mereka itulah, maka ajaran tasawuf seperti fana dan ittihad dan sejenisnya bisa dikaji ulang untuk dikembalikan pada bentuk aslinya pada masa Nabi dan para sahabat
Perlu juga diketahui bahwa paham ini jauh berbeda dengan faham hulul-nya al-Hallaj. Di mana dalam faham hulul ini Tuhan lah yang mencari dan mengambil tempat tubuh manusia tertentu untuk ditempatinya, dengan kata lain Tuhan sendiri yang melebur dalam diri manusia, setelah manusia telah mampu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana, sedangkan kalau ittihad, manusia yang berusaha sendiri untuk menarik diri Tuhan melalui metode al-fana.

Akhlak Mulia


“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (berjumpa dengan-Nya di) Hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”(QS Al-Ahzab [33]:21)
Dalam Hadits Qudsi, Allah berfirman,”Bahwasanya Aku menerima shalat hanya dari orang yang bertawadhu dengan shalatnya kepada keagungan-Ku, yang tidak terus menerus mengerjakan perbuatan dosa, menghabiskan waktunya sepanjang hari untuk berdzikir kepada-Ku, bersikap kasih sayang kepada fakir miskin, ibn sabil, janda, serta mengasihi orang yang mendapat musibah.”(HR. Al-Bazzar)
Rasulullah Saw bersabda,”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”(HR. Ahmad)
Rasulullah Saw bersabda,”Dua sifat jangan sampai berkumpul dalam diri seseorang Muslim, yaitu kikir dan akhlak yang buruk.”(HR. Al-Tirmidzi dari Abu Sai’id Al-Khudri)
Rasulullah Saw bersabda,”Tidak ada suatu amal perbuatan pun dalam timbangan yang lebih berat daripada akhlak yang baik.”(HR. Abu Dawud dan Al-Tirmidzi dari Abu Darda’ r.a)
Akhlak yang baik itu merupakan penghimpun kebaikan.
Abdullah ibn ‘Amr ibn Al-‘Ash r.a berkata,”Rasulullah Saw sama sekali bukanlah orang yang keji dan bukan pula orang yang jahat, dan bahwasanya beliau bersabda,’Sesungguhnya orang yang paling baik di antara kamu sekalian adalah yang paling baik budi pekertinya.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Abu Hurairah r.a berkata,”Rasulullah Saw ditanya tentang perbuatan apakah yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga. Beliau menjawab,’Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.’ Dan, beliau ditanya tentang perbuatan apakah yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam neraka. Beliau menjawab,’Mulut dan kemaluan.'(HR. Al-Tirmidzi)
Rasulullah Saw bersabda,”Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya di antara mereka, dan orang yang paling baik di antara kamu sekalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.”(HR. Al-Tirmidzi)
‘Aisyah r.a berkata,”Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda,’Sesungguhnya orang mukmin itu dengan akhlaknya yang baik dapat mengejar derajat orang yang selalu berpuasa dan shalat malam.”(HR. Abu Dawud)
Dari Abu Hurairah r.a, dikatakan kepada Rasulullah Saw bahwa si fulanah adalah wanita yang rajin shalat malam, berpuasa, beramal kebajikan, dan bersedekah, tetapi ia sering menyakiti tetangganya. Rasulullah Saw bersabda,”Tidak ada kebaikan baginya dan ia termasuk calon penghuni neraka.” Para sahabat berkata,”Si fulanah adalah seorang wanita yang hanya shalat wajib, bersedekah dengan sepotong keju, tetapi tidak suka menyakiti siapapun.” Rasulullah Saw bersabda,”Ia termasuk calon penghuni surga.”(HR. Bukhari)
Rasulullah Saw bersabda,”Orang yang paling kucintai dan yang paling dekat denganku di Hari Kiamat adalah yang paling baik akhlaknya di antara kalian.”(HR. Al-Tirmidzi);
Imam Al-Junaid berkata,”Ada 4 hal yang bisa mengangkat seorang hamba mencapai derajat paling tinggi, meskipun amal dan ilmunya amat sedikit, yakni : bijaksana, tawadhu’, dermawan dan budi pekerti yang baik.”
Imam Al-Ghazali mengatakan : “Kepribadian manusia itu pada dasarnya dapat menerima segala usaha pembentukan melalui pembiasaan.” Jika manusia membiasakan perbuatan jahat, ia akan menjadi orang jahat. Karena itu, Al-Ghazali menganjurkan agar akhlak diajarkan, yaitu dengan cara melatih jiwa kepada pekerjaan atau tingkah laku yang mulia. Jika seseorang menghendaki agar ia menjadi pemurah, ia harus dibiasakan melakukan pekerjaan yang bersifat pemurah, hingga murah hati dan murah tangan itu menjadi tabiatnya yang mendarah daging.
“Agama adalah mengenal Allah (ma’rifatullah). Mengenal Allah adalah berlaku dengan akhlak (yang baik). Akhlak (yang baik) adalah menghubungkan tali kasih sayang (silaturahim). Dan silaturahim adalah memasukkan rasa bahagia di hati saudara (sesama) kita.”-(Syaikh Yusuf Makassari)
Seorang ‘arif berkata : “Tidaklah seorang mulia menjadi mulia karena banyak shalat atau banyak puasa, tidak pula karena banyak mujahadah. Seorang menjadi mulia dengan akhlak yang baik.”
Standar mulia seseorang tidak ditentukan oleh banyaknya ibadah, banyaknya dzikir dan suluk, tapi oleh akhlak. Apabila akhlaknya buruk maka tidak ada kemuliaan pada diri orang tersebut.
Akhlak mulia adalah akhlak islami, yakni akhlak yang menggunakan tolok ukur ketentuan Allah Swt. Menurut M. Quraish Shihab, tolok ukur kelakuan baik mestilah merujuk pada ketentuan Allah. Apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Sebagai contoh, tidak mungkin Allah menilai kebohongan sebagai akhlak yang baik, karena kebohongan esensinya adalah buruk.
Dalam tahap tertentu, pembinaan akhlak lahiriah dapat dilakukan dengan cara paksaan yang lama kelamaan tidak lagi terasa dipaksa. Seseorang yang ingin menulis dan mengatakan kata-kata yang bagus, misalnya, pada mulanya ia harus memaksakan tangan dan mulutnya menuliskan atau mengatakan kata-kata dan huruf yang bagus. Apabila pembiasaan ini sudah berlangsung lama, paksaan tersebut sudah tidak terasa lagi sebagai paksaan.
Akhlak menyangkut perilaku yang bersifat individual dan sosial. Akhlak individual berarti kebersihan hati dan kepenuhan hati dengan rasa cinta dan kasih sayang, baik kepada Allah, sesama manusia, maupun seluruh unsur alam semesta selebihnya. Sedangkan akhlak sosial berarti amal shalih.[]

HARAMNYA ORANG KAFIR MEMIMPIN UMAT ISLAM!


SUKA PEMIMPIN DARI KAFIR?DENGAN ALASAN DARI PADA MUSLIM TAPI KORUP?
INGAT!!SEJAHAT2NYA Orang muslim hanya merusak URUSAN DUNIA ,MUSIBAH DUNIA ADALAH MUSIBAH PALING KECIL,MUSLIM HANYA KORUPT DUNIA,KAFIR MENGKOPRUPT AGAMA
SEJAHAT2NYA ORANG KAFIR IA AKAN MERUSAK AGAMA!! MUSIBAH PALING TERBESAR ADALAH "MUSIBAH AGAMA"
1. Al-Qur’an melarang menjadikan orang kafir sebagai PEMIMPIN :
TQS. 3. Aali Imraan : 28.
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).”
TQS. 4. An-Nisaa’ : 144.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (PEMIMPIN/ PELINDUNG) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?”
TQS. 5. Al-Maa-idah : 57.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.”
2. Al-Qur’an melarang menjadikan orang kafir sebagai PEMIMPIN walau KERABAT sendiri :
TQS. 9. At-Taubah: 23.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan BAPAK-BAPAK dan SAUDARA-SAUDARAMU menjadi WALI (PEMIMPIN/ PELINDUNG), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang lalim.”
TQS. 58. Al-Mujaadilah: 22.
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu BAPAK-BAPAK, atau ANAK-ANAK atau SAUDARA-SAUDARA atau pun KELUARGA mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) -Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.”
3. Al-Qur’an melarang menjadikan orang kafir sebagai TEMAN SETIA :
TQS. 3. Aali Imraan : 118.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi TEMAN KEPERCAYAANMU orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.”
TQS. 9. At-Taubah: 16.
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi TEMAN SETIA selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
4. Al-Qur’an melarang SALING TOLONG dengan kafir yang akan MERUGIKAN umat islam :
TQS. 28. Al-Qsashash : 86.
“Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al Qur’an diturunkan kepadamu, tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat yang besar dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu menjadi PENOLONG bagi orang-orang kafir.”
TQS. 60. Al-Mumtahanah: 13.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan PENOLONGMUMU yang dimurkai Allah, sesungguhnya mereka telah putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur berputus asa.”
5. Al-Qur’an melarang MENTAATI orang kafir untuk MENGUASAI muslim :
TQS. 3. Aali Imraan : 149 – 150.
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu MENTAATI orang-orang yang KAFIR itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi. Tetapi (ikutilah Allah), Allahlah Pelindungmu, dan Dia-lah sebaik-baik Penolong.”
6. Al-Qur’an melarang beri PELUANG kepada orang kafir sehingga MENGUASAI muslim :
TQS. 4. An-Nisaa’ : 141.
“…..dan Allah sekali-kali tidak akan MEMBERI JALAN kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”
7. Al-Qur’an memvonis MUNAFIQ kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin :
TQS. 4. An-Nisaa’ : 138 – 139.
“Kabarkanlah kepada orang-orang MUNAFIQ bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.”
8. Al-Qur’an memvonis ZALIM kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin :
TQS. 5. Al-Maa-idah: 51.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.”
9. Al-Qur’an memvonis FASIQ kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin :
TQS. 5. Al-Maa-idah: 80 – 81.
“Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasiq.”
10. Al-Qur’an memvonis SESAT kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin :
TQS. 60. Al-Mumtahanah : 1
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barang siapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah TERSESAT dari jalan yang lurus.”
11. Al-Qur’an mengancam AZAB bagi yang jadikan kafir sebagai pemimpin/ teman setia :
TQS. 58. Al-Mujaadilah : 14 – 15.
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui. Allah telah menyediakan bagi mereka AZAB yang sangat keras, sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.”
12. Al-Qur’an mengajarkan doa agar muslim tidak menjadi SASARAN FITNAH orang kafir :
TQS. 60. Al-Mumtahanah : 5.
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (SASARAN) FITNAH bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”