Laman

Senin, 14 Oktober 2013

kHODAM JIN DAN KHODAM MALAIKAT


KHODAM


Yang dimaksud khodam dalam uraian ini adalah penjaga yang didatangkan dari dunia ghaib untuk manusia, bukan untuk benda bertuah. Didatangkan dari rahasia urusan Ilahiyah yang terkadang banyak diminati oleh sebagian kalangan ahli mujahadah dan riyadlah tetapi dengan cara yang kurang benar. Para ahli mujahadah itu sengaja berburu khodam dengan bersungguh-sungguh. Mereka melakukan wirid-wirid khusus, bahkan datang ke tempat-tempat yang terpencil. Di kuburan-kuburan tua yang angker, di dalam gua, atau di tengah hutan.
Ternyata keberadaan khodam tersebut memang ada, mereka disebutkan di dalam al-Qur’an al-Karim. Diantara mereka ada yang datang dari golongan Jin dan ada juga dari Malaikat, namun barangkali pengertiannya yang berbeda. Karena khodam yang dinyatakan dalam Al-Qur’an itu bukan berupa kelebihan atau linuwih yang terbit dari basyariah manusia yang disebut “kesaktian”, melainkan berupa sistem penjagaan dan perlindungan yang diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman dan beramal shaleh sebagai buah ibadah yang mereka lakukan. Sistem perlindungan tersebut dibangun oleh rahasia urusan Allah s.w.t yang disebut “walayah”, dengan itu supaya fitrah orang beriman tersebut tetap terjaga dalam kondisi sebaik-baik ciptaan. Allah s.w.t menyatakan keberadaan khodam-khodam tersebut dengan firman-Nya:
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Bagi manusia ada penjaga-penjaga yang selalu mengikutinya, di muka dan di belakangnya, menjaga manusia dari apa yang sudah ditetapkan Allah baginya. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubahnya sendiri”. (QS. ar-Ra’d; 13/11)
Lebih jelas dan detail adalah sabda Baginda Nabi s.a.w dalam sebuah hadits shahihnya:
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَقَالَ إِنِّي أُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبَّهُ قَالَ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ ثُمَّ يُنَادِي فِي السَّمَاءِ فَيَقُولُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ قَالَ ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي الْأَرْضِ رواه البخاري و مسلم *
“Hadits Abi Hurairah r.a berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: “Sesungguhnya Allah apabila mencintai seorang hamba, memanggil malaikat Jibril dan berfirman : “Sungguh Aku mencintai seseorang ini maka cintailah ia”. Nabi s.a.w bersabda: “Maka Jibril mencintainya”. Kemudian malaikat Jibril memanggil-manggil di langit dan mengatakan: “Sungguh Allah telah mencintai seseorang ini maka cintailah ia, maka penduduk langit mencintai kepadanya. Kemudian baginda Nabi bersabda: “Maka kemudian seseorang tadi ditempatkan di bumi di dalam kedudukan dapat diterima oleh orang banyak”. (HR Bukhori dan Muslim )
Dan juga sabdanya:
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ مَلَائِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلَائِكَةٌ بِالنَّهَارِ وَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِينَ بَاتُوا فِيكُمْ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ كَيْفَ تَرَكْتُمْ عِبَادِي فَيَقُولُونَ تَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَأَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ
“Hadits Abi Hurairah r.a Sesungguhnya Rasulullah s.w.t bersabda: “Mengikuti bersama kalian, malaikat penjaga malam dan malaikat penjaga siang dan mereka berkumpul di waktu shalat fajar dan shalat ashar kemudian mereka yang bermalam dengan kalian naik (ke langit), Tuhannya bertanya kepada mereka padahal sesungguhnya Dia lebih mengetahui keadaan mereka: di dalam keadaan apa hambaku engkau tinggalkan?, mereka menjawab: mereka kami tinggalkan sedang dalam keadaan shalat dan mereka kami datangi sedang dalam keadaan shalat”. (HR Buhori dan Muslim)
manakib
Setiap yang mencintai pasti menyayangi. Sang Pecinta, diminta ataupun tidak pasti akan menjaga dan melindungi orang yang disayangi. Manusia, walaupun tanpa susah-susah mencari khodam, ternyata sudah mempunyai khodam-khodam, bahkan sejak dilahirkan ibunya. Khodam-khodam itu ada yang golongan malaikat dan ada yang golongan Jin. Diantara mereka bernama malaikat Hafadhoh (penjaga), yang dijadikan tentara-tentara yang tidak dapat dilihat manusia. Konon menurut sebuah riwayat jumlah mereka 180 malaikat. Mereka menjaga manusia secara bergiliran di waktu ashar dan subuh, hal itu bertujuan untuk menjaga apa yang sudah ditetapkan Allah s.w.t bagi manusia yang dijaganya.
Itulah sistem penjagaan yang diberikan Allah s.w.t kepada manusia yang sejatinya akan diberikan seumur hidup, yaitu selama fitrah manusia belum berubah. Namun karena fitrah itu terlebih dahulu dirubah sendiri oleh manusia, hingga tercemar oleh kehendak hawa nafsu dan kekeruhan akal pikiran, akibat dari itu, matahati yang semula cemerlang menjadi tertutup oleh hijab dosa-dosa dan hijab-hijab karakter tidak terpuji, sehingga sistem penjagaan itu menjadi berubah
.
KHODAM JIN DAN KHODAM MALAIKAT
‘Setan’, menurut istilah bahasa Arab berasal dari kata syathona yang berarti ba’uda atau jauh. Jadi yang dimaksud ‘setan’ adalah makhluk yang jauh dari kebaikan. Oleh karena hati terlebih dahulu jauh dari kebaikan, maka selanjutnya cenderung mengajak orang lain menjauhi kebaikan. Apabila setan itu dari golongan Jin, berarti setan Jin, dan apabila dari golongan manusia, berarti setan manusia. Manusia bisa menjadi setan manusia, apabila setan Jin telah menguasai hatinya sehingga perangainya menjelma menjadi perangai setan. Rasulullah s.a.w menggambarkan potensi tersebut dan sekaligus memberikan peringatan kepada manusia melalui sabdanya:
لَوْلاَ أَنَّ الشَّيَاطِيْنَ يَحُوْمُوْنَ عَلَى قُلُوْبِ بَنِى آَدَمَ لَنَظَرُوْا اِلَى مَلَكُوْتِ السَّمَاوَاتِ
“Kalau sekiranya setan tidak meliputi hati anak Adam, pasti dia akan melihat alam kerajaan langit”.
Di dalam hadits lain Rasulullah s.a.w bersabda:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَجْرِى مِنِ ابْنِ آَدَمَ مَجْرَى الدَّمِ فَضَيِّقُوْا مَجَاِريَهُ ِبالْجُوْعِ.
“Sesungguhnya setan masuk (mengalir) ke dalam tubuh anak Adam mengikuti aliran darahnya, maka sempitkanlah jalan masuknya dengan puasa”.
Setan jin menguasai manusia dengan cara mengendarai nafsu syahwatnya. Sedangkan urat darah dijadikan jalan untuk masuk dalam hati, hal itu bertujuan supaya dari hati itu setan dapat mengendalikan hidup manusia. Supaya manusia terhindar dari tipu daya setan, maka manusia harus mampu menjaga dan mengendalikan nafsu syahwatnya, padahal manusia dilarang membunuh nafsu syahwat itu, karena dengan nafsu syahwat manusia tumbuh dan hidup sehat, mengembangkan keturunan, bahkan menolong untuk menjalankan ibadah.
Dengan melaksanakan ibadah puasa secara teratur dan istiqomah, di samping dapat menyempitkan jalan masuk setan dalam tubuh manusia, juga manusia dapat menguasai nafsu syahwatnya sendiri, sehingga manusia dapat terjaga dari tipudaya setan. Itulah hakekat mujahadah. Jadi mujahadah adalah perwujudan pelaksanaan pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya secara keseluruhan, baik dengan puasa, shalat maupun dzikir. Mujahadah itu merupakan sarana yang sangat efektif bagi manusia untuk mengendalikan nafsu syahwat dan sekaligus untuk menolak setan. Allah s.w.t berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka berdzikir kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat”. (QS.al-A’raaf.7/201)
Firman Allah s.w.t di atas, yang dimaksud dengan lafad “Tadzakkaruu” ialah, melaksanakan dzikir dan wirid-wirid yang sudah diistiqamahkan, sedangkan yang dimaksud “Mubshiruun”, adalah melihat. Maka itu berarti, ketika hijab-hijab hati manusia sudah dihapuskan sebagai buah dzikir yang dijalani, maka sorot matahati manusia menjadi tajam dan tembus pandang.
manakib
Jadi, berdzikir kepada Allah s.w.t yang dilaksanakan dengan dasar Takwa kepada-Nya, di samping dapat menolak setan, juga bisa menjadikan hati seorang hamba cemerlang, karena hati itu telah dipenuhi Nur ma’rifatullah. Selanjutnya, ketika manusia telah berhasil menolak setan Jin, maka khodamnya yang asalnya setan Jin akan kembali berganti menjadi golongan malaikat.
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ(30)نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) “Janganlah kamu merasa takut janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan memperoleh surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”(30)Kamilah pelindung-pelindungmu di dalam kehidupan di dunia maupun di akherat”. (QS. Fushilat; 41/30-31)
Firman Allah s.w.t di atas yang artinya: “Kami adalah pelindung-pelindungmu di dalam kehidupan di dunia maupun di akherat”, itu menunjukkan bahwa malaikat-malaikat yang diturunkan Allah s.w.t kepada orang yang istiqamah tersebut adalah untuk dijadikan khodam-khodam baginya.
Walhasil, bagi pengembara-pengembara di jalan Allah, kalau pengembaraan yang dilakukan benar dan pas jalannya, maka mereka akan mendapatkan khodam-khodam malaikat. Seandainya orang yang mempunyai khodam Malaikat itu disebut wali, maka mereka adalah waliyullah. Adapun pengembara yang pas dengan jalan yang kedua, yaitu jalan hawa nafsunya, maka mereka akan mendapatkan khodam Jin. Apabila khodam jin itu ternyata setan maka pengembara itu dinamakan walinya setan. Jadi Wali itu ada dua (1) Auliyaaur-Rohmaan (Wali-walinya Allah), dan (2) Auliyaausy-Syayaathiin (Walinya setan). Allah s.w.t menegaskan dengan firman-Nya:
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ ءَامَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Dan orang-orang yang tidak percaya, Wali-walinya adalah setan yang mengeluarkan dari Nur kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (QS.al-Baqoroh.2/257)
Dan juga firman-Nya:
إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
“Sesungguhnya kami telah menjadikan setan-setan sebagai Wali-wali bagi orang yang tidak percaya “. (QS. Al-A’raaf; 7/27)
manakib
Seorang pengembara di jalan Allah, baik dengan dzikir maupun wirid, mujahadah maupun riyadlah, kadang-kadang dengan melaksanakan wirid-wirid khusus di tempat yang khusus pula, perbuatan itu mereka lakukan sekaligus dengan tujuan untuk berburu khodam-khodam yang diingini. Khodam-khodam tersebut dicari dari rahasia ayat-ayat yang dibaca. Semisal mereka membaca ayat kursi sebanyak seratus ribu dalam sehari semalam, dengan ritual tersebut mereka berharap mendapat­kan khodamnya ayat kursi.
Sebagai pemburu khodam, mereka juga kadang-kadang mendatangi tempat-tempat yang terpencil, di kuburan-kuburan yang dikeramatkan, di dalam gua di tengah hutan belantara. Mereka mengira khodam itu bisa diburu di tempat-tempat seperti itu. Kalau dengan itu ternyata mereka mendapatkan khodam yang diingini, maka boleh jadi mereka justru terkena tipudaya setan Jin. Artinya, bukan Jin dan bukan Malaikat yang telah menjadi khodam mereka, akan tetapi sebaliknya, tanpa disadari sesungguhnya mereka sendiri yang menjadi khodam Jin yang sudah didapatkan itu. Akibat dari itu, bukan manusia yang dilayani Jin, tapi merekalah yang akan menjadi pelayan Jin dengan selalu setia memberikan sesaji kepadanya.
Sesaji-sesaji itu diberikan sesuai yang dikehendaki oleh khodam Jin tersebut. Memberi makan kepadanya, dengan kembang telon atau membakar kemenyan serta apa saja sesuai yang diminta oleh khodam- khodam tersebut, bahkan dengan melarungkan sesajen di tengah laut dan memberikan tumbal. Mengapa hal tersebut harus dilakukan, karena apabila itu tidak dilaksanakan, maka khodam Jin itu akan pergi dan tidak mau membantunya lagi. Apabila perbuatan seperti itu dilakukan, berarti saat itu manusia telah berbuat syirik kepada Allah s.w.t. Kita berlindung kepada Allah s.w.t dari godaan setan yang terkutuk.
Memang yang dimaksud khodam adalah “rahasia bacaan” dari wirid-wirid yang didawam­kan manusia. Namun, apabila dengan wirid-wirid itu kemudian manusia mendapatkan khodam, maka khodam tersebut hanya didatangkan sebagai anugerah Allah s.w.t dengan proses yang diatur oleh-Nya. Khodam itu didatangkan dengan izin-Nya, sebagai buah ibadah yang ikhlas semata-mata karena pengabdian kepada-Nya, bukan dihasilkan karena sengaja diusahakan untuk mendapatkan khodam.
Apabila khodam-khodam itu diburu, kemudian orang mendapatkan, yang pasti khodam itu bukan datang dari sumber yang diridlai Allah s.w.t, walaupun datang dengan izin-Nya pula. Sebab, tanda-tanda sesuatu yang datangnya dari ridho Allah, di samping datang dari arah yang tidak disangka-sangka, bentuk dan kondisi pemberian itu juga tidak seperti yang diperkiraan oleh manusia. Demikian­lah yang dinyatakan Allah s.w.t:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا(2)وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah. Allah akan menjadikan jalan keluar baginya (untuk menyelesaikan urusannya) (2) Dan memberikan rizki kepadanya dari arah yang tidak terduga”. (QS. ath-Tholaq; 65/2-3)
Khodam-khodam tersebut didatangkan Allah s.w.t sesuai yang dikehendaki-Nya, dalam bentuk dan keadaan yang dikehendaki-Nya pula, bukan mengikuti kehendak hamba-Nya. Bahkan juga tidak dengan sebab apa-apa, tidak sebab ibadah dan mujahadah yang dijalani seorang hamba, tetapi semata sebab kehendakNya. Hanya saja, ketika Allah sudah menyatakan janji maka Dia tidak akan mengingkari janji-janji-Nya.

ALASAN 6, Mengapa Orang diRuqyah Kesurupan Jin

Menjual Ayat Dengan Harga Murah

Firman Allah SWT. al-Qur’an al-Karim Surat al-Isra’/ayat, 17/82-84.

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا(82) وَإِذَا أَنْعَمْنَا عَلَى الْإِنْسَانِ أَعْرَضَ وَنَأَى بِجَانِبِهِ وَإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ كَانَ يَئُوسًا

“Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. – Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia: dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa.”. QS:17/82-83.
Ayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat penawar (Obat) dan rahmat bagi orang yang beriman, namun bagi orang-orang yang zalim, al-Qur’an itu bahkan hanya menambah kerugian belaka.  Siapa yang dimaksud orang yang zalim…? Yaitu orang-orang yang: “Apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya mereka berpaling dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa”. QS:17/83.
Menjadi jelas bahwa al-Qur’an tidak hanya untuk mengobati jasmani manusia saja akan tetapi juga dan bahkan yang paling utama adalah ruhani dan kesadarannya. Bahkan terhadap orang yang zalim, yakni orang-orang yang pola pikirnya tidak sehat, karena di dalam hati dan pikiran mereka terdapat penyakit-penyakit hasud atau iri hati kepada orang yang mendapatkan kenikmatan dari Allah Ta’ala serta mudah putus asa, kepada mereka al-Qur’an itu bahkan hanya akan menambah kerugian belaka.
Apabila ayat di atas kita kaitkan dengan hadits Rasulullah saw. di bawah ini :

حَدِيثُ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانُوا فِي سَفَرٍ فَمَرُّوا بِحَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ فَاسْتَضَافُوهُمْ فَلَمْ يُضِيفُوهُمْ فَقَالُوا لَهُمْ هَلْ فِيكُمْ رَاقٍ فَإِنَّ سَيِّدَ الْحَيِّ لَدِيغٌ أَوْ مُصَابٌ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ نَعَمْ فَأَتَاهُ فَرَقَاهُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَبَرَأَ الرَّجُلُ فَأُعْطِيَ قَطِيعًا مِنْ غَنَمٍ فَأَبَى أَنْ يَقْبَلَهَا وَقَالَ حَتَّى أَذْكُرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَاللَّهِ مَا رَقَيْتُ إِلَّا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَتَبَسَّمَ وَقَالَ وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ ثُمَّ قَالَ خُذُوا مِنْهُمْ وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ مَعَكُمْ *

Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri r.a berkata: Sesungguhnya beberapa orang dari kalangan Sahabat Rasulullah saw sedang berada dalam perjalanan. Mereka pergi ke salah sebuah kampung Arab dan mereka berharap agar boleh menjadi tamu kepada penduduk kampung tersebut. Namun ternyata penduduk kampung itu tidak mau menerima mereka. Tetapi ada yang bertanya: Apakah ada di antara kamu yang bisa menjampi? Karana ketua atau penghulu kampung kami terkena sengat. Salah seorang dari para Sahabat menjawab: Ya, ada. Lalu beliau menemui ketua kampung tersebut dan menjampinya dengan surah al-Fatihah. Kemudian ketua kampung tersebut sembuh, maka Sahabat tersebut diberi beberapa ekor kambing. Beliau tidak mahu menerimanya dan mengajukan syarat: Aku akan menyampaikannya kepada Nabi s.a.w, beliau pun pulang menemui Nabi s.a.w dan menyatakan pengalaman tersebut. Beliau berkata: Ya Rasulullah! Demi Allah, aku hanya menjampi dengan surah al-Fatihah. Mendengar kata-kata itu, Rasulullah saw tersenyum dan bersabda: Tahukah engkau, bahawa al-Fatihah itu memang merupakan jampi (Ruqyah). Kemudian baginda bersabda lagi: Ambillah pemberian mereka dan pastikan aku mendapatkan bagian bersama kamu.
•    Riwayat Bukhari di dalam Kitab Pengobatan hadits nomor 5295.
•    Riwayat Muslim di dalam Kitab Salam hadits nomor 4080.
•    Riwayat Tirmidzi di dalam Kitab Sholat hadist nomor 1989.
Maka jadinya kita dapat menyimpulkan bahwa di dalam ayat-ayat al-Qur’an al-Karim terdapat dua kandungan:
1. Ilmu pengetahuan dan pemahaman hati, namun hanya orang-orang beriman saja yang mendapat kemanfaatan darinya, yaitu berupa penawar (obat) dan rahmat, dan juga sebagai petunjuk (hidayah) sebagaimana yang telah ditegaskan Allah Ta’ala dengan firman-Nya yang lain:

ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ(2)الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, – (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, QS:2/2-3.
Namun bagi orang yang berbuat zalim, ayat-ayat al-Qur’an al-Karim tidak akan membawa kemanfaatan apa-apa kecuali hanya menambah kerugian belaka.
2. Al-Qur’an sebagai jampi atau ruqyah, yaitu katika al-Qur’an (surat al-Fatihah) dibacakan kepada orang yang jasmaninya sedang sakit, dengan izin Allah Ta’ala orang tersebut menjadi sembuh.
Kesimpulan: Dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an, seharusnya orang tidak hanya melihat aspek yang lahir saja tetapi juga aspek yang batin. Karena al-Qur’an diturunkan bukan hanya untuk menyembuhkan jasmani saja akan tetapi yang lebih utama adalah ruhani manusia, yaitu untuk keselamatan anak manusia baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, kita bisa melihat di dalam fenomena, banyak orang yang tidak beriman kepada Allah Ta’ala tetapi keahliannya tentang al-Qur’an dan ilmu Islam melebihi orang beriman. Mereka itulah para orientalis Yahudi yang memang sengaja mempelajari al-Qur’an dengan sungguh-sungguh namun bukan untuk kepentingan agama Islam melainkan justru untuk menghancurkan.
Jika al-Qur’an al-Karim dimanfaatn sebatas aspek lahir saja, hanya untuk menyembuhkan atau meruqyah penyakit manusia yang lahir bukan yang batin, terlebih dengan mempertaruhkan yang batin demi kepentingan yang lahir, mempertaruhkan kesadaran hanya untuk tujuan yang belum pasti yakni takut dan khawatir ada jin di dalam tubuh, sebagaimana pelaksanaan “Ruqyah”, maka jadilah sekarang ini kita melihat di sana-sini banyak bermuculan orang menawarkan rekaman wahyu Ilahi dengan pola dagang seperti tukang dagang obat di pinggir jalan. Mereka melaksanakan atraksi sulap terlebih dahulu baru menjual obatnya. Bahkan dengan membayar biaya iklan yang tinggi karena penawaran itu harus dimuat dihalaman-halamam depan dari majalah-majalah yang bersifat islami…?. Seperti menawarkan jasa-jasa perdukunan di majalah-majalah perdukunan yang ada selama ini. Gejala apakah gerangan yang sedang terjadi ……? Apakah yang demikian tersebut tidak termasuk justru melecehkan ayat-ayat suci itu hanya untuk keuntungan dan kepentingan pribadi….? Atau yang dimaksud dengan menjual ayat-ayat Allah dengan harga murah yang terlarang oleh al-Qur’an itu sendiri…..? sebagaimana yang telah ditegaskan Allah Ta’ala dengan firman-Nya:

وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ

“Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa”. QS:2/41.
Tulisan ini diterbitkan bukan untuk tujuan saling bermusuhan atau menjatuhkan lawan, namun sekedar buah keprihatinan orang tua kepada sesama ikhwan seiman. Ilmu saja belum cukup, jika ilmu itu akan kita amalkan, terlebih berkaitan dengan keselamatan orang lain, maka seyogyanya ilmu itu dikaji terlebih dahulu dan digurukan kepada orang yang berpengalaman. Terlebih lagi jika amalan tersebut berkaitan dengan makhluk jin, jika kita salah langkah, maka segera saja setan jin akan memperdaya kita, karena kita tahu bahwa setan memang dijadikan sebagai musuk utama orang beriman. Semoga kita selalu mendapatkan hidayah dan perlindungan Allah Ta’ala dari kesalahan fatal yang tidak kita sengaja dan kita sadari sehingga dapat menghancurkan diri sendiri serta umat secara keseluruhan. (Tamat).

2. MAQOM SEORANG HAMBA DI DUNIA

BAB  2, MAQOM SEORANG HAMBA DI DUNIA


ِارَادَتُكَ التَّجْرِيْدَ مَعَ اِقَامَةِ اللهِ اِيَّكَ فِى الأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الخَفِيَّةِ , وَاِرَادَتُكَ الاَسْبَابَ مَعَ اِقَامَةِ اللهِ اِيَّكَ فِى التَّجْرِيْدِ اِنْحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ العَلِيَّةِ

 “Kehendakmu untuk menggapai maqom tajrid padahal kehendak Allah SWT mendudukkanmu di maqom asbab adalah merupakan kehendak syahwat yang halus. Dan kehendakmu untuk menduduki maqom asbab padahal Allah SWT mendudukkanmu di maqom tajrid, berarti engkau telah turun dari tingkat derajat yang tinggi”.
Maqom hidup manusia di dunia yang pertama adalah tajrid dan yang kedua adalah asbab. Yang dimaksud maqom tajrid adalah kondisi hidup atau kedudukan manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia, di mana dengan maqom itu sumber rizkinya dimudahkan oleh Allah SWT. Sumber rizki tersebut didatangkan dengan tanpa harus dicari dan diikhtiari. Meskipun datangnya melalui sebab-sebab, namun sebab-sebab sumber rizki itupun merupakan hal yang didatangkan dengan mudah.
Sebagaimana contoh kehidupan para Ulama suci lagi mulia, yang setiap hari aktifitas hidupnya hanya mengurus santri, jama’ah dan masyarakatnya, sehingga tidak kebagian waktu untuk memikirkan sumber rizki secara lahir. Namun ternyata kebutuhan hidupnya mendapatkan kecukupan. Bahkan terkadang melebihi kecukupan hidup orang-orang yang setiap hari sibuk mencari nafkah. Dengan maqom tajrid itu, seorang hamba Allah yang ‘arifin hanya membaca sebab-sebab yang datang, kemudian menindaklanjutinya dengan amal (ikhtiar).
Adapun maqom asbab, dimana rizki seseorang tidak didatangkan kecuali melalui sebab-sebab yang diusahakan dan diikhtiari sendiri. Mereka tidak mendapatkan sumber kehidupan kecuali dari jalan ikhtiar yang dilakukan. Oleh karenanya mereka harus berikhtiar dan berusaha. Mencari dan menciptakan peluang supaya terbuka baginya sebab-sebab untuk mendapatkan kecukupan hidup. Setelah sebab-sebab itu terbangun baru ditindaklanjuti dangan amal dan usaha. Seperti itulah keadaan yang dialami kebanyakan manusia pada umumnya.
Oleh karena itu, sejak awal hidupnya seseorang yang menduduki maqom asbab itu harus mampu menciptakan sebab-sebab itu. Sejak mencari ilmu pengetahuan di bangku sekolah, melamar pekerjaan dan menciptakan sumber-sumber penghasilan. Setelah itu mereka harus menindaklanjuti lagi dengan usaha sampai mendapatkan apa-apa yang diharapkan.
Apabila kedua maqom hidup tersebut dikaitkan “usaha dan tawakkal”, sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT dalam sebuah firman-Nya: “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad (ber’azam), maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS. Ali Imran; 159). Maka orang yang melaksanakan maqom tajrid adalah orang yang bertawakkal terlebih dahulu baru berusaha, sedangkan maqom asbab harus ber-azam terlebih dahulu untuk menciptakan sebab-sebab baru setelah itu bertawakkal.

Jangan Ingin Pindah Dari Satu Maqom Ke Maqom Yang Lain
Asy-Syekh Ibnu Ath-Tho’illah RA berkata: “Kehendakmu untuk menggapai maqom tajrid padahal kehendak Allah mendudukkanmu di maqom asbab adalah merupakan kehendak syahwat yang halus. Dan kehendakmu untuk menduduki maqom asbab padahal kehendak Allah mendudukkanmu di maqom tajrid, berarti engkau telah turun dari tingkat derajat yang tinggi”.
Maqom tajrid, sungguhpun merupakan maqom mulia, sebagai karunia besar yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya, namun demikian, selama pemiliknya masih hidup di dunia, baik dari yang berkaitan dengan urusan ukhrawi maupun duniawi, keadaan orang tersebut akan mengalami pasang surut sebagaimana sifat kehidupan dunia pada umumnya. Ketika tajridnya sedang naik, maka berarti rizki orang tajrid itupun akan ikut naik. Rizki itu didatangkan seperti air laut yang sedang pasang. Sumbernya memancar terus-menerus seakan tidak bisa putus lagi. Namun ketika tajridnya sedang turun, mereka terkadang mengalami kekeringan yang amat sangat. Seperti musim kemarau panjang yang seakan tidak dapat hujan lagi. Keadaan seperti ini bagi seorang tajrid merupakan bentuk ujian yang sangat berat.
Betapa tidak, ketika seorang tajrid harus menghadapi desakan kebutuhan realita yang tidak terelakkan. Harus memenuhi tuntutan hidup sebagai seorang kepala rumah tangga misalnya. Menghadapi kesulitan hidup yang dialami anak-anak dan istri yang terkadang bahkan dihadapkan pada masalah yang berat. Anaknya sedang sakit keras misalnya, padahal sedikitpun dia tidak dapat berusaha untuk membawa anaknya itu ke rumah sakit karena saat itu sedang tidak tersedia sarana dan dana. Dalam keadaan seperti itu, konsekwensi seorang tajrid tetap tidak boleh mengusahakan sebab yang dapat melepaskan dirinya dari kesulitan tersebut namun tetap harus menunggu, meski dihadapkan dengan kematian anaknya misalnya.
Seandainya dia masih menduduki maqom asbab seperti dahulu, barangkali dia masih dapat berusaha, walau hanya untuk mendapatkan pinjaman dari tetangga misalnya. Akan tetapi di maqom tajrid tidaklah demikian. Ketika sebab yang pertama tidak berada di tangan, datangnya sebab itu tidak boleh diharapkan dari makhluk. Apabila hal tersebut dilakukam berarti akan menurunkannya pada derajat maqom asbab.
Seorang maqom tajrid hanya dapat menunggu kepastian yang akan terjadi. Apapun kejadiannya, yang demikian itu lebih baik baginya daripada harus menyandarkan harapan mendapat pertolongan dari makhluk. Untuk itu, dalam keadaan yang bagaimanapun seorang tajrid harus mampu memilih mana yang boleh diusahakan dan mana yang tidak.
Jika dikarenakan menghadapi ujian seperti itu lantas mereka ingin kembali turun ke maqom asbab, berarti mereka telah turun dari cita-cita yang tinggi. Apabila seorang tajrid mampu menjalani ujian itu dengan sempurna. Mereka mampu melewatinya dengan hati yang selamat dan tawakkal. Setelah melewati titik kulminasi yang sudah ditetapkan, Allah akan merubah kesusahan tersebut menjadi kegembiraan yang besar.

KHUTBAH IDUL ADHA 2013, Tanpa Pengorbanan Jangan Harap Ada Keberhasilan

 Tanpa Pengorbanan Jangan Harap Ada Keberhasilan

اللهُ أكْبَرُ × 9

اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلاً، لاَ إِلَهَ إِلاًّ اللَّهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَ إِلَهَ إِلاًّ اللَّهُ اللهُ أكْبَرُ، الله أكبر وَللهِ الْحَمْدُ.

اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ جَعَلَ الْيَوْمَ عِيْداً لِلْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحَّدَنَا بِعِيْدِهِ كَأُمَّةٍ وَاحِدَةٍ، مِنْ غَيْرِ الأُمَم، وَنَشْكُرُهُ عَلَى كَمَالِ إِحْسَانِهِ وَهُوَ ذُو الْجَلاَلِ وَاْلإِكْراَمِ.

أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ أَنْتَ وَحْدَكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ، اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُكَ وَرَسُوْلُكَ.

الَلَّهُمَّ صَلِّ وَاُسَلِّمُ عَلَى سيّدِنَا وحَبِيْبِناَ المُصْطَفَى، الَّذِّي بَلَّغَ الرِّسَالَةْ، وَأَدَّى الأَمَانَةْ، وَنَصَحَ الأُمَّةْ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ دَعاَ اِلَى اللهِ بِدَعْوَتِهِ، وَجاَهَدَ فِيْ اللهِ حَقَّ جِهاَدِهِ.

اَمَّا بَعْدُ: عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ!

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ

Allahu Akbar, 3X Allahu Akbar walillahil hamd.
Ma’aasyiral Muslimiin Rahimakumullah
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt, Pencipta dan Pemelihara alam semesta. Tiada henti Allah melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya kepada seluruh hamba-Nya, umat manusia di seluruh belahan bumi ini, juga kepada kita semua. Terlebih disaat yang sangat berbahagia seperti ini, dimana kita ditakdirkan dapat diterima dan bersimpuh dihadapan-Nya untuk menghadapkan segala kerendahan diri dan kehinaan di hadapan Dzat Yang Maha Mulia dan Perkasa. Menghaturkan segala hajad dan kebutuhan hidup di hadapan Tuhan yang Maha Kuasa. Curhat atas segala kelemahan diri dan dosa-dosa di hadapan Allah yang Maha Pengampun, di masjid yang mulia ini bersama-sama melaksanakan sholat Idul Adha.
Untuk memperingati kejadian besar dalam sejarah kemanusiaan yang tiada tandingnya. Pengorbanan hidup yang dilakukan oleh manusia-manusia pilihan, Nabiyullah Ibrahim as beserta keluarganya. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Habiibina Baginda Nabi Muhammad SAW. Dengan perjuangan dan pengorbanan pula Beliau telah berhasil menancapkan sendi-sendi iman dan tauhid di dada umatnya, juga kepada keluarga dan sahabatnya serta pengikut-pengikutnya sampai hari kiamat yang telah melanjutkan tongkat estafet dan komando kepemimpinan, sambung menyambung sampai sekarang sehingga hasilnya bisa kita nikmati sampai saat ini.
Salah satu pengorbanan besar yang tercatat dalam sejarah kemanusiaan yang diabadikan Allah dalam firman-Nya, seakan telah menjadi pondasi bangunan yang kokoh kuat ketika Allah berkehendak menghidupkan dan membangun kota Mekkah Al-Mukarromah. Pengurbanan yang sama sekali tidak masuk di akal sehat. Betapa seorang ayah atas isyarat mimpi harus menyembelih satu-satunya putra tercinta dan perintah itu dapat mereka berdua laksanakan dengan sempurna tanpa cacat. Perintah Allah Swt. tersebut berawal dari bisikan mimpi yang mengusik tidur Abal Anbiya’, Nabiyulloh Ibrahim As. Allah memberikan wahyu lewat mimpi benar kepada nabi-Nya agar menyembelih putra semata wayangnya yang bernama Ismail. Ketika Ibrahim terjaga dari tidurnya, ia mengira apa yang mengganggu tidurnya itu hanya bisikan setan yang lalu lalang seperti bisa, sebab sangat tidak mungkin Allah Swt yang Maha penyayang dan pengasih memerintahkan nabi-Nya untuk menyembelih putra yang telah lama dinanti-nantikannya. Satu-satunya putra yang digadang-gadang menjadi penerus perjuangan, pelanjut silsilah keturunan dan penyambung tongkat estafet kenabian.
Namun demikian mimpi menakutkan itu tidak dibiarkan berlalu begitu saja tanpa arti. Nabi Ibrahim As. mencoba merespon dengan akalnya, hasilnya dia menampik perintah tersebut lantaran tidak bisa diterima logika. Ketika Allah kembali mengusiknya dengan mimpi yang sama sampai tiga kali, baru Nabi Ibrahim Khalilullah ini sadar dan yakin bahwa mimpi tersebut bukan sekedar bisikan setan yang lalu lalang melainkan perintah langit yang dirahasiakan, maka hamba yang taat itu segera saja mencampakkan akalnya dan menerima perintah tersebut dengan hati dan iman secara kafah sebagai wujud ketundukan dan kepatuhan seorang hamba kepada Junjungannya yang Maha Perkasa. Peristiwa sejarah tersebut diabadikan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (102) فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (103) وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (107) وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآَخِرِينَ (108) سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ (109

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. – Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). – Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, –  sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. – Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata – Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar – Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu)”Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”.  (QS.Ash-Shofat/102 – 109)
“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata – Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”, demikian yang dinyatakan Allah dalam firman-Nya di atas . Ujian yang benar-benar ujian yang diberikan Allah kepada kekasih-Nya itu, ketika mampu dilaksanakan dengan sabar dan ikhlas maka Allah memberikan balasan besar kepadanya. Wujud balasan itu tidak hanya diselamatkan dari ujian tersebut, namun juga mendapatkan pujian yang abadi, derajat tinggi dan bahkan menjadi sebab diturunkannya keberkahan Allah untuk Bumi di mana tempat ujian itu terjadi.
Ketika seorang anak dihadapkan kematian dengan pedang di tangan ayahnya sendiri, anak itu dengan tulus berkata : “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Ketika seorang ayah harus melaksanakan perintah untuk menyembelih anak tercintanya yang sedang berbaring lemas dipangkuannya dan menyiapkan lehernya untuk digorok oleh tangannya sendiri, seorang bapak mampu melakukannya dengan ihlas semata-mata karena melaksanakan perintah Allah, padahal perintah itu hanya diterima melalui mimpi. Subhanallah !!! siapakah yang sanggup melakuan pekerjaan yang tidak logis itu selain para kekasih-Mu Ya Allah. Seorang hamba yang lebih mencintai-Mu dibandingkan cintanya kepada apa saja selain-Mu, meski kepada satu-satunya calon penerus keturunan yang dibanggakannya … !!
Ketika dengan sabar dan penuh keikhlasan Nabi Ibrahim As menjalankan perintah tersebut, Allah bangga kepadanya. Sedetik sebelum mata pedang yang sudah diasah tajam itu menyentuh leher anak yang matanya sudah terpejam, dengan kuasa-Nya Allah Swt mengganti tubuh anak tersebut dengan seekor kambing kibas dari surga. Inilah peristiwa besar dalam sejarah kemanusiaan yang mungkin tidak akan terulang sepanjang zaman. Peristiwa sejarah mana yang menunjukkan pelajaran yang amat sangat berharga, yakni apabila orang mau bersabar menghadapi ujian dan musibah dan ridho serta ikhlas menjalaninya, meski nyawa taruhannya, bukan saja akan mendapat pahala basar, namun juga ganti yang lebih baik dan sempurna. Terbukti bahwa pengurbanan yang dilakukan dua manusia pilihan itu tidak sia sia, tidak hilang begitu saja ditelan zaman, namun telah menjadi pondasi yang kokoh kuat atas bangunan kota Mekkah al-Mukarromah dan keberkahan Allah yang dicurahkan di atas kota itu dan sekitarnya sampai saat sekarang. Tanah yang asalnya mati dan gersang itu menjadi kota yang paling makmur dan penuh berkah di muka bumi.
Allahu Akbar, 3X Allahu Akbar walillahil hamd.
Ma’aasyiral Muslimiin Rahimakumullah
Idul Adha identik dengan Idul Qurban, tapi qurban yang dimaksudkan khotib bukan sekedar menyembelih hewan qurban kemudian dagingnya dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerima. Qurban yang dimaksudkan adalah melaksanakan pengurbanan hakiki, yakni mengurbankan sebagian yang kita cintai, baik harta benda maupun penghormatan untuk dibagikan kepada orang yang lebih membutuhkannya, hal itu dilakukan semata-mata melaksanakan “ta’abbudan lillah”, semata-mata mengabdi kepada Allah dalam rangka memperingati dan mengenang pengurbanan besar yang dilakukan Nabiyullah Ibrahim As beserta keluarganya. Pengurbanan mana yang nantinya tidak hanya bisa dijadikan pelajaran dalam hidup saja, namun juga mampu meningkatkan taraf kehidupan kita, baik di dunia maupun di akhirat nanti. Pengurbanan yang mampu mengangkat hasrat kemanusian, meningkatkan kapasitas hidup dan kemampuan pribadi, menjadi orang mulia baik dihadapan manusia maupun dihadapan Rabbul Izzah, demikian itu yang pernah dilakukan dan didapatkan oleh Nabiyullah Ibrahim as beserta keluarganya.
Disamping hal penting tersebut, ibadah qurban juga mengandung pesan kepada kita agar memiliki jiwa sosial dan peka terhadap penderitaan sesama serta pembangunan mental spiritual yang tangguh. Bahkan tidak hanya itu saja, ibadah qurban juga sekaligus harus bisa merontokkan sifat-sifat basyariah yang tercela, kebiasaaan dan karakter kemanusiaan yang jika dibiarkan bisa menjadi penyebab timbulnya kerusakan di di muka bumi. Ungkapan rasa syukur atas segala anugerah yang diwujudkan dengan menasarufkan sebagian harta yang kita miliki dengan membeli dan menyembelih hewan qurban serta pendistribusian dagingnya kepada kalangan fuqoro wal masaakin agar di hari raya ini mereka dapat menikmati kegembiraan yang sama, disamping merupakan simbol agar kita mau berbagi kepada sesama serta ikut meringankan beban hidup orang lain yang bisa membangun kekuatan persaudaraan antara sesama umat, juga menguatkan jiwa kita secara pripadi dalam menghadapi tantangan dan kompetisi hidup yang rasanya seakan tidak berkesudahan, terlebih apabila hal yang sangat positif tersebut tidak hanya bisa dilakukan pada hari-hari tertentu saja, seperti hari Idul Adha sekarang ini, tetapi juga setiap saat dan kesempatan yang ada, saat kita diberi kemampuan dan kelebihan oleh Allah Swt.
Allahu Akbar, 3X Allahu Akbar walillahil hamd.
Ma’aasyiral Muslimiin Rahimakumullah
Jika kita mengamati fenomena yang terjadi belakangan ini di mana tahun politik berarti tahun kemunafikan, para Tokoh Partai Politik sedang memutar otak untuk menutupi boroknya dengan kebohongan dan pencitraan, sekaligus mencari dana biaya pencitraan yang tidak sedikit, hingga banyak dari kalangan mereka menjadi gelap mata, berlomba-lomba mengeruk uang haram, memarup anggaran proyek di Kementrian yang dikuasai supaya ikut kebagian uang rampokan, akibatnya di tahun politik ini korupsi jadi semakin meraja lela dan membabi buta.
Tidak hanya itu saja, para Tokoh Partisan yang jelas-jelas terindikasi berbuat kejahatan, korupsi dan menyalagunakan jabatan masih saja ngotot untuk memenangkan pertarungan. Mereka tidak sungkan-sungkan tampil di panggung pencitraan padahal boroknya tidak ketulangan, bahkan banyak bermunculan orang yang hanya bermodalkan nekat, karena terbiasa merasa besar dikalangan sendiri kemudian muncul di publik, akibat mabuk pujian dari para penjilat yang nebeng kehidupan hingga tidak merasa malu dan mengukur kemampuan mendeklarasikan diri jadi calon Presiden.
Bahkan dari kalangan para Ustadz yang terhormat, yang dulunya jadi panutan rakyat karena selalu membawa-bawa nama ayat Agama dan Dakwah, ketika menduduki jabatan tinggi di Partai Politik, bahkan satu-satunya partai politik yang berani menamakan diri Partai Dakwah, ternyata sama saja, setali tiga uang, kini sebagian mereka ada yang duduk di kursi pesakitan, sementara waktu harus berpisah dengan keluarga tercinta karena mempertanggungjawabkan perbuatan. Inilah realita dan fenomena yang sampai saat ini setiap hari dan setiap saat masih saja disajikan oleh media masa di Negeri ini, baik Elektronik/TV, media Cetak dan media Online.
Di hari yang suci ini, saat Kaum Muslimin di seluruh Dunia memperingati hari raya Idul Qurban, kita boleh bertanya kepada diri kita sendiri. Apakah kita harus menyotoh mereka itu, para perusak kehidupan sesama sekedar untuk meraih kejayaan pribadi maupun golongan?? , para perampok uang rakyat bahkan dengan mengatasnamakan Agama dan Dakwah yang akhirnya terjerembab jadi terdakwa ?? Jika tidak, pertanyaan berikutnya apa yang sudah kita perbuat untuk kejayaan kita sendiri, pengorbanan macam apa yang sudah kita lakukan untuk mencapai peningkatan hidup yang kita dambakan, untuk keberhasilan hidup kita sendiri bukan keberhasilan hidup orang lain. Apakah kita hanya boleh menuntut saja tanpa berbuat apa-apa sementara orang lain berkorban dan bahkan dikorbankan …?? Atau barangkali kita yang justru selalu mengurbankan kepentingan orang lain untuk kelangsungan hidup kita ??, bahkan menjadikan orang lain sebagai tumbal dan kambing hitam untuk sekedar menyelamatkan kehidupan kita yang sedang terancam bahaya ??. Kita hanya berharap hidup enak tapi enggan melakukan perjuangan..??, Apalagi kalau ternyata kita yang selalu menjadi sebab terjadinya kerusakan di muka bumi dengan ucapan atau fitnah dan adu domba yang kita lontarkan kepada sesama kawan kemudian kita berharap mendapatkan kebaikan dari keburukan yang kita lakukan itu ?? apakah hal semacam itu bisa terwujud sementara fenomena sejarah telah berbicara secara terang benderang, bahwa tanpa pengorbanan jangan harap ada keberhasilan.
Ma’aasyiral Muslimiin Rahimakumullah
Inilah hikmah terbesar dari peringatan hari besar IDUL QURBAN yang sedang kita peringati hari ini, bukan hanya untuk memperingati peristiwa sejarah kemanusia itu saja, namun juga, disamping sebagai momentum untuk membersihkan jiwa dan pikiran kita dari penyakit kehidupan yang mematikan, seperti korupsi, manipulasi, menyalahgunakan jabatan dan penyakit kejiwaan lainnya yang tidak kalah mematikan, seperti iri, dengki, hasud, dendam dan sombong yang bisa berujung fitnah dan adu domba, juga untuk membangkitkan semangat dan kesadaran jiwa kita, dimana setiap pribadi Muslim harus siap berkorban untuk kebahagiannya sendiri. Setiap kita harus siap menyongsong keberhasilan dan peningkatan hidup dengan perjuangan dan pengorbanan. Dimulai dari diri sendiri untuk tidak berpangkutangan saja dan bermalas-malasan dan ketika berakibat buruk pada kehidupannya kemudian orang mengkambinghitamkan nasib dan takdir. Padahal nasib dan takdir itu harus dimulai dari diri sendiri, “siapa beramal sholeh maka itu untuk dirinya sendiri, dan siapa berbuat jahat akibatnya akan ditanggung sendiri”. Maksudnya, barangsiapa menanam kebaikan, akan menuai kebajikan dan barangsiapa menanam kejahatan dan kemalasan akan menuai kehancuran. Itu berlaku untuk diri sendiri bukan untuk orang lain, itulah sunnahtullah yang tidak ada perubahan untuk selama-lamanya.

قال الله تعالى وبقوله يهتدي المهتدون . وإذا قرء القرآن فاستمعوا له وأنصتوا لعلكم ترحمون :   وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم . ونفعني وأياكم بما فيه من الأيات والذكر الحكيم . وتقبل مني ومنكم تلاوته إنه هو السميع العليم  . وقل رب اغفر وارحم وأنت حير الراحمين

IMG00236-20121024-1440

Memaknai Khutbah Terakhir Rasulullah

Memaknai Khutbah Terakhir Rasulullah Di Padang Arafah 9 Dzulhijjah Tahun 10 H


Memaknai Khutbah Terakhir Rasulullah Di Padang Arafah

Assalamualaikum wr.wb
Saudaraku,
Puncak ibadah haji yang jatuh pada 9 Zulhijah, konsentrasi seluruh jemaah mulai tertuju pada Padang Arafah. Inti pelaksanaan ibadah haji yang berujung di Arafah ini adalah egalitarian (kesamaan derajat). Hal itu diwujudkan dengan lambang pakaian ihram yang tak berjahit dan semuanya berwarna putih.

Menyatu dalam hamparan 'permadani' padang pasir dan bernaung di bawah tenda-tenda yang juga berwarna putih. Putih lambang kesucian, seputih kalbu mereka yang terus-menerus bersimpuh di hadapan Allah dengan kata-kata dan pengharapan yang sama. Walau kulit, ras, suku, bahasa, dan adat istiadat mereka berbeda, namun di Padang Arafah ini mereka semua menyatu dan hanyut dalam kebesaran Allah dengan sejenak melupakan kebanggaan-kebanggaan duniawi yang bersifat sementara dan semu.

Puncak wukuf di Arafah adalah Khutbah wukuf. Dalam setiap Khutbah selalu diperdengarkan Khutbah Rasulullah yang pernah beliau sampaikan pada saat mengerjakan haji terakhir (haji wada') sekitar 10 H. Tidak kurang seratus ribu jemaah turut serta dalam rombongan Rasulullah tersebut.

Mengenai Khutbah Rasulullah ini, adalah Khutbah yang amat agung dan di dalamnya beliau menyampaikan kaidah-kaidah Islam, menghancurkan sendi-sendi kemusyrikan dan jahiliah. Beliau menyampaikan hal-hal yang diharamkan, seperti yang juga diharamkan agama-agama samawi lainnya. Baik yang berkaitan dengan darah, harta, maupun kehormatan diri. Juga meletakkan berbagai urusan jahiliah di telapak kakinya, membatalkan sesembahan jahiliah, mewasiatkan perlakuan yang baik terhadap wanita dengan menyebutkan hak-hak wanita yang harus dipenuhi dan kewajiban-kewajibannya.

Khutbah Rasulullah pertama-tama dimulai dengan menyeru kepada 'wahai manusia' dan bukan 'wahai umat Islam'. Dari sini saja sudah tampak maksud Khutbah Rasulullah ini yang ditujukan kepada seluruh umat manusia dan bukan hanya kepada umat Islam. Berikut kutipan dari Khutbah Rasulullah tersebut. ''Wahai manusia, Tuhanmu hanyalah satu dan asalmu juga satu. Kamu semua berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Keturunan, warna kulit, bangsa tidak menyebabkan seseorang lebih baik daripada yang lain. Orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling takwa. Orang Arab tidak lebih mulia daripada yang bukan Arab, sebaliknya orang bukan Arab tidak lebih mulia daripada orang Arab. Begitu pula orang kulit berwarna dengan orang kulit hitam dan sebaliknya orang kulit hitam dengan orang kulit berwarna, kecuali karena takwanya.''

Persaudaraan universal
Pesan dari Khutbah ini adalah persaudaraan universal yang menafikan perbedaan di antara sesama manusia. Di mata Allah perbedaan ada karena takwanya. Dalam konteks Indonesia yang akhir-akhir ini diwarnai dengan konflik antarsuku, kiranya pesan ini dapat merasuk ke dalam kalbu setiap jemaah haji sekembalinya ke Tanah Air. Dari sana kemudian memancar ke dalam kalbu sanak saudara dan orang-orang di sekitarnya. Suatu pesan yang artinya kira-kira sama dengan semboyan bangsa Indonesia, 'Bhinneka Tunggal Ika'. Tidak ada kelebihan antara suku Jawa dan suku Sunda, suku Dayak dan suku Madura, suku Melayu, Batak, Ambon, Bugis, Banjar, dan sebaliknya.

Persaudaraan universal juga melampaui batas-batas agama. Artinya umat manusia tetap bersaudara meskipun mereka menganut agama yang berbeda-beda. Ini tentu sejalan dengan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia, yakni munculnya pertikaian antaragama yang akhir-akhir ini sedang melaksanakan upaya perdamaian.

Bercermin dari Khutbah Rasulullah tersebut, bahwa umat manusia adalah satu, yakni sama-sama keturunan Adam. Karena itu mereka adalah saudara. Dan, persaudaraan hakiki adalah hilangnya rasa permusuhan dan dendam kesumat di antara sesama pemeluk agama. Bangsa Indonesia, meskipun memeluk agama yang berbeda-beda, mereka semua berasal dari satu keturunan. Ini yang tak bisa dimungkiri. Dan, ini juga menjadi prinsip-prinsip dasar Islam sebagaimana yang disampaikan Rasulullah.

Kecuali persaudaraan universal, Khutbah Rasulullah juga mengandung pesan adanya penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. ''Wahai manusia! Sesungguhnya darah, harta kalian, kehormatan kalian sama sucinya seperti hari ini, pada bulan ini, di negeri ini. Sesungguhnya kaum mukmin itu bersaudara. Tidak boleh ditumpahkan darahnya, tidak boleh dirampas hartanya, dan tidak boleh dicemarkan kehormatannya. Dengan demikian kamu tidak menganiaya dan tidak teraniaya.''
Kemudian khusus kepada kaum wanita, Rasulullah juga berpesan, ''Aku wasiatkan agar kalian memperlakukan kaum wanita dengan sebaik-baiknya.'' Pesan ini mengandung arti bahwa kaum wanita harus diperlakukan sebagaimana manusia lainnya. Islam datang untuk meluruskan itu semua. Islam menghargai hak-hak wanita.***

Selain itu, pesan dalam khutbah Nabi Muhammad saw tersebut mengingatkankan para jemaah haji untuk selalu menjaga persaudaraan dengan baik, di mana mekah dan padang Arafah merupakan tempat berkumpulnya umat muslim sedunia ketika musim haji.

Menjaga nilai-nilai persaudaraan, hak-hak asasi manusia, serta menjaga kehormatan setiap manusia sangatlah penting, terutama ketika beribadah haji. Contohnya, melempar jumrah yang dilakukan oleh jutaan umat hendaknya dilakukan dengan tertib, tanpa saling dorong-mendorong, dan lain sebagainya.

Inilah khutbah Nabi Muhammad saw di Padang Arafah:
====================-
(Khutbah ini disampaikan pada 9 Dzulhijjah 10 H dilembah Uranah, Arafah)

“Wahai manusia sekalian, dengarkanlah perkataanku ini, karena aku tidak mengetahui apakah aku dapat menjumpaimu lagi setelah tahun ini di tempat wukuf ini.

Wahai manusia sekalian,
Sesungguhnya darah kamu dan harta kekayaan kamu merupakan kemuliaan (haram dirusak oleh orang lain) bagi kamu sekalian, sebagaimana mulianya hari ini di bulan yang mulia ini, di negeri yang mulia ini.Ketahuilah sesungguhnya segala tradisi jahiliyah mulai hari ini tidak boleh dipakai lagi. Segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara kemanusiaan (seperti pembunuhan, dendam, dan lain-lain) yang telah terjadi di masa jahiliyah, semuanya batal dan tidak boleh berlaku lagi. (Sebagai contoh) hari ini aku nyatakan pembatalan pembunuhan balasan atas terbunuhnya Ibnu Rabi’ah bin Haris yang terjadi pada masa jahiliyah dahulu.

Transaksi riba yang dilakukan pada masa jahiliyah juga tidak sudah tidak berlaku lagi sejak hari ini. Transaksi yang aku nyatakan tidak berlaku lagi adalah transaksi riba Abbas bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya seluruh transaksi riba itu semuanya batal dan tidak berlaku lagi.

Wahai manusia sekalian,
Sesungguhnya syetan itu telah putus asa untuk dapat disembah oleh manusia di negeri ini, akan tetapi syetan itu masih terus berusaha (untuk menganggu kamu) dengan cara yang lain. Syetan akan merasa puas jika kamu sekalian melakukan perbuatan yang tercela. Oleh karena itu hendaklah kamu menjaga agama kamu dengan baik.

Wahai manusia sekalian,
Sesungguhnya merubah-rubah bulan suci itu akan menambah kekafiran. Dengan cara itulah orang-orang kafir menjadi tersesat. Pada tahun yang satu mereka langgar dan pada tahun yang lain mereka sucikan untuk disesuaikan dengan hitungan yang telah ditetapkan kesuciannya oleh Allah. Kemudian kamu menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang telah dihalalkan-Nya.

Sesungguhnya zaman akan terus berputar, seperti keadaan berputarnya pada waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun adalah dua belas bulan. Empat bulan diantaranya adalah bulan-bulan suci. Tiga bulan berturut-turut: Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, dan Muharram. Bulan Rajab adalah bulan antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban.

Takutlah kepada Allah dalam bersikap kepada kaum wanita, karena kamu telah mengambil mereka (menjadi isteri) dengan amanah Allah dan kehormatan mereka telah dihalalkan bagi kamu sekalian dengan nama Allah.

Sesungguhnya kamu mempunyai kewajiban terhadap isteri-isteri kamu dan isteri kamu mempunyai kewajiban terhadap diri kamu. Kewajiban mereka terhadap kamu adalah mereka tidak boleh memberi izin masuk orang yang tidak kamu suka ke dalam rumah kamu. Jika mereka melakukan hal demikian, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan. Sedangkan kewajiban kamu terhadap mereka adalah memberi nafkah, dan pakaian yang baik kepada mereka.

Maka perhatikanlah perkataanku ini, wahai manusia sekalian..sesungguhnya aku telah menyampaikannya…
Aku tinggalkan sesuatu bagi kamu sekalian. Jika kamu berpegang teguh dengan apa yang aku tinggalkan itu, maka kamu tidak akan tersesat selama-lamanya. Itulah Kitab Allah (Al Quran) dan sunnah nabi-Nya (Al-Hadits)

Wahai manusia sekalian, dengarkanlah dan ta’atlah kamu kepada pemimpin kamu , walaupun kamu dipimpin oleh seorang hamba sahaya dari negeri Habsyah yang berhidung pesek, selama dia tetap menjalankan ajaran kitabullah (Al Quran ) kepada kalian semua.

Lakukanlah sikap yang baik terhadap hamba sahaya. Berikanlah makan kepada mereka dengan apa yang kamu makan dan berikanlah pakaian kepada mereka dengan pakaian yang kamu pakai. Jika mereka melakukan sesuatu kesalahan yang tidak dapat kamu ma’afkan, maka juallah hamba sahaya tersebut dan janganlah kamu menyiksa mereka.
Wahai manuisia sekalian, Dengarkanlah perkataanku ini dan perhatikanlah.

Ketahuilah oleh kamu sekalian, bahwa setiap muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, dan semua kaum muslimin itu adalah bersaudara. Seseorang tidak dibenarkan mengambil sesuatu milik saudaranya kecuali dengan senang hati yang telah diberikannya dengan senang hati. Oleh sebab itu janganlah kamu menganiaya diri kamu sendiri.
Ya Allah, sudahkah aku menyampaikan pesan ini kepada mereka..?

Kamu sekalian akan menemui Allah, maka setelah kepergianku nanti janganlah kamu menjadi sesat seperti sebagian kamu memukul tengkuk sebagian yang lain.
Hendaklah mereka yang hadir dan mendengar khutbah ini menyampaikan kepada mereka yang tidak hadir. Mungkin nanti orang yang mendengar berita tentang khutbah ini lebih memahami daripada mereka yang mendengar langsung pada hari ini.

Kalau kamu semua nanti akan ditanya tentang aku, maka apakah yang akan kamu katakan? Semua yang hadir menjawab: Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan tentang kerasulanmu, engkau telah menunaikan amanah, dan telah memberikan nasehat. Sambil menunjuk ke langit, Nabi Muhammad saw kemudian bersabda: ” Ya Allah, saksikanlah pernyataan mereka ini..Ya Allah, saksikanlah pernyatan mereka ini..Ya Allah, saksikanlah pernyataan mereka ini..Ya Allah, saksikanlah pernyatan mereka ini.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Dari khutbah diatas dapat kita lihat bagaimana Rasulullah berpesan kepada umatnya untuk menjaga nilai-nilai persaudaraan, hak-hak asasi manusia , kehormatan manusia yang lain baik secara individu, dalam keluarga dan dalam masyarakat. Pesan kemanusiaan inilah yang merupakan intisari dari ibadah haji. Haji mabrur juga merupakan aplikasi daripada khutbah Arafah, sebab kalimat "mabrur" yang bermakna "berbuat baik kepada orang lain " merupakan aplikasi daripada nilai-nilai persaudaraan, nilai ukhuwah, antar individu dengan individu, antar individu dengan kelompok, antar kelompok dengan kelompok, sehingga membentuk jamaah dan ummah yang "khairu umah " bagi manusia sejagad.

Wallhu A'lam bissawab

Semoga Shalawat dan salam senantiasa tercurah buat junjungan kita, Baginda Nabi Muhammad shalallahu'alaihi wassalam beserta keluarganya dan para sahabat yang mengikutinya.

Allahumma shali ala Sayyidina Muhammad wa ala ali Sayyidina Muhammad

Jakarta, 13 Oktober 2013
Semoga bermanfaat
Wassalamualaikum wr.wb
@msa
 
.