Laman

Sabtu, 28 September 2013

Kisah Indah Malam Pertama Seorang Pengantin Muslimah


Setelah melaksanakan shalat Maghrib dia berhias, menggunakan gaun pengantin putih yang indah, mempersiapkan diri untuk pesta pernikahannya. Namun tak lama berselang dia mendengar suara azan Isya berkumandang dan dia sadar kalau wudhunya telah batal. Dia berkata pada ibunya:
“Bu, saya mau berwudhu dan shalat Isya.”

Ibunya terkejut dengan berkata: “Apa kamu sudah gila? Tamu telah menunggumu untuk melihatmu, bagaimana dengan make-up mu? Semuanya akan terbasuh oleh air.”

Lalu ibunya menambahkan: “Aku ibumu, dan ibu katakan jangan shalat sekarang! Demi Allah, jika kamu berwudhu sekarang, ibu akan marah kepadamu”
Sang anak membalas: “Demi Allah, saya tidak akan pergi dari ruangan ini, hingga saya shalat. Ibu, ibu harus tahu bahwa tidak ada kepatuhan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Pencipta!”
Ibunya pun berkata: “Apa yang akan dikatakan tamu-tamu kita tentangmu, ketika kamu tampil dalam pesta pernikahanmu tanpa make-up?? Kamu tidak akan terlihat cantik dimata mereka! dan mereka akan mengolok-olok dirimu”

Sang anak membalas dengan tersenyum: “Apakah ibu takut karena saya tidak akan terrlihat cantik di mata makhluk? Bagaimana dengan Penciptaku? Yang saya takuti adalah jika dengan sebab kehilangan shalat, saya tidak akan tampak cantik di mata-Nya”.
Setelah mengatakan itu, dia tetap berwudhu, dan seluruh make-up nya terbasuh. Tapi dia tidak merasa bermasalah dengan itu. Kemudian ia memulai shalatnya. Dan pada saat bersujud, dia tidak menyadari bahwa itu akan menjadi sujud terakhirnya. Pengantin wanita itu pun wafat dengan cara yang indah, yaitu bersujud di hadapan Pencipta-Nya. Ya, ia wafat dalam keadaan bersujud, sehingga menjadi akhir kehidupan yang luar biasa bagi seorang Muslimah yang teguh untuk mematuhi Tuhannya!

Subhanallah… Kisah di atas menunjukkan bahwa di dunia ini masih tersisa kebaikan, kebenaran dan kemuliaan. Kisah nyata yang diceritakan oleh Syaikh Abdul Muhsin Al-Ahmad ini terjadi di Abha, ibu kota Provinsi Asir, Arab Saudi. Banyak orang tersentuh mendengarkan kisah ini. Ia telah menjadikan Allah SWT dan ketaatan kepada-Nya sebagai prioritas pertama dan utama. Sehingga menjadi sebuah fenomena yang luarbiasa masih terjadi di tengah pola kehidupan duniawi yang terus di agungkan oleh sebagian besar manusia. Sehingga patut menjadi tolak ukur dan penyemangat diri – terutama kaum Muslimah – bahwa mengikuti perintah-Nya adalah yang terbaik sebagai manusia dan tetap indah.
Tidak ada alasan bagi siapapun untuk tidak takut kepada Allah SWT. Dan ketakutan yang telah di contohkan oleh pengantin wanita di atas adalah kebenaran. Inilah sikap yang akan menyelamatkan seseorang di akherat kelak. Di waktu yang penuh sesak dan tiada kesempatan untuk memperbaikinya. Sehingga mulai sekaranglah wahai saudariku tercinta engkau berbenah diri, merubah kebiasaan dan pola kehidupan yang terus menduniawi ini. Pikirkan tentang kehidupan akheratmu nanti, tentang bagaimana bisa engkau memperoleh kebaikan sementara engkau tidak berbuat baik yang sesuai ketetapan-Nya.
Benar adanya, bahwa sikap seperti pengantin wanita di atas itu sulit dan tidak sedikit yang mengabaikannya, tetapi yakinlah masih ada di antara kita yang mau melakukannya. Mereka memilih bahwa kehidupan ini harus di tempatkan pada posisi yang tepat. Pada keadaan bahwa ia hanyalah seorang hamba yang harus selalu patuh hanya kepada Tuhannya. Apapun resikonya ia tidak peduli, karena yang diinginkannya adalah mengabdi dan mencintai Tuhannya saja. Sehingga berakhirlah kehidupannya dalam keindahan. Sungguh indah dan mulia.

“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang shalihah” (HR. Muslim)
Ya. Siapapun dari Muslimah yang menginginkan perjalanan hidupnya di akherat menjadi indah dan mudah, maka ia harus mencontoh sikap pengantin wanita di atas, karena demikianlah yang di lakukan oleh para wanita shalihah. Kaum Muslimah yang menjadi idaman bagi sosok yang shalih karena telah mengikuti jejak para Nabi. Hamba Allah yang kelak akan berdiri di belakang Fathimah Az-Zahra RA, karena menjadi penghuni Syurga selamanya.

Aku Kota Ilmu, Ali Pintunya

 
Oleh: Hasan Husen Assagaf

Sebelumnya mari kita bersama sama membuka dua bingkisan kado yang datang dari dua sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib ra dan Umar bin Khattab ra, mari kita menyimak dua kisah mereka yang cukup menarik:

Kisah pertama:

Teriakan seorang wanita muda terdengar dari jauh. Tanganya dipegang secara kasar oleh suaminya. Hidungnya berdarah dan mukanya babak belur karena dipukuli. Ia didorong maju secara kuat kehadapan khalifah Umar bin Khattab ra. Ia tersangka telah berbuat zina. Suaminya marah bukan kepalang. Sambil dilempar dihadapan khalifah Umar, laki laki itu berkata “Ya Amirul Muminin, perempuan ini telah berzina”. Khalifah Umar pun bertanya “Apa sebenarnya yang telah terjadi terhadap istrimu ini?”. Dengan sewet ia menjawab “Ya Amirul Mumini, rajamlah wanita ini. Sesungguhnya ia telah berzina. Aku baru saja kawin 6 bulan, masa sekarang sudah punya anak?”.

Setelah perkara itu diselidiki secara seksama, teliti dan semua persyaratan hukum telah dipenuhi, beliau pun dengan tegas memutuskan bahwa hukum rajam bagi wanita tadi harus segera dilaksanakan.

Pada saat itu kebetulan Imam Ali bin Abi Thalib ra sedang duduk di samping khalifah Umar ra. Beliau melihat semua yang terjadi terhadap diri wanita itu. beliau pun telah mendengar keputusan yang telah diputuskan khalifah Umar untuk merajamnya. Adapun menurut beliau wanita itu tidak sewajarnya untuk dirajam karena ia tidak bersalah. Maka dengan penuh keberanian, Sayyidina Ali ra berkata kepada khalifah Umar ra “Tunggu dulu ya Amirul Mu’mini, jangan terburu buru memutuskan suatu hukum sebelum mempunyai dalil yang kuat. Sesungguhnya wanita itu tidak bersalah dan tidak berzina”.

Mendengar ungkapan Imam Ali bin Abi Thalib ra, beliau merasa bersalah terburu buru memutuskan hukuman tanpa bermusyawarat terlebih dahulu kepada para sahabat. Lalu beliau berkata “Ya Aba al-Hasan, bagaimana kamu tahu hukumnya bahwa wanita itu tidak berzina?”. Dengan lantang Imam Ali pun menjelaskan “Bukankah Allah berfirman dalam surat Al-Ahqaf ayat 15 yang berbunyi: “mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”, sedangkan di surat lainya yaitu surat Luqman ayat 14 Allah berfirman: “Dan menyapihnya dalam dua tahun”. Umar bin Khattab ra pun membenarkan penjelasan Imam Ali. Kemudian beliau melanjutkan penjelasanya “Jika masa kandungan dan penyapihan 30 bulan dikurangi masa penyapihan 24 bulan, maka wanita bisa melahirkan anak dalam waktu 6 bulan”.

Mendengar uraian Imam Ali tadi, khalifah Umar menganggukan kepalanya tanda salut atas keputusan beliau. Lalu berkata “Tanpa Ali, Umar bisa binasa”

Kisah kedua:

Suatu ketika, Khalifah Umar bin Khattab ra sedang duduk dengan para sahabat diantaranya ada Imam Ali bin Abi Thalib. Tiba tiba seorang laki-laki yang tak dikenal datang kepada beliau, parasnya enak dipandang, bersih dan berwibawa. Sambil duduk ia tak henti-hentinya bertasbih dan berdoa.

Melihat tindak tanduk orang tadi Khalifah Umar menjadi penasaran untuk menyapahnya. “Apa kabarmu di pagi hari ini?”. Orang itupun menjawab “Alhamdulillah pagi ini aku menyukai fitnah, membenci kebenaran (hak), sholat tanpa wudhu, dan saya memiliki di dunia apa yang tidak dimiliki Allah di langit”

Wajah khalifah Umar berobah mendengar uraian tamu tadi. Beliau marah bukan kepalang, lalu bangun dari tempat duduknya dan segera memegangnya dengan keras. Imam Ali yang berada di majlis itu tersenyum melihat kelakuan khalifah Umar ra. Beliau pun berkata kepadanya “Ya Amirul Muminin sabar dulu, apa yang telah dikatakan orang ini sesungguhnya benar”.

Medengar uraian Imam Ali, beliau pun merasa tidak enak karena telah meperlakukan tamu tadi secara kasar. Lalu beliau memandang wajah Imam Ali seraya berkata dengan suara yang agak lunak “Dapatkan kau terangkan kepadaku kebenarnya?”  Imam Ali ra bangun dari tempat dukuknya, lalu berkata “Pertama, ia menyukai fitnah berarti ia menyukai harta benda dan anak, bukankah Allah berfirman dalam ayat Nya surat al Anfal ayat 28 “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak anakmu itu hanyalah fitnah?”. Kedua, ia membenci kebenaran atau hak. artinya ia membeci kematian. Allah berfirman dalam surat qaf 19 “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar benarnya (hak). Itulah yang kamu selalu lari daripadanya”. Ketiga, ia sholat tanpa wudhu, yaitu sholat kepada Rasulallah saw. Orang yang bershalawat kepada Rasulallah saw tidak wajib harus berwudhu. Adapun yang keempat, ia memiliki di dunia apa yang tidak dimiliki Allah di langit. Maksudnya ia memiliki di dunia anak dan istri yang tidak dimiliki Allah karena Allah adalah Maha Esa, tidak beristri, tidak beranak, dan tidak diperanakan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.

Khalifa Umar ra menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar uraian Imam Ali ra. Lalu berkata “Seburuk buruknya majlis adalah majlis yang tidak ada abu Al-Hasan (Imam Ali ra).

Dari dua kisah di atas jelas sekali kita bisa mengambi suatu bukti bahwa Imam Ali ra memiliki gudang ilmu yang tidak dimiliki para sahabat lainya. “Aku kota ilmu dan Ali pintunya”. Itulah sabda Rasulallah saw yang dicetuskan beliau kepada para sahabat. Alasanya, ketika beliau menerima wahyu, Sayyidina Ali ra adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tesebut setelah istri beliau, Khadijah ra. Pada waktu itu Ali ra masih berusia sekitar 10 tahun.

Pada usia remaja setelah wahyu turun, Imam Ali ra banyak belajar langsung dari Rasulallah saw karena sebagai misanan dan sekali gus merangkat sebagai anak asuh, beliau selalu mendapat kesempatan dekat dengan Rasulallah saw. Hal ini berlanjut sampai belau menjadi menantu Rasulallah saw. Jadi banyak pelajaran pelajaran tertentu  yang diajarkan Rasulallah saw kepada beliau yang tidak diajari kepada sahabat sahabat yang lain.

Didikan langsung dari Rasulallah saw kepada imam Ali ra dalam semua ilmu agama baik secara zhahir (syariah) atau secara bathin (tasawuf), banyak menggembleng beliau menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak. Salah satu dari kecerdasan, keberanian dan kebijaksanaan beliau kita bisa lihat dari kisah kisah di atas tadi.

Wallahua’lam

Rumah Tangga Ideal

Menurut ajaran Islam, rumah tangga yang ideal adalah rumah tangga yang diliputi sakinah (ketentraman jiwa), mawaddah (rasa cinta) dan rahmah (kasih sayang). Allah Ta’ala berfirman.

"Artinya : Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” [Ar-Ruum : 21]

Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami atau isteri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajiban serta memahami tugas dan fungsinya masing-masing, serta melaksanakan tugasnya itu dengan penuh tanggung jawab, ikhlas serta mengharapkan ganjaran dan ridha dari Allah Ta’ala.

Sehingga, upaya untuk mewujudkan pernikahan dan rumah tangga yang mendapat keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla dapat menjadi kenyataan. Akan tetapi, mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tenteram dan bahagia mendadak dilanda “kemelut” perselisihan dan percekcokan.

Apabila terjadi perselisihan dalam rumah tangga, maka harus ada upaya ishlah (mendamaikan). Yang harus dilakukan pertama kali oleh suami dan isteri adalah lebih dahulu saling intropeksi, menyadari kesalahan masing-masing, dan saling memaafkan, serta memohon kepada Allah agar disatukan hati, dimudahkan urusan dalam ketaatan kepadaNya, dan diberikan kedamaian dalam rumah tangganya. Jika cara tersebut gagal, maka harus ada juru damai dari pihak keluarga suami maupun isteri untuk mendamaikan keduanya. Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq kepada pasangan suami isteri tersebut.

Apabila sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an, surat An-Nisaa' ayat 34-35, tetapi masih juga gagal, maka Islam memberikan jalan terakhir, yaitu “perceraian”.

Syaikh Musthafa Al-‘Adawi berkata, “Apabila masalah antara suami isteri semakin memanas, hendaklah keduanya saling memperbaiki urusan keduanya, berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk, dan meredam perselisihan antara keduanya, serta mengunci rapat-rapat setiap pintu perselisihan dan jangan menceritakannya kepada orang lain.

Apabila suami marah sementara isteri ikut emosi, hendaklah keduanya berlindung kepada Allah, berwudhu' dan shalat dua raka’at. Apabila keduanya sedang berdiri, hendaklah duduk; apabila keduanya sedang duduk, hendaklah berbaring, atau hendaklah salah seorang dari keduanya mencium, merangkul, dan menyatakan alasan kepada yang lainnya. Apabila salah seorang berbuat salah, hendaknya yang lainnya segera memaafkannya karena mengharapkan wajah Allah semata.” [1]

Di tempat lain beliau berkata, “Sedangkan berdamai adalah lebih baik, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala. Berdamai lebih baik bagi keduanya daripada berpisah dan bercerai. Berdamai lebih baik bagi anak daripada mereka terbengkalai (tidak terurus). Berdamai lebih baik daripada bercerai. Perceraian adalah rayuan iblis dan termasuk perbuatan Harut dan Marut.

Allah Ta’ala berfirman.
"Artinya : “Maka mereka mempelajari dari keduanya (Harut dan Marut) apa yang (dapat) memisahkan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka tidak dapat mencelakakan seseorang dengan sihirnya kecuali dengan izin Allah.” [Al-Baqarah : 102]

Di dalam Shahiih Muslim dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas lautan. Kemu-dian ia mengirimkan balatentaranya. Tentara yang paling dekat kedudukannya dengan iblis adalah yang menimbulkan fitnah paling besar kepada manusia. Seorang dari mereka datang dan berkata, ‘Aku telah lakukan ini dan itu.’ Iblis menjawab, ‘Engkau belum melakukan apa-apa.’’ Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan, ‘Lalu datanglah seorang dari mereka dan berkata, ‘Tidaklah aku meninggalkannya sehingga aku telah berhasil memisahkan ia (suami) dan isterinya.’’ Beliau melanjutkan, ‘Lalu iblis mendekatkan kedudukannya. Iblis berkata, ‘Sebaik-baik pekerjaan adalah yang telah engkau lakukan.” [2]

Ini menunjukkan bahwa perceraian adalah perbuatan yang dicintai syaitan.

Apabila dikhawatirkan terjadinya perpecahan antara suami isteri, hendaklah hakim atau pemimpin mengirim dua orang juru damai. Satu dari pihak suami dan satu lagi dari pihak isteri untuk mengadakan perdamaian antara keduanya. Apabila keduanya damai, maka alhamdulillaah. Namun apabila permasalahan terus berlanjut antara keduanya kepada jalan yang telah digariskan dan keduanya tidak mampu menegakkan batasan-batasan Allah di antara keduanya. Yaitu isteri tak lagi mampu menunaikan hak suami yang disyari’atkan dan suami tidak mampu menunaikan hak isterinya, serta batas-batas Allah menjadi terabaikan di antara keduanya dan keduanya tidak mampu menegakkan ketaatan kepada Allah, maka ketika itu urusannya seperti yang Allah firmankan:

"Artinya : Dan jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya), Mahabijaksana.” [An-Nisaa' : 130] [3]

Allah Ta’ala berfirman:

"Artinya : Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz[4], hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusah-kannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar. Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” [An-Nisaa' : 34-35]

Pada hakikatnya, perceraian dibolehkan menurut syari’at Islam, dan ini merupakan hak suami. Hukum thalaq (cerai) dalam syari’at Islam adalah dibolehkan.

Adapun hadits yang mengatakan bahwa “perkara halal yang dibenci Allah adalah thalaq (cerai),” yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2178), Ibnu Majah (no. 2018) dan al-Hakim (II/196) adalah hadits lemah. Hadits ini dilemahkan oleh Ibnu Abi Hatim rahimahullaah dalam kitabnya, al-‘Ilal, dilemahkan juga oleh Syaikh Al-Albani rahimahullaah dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 2040).

Meskipun thalaq (cerai) dibolehkan dalam ajaran Islam, akan tetapi seorang suami tidak boleh terlalu memudahkan masalah ini. Ketika seorang suami akan menjatuhkan thalaq (cerai), ia harus berfikir tentang maslahat (kebaikan) dan mafsadah (kerusakan) yang mungkin timbul akibat perceraian agar jangan sampai membawa kepada penyesalan yang panjang. Ia harus berfikir tentang dirinya, isterinya dan anak-anaknya, serta tanggung jawabnya di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla pada hari Kiamat.

Kemudian bagi isteri, bagaimana pun kemarahannya kepada suami, hendaknya ia tetap sabar dan janganlah sekali-kali ia menuntut cerai kepada suaminya. Terkadang ada isteri meminta cerai disebabkan masalah kecil atau karena suaminya menikah lagi (berpoligami) atau menyuruh suaminya menceraikan madunya. Hal ini tidak dibenarkan dalam agama Islam. Jika si isteri masih terus menuntut cerai, maka haram atasnya aroma Surga, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

"Artinya : Siapa saja wanita yang menuntut cerai kepada suaminya tanpa ada alasan yang benar, maka haram atasnya aroma Surga.” [5]

Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu berkata,

"Artinya : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang: ... dan janganlah seorang isteri meminta (suaminya) untuk menceraikan saudara (madu)nya agar mem-peroleh nafkahnya.” [6]

“...Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.” [Al-Furqaan : 74].

Salam Sabar..

Segenggam Gundah


muhsyukriali
Oleh:Much Syukri Ali
Subuh tadi saya melewati sebuah rumah, 50 meter dari rumah saya dan melihat seorang isteri mengantar suaminya sampai pagar depan rumah. "Yah, beras sudah habis loh..." ujar isterinya. Suaminya hanya tersenyum dan bersiap melangkah, namun langkahnya terhenti oleh panggilan anaknya dari dalam rumah, "Ayah..., besok Agus harus bayar uang praktek". "Iya..." jawab sang Ayah. Getir terdengar di telinga saya, apalah lagi bagi lelaki itu, saya bisa menduga langkahnya semakin berat.

Ngomong-ngomong, saya jadi ingat pesan anak saya semalam, "besok beliin lengkeng ya" dan saya hanya menjawabnya dengan "Insya Allah" sambil berharap anak saya tak kecewa jika malam nanti tangan ini tak berjinjing buah kesukaannya itu.

Di kantor, seorang teman menerima SMS nyasar, "jangan lupa, pulang beliin susu Nadia ya". Kontan saja SMS itu membuat teman saya bingung dan sedikit berkelakar, "ini, anak siapa minta susunya ke siapa". Saya pun sempat berpikir, mungkin jika SMS itu benar-benar sampai ke nomor sang Ayah, tambah satu gundah lagi yang bersemayam. Kalau tersedia cukup uang di kantong, tidaklah masalah. Bagaimana jika sebaliknya?

Banyak para Ayah setiap pagi membawa serta gundah mereka, mengiringi setiap langkah hingga ke kantor. Keluhan isteri semalam tentang uang belanja yang sudah habis, bayaran sekolah anak yang tertunggak sejak bulan lalu, susu si kecil yang tersisa di sendok terakhir, bayar tagihan listrik, hutang di warung tetangga yang mulai sering mengganggu tidur, dan segunung gundah lain yang kerap membuatnya terlamun.

Tidak sedikit Ayah yang tangguh yang ingin membuat isterinya tersenyum, meyakinkan anak-anaknya tenang dengan satu kalimat, "Iya,nanti semua Ayah bereskan" meski dadanya bergemuruh kencang dan otaknya berputar mencari jalan untuk janjinya membereskan semua gundah yang ia genggam.

Maka sejarah pun berlangsung, banyak para Ayah yang berakhir di tali gantungan tak kuat menahan beban ekonomi yang semakin menjerat cekat lehernya. Baginya, tali gantungan tak bedanya dengan jeratan hutang dan rengekan keluarga yang tak pernah bisa ia sanggupi. Sama-sama menjerat, bedanya, tali gantungan menjerat lebih cepat dan tidak perlahan-lahan.

Tidak sedikit para Ayah yang membiarkan tangannya berlumuran darah sambil menggenggam sebilah pisau mengorbankan hak orang lain demi menuntaskan gundahnya. Walau akhirnya ia pun harus berakhir di dalam penjara. Yang pasti, tak henti tangis bayi di rumahnya, karena susu yang dijanjikan sang Ayah tak pernah terbeli.
Tak jarang para Ayah yang terpaksa menggadaikan keimanannya, menipu rekan sekantor, mendustai atasan dengan memanipulasi angka-angka, atau berbuat curang di balik meja teman sekerja. Isteri dan anak-anaknya tak pernah tahu dan tak pernah bertanya dari mana uang yang didapat sang Ayah. Halalkah? Karena yang penting teredam sudah gundah hari itu.

Teramat banyak para isteri dan anak-anak yang setia menunggu kepulangan Ayahnya, hingga larut yang ditunggu tak juga kembali. Sementara jauh disana, lelaki yang isteri dan anak-anaknya setia menunggu itu telah babak belur tak berkutik, hancur meregang nyawa, menahan sisa-sisa nafas terakhir setelah dihajar massa yang geram oleh aksi pencopetan yang dilakukannya. Sekali lagi, ada yang rela menanggung resiko ini demi segenggam gundah yang mesti ia tuntaskan.

Sungguh, diantara sekian banyak Ayah itu, saya teramat salut dengan sebagian Ayah lain yang tetap sabar menggenggam gundahnya, membawanya kembali ke rumah, menyertakannya dalam mimpi, mengadukannya dalam setiap sujud panjangnya di pertengahan malam, hingga membawanya kembali bersama pagi. Berharap ada rezeki yang Allah berikan hari itu, agar tuntas satu persatu gundah yang masih ia genggam. Ayah yang ini, masih percaya bahwa Allah takkan membiarkan hamba-Nya berada dalam kekufuran akibat gundah-gundah yang tak pernah usai.

Para Ayah ini, yang akan menyelesaikan semua gundahnya tanpa harus menciptakan gundah baru bagi keluarganya. Karena ia takkan menuntaskan gundahnya dengan tali gantungan, atau dengan tangan berlumur darah, atau berakhir di balik jeruji pengap, atau bahkan membiarkan seseorang tak dikenal membawa kabar buruk tentang dirinya yang hangus dibakar massa setelah tertangkap basah mencopet.

Dan saya, sebagai Ayah, akan tetap menggenggam gundah saya dengan senyum. Saya yakin, Allah suka terhadap orang-orang yang tersenyum dan ringan melangkah di balik semua keluh dan gundahnya. Semoga.
 

Melihat dan Mendengar dengan Hati

mata dan telingaWahai manusia. Apakah kalian sudah bisa melihat? Apakah kalian sudah bisa mendengar? Apakah yang kalian lihat dan dengar itu sudah benar? Apakah sudah menggunakan hatimu? Karena aku masih saja melihat bahwa kalian terus berbohong dan membohongi diri kalian sendiri. Yang oleh karena itulah kalian pun menjadi munafik.
Jangan biarkan waktumu habis hanya dalam kebohongan diri. Tetaplah dalam ikatan batin yang terikat kepada-Nya. Dan ketika engkau dapat menyadari kefanaan dirimu itu, maka bersyukurlah. Karena siapa saja yang belum bisa bersyukur dalam arti yang sebenarnya, akan cenderung menyombongkan dirinya. Ia pun – sadar atau tidak – akan merasa bisa hidup dalam waktu yang lama, bahkan abadi. Sehingga tiada yang berarti dalam hidupnya, selain kehinaan.
Ingatlah wahai manusia, ingatlah! Bahwa dalam kasih-Nya Allah SWT telah mengingatkan kita semua dengan berfirman;
”Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada” (QS. Al-Hajj [22] ayat 46)
Tapi, apa yang terjadi? Apa yang kebanyakan di lakukan? Tidaklah kalian senang membaca ayat ini. Kalian pun tidak memahami dan tidak pula menjalaninya. Sehingga tidak sedikit darimu yang terus ingkar kepada aturan-Nya. Hukum-hukum-Nya pun hanya di jadikan topeng yang selalu digunakan untuk menutupi keburukan akhlakmu. Engkau juga telah berlaku munafik, yang bahkan di lakukan di setiap harinya.
Ya. Demikianlah adanya dirimu hai orang-orang munafik. Tidaklah aku tertipu oleh dusta dan ketersembunyian dirimu yang licik itu. Sebab, mataku jelas melihatnya, telingaku jelas mendengarnya, sementara hatiku lebih dari pada pengetahuan itu. Dan ketika aku berdekatan denganmu, maka yang tampak bagiku hanyalah syaitan berbadan manusia.
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebagian dari mereka itu membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia),…..” (QS. Al-An`aam [6] ayat 112)
Bersyukurlah bagi yang hatinya tidak buta. Meskipun kebutaan zahir telah nyata di tubuhnya, maka siapa saja yang hatinya tidak buta, ia akan tetap bisa melihat dengan jelas. Sementara yang matanya normal dan sehat, tidak jarang terus buta dalam kehidupannya.
Inilah di antara pribadi yang tidak bisa menatap wajah-Nya dalam pertemuan cinta. Bagaimana ia dapat melihat, sementara mata yang harus digunakan telah ditutupi kemunafikkan diri? Dan ketika ia terus berpura-pura bisa melihat-Nya, maka disitulah tampak kehinaan dan kebodohannya semakin jelas.
O… sungguh sangat disayangkan saat ini, karena semua yang terbaik bagi manusia telah ada. Tuntunan yang benar pun sudah di wariskan oleh kekasih yang mulia; Rasulullah SAW. Namun engkau – khususnya orang Islam – tidak mengindahkannya. Kalian terus saja menjauh dari rahmat-Nya, yang tentunya akan menjauhkan dirimu dari kemuliaan.
Bahkan sebenarnya kalian sudah tahu tentang mana yang salah dan mana yang benar, mana yang hak dan mana pula yang bathil, dan banyak pula dari kalian sudah tahu tentang siksaan di Neraka dan kebahagiaan di Syurga. Tetapi kenyataannya, kalian pun tidak ber-istiqomah dalam Islam. Kalian juga tidak bersungguh-sungguh dalam menjalankan perintah dan larangan-Nya, dengan tidak sibuk mempersiapkan bekal akheratmu. Dan itu terlihat jelas, ketika di setiap harinya justru hanya duniawi dan duniawi yang di urus, tidak lebih dari itu. Sehingga yang tertinggal hanyalah kehinaan dan penyesalan belaka.
Untuk itu, janganlah engkau bersuka cita dalam kesenangan duniawi, namun jangan pula bersedih hati dalam penderitaannya. Bersedihlah di dalam kesenangan duniawi dan berbahagialah di dalam penderitaannya, karena engkau pun akan tercukupi oleh-Nya.
Ya. Beragam ujian adalah hamparan padang anugerah-Nya. Lembah kesucian dan hari raya bagi kemuliaan. Sehingga bila saat ini engkau tidak beruntung, maka yakinlah bahwa suatu saat nanti itu akan berbeda. Jika tidak di dunia, tentulah pasti di akherat nanti.
Sehingga, bagaimana bisa engkau tidak berusaha mencari, bila Dia senantiasa terhijab? Bagaimana dirimu bisa tenang, sementara Dia terus mengawasi? Engkaulah penentu! Engkaulah yang memilihnya! Sedangkan Dia telah menebarkan rahmat dan anugerah-Nya di dunia. Yang bisa kau ambil hanya dengan hati yang jujur dalam menjalankan hukum-Nya.
Namun, banyaklah dari kalian yang senang dengan kebohongan dan tidak sedikit yang cinta dengan kemunafikkan. Lihatlah ketika kalian berpuasa di bulan Ramadhan, bukankah dusta dan sifat riya`-mu semakin meningkat?. Lihatlah dirimu yang sebelumnya tidak pernah sembahyang berjamaah di masjid, lalu rajin datang ke masjid. Dirimu yang tidak biasa ber-tadarus Al-Qur`an, akhirnya rajin juga membaca ayat-ayat Al-Qur`an. Dan dirimu yang tidak pernah bersedekah, akhirnya berlombang-lomba melakukannya. Tetapi jika bulan puasa berlalu dan Syawal telah datang, engkau kembali pada kebiasaan lamamu, yaitu larut dalam kemaksiatan dan cinta duniawi lainnya. Sehingga inilah bukti nyata akan kebohongan dan kemunafikan dirimu, hai orang-orang munafik.
O… Mana penglihatanmu? Mana pendengaranmu wahai manusia? Engkau punya mata, tetapi tak melihat-Nya. Engkau punya telinga, tetapi tidak mendengar-Nya. Bahkan hatimu yang ada di dalam dada tidak bisa lagi merasakan rasa yang seharusnya engkau miliki, yaitu cinta kepada-Nya. Dan itu semua hilang bersama waktu yang bergulir, dengan tidak senang mengikuti perintah dan larangan-Nya. Yang pada akhirnya akan menjerumuskanmu semakin dalam di dalam azab-Nya.
Ya. Jika engkau mencintai sesuatu, maka hati-hatilah dengan penghambaan diri. Sebab, saat dirimu mencintai sesuatu sehingga lebih dari mencintai Dzat Allah SWT, maka sebenarnya dirimu telah menjadi hambanya. Terlalu cinta kepada duniawi, artinya engkau menuhankan dia. Terlalu cinta kepada harta dan jabatan, berarti engkau telah menjadi hambanya. Dan terlalu mencintai anak istri, kekasih atau bahkan dirimu sendiri juga berarti bahwa dirimu telah menuhankan itu semua.
Lantas apakah masih pantas engkau mengaku sebagai hamba-Nya yang setia? Apakah layak dirimu tetap merasa masih sebagai bagian dari Mukmin yang sejati. Padahal engkau telah menduakan-Nya. Engkau pun telah jelas tertipu. Engkau telah dibohongi oleh iblis dan syaitan. Bahkan dirimu juga telah dibodohi, lantaran tidak melihat dan mendengar dengan hatimu. Sementara bila hanya mata, maka itulah gerbang kekeliruan diri.
Untuk itu, tidaklah cukup bila dirimu hanya menyaksikan apa saja yang tampak di depan mata dan di dengar oleh telinga zahirmu. Engkau harus melihat dan mendengarkan yang lainnya, yang itu semua hanya bisa di lihat dan di dengarkan oleh hatimu. Sebab, mata dan telinga hati dapat menembus apa saja, yang bahkan tidak satupun bisa di lakukan oleh mata dan telinga zahir.
Sering-seringlah engkau menyatu dengan alam bebas di luar sana. Karena dengannya, maka penglihatan dan pendengaranmu akan semakin tajam dari biasanya. Dan ini sudah terbukti pasti, sebab semua para Nabi dan Rasul adalah petualang yang sering bertadabur di alam bebas. Mereka pun senantiasa berpikir, sehingga mereka bisa merasakan yang tidak bisa dirasakan oleh kebanyakan orang. Bisa melihat dan mendengar yang tidak dapat di lakukan oleh orang-orang yang ada di sekitar mereka. Sehingga mereka pun membenarkan yang salah, memperbaiki yang rusak, dan melengkapi yang kurang dalam cinta yang murni.
Ya. Bukankah sebaik-baiknya yang kita lakukan adalah mengikuti jejak para Nabi dan Rasul? Mereka selalu menggunakan mata dan telinga hatinya, sehingga amal dan ibadahnya hanya kepada dan untuk Dzat Allah SWT. Dan ini adalah kebahagiaan yang sebenarnya, inilah keindahan yang sejati. Sementara cinta yang murni telah menjadi langkah awal, ruas jalan dan tujuan akhir dari perjalanan mereka.
Makanya, tidaklah seseorang itu akan keluar dari kesedihan bila saja ia tidak mau melihat dan mendengarkan dengan hatinya sendiri. Padahal hanya dengan bisa keluar dari kesedihanlah, maka seseorang pun akan beribadah dan melakukan penghambaan diri dengan benar kepada-Nya. Ini tidak bisa ditawar-tawar lagi, karena kesedihan yang sesungguhnya adalah kebahagiaan yang bisa dirasakan oleh yang beriman. Kesenangan yang hanya bisa dinikmati oleh pribadi yang mata dan telinga hatinya tidak buta.
Tapi dirimu senantiasa menjauh dari keimanan yang sesungguhnya. Engkau gemar sekali menumbangkan cinta yang sejati hanya kepada-Nya, dengan senang melakukan sesuatu yang dibarengi dengan riya`. Engkau kerap bekerja dan beribadah dengan mengharapkan pahala dan terhindar dari dosa. Padahal bekerja dan beribadah itu hanya Allah SWT lah yang tahu kualitasnya. Dia pula yang akan memberikan balasannya, yang akan sesuai dengan keikhlasanmu. Sementara saat dirimu masih berlaku riya` dan mengharapkan balasan yang setimpal dari-Nya, itu berarti tidak ikhlas, sehingga bahkan bisa menjadi beban dosa yang kian menumpuk di atas pundakmu.
Dia Maha Mengetahui kekurangan dirimu, tetapi engkau terus saja merasa paling sempurna. Dia Maha Melihat kebusukan perilakumu, namun dirimu masih saja terus menipu-Nya. Engkau sungguh tolol, tetapi merasa paling pintar. Sehingga yang tertinggal hanyalah kehinaan.
Allah SWT telah mengancam kalian hai orang-orang kufur dengan berfirman;
“Mereka tuli, bisu dan buta (hatinya), maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 18)
Ya. Demikianlah adanya, bahwa banyak sekali di antara kalian yang telah tuli, bisu dan buta, tetapi bukan secara fisik, melainkan hatinya. Sehingga tidak dapat lagi melihat, mendengar dan merasakan kebenaran yang datangnya dari kebenaran-Nya. Kalian hanya mengikuti prasangka kalian sendiri, yang juga diiringi oleh prasangka para penyembah berhala duniawi. Yang pada akhirnya mengantarkan diri kalian sendiri ke jurang kehancuran di akherat; Neraka.
Maka dari itu wahai semuanya. Tidaklah kalian bisa menjadi manusia yang sesungguhnya selama tidak mau menggunakan mata dan telinga hatimu. Tidak akan mungkin engkau bisa berada di dalam tingkat derajat kemuliaan, bila tidak mengunakan mata dan telinga hatimu. Karena segala sesuatu yang dilihat dan di dengar dengan hati adalah kebenaran yang sejati. Yang dengannya pula akan hadirlah banyak kebaikan, kebagusan dan kebenaran Ilahi. Sehingga yang tersisa nanti adalah kebahagiaan, keindahan dan kemuliaan yang sesungguhnya.
Namun, engkau tetaplah dirimu yang dungu. Tidak mau mendengar dan tidak pula mau melihat. Hatimu yang sejatinya adalah tempat cahaya Ilahi, justru di jadikan tempat bersemayamnya syaitan. Engkau pun senang dengan hal itu, sehingga terus berada di dalam kekufuran. Tidak berusaha keluar darinya, bahkan sampai harus meregang nyawa.
Ya. Kapan terakhir kalinya dirimu menangisi akheratmu? Atau malah justru banyak menangis tetapi demi duniamu. Padahal antara kehidupan dunia dan kehidupan akherat perbandingannya sangat jauh. Dunia hanya bersifat sementara, sedangkan akherat selamanya. Lantas mengapa dirimu hanya menangisi tentang masalah dunia, sementara ia hanya sementara? Mengapa tidak akheratmu saja yang banyak kau tangisi; misalnya tentang bekal yang masih sedikit, karena ia akan abadi.
Lihatlah dirimu sendiri! Engkau sudah hidup di dunia, makan dan minum, bangun dan terjaga pun di dunia. Tetapi mengapa tetap saja yang kau kejar-kejar adalah duniawi? Mengapa tidak ada yang lain dari itu, yaitu mempersiapkan bekal akheratmu? Padahal hanya dengan itulah engkau pun dapat selamat dari azab-Nya.
Untuk itulah, Allah SWT tidak pernah menyukai amal dan ibadah yang tidak diperuntukkan kepada-Nya. Jangan engkau mengira Dia membutuhkan apa yang kau berikan, karena engkaulah yang membutuhkan itu semuanya nanti. Dia Maha Kaya dan telah cukup dengan Diri-Nya sendiri. Tidak pernah ada yang bisa mempengaruhi atau mengurangi-Nya. Karena Dia-lah Sang Maha Kuasa.
Pun, janganlah engkau bangga dengan datangnya anugerah yang Dia berikan. Sebab, hal itu bisa saja sebagian dari ujian-Nya yang besar. Tetaplah engkau menggunakan mata dan telinga hatimu. Tetaplah engkau pada sikap wustha (pertengahan) dan seimbang dalam segala hal. Niscaya engkau bisa keluar dari kesedihan, sementara keselamatan dan rahmat-Nya pun tentu senang menyertaimu.

Yaa Salam ..................Cinta ALLAH 100%
@ msa

Keindahan cinta dari Al-Faruq (Umar ibn Khaththab RA)

Saudaraku sekalian. Meneruskan tulisan sebelumnya, yaitu tentang sosok Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, maka kali ini saya sengaja mengajak Anda sekalian untuk mengulik kisah hidup seorang Umar ibn Khaththab RA. Seorang sahabat Rasulullah Muhammad SAW yang dijuluki sebagai Al-Faruq (sang pembeda kebenaran dan kebathilan). Sosok yang tegas dan berwibawa. Yang tak kenal takut kecuali kepada Allah SWT dan teramat cinta kepada kekasih-Nya,

Muhammad SAW. Dan sosok yang terbukti zuhud dan cerdas dalam kehidupan dunia.
Baiklah, untuk mempersingkat waktu, mari ikuti penelusuran berikuti ini:
Umar ibn Khaththab RA adalah seorang sahabat Nabi dan Khalifah kedua setelah wafatnya Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. Jasa dan pengaruhnya terhadap penyebaran Islam sangat besar, hingga Michael H. Heart telah  menempatkannya sebagai orang paling berpengaruh nomor 51 sedunia sepanjang masa.
Sosok Umar ibn Khaththab sangat berpengaruh di kalangan bangsa Arab karena keberanian, ketegasan, dan keteguhan jiwanya. Ia adalah pendukung, pengikut utama dakwah Nabi Muhammad SAW.
1. Silsilah
Beliau lahir di Makkah tahun 581 Masehi.  Berasal dari bani Adi, salah satu bagian suku Quraisy. Nama lengkapnya Umar ibn Khaththab ibn Nafiel ibn Abdul Uzza. Ayahnya bernama Khaththab ibn Nufail Al-Shimh Al-Quraisyi dan ibunya Hantamah binti Hasyim. Suku Adi terpandang mulia dan mempunyai martabat tinggi di kalangan Arab. Garis keturunan Umar ibn Khathttab bertemu dengan Nabi SAW dalam leluhur generasi ke delapan yang bertemu pada moyang mereka yang bernama Ka’ab.
2. Sifat dan karakter
Umar mempunyai postur tubuh yang tegap dan kuat, wataknya keras, berani, dan berdisiplin tinggi. Pada masa remajanya, dia dikenal sebagai pegulat perkasa dan sering menampilkan kemampuannya itu dalam pesta tahunan di pasar Ukaz di Makkah. la memiliki kecerdasan yang luar biasa, mampu memprakirakan hal-hal yang akan terjadi pada masa yang akan datang (prediksi/ramalan). Tutur bahasanya halus dan bicaranya fasih. Kelebihan-kelebihan yang dimilikinya itu mengantarkan-nya terpilih menjadi wakil kabilahnya. la selalu diberi kepercayaan sebagai utusan yang mewakili kabilah Quraisy dalam melakukan perundingan dengan suku-suku lain di jazirah Arab. Keunggulannya berdiplomasi mem-buatnya populer di kalangan berbagai suku Arab.
Nabi SAW mengakui keunggulan-keunggulan yang dimiliki Umar, pemuda yang gagah berani, tidak mengenal takut dan gentar, dan mempunyai ketabahan dan kemauan keras. Oleh karena itu, untuk kepentingan perjuangan Islam, Nabi SAW pernah berdoa, “Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan salah seorang dari Amr bin Hisyam atau Umar bin Khaththab.” Doa Nabi SAW diperkenankan Allah SWT dengan Islamnya Umar sekitar tahun 616 Masehi.
3. Kisah masuk Islam
Sebelumnya, Umar dikenal sebagai seorang tokoh Arab Quraisy yang paling gigih menentang seruan Nabi SAW. Meski dakwah beliau sudah berlangsung selama enam tahun, Umar tetap saja tidak mengindahkannya, bahkan secara terang-terangan menentangnya.
Suatu hari, Umar berjalan sambil menenteng pedang terhunus. Wajahnya jelas menunjukkan ekspresi murka. Ia berpapasan dengan Naim al-Nakham. “Mau kemana kau Umar dengan pedang terhunus seperti itu?” Kau ingin membunuh seseorang? Kau nampak mengerikan.” Tanya Naim.
“Ya. Aku akan membunuh Muhammad” Kata Umar dengan suara yang lantang. “Orang ini telah menceraiberaikan persaudaraan kita dan mengingkari tuhan-tuhan moyang kita” tambah Umar.
“Kau telah tertipu oleh dirimu sendiri, Umar. Lihatlah, orang-orang Bani Manaf meninggalkanmu. Mereka berharap kau mau membalas dendam mereka kepada Muhammad” Kata Naim. Ia terdiam sejenak lalu berkata; “Sekarang lebih baik kau lihat keluargamu sendiri. Memangnya kau tidak tahu bahwa saudarimu, Fathimah dan suaminya, Said telah menjadi pengikut Muhammad?”
Mendapatkan informasi itu, Umar makin marah. Ia murung menemui Muhammad SAW dan menuju ke rumah Fathimah. Sesampainya di sana, di depan pintu, ia mendengar lantunan ayat Al-Qur`an yang dibacakan oleh Khabab ibn Art untuk Fathimah dan Said. Ia mendapati adik, ipar, dan beberapa orang Muslim sedang mempelajari Al-Qur’an. Dari depan pintu itu, Umar berteriak menyuruh mereka keluar. Fathimah keluar, sementara Said dan Khabab tetap di dalam rumah.
“Aku sudah tahu kalian meninggalkan keyakinan nenek moyang kita dan mengikuti Muhammad. Kata Umar.
“Kami menemukan kebenaran pada ajaran Muhammad” Kata Fathimah tegas. “Apa pun yang ingin kau lakukan sekarang, kami tidak akan goyah dengan pilihan kami ini” Tambah Fathimah.
Seketika Umar menampar keras adiknya itu. Hidungnya pun sampai berdarah. Umar kemudian menerobos masuk ke dalam rumah, meraih Said, membantingnya, lalu menginjak dadanya. Sementara Fathimah berusaha menahan darah yang mengalir dari hidungnya agar tak menetes di lembaran Al-Qur`an yang di pegangnnya.
Di puncak kemarahannya, mata Umar menangkap sebuah lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an yang di pegang oleh adiknya itu,  Fathimah. Umar berusaha merebut lembaran itu, tapi Fathimah menampik tangan Umar. Lalu berkata; “Ini kitab suci. Tidak boleh disentuh oleh orang kafir yang tak suci sepertimu” Kata Fathimah.
Mendengar itu, jantungnya tiba-tiba berdegup kencang dan hatinya menjadi ciut. Ia tertusuk, lunglai dan seperti tersihir oleh kata-kata dari saudarinya itu. Umar pun segera mandi dan mengucikan diri lalu mem-baca ayat-ayat Al-Qur’an yang tertera di lembaran yang di pegang adiknya itu. Menurut sebagian riwayat, yang tertera di dalam lembaran itu adalah beberapa ayat dari permulaan surat Thaahaa. Yang tertulis:
“Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah; Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), Yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas ‘Arsy. Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah. Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, Maka Sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang baik),” (QS. Thaahaa [20] ayat 1-8)
Setelah membaca ayat-ayat itu, perasaannya menjadi tenang, dan rasa damai menyelinap di hatinya. Ayat-ayat itu menyentuh hati terdalam Umar. Timbul keinginan kuat untuk segera menemui Rasulullah SAW. la pun segera meminta maaf kepada adik Fathimah, iparnya Said dan temannya Khabab ibn al-Art, lalu bertanya; “Dimana aku bisa menemui Muhammad?”
Khabab yang sedari tadi hanya bersembunyi karena takut dengan kemarahan Umar, tiba-tiba muncul dan bicara; “Berbahagialah kau Umar. Allah telah membuka pintu hatimu untuk Islam. Rasul pernah berdoa mengharap keIslamanmu” dan setelah itu, ia di tunjukkan dimana biasa Rasulullah berkumpul dengan para sahabatnya, yaitu di rumah Al-Arqam.
Selepas itu, Umar langsung menuju rumah Al-Arqam (rumah yang dihibahkan Al-Arqam kepada Rasulullah untuk dijadikan pusat dakwah Islam) di mana Nabi Muhammad SAW sedang menyampaikan dakwah secara sembunyi-sembunyi. Sesampainya di rumah Al-Arqam, Umar segera mengetuk pintu. Mengetahui yang datang adalah Umar, sahabat-sahabat yang sedang bersama Nabi SAW menjadi gentar dan ketakutan, kecuali Hamzah bin Abdul Muttalib, paman Nabi SAW yang dikenal sebagai seorang yang gagah berani.
Para sahabat menduga-duga apa yang akan dilakukan oleh Umar. “Kita lihat saja” Kata Hamzah. “Jika Allah menghendaki kebaikan, maka Umar akan mendapatkannya. Jika bukan, berarti Umar sedang mengantar-kan nyawanya sendiri”
Nabi SAW menyuruh membuka pintu dan mempersilakan Umar masuk. Melihat sikap Nabi SAW yang sangat lembut dan bijaksana, Umar merasa kecil di hadapannya. Setelah Umar mendekat, Rasulullah segera menyambutnya. “Ada apa kau kemari, Umar?” Tanya beliau, ramah.
Umar membalasnya dengan senyuman dan berkata; “Aku ingin masuk Islam”
Sambil menggenggam leher baju Umar, Nabi SAW berkata dengan suara yang keras, “Islamlah engkau, wahai Ibnu Khaththab!” Umar pun lalu mengucapkan Dua Kalimat Syahadat di hadapan Rasulullah dan para sahabat., sebagai tanda ia telah masuk Islam. Semua yang hadir di rumah Al-Arqam bergembiran dengan peristiwa itu. Orang-orang yang berada di rumah pun bertakbir dengan keras. Menurut pengakuannya dia adalah orang yang ke 40 masuk Islam.
Kemudian Nabi Muhammad SAW berdoa; “Ya Allah, ini adalah Umar ibn Khathttab. Ya Allah, muliakan Islam dengan Umar bin Khaththab.” Dan dalam riwayat lain: “Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan Umar.”
Abdullah bin Mas’ud berkomentar, “Kami senantiasa berada dalam kejayaan semenjak Umar bin Khaththab masuk Islam.”
4. Mendapat gelar Al-Faruq
Masuk Islamnya Umar segera diikuti oleh putra sulungnya, Abdullah, dan isterinya, Zainab binti Maz’un. Tapi tentunya keislamannya itu malah mengecewakan kalangan kafir Quraisy. Mereka merasa, pelan-pelan sandaran mereka mulai rapuh. Sebaliknya, bagi umat Islam, keIslaman Umar adalah rahmat. Setelah Hamzah, kini Umar. Pengikut Islam tak lagi dari kalangan budak, melainkan pembesar Quraisy.
Sebelum Umar menanggalkan kekafirannya, tak jarang umat Islam melaksanakan shalat dengan sembunyi-sembunyi. Keadaan itu barubah setelah Umar masuk Islam. Umar pernah berkata; “Bukankah kita ini benar ya Rasulullah? Lalu kenapa harus sembunyi-sembunyi?”
Sehingga sejak hari itu pula, Umar mendapat julukan Al-Faruq (sang pembeda kebenaran dan kebathilan). Dan umat Islam pun lebih tenang melaksanakan shalat berjamaah. Keikutsertaan Umar dalam barisan shaf membuat para jamaah yakin tak akan di ganggu oleh orang-orang kafir Quraisy. Tak hanya itu, ia pun di percaya oleh Rasulullah untuk mencatat wahyu, karena ia memanglah pintar dalam tulis menulis aksara Arab. Sehingga bertambah banyaklah dari kalangan sahabat yang mencatatkan ayat Al-Qur`an demi kelestariannya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda; “Sesungguhnya di antara orang-orang sebelum kalian terdapat sejumlah manusia yang mendapat ilham. Apabila seorang umatku mendapatkannya, maka Umarlah orangnya”
Zakaria bin Abi Zaidah menambahkan dari Sa`ad dari Abi Salamah dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Rasulullah bersabda; “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari Bani Israil ada yang diberikan ilham walaupun mereka bukan nabi, jika salah seorang dari umatku mendapat-kannya, maka Umarlah orangnya.”
Umar selalu mengikuti peperangan yang di pimpin oleh Rasulullah SAW dan peristiwa-peristiwa yang terkait dengannya, seperti perang Badar, Uhud, Khandaq. Ia terkait dalam pengepungan Bani Qainuqa, Bani Mushthaliq, Hunai dan Thaif. Ia tergabung dalam pasukan pada misi pembebesan Makkah (Fathu Makkah). Umar juga menjadi salah satu prajuri pasukan al-`Usrah (pasukan yang dipersiapkan untuk menyerang pasukan Romawi sebagai pembalasan kematian tiga pemimpin pasukan Islam (Zaid ibn Harits, Ja`far ibn Abu Thalib, dan Abdullah ibn Rawahah).
Pada semua peristiwa kepahlawanan itu, Umar menjadi teladan keberanian seorang prajurit yang ditakuti lawan. Bahkan Rasulullah SAW pernah bersabda; “Syaitan dari golongan manusia dan jin pun lari dari Umar” (HR. At-Tirmidzi)
Di lain waktu, Hafshah, Ummul Mukminin, putri Umar, menuturkan bahwa Rasulullah pernah mengatakan; “Sejak Umar masuk Islam, setiap syaitan yang bertemu dengannya akan tunduk” (HR. At-Thabrani)
Ketegasan dan keberanian Umar merupakan kekuatan besar dalam upaya mengembangkan Islam selanjutnya, sehingga bukan hanya Nabi SAW yang menaruh simpati dan kepercayaan yang besar kepadanya, melainkan juga para sahabat, khususnya Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. Pada masa pemerintahannya, Umar selalu diangkat sebagai penasihat sekaligus hakim dalam menangani permasalahan-permasalahan hukum yang timbul ketika itu. Kemampuan Umar dalam hal memecahkan berbagai problema hukum yang dihadapkan kepadanya meyakinkan Abu Bakar Ash-Shiddiq RA untuk mengangkatnya sebagai Khalifah penggantinya kelak.
Selain itu, keislaman Umar membuka jalan bagi tokoh-tokoh bangsa Arab lainnya masuk Islam. Sejak saat itu, berbondong-bondonglah orang masuk Islam, sehingga hanya dalam waktu yang singkat pengikut Islam bertambah dengan pesatnya.
Umar telah membawa cahaya terang dalam permulaan perjuangan Islam. Dakwah Islam, yang semula dijalankan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi, kini disiarkan secara terang-terangan. Umar menjadi pembela dan pelindung umat Islam dari segala gangguan. Ibnu Asir mengungkapkan bahwa Abdullah bin Mas’ud RA berkata, “Islamnya Umar adalah suatu kemenangan, hijrahnya adalah suatu pertolongan, dan pemerintahannya adalah rahmat. Pada awalnya, umat Islam tidak berani mengerjakan ibadah shalat dengan terang-terangan, takut dianiaya oleh kafir Quraisy, tetapi setelah itu mereka dapat beribadah dengan leluasa tanpa merasa tertekan.”
Umar pun telah menunjukkan kesetiaan dan pengabdiannya tanpa pamrih demi kejayaan Islam, seolah-olah ia hendak menebus segala jenis kesalahan dan dosa yang diperbuatnya pada masa jahiliyah. Dan ini terbukti ketika semua umat Islam yang berhijrah ke Yastrib dengan cara sembunyi-sembunyi. Namun Umar tidak demikian. Bahkan ia terang-terang menantang siapa saja yang hendak menghalanginya dalam berhijrah ke Yastrib (Madinah), dengan berkata: “Hai kalian! Aku akan hijrah ke Yastrib. Siapa yang ingin diratapi oleh ibunya, siapa yang ingin anaknya menjadi yatim, siapa yang ingin men-jadikan istrinya janda, maka hadapi aku di balik bukit”
Siapa yang berani menantang seorang pemberani dan satria seperti Umar? Sehingga ia pun dengan selamat tiba di Yastrib. Kedatangannya di sambut oleh Rasulullah, para sahabat dan keluarganya yang telah lebih dulu tiba disana.
5. Keadaan Umar ibn Khaththab selama menjadi Khalifah
Khalifah setelah Abu Bakar ini dikenal sangat sederhana. Tidur siangnya beralaskan tikar dan batu bata di bawah pohon kurma, dan ia hampir tak pernah makan kenyang, demi menjaga perasaan rakyatnya. Umar juga sangat takut mengambil harta kaum Muslimin tanpa alasan yang kuat. la berpakaian sangat sederhana, bahkan tidak pantas untuk dipakai oleh seorang pembesar seperti dia. Umar pun meneladani perilaku Rasulullah SAW dalam seluruh aspek kehidupannya. Prinsip hidup sederhana juga diterapkan oleh Umar di lingkungan keluarganya. Istri dan anak-anaknya dilarang menerima pemberian dalam bentuk apa pun dari para pembesar maupun dari rakyatnya.
Umar pernah berkata, “Tidak halal bagiku harta yang diberikan Allah kecuali dua pakaian. Satu untuk dikenakan di musim dingin dan satu lagi dikenakan untuk musim panas. Adapun makanan untuk keluargaku sama saja dengan makanan orang-orang Quraisy pada umumnya, bukan standar yang paling kaya di antara mereka. Aku sendiri hanyalah salah seorang dari kaum Muslimin.
Jika menugaskan para gubernurnya, Umar akan menulis perjanjian yang disaksikan oleh kaum Muhajirin. Umar mensyaratkan kepada mereka agar tidak berpakaian yang halus, dan tidak menutup pintu rumahnya kepada rakyat yang membutuhkan bantuan. Jika mereka melanggar pesan ini, maka akan mendapatkan hukuman.
Umar juga membuat peraturan untuk para gubernurnya. Diantaranya:
1) Jangan memiliki kendaraan istimewa
2) Jangan memakai pakaian tipis (halus dan mahal harganya)
3) Jangan makan-makan yang enak-enak
4) Jangan menutup rumahmu bila orang memerlukanmu
Sebagai Khalifah, Umar dikenal sangat adil dalam menjalankan pemerintahannya. la tidak membedakan antara tuan dan budak, kaya dan miskin, juga penguasa dan rakyat jelata. Semua mendapat perlakuan yang sama. Yang salah dihukum dan yang benar dibelanya. Banyak didapati riwayat yang disampaikan Anas bin Malik RA, bahwa suatu ketika ia sedang duduk bersama Umar. Lalu datang seorang penduduk Mesir yang mengadukan perihal kezaliman Amr bin al-As, gubernur Mesir. Tentang perilaku sang gubernur yang menampar teman sebayanya. Dengan serta merta Umar mengirim surat kepada Amr bin al-Ash agar segera meng-hadap kepada Umar di Madinah. Setelah Amr bin al-Ash datang, ia pun diadili dan ternyata bersalah. Umar lalu menyuruh bocah yang teraniaya itu membalas sesuai dengan perlakuan yang diterimanya. Yaitu dengan menampar kembali sang gubernur, lalu ia berkata kepada Amr ibn Ash; “Mengapa kau memperbudak manusia yang telah dilahirkan merdeka oleh ibu-ibu mereka?” Begitulah gambaran nyata tentang keadilan seorang Umar ibn Khaththab RA, yang tak mengenal siapa orangnya.
Suatu hari, Umar pernah mengatakan; “Jika ada seekor unta saja yang tergelincir di jalan Iraq, di akhirat kelak, aku yang dituntut Allah: “Mengapa kau tak membuat jalan yang baik meski untk seekor unta?”
Pada masa Kekhalifahannya yang tepat pada tahun ke 18 Hijriyah, terjadi masa paceklik. Tak sedikit orang yang kelaparan, bahkan mati kelaparan. Saat itu, Umar mengharamkan dirinya makan daging. Ia hanya makan roti untuk sekian lama sampai wajahnya tampak seperti orang kekurangan gizi. Sehingga orang-orang pun berkata; “Jika umat tengah merasakan penderitaan, maka Umar adalah orang pertama yang merasakan penderitaan itu. Sedangkan saat umat merasakan kesenangan, maka ia adalah orang yang terakhir merasakannya”
Umar ibn Khaththab RA tidak hanya memberlakukan kesederhanaan pada dirinya saja, namun juga terhadap para pejabat di pemerintahannya sebagaimana uraian di atas. Sehingga tidak keliru bila umat di zaman kini kembali berkaca kepada kesederhanaan sahabat Rasululah SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq RA ini. Karena tentunya akan mendatangkan banyak sekali manfaatnya.
Mu`awiyah bin Abu Sufyan berkata, “Adapun Abu Bakar, ia tidak sedikit pun menginginkan dunia dan dunia juga tidak ingin datang menghampirinya. Sedangkan Umar, dunia datang menghampirinya namun dia tidak menginginkannya. Adapun kita bergelimang dalam kenikmatan dunia”
Pernah Umar dicela dan dikatakan kepadanya; “Alangkah baiknya jika engkau memakan makanan yang bergizi tentu akan membantu dirimu supaya lebih kuat membela kebenaran. Maka Umar berkata; “Sesungguhnya aku telah meninggalkan kedua sahabatku (Rasulullah dan Abu Bakar) dalam keadaan tegar (tidak terpengaruh dengan dunia), maka jika aku tidak mengikuti ketegaran mereka, aku takut tidak akan dapat mengejar kedudukan mereka”
Anas berkata: “Di antara bahu dari baju Umar, terdapat empat tambalan, kainnya ditambal dengan kulit. Pernah beliau khutbah di atas mimbar mengenakan pakaian yang memiliki dua belas tambalan. Ketika melaksanakan ibadah haji, beliau hanya menggunakan enam belas dinar, sementara beliau berkata kepada anaknya; “Kita ini terlalu boros dan berlebihan”. Pada tahun paceklik dan kelaparan, beliau tidak pernah makan kecuali roti dan minyak hingga kulit beliau berubah menjadi hitam. Beliau berkata, “Akulah sejelek-jelek penguasa apabila aku bisa kenyang sementara rakyatku kelaparan. Pada wajah beliau terdapat dua garis hitam disebabkan banyak menangis. Terkadang beliau mendengar ayat Allah dan jatuh pingsan karena perasaan takut, hingga terpaksa diangkat ke rumah dalam keadaan pingsan. Kemudian kaum Muslimin pun menjenguk beliau beberapa hari, padahal beliau tidak memiliki penyakit yang membuat beliau pingsan kecuali perasaan takutnya”
Saat menjabat sebagai Khalifah, Umar bin Khaththab berlaku sangat zuhud meski beliau sesungguhnya seorang yang sangat kaya. Ketika wafat, Umar ibn Khaththab meninggalkan ladang pertanian sebanyak 70.000 ladang, yang rata-rata harga ladangnya sebesar Rp. 160 juta – perkiraan konversi ke dalam rupiah. Itu berarti, Umar telah meninggalkan warisan sebanyak Rp. 11,2 Triliun. Setiap tahun, rata-rata ladang pertanian saat itu menghasilkan Rp. 40 juta, berarti Umar mendapatkan penghasilan Rp. 2,8 Triliun setiap tahun, atau 233 Miliar sebulan.
Umar memiliki 70.000 properti. Umar selalu menganjurkan kepada para pejabatnya untuk tidak menghabiskan gajinya untuk dikonsumsi. Melainkan disisakan untuk membeli properti. Agar uang mereka tidak habis hanya untuk di makan.
Namun begitulah Umar. Ia tetap saja sangat berhati-hati. Harta kekayaannya pun ia pergunakan untuk kepentingan dakwah dan umat. Tak sedikit pun Umar menyombongkan diri dan mempergunakannya untuk sesuatu yang mewah dan berlebihan. Sampai-sampai menjelang akhir kepemimpinannya, Ustman ibn Affan mengatakan; “Sesungguhnya, sikapmu telah sangat memberatkan siapapun dari Khalifah penggantimu kelak.”
Pernah suatu hari jamaah kaum Muslimin hendak menunaikan shalat Jum`at. Waktu sudah mepet dan khutbah Jum`at sudah saatnya untuk disampaikan tapi Amirul Mukminin Umar ibn Khathtahb belum juga keluar dari rumahnya. Sebagian jamaah mulai menebak-nebak, jangan-jangan Khalifah Umar sedang sakit karena tidak seperti biasanya ia terlambat menyampaikan khutbah Jum`at. Umar ibn Khaththab adalah seorang yang berdisiplin tinggi. Selama ini tidak pernah ia melalaikan kewajibannya sebagai seorang pemegang amanah umat.
Dan tak berapa lama kemudian Umar bin Khaththab keluar dari rumah menemui jamaah kaum Muslimin yang sudah menanti dimulainya khutbah Jum`at. Setelah memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi SAW dan menyampaikan pesan taqwa kepada jamaah, ia menyampaikan perihal keterlambatannya mengisi khutbah Umar berkata bahwa; “Aku hanya memiliki selembar pakaian ini saja yang selalu aku pakai setiap hari dalam menjalankan tugas Kekhalifahanku dan tadi aku mencucinya dan lama aku menungguinya hingga mengering”.
Sambil berkata seperti itu Umar selalu mengibas-ngibaskan pakaian gamisnya, karena belum kering sepenuhnya. Apa yang Umar adalah suatu teladan kesederhanaan yang sudah dicontohkan oleh dua orang sahabat-nya yang sudah wafat terlebih dahulu, yaitu Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. Umar ibn Khaththab pernah berkata; “Rasulullah SAW telah mendahuluiku dan beliau telah memperoleh nikmat disisi Allah, begitu juga Abu Bakar juga telah berhasil mencontohnya, maka ia juga beroleh nikmat disisi Allah dan sekarang tinggal aku seorang yang belum jelas nasibnya, maka akan menyesal diriku bila tidak mencontoh mereka berdua”.
Kesederhanaan Abu Bakar sebagai pemimpin negara menjadi suri tauladan bagi para Khalifah setelahnya. Umar ibn Khaththab, Khalifah setelahnya, dikenal sebagai sosok yang sangat tegas dalam mentaati syariah Islam dan tegas pula dalam hal menjaga diri, keluarga dan para pejabat di pemerintahannya untuk tidak menyelewengkan kekuasaan demi kepentingan pribadi.
Umar ibn Khaththab pernah memaksa putranya Abdullah ibn Umar untuk segera menjual unta gemuk putranya itu yang digembalakan di tanah milik negara dan mengembalikan seluruh hasil penjualannya ke dalam kas negara (bait al-mal). Khalifah Umar tidak menginginkan anak-anaknya bersikap “aji mumpung” dalam memanfaatkan fasilitas negara selama beliau berkuasa. Karena itu adalah tindakan yang tidak sesuai dengan contoh yang diberikan Rasulullah SAW.
Kesederhanaan beliau juga tercermin dalam kisah berikut ini. Suatu saat, sejumlah sahabat di antaranya Utsman, `Ali ibn Abi Thalib, Zubair bin Awwam dan Thalhah RA berunding untuk mengusulkan agar santunan untuk Khalifah Umar dinaikkan, karena dianggap terlalu kecil. Namun, tidak ada seorang pun dari mereka yang berani mengajukan usul tersebut kepada Khalifah Umar yang terkenal sangat tegas dan “keras”. Mereka khawatir usulan itu tidak diterima.
Akhirnya, mereka menemui Hafshah RA, Ummul Mukminin, salah seorang istri Baginda Nabi SAW yang tidak lain putri Umar. Saat Hafshah menyampaikan pesan mereka terkait dengan usulan kenaikan santunan untuk Khalifah tersebut, Umar  tampak seperti menahan marah. Beliau dengan nada agak keras bertanya; “Siapa yang berani mengajukan usulan itu?”
Hafshah tidak segera menjawabnya, selain berkata, “Berikan dulu pendapat Ayah.”
Umar berkata; “Seandainya saya tahu nama-nama mereka, niscaya saya pukul wajah-wajah mereka!”
“Hafshah, sekarang coba kau ceritakan kepadaku tentang pakaian Nabi SAW yang paling baik, makanan paling lezat yang biasa beliau makan dan alas tidur paling bagus yang biasa beliau pakai di rumahmu,” Kata Umar lagi.
Hafshah menjawab; “Pakaian terbaik beliau adalah sepasang baju berwarna merah yang biasa beliau pakai pada hari Jumat dan saat me-nerima tamu. Makanan terlezat beliau adalah roti yang terbuat dari tepung kasar yang dilumuri minyak. Tempat alas tidur terbagus beliau adalah sehelai kain agak tebal, yang pada musim panas, kain itu dilipat empat dan pada musim dingin dilipat dua; separuh beliau jadikan alas tidur dan yang separuh lagi beliau jadikan selimut.”
“Sekarang, pergilah. Katakanlah kepada mereka itu, Rasulullah SAW telah mencontohkan hidup sangat sederhana dan merasa cukup dengan apa yang ada demi mendapatkan akherat. Aku akan selalu mengikuti jejak beliau. Rasulullah, Abu Bakar dan aku bagaikan tiga orang musafir. Musafir pertama telah sampai di tujuan seraya membawa perbekalannya. Demikian pula musafir kedua, telah berhasil menyusulnya dan sampai di tujuannya. Aku, musafir ketiga, masih sedang dalam perjalanan. Seandainya aku bisa mengikuti jejak keduanya, tentu aku akan bertemu dengan mereka semua. Sebaliknya, jika aku tidak mampu mengikuti jejak keduanya, aku tidak akan pernah bertemu mereka,” Tegas Umar lagi.
Pada saat lain, ketika beliau sedang asyik makan roti, datanglah Utbah bin Abi Farqad RA. Utbah pun beliau persilakan masuk sekaligus beliau ajak untuk ikut makan roti bersama. Roti itu ternyata terlalu keras sehingga Uthbah tampak agak kesulitan memakannya. “Andai saja engkau membeli makanan dari tepung yang empuk,” Kata Uthbah.
Umar malah bertanya; “Apakah setiap rakyatku mampu membeli tepung dengan kualitas yang baik?”
“Tentu tidak,” jawab Uthbah.
“Kalau begitu, engkau jelas telah menyuruhku untuk menghabiskan seluruh kenikmatan hidup di dunia ini,” tegas Umar.
6. Khalifah Umar bila dibandingkan dengan para raja
Di Madinah yang tenang hari itu. Siang berlalu setengah perjalanan. Serombongan orang yang nampak asing berjalan memasuki kota suci Islam kedua itu. Ternyata ada satu rombongan Hurmuzan, panglima dan pangeran Persia yang telah ditaklukkan pasukan Muslim. Ia ingin bertemu dengan Amirul Mu’minin Umar ibn Khaththab RA.
Dengan ditemani Anas bin Malik RA, Hurmuzan datang dengan kebesaran dan kemegahannya. Dengan diikuti pemuka-pemuka terkenal dan seluruh anggota keluarganya, Hurmuzan memasuki Madinah dengan menampilkan keagungan dan kemuliaan seorang raja. Perhiasan yang bertatah permata melekat di dahi. Sementara mantel sutra yang mewah menutupi pundaknya. Sementara itu sebilah pedang bengkok dengan hiasan batu-batu mulia menggantung pada sabuknya. Ia bertanya-tanya dimana Amirul Mu’minin bertempat tinggal. Ia membayangkan bahwa Umar bin Khattab yang kemasyhurannya tersebar ke seluruh dunia pasti tinggal di sebuah istana yang megah.
Sampai di Madinah, mereka langsung menuju ke tempat kediaman Umar. Tetapi mereka diberitahukan bahwa Umar sudah pergi ke Masjid sedang menerima delegasi dari Kufah. Mereka pun bergegas ke Masjid. Tetapi tidak juga melihat Umar disana. Melihat rombongan itu, anak-anak Madinah mengerti maksud kedatangan mereka. Lalu diberitahukan bahwa Amirul Mu’minin sedang tidur di beranda kanan Masjid Nabawi dengan menggunakan mantelnya sebagai bantal.
Betapa terkejutnya Hurmuzan, ketika ditunjukkan kepadanya bahwa Umar adalah lelaki dengan pakaian seadanya yang sedang tidur di Masjid itu. Hurmuzan beserta rombongannya nyaris tak percaya. Tetapi, memang itulah kenyataannya. Di Masjid itu tidak ada orang lain kecuali Umar.
Dalam riwayat lainnya dikatakan, sambil berdecak heran Hurmuzan bergumam, “Engkau, wahai Umar, telah memerintah dengan sangat adil, lalu engkau aman dan engkau pun bisa tidur dengan nyaman.”
Selain itu, tentang keagungan Khalifah Umar ini terdengar pula oleh seorang raja negara tetangga. Raja tertarik dan ingin sekali bertemu dengan Umar.
Maka pada suatu hari dipersiapkanlah tentara kerajaan untuk me-ngawalnya berkunjung ke pemerintahan Umar. Ketika raja itu sampai di gerbang kota Madinah, dilihatnya seorang lelaki sedang sibuk menggali parit dan membersihkan got di pinggir jalan. Lalu, di panggilnya laki-laki itu.
“Wahai saudaraku!” seru raja sambil duduk di atas pelana kuda kebesarannya. “Bisakah kau menunjukkan di mana letak istana dan sing-gasana Umar?” Tanyanya kemudian.
Lelaki itu pun segera menghentikan pekerjaannya. Lalu, ia memberi hormat. “Wahai Tuan, Umar manakah yang Tuan maksudkan?” Si penggali parit balik bertanya.”
Umar ibn Khaththab kepala pemerintahan kerajaan Islam yang terkenal bijaksana dan gagah berani,” Kata raja.
Lelaki penggali parit itu tersenyum. “Tuan salah terka. Umar ibn Khaththab kepala pemerintahan Islam sebenarnya tidak punya istana dan singgasana seperti yang tuan duga. Ia orang biasa seperti saya,” Terang si penggali parit”
“Ah benarkah? Mana mungkin kepala pemerintahan Islam yang ter-kenal agung seantero negeri itu tidak punya istana?” Raja itu mengerutkan dahinya.
“Tuan tidak percaya? Baiklah, ikuti saya,” Sahut penggali parit itu.
Lalu diajaknya rombongan raja itu menuju “istana” Umar. Setelah berjalan menelusuri lorong-lorong kampung, pasar, dan kota, akhirnya mereka tiba di depan sebuah rumah sederhana. Diajaknya tamu kerajaan itu masuk dan dipersilahkannya duduk. Penggali parit itu pun pergi ke belakang dan ganti pakaian. Setelah itu ditemuinya tamu kerajaan itu. “Sekarang antarkanlah kami ke kerajaan Umar!” Kata raja itu tak sabar.
Penggali parit tersenyum. “Tuan raja, tadi sudah saya katakan bahwa Umar ibn Khaththab tidak mempunyai kerajaan. Bila tuan masih juga bertanya di mana letak kerajaan Umar itu, maka saat ini juga tuan-tuan sedang berada di dalam istana Umar!”
Hah?!” Raja dan para pengawalnya terbelalak. Tentu saja mereka terkejut. Sebab, rumah yang di masukinya itu tidak menggambarkan sedikit pun sebagai pusat kerajaan. Meski rumah itu tampak bersih dan tersusun rapi, namun sangat sederhana.
Rupanya raja tak mau percaya begitu saja. Ia pun mengeluarkan pedangnya. Lalu berdiri sambil menga-cungkan pedangnya.
“Jangan coba-coba menipuku! Pedang ini bisa memotong lehermu dalam sekejap!” Ancamnya melotot.
Penggali parit itu tetap tersenyum. Lalu dengan tenangnya, ia pun berdiri.” Di sini tidak ada rakyat yang berani berbohong. Bila ada, maka belum bicara pun pedang telah menebas lehernya. Letakkanlah pedang Tuan. Tak pantas kita bertengkar di istana Umar,” Kata penggali parit. Dengan tenang ia memegang pedang raja dan memasukkannya kembali pada sarungnya.
Raja terkesima melihat keberanian dan ketenangan si penggali parit. Antara percaya dan tidak, dipandanginya wajah penggali parit itu. Lantas, ia menebarkan kembali pandangannya menyaksikan “istana” Umar itu. Lalu muncullah pelayan-pelayan dan pengawal-pengawal untuk menjamu mereka dengan upacara kebesaran. Namun, raja itu belum juga percaya.
“Benarkah ini istana Umar?” Tanyanya pada pelayan-pelayan.
“Betul, tuanku, inilah istana Umar ibn Khaththab,” Jawab seorang pelayan.
“Baiklah,” katanya. Raja memang harus mempercayai ucapan pelayan itu. “Tapi, dimanakah Umar? Tunjukkan padaku, aku ingin  sekali bertemu dengannya dan bersalaman dengannya!” ujar sang raja.
Dengan sopan pelayan itu pun menunjuk ke arah lelaki penggali parit yang duduk di hadapan raja. ” Yang duduk di hadapan tuan adalah Khalifah Umar bin Khaththab” Sahut pelayan itu.
“Hah!?” Raja kini benar-benar tercengang. Begitu pula pengawalnya. “Jad… jadi, Anda Khalifah Umar itu…?” tanya raja dengan tergagap.
Si penggali parit mengangguk sambil tersenyum ramah. “Sejak kita bertemu pertama kali di pintu gerbang kota Madinah, sebenarnya tuan sudah berhadapan dengan Umar bin Khaththab!” ujarnya dengan tenang.
Kemudian raja itu pun langsung menubruk Umar dan memeluknya erat sekali. Ia sangat terharu bahkan menangis melihat kesederhanaan Umar ibn Khaththab. Ia tak menyangka, Khalifah yang namanya disegani di seluruh negeri itu, ternyata rela menggali parit seorang diri di pinggiran kotanya. Sejak itu, raja selalu mengirim rakyatnya ke kota Madinah untuk mempelajari agama Islam.
7. Prestasi yang pernah di raih
Setelah Umar menjadi khalifah, ia lebih disegani dan ditakuti negara-negara lain. Kekuasaan Islam pun tumbuh sangat pesat mencakup wilayah Mesopotamia (Iraq) dan sebagian Persia, Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara. Pengaruh Islam juga melebar ke Armenia setelah merebutnya dari kekaisaran Romawi (Byzantium).
Sejarah mencatat banyak pertempuran besar yang menjadi awal penaklukan ini. Pada pertempuran Yarmuk, yang terjadi di dekat Damaskus pada tahun 636 M, 20 ribu pasukan Islam mengalahkan pasukan Romawi yang mencapai 70 ribu dan mengakhiri kekuasaan Romawi di Asia Kecil bagian selatan. Pasukan Islam lainnya dalam jumlah kecil mendapatkan kemenangan atas pasukan Persia dalam jumlah yang lebih besar pada pertempuran Qadisiyyah (636 M), di dekat sungai Eufrat. Pada pertempuran itu, jenderal pasukan Islam yakni Sa`ad bin Abi Waqqas mengalahkan pasukan Sassanid dan berhasil membunuh jenderal Persia yang terkenal, Rustam Farrukhzad.
Pada tahun 637 Masehi, setelah pengepungan yang lama terhadap Yerusalem, pasukan Islam akhirnya mengambil alih kota tersebut. Umar diberikan kunci untuk memasuki kota oleh pendeta Sophronius dan di undang untuk shalat di dalam gereja. Umar memilih untuk shalat ditempat lain agar tidak membahayakan gereja tersebut. 55 tahun kemudian, Masjid Umar didirikan ditempat ia shalat.
Umar juga melakukan banyak reformasi secara administratif dan mengontrol dari dekat kebijakan publik, termasuk membangun sistem administratif untuk daerah yang baru ditaklukkan. Ia juga memerintahkan diselenggarakannya sensus di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Tahun 638 M, ia memerintahkan untuk memperluas dan merenovasi Masjidil Haram di kota Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Ia juga memulai proses kodifikasi hukum Islam. Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun keempat kekhalifahannya, Umar mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai di hitung saat peristiwa hijrah.
Di bidang administrasi pemerintahan, Umar berjasa membentuk Majelis Permusyawaratan, Anggota Dewan, dan juga memisahkan lembaga pengadilan. la juga membagi wilayah Islam ke dalam 8 propinsi yang membawahi beberapa distrik dan subdistrik. Kedelapan propinsi itu adalah Makkah, Madinah, Suriah, Jazirah, Kufah, Basra, Mesir, dan Palestina. Untuk masing-masing distrik itu, diangkat pegawai khusus selaku gubernur. Gaji mereka di tertibkan. Selain itu, administrasi perpajakan juga dibenahi.
Untuk kepentingan pertahanan, keamanan, dan ketertiban dalam masyarakat, didirikanlah lembaga kepolisian, korps militer dengan tentara terdaftar. Mereka juga digaji yang besarnya berbeda-beda sesuai dengan tugasnya. Dia juga mendirikan pos-pos militer di tempat-tempat strategis. Untuk mengawasi dan menjaga keamanan negara.
Umar melakukan pembenahan peradilan Islam. Dialah orang yang pertama meletakkan prinsip-prinsip peradilan dengan menyusun sebuah risalah yang kemudian dikirimkan kepada Abu Musa al-Asy’ari. Risalah itu disebut Dustur ‘Umar atau Risalah al-Qada’.
Dalam upayanya meningkatkan mekanisme pemerintahan di setiap daerah, Umar melengkapi gubernurnya dengan beberapa staf yang terdiri dari katib (sekretaris kepala), katib ad-Diwan (sekretaris pada sekretariat militer), sahib al-kharaj (pejabat perpajakan), sahib al-ahdas (pejabat ke-polisian), sahib bait al-mal (pejabat keuangan), dan qadi (hakim dan pejabat jawatan keagamaan). Selain itu, ada staf yang langsung dikirim dari pusat.
Kebijaksanaan lain yang dilakukan Umar adalah mendaftar seluruh kekayaan pejabat yang akan di lantik. Ini ditempuh untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang dan tindakan korupsi, yang jelas akan menjaga kestabilan negara.
Selain itu, dengan semakin luasnya wilayah Islam, Umar melakukan berbagai macam penataan struktur pemerintahan, antara lain: Penataan administrasi pemerintahan dilakukan dengan melakukan desentralisasi pemerintahan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjangkau wilayah Islam yang semakin luas. Umar yang dikenal sebagai negarawan, administrator, terampil dan cerdas, segera membuat kebijakan mengenai administrasi pemerintahan.
Pembagian negeri menjadi unit-unit administratif sebagai propinsi, distrik dan sub bagian dari distrik merupakan langkah pertama dalam pemerintahan. Unit-unit ini merupakan tempat ketergantungan efesiensi administratif yang besar. Umar merupakan penguasa Muslim pertama yang mengambil kebijakan dengan melakukan disentralisasi semacam itu. Setiap daerah diberi hak kewenangan mengatur pemerintahan daerahnya,  tetapi tetap segala kebijakan harus sesuai dengan pemerintahan pusat.
8. Wafat
Beliau wafat dalam usia 63 tahun setelah kurang lebih 10 tahun menegang amanat sebagai KhaIifah. Umar syahid setelah ditikam oleh Abu Abu Lu’luah (Fairuz), pada suatu subuh saat beliau akan memimpin shalat berjama`ah.
Abu Lu’luah, seorang budak warga Persia miliki Al-Mughirah yang masuk Islam setelah Persia ditaklukkan Umar. Pembunuhan ini konon dilatarbelakangi dendam pribadi Abu Lu’luah (Fairuz) terhadap Umar. Fairuz merasa sakit hati atas kekalahan Persia, yang saat itu merupakan negara digdaya, oleh Umar. Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, tanggal 25 Dzulhijjah 23 H/644 M. Setelah wafatnya, maka jabatan Khalifah dipegang oleh Ustman bin Affan RA atas persetujuan kaum Muslimin.
Semasa Umar ibn Khaththab RA masih hidup beliau meninggalkan wasiat, yaitu:
1) Jika engkau menemukan cela pada seseorang dan engkau hendak mencacinya, maka cacilah dirimu. Karena celamu lebih banyak darinya.
2) Bila engkau hendak memusuhi seseorang, maka musuhilah perutmu dahulu. Karena tidak ada musuh yang lebih berbahaya terhadapmu selain perut.
3) Bila engkau hendak memuji seseorang, pujilah Allah SWT. Karena tiada seorang manusia pun lebih banyak dalam memberi kepadamu dan lebih santun lembut kepadamuselain Allah SWT.
4) Jika engkau ingin meninggalkan sesuatu, maka tinggalkan kesenangan dunia. Sebab apabila engkau meninggalkannya, berarti engkau terpuji.
5) Bila engkau bersiap-siap untuk sesuatu, maka bersiaplah untuk mati. Karena jika engkau tidak bersiap untuk mati, engkau akan menderita, rugi, dan penuh penyesalan.
6) Bila engkau ingin menuntut sesuatu, maka tuntutlah akhirat. Karena engkau tidak akan memperolehnya kecuali dengan mencarinya.
9. Penutup
Umar adalah profil seorang pemimpin yang sukses, mujtahid (ahli ijtihad) yang ulung, dan sahabat Rasulullah Muhammad SAW yang sejati. Kesuksesannya dalam mengibarkan panji-panji Islam mengundang rasa kagum dan cinta dari banyak kalangan.
Keislaman beliau telah memberikan andil besar bagi perkembangan dan kejayaan Islam. Beliau adalah sosok pribadi yang alim dan zuhud pada kehidupan duniawi. Beliau pemimpin yang adil, bijaksana, tegas, disegani, dan selalu memperhatikan urusan kaum Muslimin. Pemimpin yang terus menegakkan ketauhidan dan keimanan, membasmi bentuk kesyirikan dan kekufuran, menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah. Beliau adalah salah seorang yang paling baik dan paling berilmu tentang Al-Qur`an dan As-Sunnah setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq RA.
Sungguh rindu diri ini mendapati sosok pribadi – terutama pemimpin – yang demikian ini. Seperti halnya Umar ibn Khaththab RA. Dan semoga saja bisa mengikuti perilaku beliau ini, karena akan menjadikan pribadi ini bertambah baik dan sempurna.

Cinta Suci dari Abu Bakar Ash-Shiddiq RA

Saudaraku sekalian. Dalam kesempatan ini, sekali lagi saya mengajak Anda untuk mengulik sosok pribadi yang mulia dan penuh cinta kasih. Dialah sahabat Rasulullah SAW yang bernama Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. Yang dari awal kehidupannya memang telah mencirikan pribadi yang baik dalam kehidupannya. Seperti pernyataannya ketika ia di tanya apakah pernah meminum khomr (minuman keras); ”Apakah engkau pernah meminum khomr di masa jahiliyah?” Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab: “A’udzubillah (aku berlindung kepada Allah)”. Kemudian ia di tanya lagi, “Kenapa?”. Abu Bakar menjawab: “Aku menjaga dan memelihara muru’ah-ku (kehormatanku), apabila aku minum khomr, maka hal itu akan menghilangkan kehormatanku.”
Nah, untuk mempersingkat waktu, mari ikuti penelurusan berikut ini:
1. Sosok dan karakter Abu Bakar Ash-Shiddiq
Abdullah ibn Abi Quhafah ibn Amir ibn Ka`ab, lahir di Makkah dan berasal dari kabilah Bani Tamim. Ia dikenal dengan nama Abu Bakar dan mendapat julukan Ash-Shiddiq (yang membenarkan). Ia juga di kenal dengan nama `Atiiq karena mendapat jaminan bebas dari api Neraka. Sebagaimana sabda dari Rasulullah SAW berikut;
Dari ‘Aisyah RA, katanya: bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang suka melihat orang yang dibebaskan (‘atiiq) dari api Neraka, maka lihatlah Abu Bakar” (HR. Al-Hakim)
Abdullah Ibn Abi Quhafah atau Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah orang yang bertubuh kurus, berkulit putih. ‘Aisyah putrinya yang juga istri dari Rasulullah SAW menerangkan karakter ayahnya; “Abu Bakar Ash-Shiddiq berkulit putih, kurus, tipis kedua pelipisnya, kecil pinggangnya (sehingga kainnya selalu turun dari ping-gangnya), wajahnya selalu berkeringat, hitam warna matanya, berkening lebar, dan selalu mewarnai jenggotnya dengan inai maupun katam.”
2. Persabatan sejati
Muhammad ibn Abdullah (Rasulullah) dan Abdullah Ibn Abi Quhafah (Abu Bakar Ash-Shiddiq) telah bersahabat sejak kecil. Mereka berdua tumbuh dalam lingkungan jahiliyah, di antara orang-orang yang sangat gemar menembangkan syair-syair sesat, di antara orang-orang bodoh yang telah menyembah tuhan berhala, bahkan memperjualbelikan tuhan-tuhan mereka itu.
Karena proses alam telah mengaturnya, maka kedua bocah ini pun akhirnya tumbuh dewasa. Meski hidup di tengah tradisi jahiliyah, namun hati mereka tidak serta merta menerima hal itu. Allah SWT menjaga hati keduanya dari berbagai dampak buruk kejahiliyahan bangsa Quraisy, sehingga jiwa mereka jernih, tak ternodai kemusyrikkan dan kejahatan.
Seperti kebanyakan penduduk Makkah, mereka berdua memiliki keahlian mengembala dan berniaga. Suatu ketika, Abdullah ibn Abi Quhafah ikut dalam kafilah niaga. Di tengah perjalanan, kafilah menghentikan perjalanan untuk beristirahat. Abdullah memilih berteduh di bawah pohon. Disana, ia tertidur. Dalam tidurnya, ia bermimpi melihat rembulan yang meninggalkan langit dan mendekati bumi, kemudian pecah dan kepingan-kepingannya tersebar di jalan-jalan kota Makkah. Setelah itu, kepingan-kepingan tersebut menyatu seperti sedia kala dan kembali ke langit. Mimpi menakjubkan itu membuat Abdullah ibn Abi Quhafah penasaran. Ia berusaha menaksir makna mimpi itu. Ia tak menyadari jika mimpi itu sesungguhnya adalah kabar gembira.
Abu Bakar sangat berbahagia ketika fajar Islam telah terbit di kota Makkah saat Allah SWT mengangkat sahabatnya Muhammad sebagai Rasul yang mengarahkan manusia kepada kebenaran dan imam. Mengajak manusia menyembah hanya kepada Allah SWT dan meninggalkan berhala-berhala sembahan mereka itu. Tujuan dari dakwah Rasulullah SAW adalah mengangkat tinggi martabat dan menghargai akal manusia. Namun, penduduk Makkah justru menolak. Bisikan syaitan masih terlalu nyaring di telinga mereka.
Setelah Rasulullah SAW menyampaikan kerasulannya secara terbuka di bukit Shafa, Abu Bakar lebih berani membaca Al-Qur’an dengan suara nyaring. Ada orang yang tersentuh dengan bacaan Abu Bakar itu, hingga kemudian masuk Islam. Ada pula yang tidak suka, kemudian marah dan memukulnya. Abu Bakar pingsan oleh pukulan itu. Ia telah siap dengan segala kemungkinan dan tak gentar untuk selalu membaca Al-Qur’an dengan suara nyaring. Saat siuman, yang pertama Abu Bakar katakan adalah, “Bagaimana keadaan Rasulullah SAW”. Abu Bakar akan menolak makanan dan minuman yang ditawarkan kepadanya, sampai ia telah yakin bahwa Rasulullah baik-baik saja. Inilah persahabatan sejati yang di bangun atas dasar cinta dan pengorbanan yang tulus.
Begitu pun ketika Rasulullah SAW menyatakan tentang perjalanan Isra` mi`raj nya dari atas bukit Shafa, banyaklah orang-orang yang menjadi bimbang dan ragu dengan pengakuan Rasulullah SAW tersebut, termasuk kalangan umat Islam. Dan mereka yang ragu-ragu ini, akhirnya mendatangi Abu Bakar Ash-Shiddiq yang saat itu tidak hadir mendengar pengakuan tersebut. Sambil tersenyum, maka Abu Bakar Ash-Shiddiq menanggapi, “Jika Muhammad yang mengatakan, berarti benar. Aku percaya pada kenabiannya dan wahyu yang telah diturunkan kepadanya. Dan, aku juga percaya pada apa yang ia katakan hari ini!”
3. Hijrah bersama Rasulullah SAW atas dasar cinta
Ketika peristiwa Hijrah, saat Rasulullah SAW pindah ke Madinah (622 M), Abu Bakar adalah satu-satunya orang yang menemaninya. Gelap menyelimuti Makkah. Mencekam. Malam itu orang-orang kafir berkonspirasi untuk membunuh Rasulullah SAW. Sebelum semuanya terjadi, Allah SWT telah lebih dulu mengabarkan rencan busuk itu kepada Rasulullah SAW, dan memerintahkan segera hijrah.
Setelah Baiat ‘Aqabah kedua, kaum Muslim Quraisy mulai banyak yang berhijrah. Di antara yang lebih dulu berangkat adalah beberapa sepupu Nabi, sahabatnya Utsman dan Umar. Hampir semua sahabat ter-dekat Rasulullah telah meninggalkan Makkah kecuali Ali bin Abu Thalib dan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Abu Bakar sebenarnya telah meminta izin kepada Rasulullah untuk berangkat hijrah, namun beliau berkata: “Tidak usah terburu-buru berangkat, karena mungkin Allah SWT akan memberimu seorang teman,” Abu Bakar mengerti bahwa ia harus menunggu Rasulullah SAW.
Di pihak Quraisy, mereka merencanakan pembunuhan terhadap Rasulullah. Jibril datang kepada Rasulullah dan memberitahukan apa yang harus dilakukan. Waktu itu sore hari, Rasulullah langsung pergi ke rumah Abu Bakar – waktu kunjungan yang tidak seperti biasanya – beliau biasa berkunjung ke rumah Abu Bakar pada siang hari. Rasulullah berujar, “Allah SWT telah mengizinkan aku untuk meninggalkan kota ini dan berhijrah,”
“Bersama denganku?” Tanya Abu Bakar. “Ya, bersamamu.” Jawab Rasulullah.
Setelah mereka selesai membuat rencana, Rasulullah kembali ke rumahnya dan memberitahu Ali tentang keberangkatannya ke Yastrib. Beliau menyuruh Ali untuk tetap tinggal di Makkah sampai semua barang-barang yang dititipkan di rumahnya selesai dikembalikan. Rasulullah SAW senantiasa dikenal sebagai Al-Amin, sehingga masih banyak dipercaya orang-orang kafir untuk menjaga harta benda mereka, karena tidak menemukan orang lain yang dapat dipercaya.
Para pemuda Quraisy yang dipilih untuk membunuh Rasulullah telah sepakat untuk bertemu di luar gerbang rumah beliau saat malam tiba. Namun ketika mereka sedang menunggu sampai jumlah mereka lengkap, mereka mendengar suara wanita dari dalam rumah, hal itu membuat mereka berpikir ulang untuk masuk ke dalam rumah. Jika mereka menerobos masuk, maka nama mereka akan tercemar selamanya di kalangan bangsa Arab karena telah melanggar privasi kaum wanita. Oleh karena itu mereka memutuskan untuk menunggu sampai korbannya keluar rumah. Seperti biasanya, ia akan keluar di waktu subuh atau sebelumnya.
Rasulullah SAW dan Ali mengetahui kehadiran mereka. Rasulullah mengambil selimut yang biasa ia kenakan untuk tidur dan memberikannya kepada Ali. Ali kemudian tidur di tempat tidur Rasulullah SAW menggantikannya. Kemudian Rasulullah mulai membacakan surah yang diberi nama dengan kalimat pembukanya, Yasin. Ketika sampai pada kalimat, “Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan dibelakang mereka dinding pula, dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (QS. Yaasiin [36] ayat 9), beliau keluar dari rumah. Allah menutup pandangan para pemuda Quraisy itu hingga mereka tidak bisa melihat saat Rasulullah SAW keluar dari rumahnya.
Malam sudah hampir berlalu dan fajar akan menyingsing. Rasulullah SAW lantas bertemu dengan Abu Bakar. Abu Bakar berpamitan kepada istrinya; Ummu Ruman, serta anak-anaknya; Abdullah, Asma dan A`isyah, lalu tanpa membuang waktu mereka keluar dari rumah Abu Bakar melalui jendela belakang rumahnya untuk segera berlalu menuju bukit Tsur kemudian bersembunyi di dalam sebuah gua. Mereka menunggangi unta menuju sebuah gua di gunung Tsawr agak selatan, yang sejalan di jalur ke arah Yaman.
‘Amir Ibn Fuhayra – pengembala yang telah dibeli Abu Bakar sebagai budak dan sudah bebas serta ditugasi mengembala domba-dombanya – mengikuti mereka di belakang bersama gembalanya untuk menghilangkan jejak mereka.
Dari Hasan Al-Bishri; “Sesungguhnya malam itu Abu Bakar RA berangkat bersama Nabi SAW ke gua. Kadang ia berjalan di depan beliau SAW kadang-kadang dibelakangnya. Beliau SAW bertanya; ‘Kalau aku yang teringat, aku yang mencari jalan dan harus di depan, tetapi kalau aku tidak ingat, akupun harus dibelakangmu”
Beliau SAW bersabda; “Andaikan terjadi sesuatu, apakah engkau lebih senang dibunuh untuk melindungi aku?”
“Benar.” Jawab Abu Bakar RA “Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan haq!”
Dan ketika mereka sampai di gua, Abu Bakar berkata; “Ya Rasulullah, tunggu dulu, kubersihkan dulu gua ini untukmu.” Ia pun lantas membersihkan dengan meraba-rabakan tangannya. Kalau ia melihat ada batu, ia menyobek pakaiannya untuk menutupi batu itu, sampai habis pakaiannya meski ternyata masih ada batu yang terlihat. Kemudian ia meletakkan tumitnya untuk menutupi batu itu agar tidak menyakiti Rasulullah SAW.
Langkah kaki para pemuda Quraisy tidak lagi terdengar samar. Tapi wajah Abu Bakar pucat pasi. Tak terasa tubuhnya pun bergetar hebat, betapa tidak, dari celah gua ia mampu melihat para pemburu itu berada di atas kepalanya. Setengah berbisik berkatalah Abu Bakar; “Wahai Rasulullah, jika mereka melihat ke kaki-kaki mereka, sesungguhnya mereka pasti melihat kita berdua”.
Rasulullah SAW memandang Abu Bakar penuh makna. Ditepuknya punggung sahabat dekatnya ini pelan sambil berujar; “Janganlah engkau kira kita hanya berdua. Sesungguhnya kita bertiga, dan yang ketiga adalah Dia, yang menggenggam kekuasaan maha, Allah”.
Sejenak ketenangan menyapa Abu Bakar. Sama sekali ia tidak mengkhawatirkan keselamatannya. Kematian baginya bukan apa-apa, ia hanya lelaki biasa. Sedang, untuk lelaki tampan yang kini dekat disampingnya, keselamatan di atas mati dan hidupnya. Bagaimana semesta jadinya tanpa penerang. Bagaimana Yastrib jika harus kehilangan purnama. Bagaimana dunia tanpa benderang penyampai wahyu. Sungguh, ia tak gentar dengan tajam mata pedang para pemuda Quraisy, yang akan merobek lambung serta menumpahkan darahnya. Sungguh, ia tidak khawatir runcing anak panah yang akan menghunjam setiap jengkal tubuhnya. Ia hanya takut, Muhammad, ya Muhammad, mereka membunuh Muhammad.
Berdua mereka berhadapan, dan mereka sepakat untuk bergantian berjaga. Dan keakraban mempesona itu bukan sebuah kebohongan. Abu Bakar memandang wajah syahdu di depannya dalam hening. Setiap guratan di wajah indah itu ia perhatikan seksama. Aduhai betapa ia men-cintai putra Abdullah. Kelelahan yang mendera setelah perjalanan jauh, seketika seperti ditelan kegelapan gua. Wajah di depannya yang saat itu berada nyata, meleburkan penat yang ia rasa. Hanya ada satu nama yang berdebur dalam dadanya. Cinta.
Sejeda kemudian, Muhammad melabuhkan kepalanya di pangkuan Abu Bakar. Dan seperti anak kecil, Abu Bakar berenang dalam samudera kegembiraan yang sempurna. Tak ada lagi yang dapat memesonakannya selama hidup kecuali saat kepala Nabi yang ummi berbantalkan kedua pahanya. Mata Rasulullah terpejam. Dengan hati-hati, seperti seorang ibu, telapak tangan Abu Bakar, mengusap peluh di kening Rasulullah. Masih dalam senyap, Abu Bakar terus terpesona dengan sosok cinta yang tengah beristirahat diam di pangkuannya. Sebuah asa mengalun dalam hatinya “Allah, betapa ingin hamba menikmati ini selamanya”.
Nafas harum itu terhembus satu-satu, menyapa wajah Abu Bakar yang sangat dekat. Abu Bakar tersenyum, sepenuh kalbu ia menatapnya lagi. Tak jenuh, tak bosan. Dan seketika wajahnya muram. Ia teringat perlakuan orang-orang Quraisy yang memburu Purnama Madinah seperti memburu hewan buruan. Bagaimana mungkin mereka begitu keji mengganggu cucu Abdul Muthalib, yang begitu santun dan amanah. Mendung di wajah Abu bakar belum juga surut. Sebuah kuntum azzam memekar di kedalaman hatinya, begitu semerbak. “Selama hayat berada dalam raga, aku Abu Bakar, akan selalu berada di sampingmu, untuk membelamu dan tak akan membiarkan sesiapapun menganggumu”.
Sunyi tetap terasa. Gua itu begitu dingin dan remang-remang. Abu Bakar menyandarkan punggung di dinding gua. Rasulullah SAW, masih saja mengalun dalam istirahatnya. Dan tiba-tiba saja, seekor ular mendesis-desis perlahan mendatangi kaki Abu Bakar yang terlentang. Abu Bakar menatapnya waspada, ingin sekali ia menarik kedua kakinya untuk menjauh dari hewan berbisa ini. Namun, keinginan itu dienyahkannya dari benak, tak ingin ia mengganggu tidur nyaman Rasulullah SAW. Bagaimana mungkin, ia tega membangunkan kekasihnya itu.
Abu Bakar meringis, ketika ular itu menggigit pergelangan kakinya, tapi kakinya tetap saja tak bergerak sedikitpun. Dan ular itu pergi setelah beberapa lama. Dalam hening, sekujur tubuhnya terasa panas. Bisa ular segera menjalar cepat. Abu Bakar menangis diam-diam. Rasa sakit itu tak dapat ditahan lagi. Tanpa sengaja, air matanya menetes mengenai pipi Rasulullah yang tengah berbaring. Abu Bakar menghentikan tangisannya, kekhawatirannya terbukti, Rasulullah terjaga dan menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Wahai hamba Allah, apakah engkau menangis karena menyesal mengikuti perjalanan ini” suara Rasulullah memenuhi udara gua.
“Tentu saja tidak, saya ridha dan ikhlas mengikutimu kemana pun” Potong Abu Bakar masih dalam kesakitan.
“Lalu mengapakah, engkau meluruhkan air mata?” Tanya Rasulullah lagi kepada sahabatnya itu.
“Seekor ular, baru saja menggigit saya, wahai putra Abdullah, dan bisanya menjalar begitu cepat”
Rasulullah menatap Abu Bakar penuh keheranan, tak seberapa lama bibir manisnya bergerak “Mengapa engkau tidak menghindarinya?”
“Saya khawatir membangunkan engkau dari lelap” Jawab Abu Bakar sendu. Sebenarnya ia kini menyesal karena tidak dapat menahan air mata-nya hingga mengenai pipi Rasulullah dan membuatnya terjaga.
Saat itu, air mata bukan milik Abu Bakar saja. Selanjutnya mata Al-Musthafa berkabut dan bening air mata tergenang di pelupuknya. Betapa indah sebuah ukhuwah (ikatan persaudaraan).
“Sungguh bahagia, aku memiliki seorang sepertimu wahai putra Abu Quhafah. Sesungguhnya Allah SWT sebaik-baik pemberi balasan”. Tanpa menunggu waktu, dengan penuh kasih sayang, Al-Musthafa lalu meraih pergelangan kaki yang digigit ular. Dengan mengagungkan nama Allah Pencipta semesta, Nabi Muhammad SAW mengusap bekas gigitan itu dengan ludahnya. Maha Suci Allah, seketika rasa sakit itu tak lagi ada. Abu Bakar segera menarik kakinya karena malu. Nabi masih memandangnya sayang.
“Bagaimana mungkin, mereka para kafir tega menyakiti manusia indah sepertimu. Bagaimana mungkin?” Nyaring kata hati Abu Bakar kemudian.
Gua Tsur kembali ditelan senyap. Kini giliran Abu Bakar yang beristirahat dan Rasulullah berjaga. Dan, Abu Bakar menggeleng kuat-kuat ketika Rasulullah SAW menawarkan pangkuannya. Tak akan rela, dirinya membebani pangkuan penuh berkah itu.
Pada malam berikutnya, Abdullah datang ke gua bersama saudara perempuannya Asma membawakan makanan. Mereka melaporkan bahwa Quraisy menawarkan hadiah seratus ekor unta bagi siapa saja yang dapat menemukan Muhammad dan membawanya kembali ke Makkah.
Pada hari ketiga, para pencari melakukan pencarian di bukit Tsawr. Mereka memanjat ke arah gua. Rasulullah yang berada di dalam gua bersama Abu Bakar menoleh ke arah Abu Bakar, “Jangan bersedih, karena sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS. At-Taubah [9] ayat 40), namun saat para pencari berada di muka gua, mereka sepakat untuk tidak mencari ke dalam karena menurut mereka Rasulullah SAW tidak mungkin berada di dalamnya.
Ketika para pencari telah pergi, Rasulullah dan Abu Bakar pergi ke mulut gua. Di sana, di depannya, hampir menutupi jalan masuk, ada sebuah pohon akasia kira-kira setengah tinggi manusia yang pagi itu belum ada, dan di celah antara pohon dan dinding gua terdapat seekor laba-laba telah membuat sarangnya. Bahkan di tempat orang yang  kemungkinan melangkah ada seekor burung merpati telah bersarang dan sedang duduk seakan akan mengerami telur telurnya.
Ketika itu Asma dan Abdullah telah kembali ke gua, dengan tidak mengganggu hewan-hewan yang telah melindungi mereka dari para pencari tersebut, Rasulullah dan Abu Bakar lalu meninggalkan gua. Kala itu Rasulullah SAW menunggangi unta kesayangannya Qashwa untuk menuju Yastrib (Madinah).
Setibanya di Yastrib, mereka di sambut dengan penuh suka cita dan penghargaan yang luarbiasa dari warga disana. Sehingga dengan demikian, maka berakhirlah perjalanan hijrah mereka yang penuh tantangan itu. Dan sejak saat itu pula, maka Abdullah ibn Abi Quhafah atau Abu Bakar Ash-Shiddiq RA memulai kehidupannya yang baru dengan penuh kemuliaan.
*****
Rasulullah pernah bersabda; “Sekiranya saya boleh mengambil seseorang untuk dijadikan (khalil) teman dekat; maka aku akan memilih Abu Bakar, tapi Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah saudaraku dan sahabatku” (HR. Al-Bukhari)
Jadi, sungguh luarbiasa sahabat Rasulullah SAW yang satu ini. Sulit untuk dicari tandingannya dan rumit pula untuk merangkai kata indah yang bisa memujinya. Sehingga yang tertinggal adalah rasa kagum dan penghargaan yang tinggi baginya. Tentang betapa sejatinya sikap persahabatan dan persaudaraanya. Tentang betapa murni kecintaannya kepada kekasih Allah SWT itu, Rasulullah Muhamad SAW. Yang dapat meluluhkan hati yang keras dan membuat mata ini berderai airnya di atas pipi kanan dan kiriku. O.. andaikan daku bisa seperti beliau? Maka makin sempurnalah kehidupan ini.

Yaa Salam.....Cinta ALLAH..
@msa