Laman

Sabtu, 06 Juli 2013

Berguru Kepada MURSYID


1.       Dasar-Dasar Al Qur’an Dan Al Hadits
Sebagai manusia yang mendapat tugas mengabdi kepada Allah Swt harus melalui atau menapak jalan untuk mencapai suatu tujuan yaitu berjumpa dengan Allah dan mendapatkan ridla-Nya. Untuk mencapai Allah, hamba tidak berkemampuan, karena dimensi manusia sebagai hamba sangat terbatas. Karena itu, sesuai dengan keinginan Allah Swt, ia menciptakan makhluk perantara sekaligus pengantar manusia untuk mempermudah berhubungan dengan Allah Swt dan mengenalnya dengan baik. Firman Allah dalam hadits Qudsi menceritakan pesisa-Nya di kalangan hambanya sebagai berikut :
كُنْتُ خَزِيْنَةً خَافِيَةً فَاَرَدْتُ اَنْ اُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَتَعَرَّفْتُ اِلَيْهِمْ فَعَرَّفُوْنِ
Adalah Aku satu perbendaharaan yang tersembunyi, maka inginlah Aku supaya diketahui siapa Aku, maka Aku jadikanlah makhluk-Ku. Maka Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka (para petugas Allah).

Dalam al Qur’an terdapat banyak keterangan mengenai orang-orang yang mendapat petunjuk dari Allah, yaitu diberi rahmat dari Allah dan dikaruniai ilmu ladunni, seperti : nabi Hidir guru ruhani Nabi Musa, Lukman al Hakim, Asif bin Barkhiya, perdana menteri Nabi Sulaiman, pemuda-pemuda penghuni gua atau Ashabul Kahfi dan lain-lain. Pemuda-pemuda Ashabul Kahfi merupakan contoh pemuda yang telah beriman kepada Tuhannya dan petunjuknya senantiasa bertambah, imannya semakin kuat, kokoh, tidak dapat ditumbangkan oleh siapa pun, termasuk oleh raja yang berkuasa waktu itu. Ashabul Kahfi adalah sosok pemuda-pemuda yang keramat penuh fenomena, mereka adalah bagian ayat-ayat Tuhan :

Demikian itulah termasuk ayat-ayat Allah, siapa yang Allah menyukainya, maka ia mendapat petunjuk, siapa yang Allah sesatkan, maka engkau (Muhammad) tidak mendapatkan untuknya seseorang yang wali yang memintarkan (mendidik)-Nya, tentang urusan dunia, dan urusan keakhiratan. (QS. al Kahfi : 17)

Lalu masalahnya, siapakah mursyid yang wali ini dan di mana tempatnya, apa ciri-ciri atau tanda-tandanya?, pertanyaan-pertanyaan inilah yang sulit dicari jawaban-jawabannya, kecuali dari orang yang telah dikehendaki Allah mendapat petunjuk. Ciri-cirinya antara lain yang disabdakan Rasulullah, dalam Hadits Qudsi : Allah Ta’ala berfirman, yang artinya ::
Barang siapa memusuhi seorang Wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang kepadanya. Dan apabila Hamba-Ku menghampirkan diri kepada-Ku dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai dari hanya sekedar mengamalkan apa-apa yang telah kuwajibkan atasnya, kemudian ia terus menerus mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan amalan-amalan yang nawafil (yang baik-baik), hingga Aku mencintainya. Maka apabila ia telah Kucintai, adalah Aku pendengarnya bila ia mendengar, dan Akulah penglihatannya bila melihat, dan Akulah tangannya bila ia mengambil (melakukan sesuatu), dan Akulah kakinya bila ia berjalan. Demi jika ia memohon kepada-Ku, niscaya Aku perkenankan permohonannya, dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku pastilah Aku lindungi dia. (HR. Bukhori dari Abu Hurairah ra.)

Saidi Syekh Der Moga Barita Raja Muhammad Syukur Al- Khalidi berfatwa : “Mursyid itu bila dicari (melalui pertanyaan-pertanyaan) maka takkan ketemu. Tetapi apabila amal perbuatannya diikuti, maka pasti ia dijumpai.” Dalam hal ini seorang wali yang mursyid itu dapat diketahui dengan meriset amalan-amalannya secara tekun dan gigih (mujahadah), baik amalan lahiriyah maupun batiniah dalam tempo yang relatif lama dan benar, maka pasti Allah akan menunjukkan ke jalan-Nya yang lurus. Tetapi apabila tidak diriset, maka seseorang tidak dapat menyimpulkan bahwa seseorang itu adalah wali yang mursyid. Demikian juga apabila seseorang merisetnya dengan cara yang tidak benar, maka ia tidak akan menemukan kesimpulan apapun.

2.       Pengertian Mursyid
Secara luas, kata mursyid berasal dari ‘irsyad’yang artinya petunjuk. Sedangkan pelakunya adalah mursyid yang artinya orang yang ahli dalam memberi petunjuk dalam bidang agama. Menurut pengertian ini, yang disebut mursyid adalah orang-orang yang ditugasi oleh Allah Swt untuk menuntun, membimbing dan menunjukkan manusia ke jalan yang lurus atau benar dan menghindarkan manusia dari jalan yang sesat. Tentu saja mereka sebelum ditugasi oleh Allah telah mendapat pengajaran terlebih dahulu dan mendapatkan bekal yang diperlukan untuk melaksanakan tugas pembimbingan.
Menurut Rasulullah Saw, bahwa jajaran petugas-petugas Allah Swt memimpin dan membimbing umat adalah para Nabi, para Rasul, dan para Khalifah Allah (Khulafaur Rasyidin al Mahdiyyin) yakni Khalifah Allah dan Khalifah Rasulullah yang memberi petunjuk dan mendapat petunjuk dari Allah Swt, Nabi bersabda :
Dari Abu Hurairah ra. menyatakan: Rasulullah Saw bersabda:
 “Dahulu kaum Bani Isra’il dipimpin oleh para Nabi. Setiap seorang nabi meninggal dunia, maka diganti seorang nabi lainnya. Maka sesungguhnya tidak ada nabi yang menggantikan setelah aku meninggal dunia, Namun yang menggantikanku adalah khalifah-khalifah. Maka mereka banyak mempunyai pengikut-pengikut ”, Sahabat bertanya, “Wahai Rasul apa yang engkau perintahkan pada kami?” Rasul menjawab, “Laksanakan baiat seperti baiat pertama kali di hadapan mereka dan tunaikan hak-hak mereka, Kalian mintalah kepada Allah yang menjadi bagian kalian, karena Allah Ta’ala menanyakan tentang apa yang mereka pimpin.” (HR. Bukhari Muslim).
Sebagian Ulama mengatakan bahwa jumlah para rasul adalah sama dengan bilangan sahabat yang ikut dalam perang badar 313 orang, namun yang wajib diketahui kemudian yang tercantum dalam al Qur’an adalah 25 orang yaitu : Adam, Idris, Nuh, Hud, Saleh, Ibrahim, Luth, Ismail, Ishak, Ya’kub, Yusuf, Ayub, Syuaib, Harun, Musa, Yasa’, Dzulkifli, Daud, Sulaiman, Ilyas, Yunus, Zakaria, Yahya, Isa, Muhammad Saw.
Petugas-petugas Allah dalam membimbing umat setelah Rasulullah adalah para khalifah atau yang disebut dengan Khulafaur Rasyidin al Muhdiyyin, yang jumlahnya juga tidak diketahui dengan pasti. Karena mereka adalah pemimpin-pemimpin umat yang dimulai dari Abu Bakar sampai turunnya Nabi Isa yang menandai dunia telah berakhir.
Bekal dan amanah yang dititipkan pada mereka untuk umat para rasul, para nabi dan para khalifah Allah adalah kalimat Tauhid yaitu Lailaha illa Allah yang artinya tiada tuhan selain Allah, firman Allah:
Dan tidak kami utus sebelum kamu seorang rasul melainkan kami wahyukan kepadanya : “Bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan (yang sebenarnya) melainkan Aku : oleh yang demikian, berbaktilah kepada-Ku” (QS. al Anbiya’:25)
Inilah kiranya ketika para sahabat bertanya mengenai akhlak dan budi pekerti Rasulullah : Wahai Siti Aisyah tolong gambarkan, apa budi pekerti Rasulullah? maka Siti Aisyah menjawab ”Budi pekerti Rasulullah adalah al Qur’an.” (kaana khuluquhuu al Qur’aanu) Memang Rasulullah Saw pernah bersabda:
تَخَلَّقُوْا بِاَخْلاَقِ اللهِ تَعَالَى
Berbudilah kamu sekalian dengan budi pekertinya Allah Ta’ala.

Dengan demikian, secara lahiriah bahwa para rasul dan para khalifah itu yakin secara jasmani mereka adalah manusia biasa, yakni mereka makan, minum, kawin, tidur, dagang, sakit yang merupakan sifat kebolehan bagi mereka, akan tetapi batin mereka (ruhani mereka) adalah kelompok ruh-ruh yang disucikan oleh Allah, bapak Prof. DR. Kadirun Yahya MA menamakan dengan ‘nurun ala nurin,’ Syaikh Abdul Qadir Jailani menamakannya dengan hakikat Muhammad (Nur Muhammad) yang pada intinya adalah Allah Swt sendiri.
Itulah sebabnya ketika nur Muhammad bersemayam dan dititipkan kepada nabi Adam, maka Allah Ta’ala memerintahkan semua makhluknya untuk bersujud kepadanya, maka spontan saja para makhluk yang terbuka hijabnya serta merta menaati perintah itu. Sedangkan makhluk yang tertutup hijabnya, mendewakan akal dan takabur menolak terhadap perintah itu. Dengan pongahnya mereka mengatakan, “Kami hanya akan menyembah kepada Allah semata, kami tidak mau menyekutukannya dengan menyembah manusia seperti Adam, kami tak percaya bahwa Tuhan berkehendak tajalli (mendlahir) pada hambanya yang dikasihinya semacam Adam.
Pengertian Mursyid secara terbatas pada kalangan sufi dan ahli thareqat adalah orang yang pernah membaiat dan menalqin atau mengajari kepada murid tentang teknik-teknik bermunajat kepada Allah berupa teknik dzikir atau beramalan-amalan saleh.
Mursyid adalah guru yang membimbing kepada murid untuk berjalan menuju Allah Swt dengan menapaki jalannya. Dengan bimbingan guru itu, murid meningkat derajatnya di sisi Allah, mencapai Rijalallah, dengan berbekal ilmu syariat dan ilmu hakikat yang diperkuat oleh al Qur’an dan as sunah serta mengikuti jejak ulama pewaris nabi dan ulama yang telah terdidik oleh mursyid sebelumnya dan mendapat izin dari guru di atasnya untuk mengajar umat. Guru yang dimaksud adalah guru yang hidup sezaman dengan murid dan mempunyai tali keguruan sampai nabi Muhammad Saw. Guru yang demikian itu adalah yang sudah Arif Billah, tali penyambung murid kepada Allah, dan merupakan pintu bagi murid masuk kepada istana Allah.
Dengan demikian guru merupakan faktor yang penting bagi murid untuk mengantarkannya menuju diterimanya taubat dan dibebaskannya dari kelalaian. Dalam perjalanan menuju Allah Swt, murid wajib baginya menggunakan mursyid atau pembimbing. Syekh Abu Yazid al Busthomi berkata :
مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ يُرْشِدُهُ فَمُرْشِدُهُ شَيْطَانٌ
Orang yang tidak mempunyai syeikh mursyid, maka syekh mursyidnya adalah syetan.

Muhammad Amin al Kurdi dalam kitanya yang bejudul Tanwirul Qulub fi mu’amalati ‘alamil ghulub menjelaskan bahwa pada saat murid ingin meniti jalan menuju Allah (thareqatullah), ia harus bangkit dari kelalaian. Perjalanan itu harus didahului dengan taubat dan segala dosa kemudian ia melakukan amal saleh. Setelah itu ia harus mencari seorang guru mursyid yang ahli keruhanian yang mengetahui penyakit-penyakit kejiwaan dari murid-muridnya. Guru tersebut hidup semasa dengannya. Yaitu seorang guru yang terus meningkatkan diri ke berbagai kedudukan kesempurnaan, baik secara syariat maupun hakikat. Perilakunya juga sejalan dengan al Qur’an dan al Sunnah serta mengikuti jejak langkah para ulama pendahulunya. Secara berantai hingga kepada Nabi Saw. Gurunya itu juga telah mendapat lisensi atau izin dari kakek gurunya untuk menjadi seorang mursyid dan pembimbing keruhanian kepada Allah Swt, sehingga murid berhasil diantarkan kepada maqam-maqam dalam tasawuf dan thareqat. Penentuan guru ini juga tidak boleh atas dasar kebodohan dan mengikuti nafsu. (Amin al Kurdi, Tanwirul Qulub, hlm.524)
 Sebelum ia menjadi mursyid yang arif billahi, seseorang harus mendapat tarbiah atau pendidikan dari guru yang selalu mengawasi perkembangan ruhani murid, sehingga murid mencapai maqam ‘shiddiq’. Kemudian diizinkan oleh guru untuk membaiat kepada calon murid dengan mengajari mereka.
Tampilnya menjadi mursyid itu bukan kehendak dirinya tapi kehendak gurunya, dengan demikian orang yang memunculkan dirinya sebagai mursyid tanpa seizin guru maka ia sangat membahayakan kepada calon muridnya. Murid yang di bawah bimbingannya itu akan mengalami keterputusan. Berarti mursyid yang palsu ini menjadi penghalang muridnya menuju Allah dan dosa-dosa mereka akan ditanggung oleh mursyid jadi-jadian itu. (Amin al Kurdi: tt, hlm. 525)
Seluruh pembelajaran dan pengajaran serta bimbingan mesti bersesuaian dengan isi, terutama bagian dalam al Qur’an dan al Sunnah serta sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh nabi dan ulama pewarisnya. Orang yang menyandang demikian itulah yang layak dicontoh / diteladani oleh murid-muridnya, syaikh Imam Junaid al Baghdadi mengatakan :
عَلِمْنَا هَذَا مُقَيَّدٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَمَنْ لَمْ يَقْرَإِ اْلكِتَابَ وَلَمْ يَكْتُبِ الْحَدِيْثَ وَلَمْ يَجْلِسِ اْلعُلَمَاءَ لاَ يُقْتَدَى فِى هَذَا الشَّأْنِ
Ilmu kami diperkuat dengan dalil-dalil al Qur’an dan al Hadits, maka siapa yang tidak membaca al Qur’an dan tidak menulis hadits, serta tidak duduk sering-sering dengan ulama, maka ia tidak layak menjadi panutan di dalam perkara-perkara (thareqat) ini.

Dengan keterangan di atas, mursyid semestinya adalah orang yang tergolong ulama, pemimpin umat yang bersifat kamil lagi mukammil yakni pribadinya bersih dan suci serta berakhlak yang terpuji, dan mampu menyempurnakan akhlak murid-muridnya. Mursyid adalah kuat keyakinannya dan menjadi kekasih Tuhan, membawa berkah untuk umatnya serta rahmat bagi kaumnya. Ia mengetahui berbagai penyakit ruhani dan jasmani muridnya, mampu menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut atau mampu mengajarkan teknik-teknik penyembuhan dan pengobatan jasmani dan ruhani. Mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang rumit yang membelenggu umat dengan kekeramatan dan maunah yang diberikan oleh Allah kepadanya.
Idealnya seorang guru mursyid atau syaikh dalam thareqat memenuhi kemampuan-kemampuan dan harapan di mata muridnya sebagai berikut :
a.       Syaikh al Iradah, yaitu tingkat tertinggi dalam thareqat yang iradahnya (kehendaknya) telah bercampur dan bergabung dengan hukum tuhan, sehingga dari syaikh itu atau atas pengaruhnya orang yang meminta petunjuk menyerahkan jiwa dan raganya secara total.
b.       Syaikh al Iqtida’, yaitu guru yang tindak tanduknya sebaiknya ditiru oleh murid, demikian pula perkataan dan perbuatannya seyogyanya diikuti
c.        Syaikh at Tabarruk, yaitu guru yang selalu dikunjungi oleh orang-orang yang meminta petunjuk, sehingga berkahnya melimpah kepada mereka.
d.       Syaikh al Intisab, ialah guru yang atas campur tangan dan sifat kebapakannya, maka orang yang meminta petunjuknya akan beruntung, lantaran bergantung kepadanya. Dalam hubungan ini orang itu akan menjadi khadamnya (pembantunya) yang setia, serta rela menerima berbagai perintahnya yang berkaitan dengan tugas-tugas keduniaan.
e.        Syaikh at Talqin, adalah guru keruhanian yang mengajar setiap individu anggota thareqat dengan berbagai do’a atau wirid yang selalu harus diulang-ulang.
f.        Syaikh at Tarbiyah, adalah guru yang melaksanakan urusan-urusan para pemula dari pengamal thareqat.
Dalam setiap beramal dan beribadah atau dalam keadaan lainnya, murid wajib menjaga kehadiran wajah mursyidnya, dan wajah itu senantiasa dikenang di antara kedua matanya. Adalah sangat penting menghadirkan wajah Guru Mursyid, bahkan ia termasuk adab yang paling utama dalam beramal dan berzikir kepada Allah. Banyak manfaat yang di dapat dari mengenang dan menghadirkan wajah mursyid dalam segala aktivitas berdasar al Quran dan al Hadist di antara lain :
Hamba mendapat petunjuk dalam segala aktivitasnya dan terhindar dari segala kesesatan seperti dalam firman Allah Swt sebagai berikut
Siapa yang ditunjukkan Allah maka ia mendapat petunjuk, siapa yang disesatkan-Nya maka engkau (Muhammad) tidak menjumpai seorang wali yang mencerdikkannya. (QS. al Kahfi : 17)

a.       Mursyid dapat mengantarkan murid bersambung kepada Allah Swt
كُنْ مَعَ اللهِ فَاِنْ لَمْ تَكُنْ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَاِنَّهُ يُوْصِلُكَ اِلىَ اللهِ
Jadilah kamu bersama Allah, apabila tidak bersama Allah maka jadilah kalian bersama orang yang sudah bersama Allah, maka sesungguhnya orang itu bisa membawamu kepada Allah. (HR. Abu Daud)

b.       Mengingat Mursyid mampu mengantarkan hamba berzikir kepada Allah. Rasulullah bersabda :
اَفْضَلُكُمُ الَّذِيْنَ اِذَا رُئُوْا ذُكِرَالله ُتَعَالَى لِرُؤْيَتِهِمْ
Sebaik-baik kalian adalah orang yang ketika di ingat, maka Allah di ingat. (HR. Hakim dari Anas ra)

c.        Mengingat Mursyid dan bersama dengannya secara dlahir batin dapat mengantarkan murid berbuat taat kepada Allah Swt. Firman Allah dalam hadits qudsi:
اِنَّ اَوْلِيَائِ مِنْ عِبَادِى وَاَحِبَّائِ مِنْ خَلْقِى اَلَّذِيْنَ يُذْكَرُوْنَ بِذِكْرِى وَاُذْكَرُ فِى ذِكْرِهِمْ
Sesungguhnya wali-wali-Ku dari kalangan hamba-hamba-Ku dan kekasih-kekasih-Ku dari kalangan makhluk-Ku yaitu orang-orang yang diingat apabila mengingat Aku dan Aku pun sekaligus ada di sana (diingat) apabila mengingat mereka.

3.       Kriteria Guru Mursyid
Adapun fungsi guru yang kita kenal adalah transfer of knowledge, dia mengajarkan masalah-masalah ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Sedangkan pelajaran yang diberikan mursyid kepada muridnya merupakan transfer of spiritual yaitu Iman dan Takwa (Imtak). Walaupun fungsi mursyid itu sama dengan fungsi guru yaitu memimpin, membimbing dan membina murid-muridnya, tetapi bidangnya adalah ruhani yang sangat halus yang berpusat pada lubuk hati sanubari. Jadi sifatnya tidak kelihatan, gaib atau metafisik.
Berdasarkan pengertian tentang mursyid, syarat dan dalil-dalilnya, maka tidak semua orang bisa menjadi mursyid. Seorang mursyid memiliki tanggung jawab yang berat. Oleh karenanya seorang mursyid menurut Muhammad Amin al Kurdi harus memiliki kriteria-kriteria dan adab-adab sebagai berikut:
a.       Alim, dan ahli di dalam memberikan irsyadat (tuntunan-tuntunan) kepada para muridnya dalam masalah fiqih dan syariat serta masalah tauhid ‘aqidah’ dengan pengetahuan yang dapat menyingkirkan segala prasangka dan keraguan dari hati para muridnya mengenai persoalan tersebut.
b.     Arif, dengan segala sifat kesempurnaan hati, segala etika, segala kegelisahan jiwa dan penyakitnya juga mengetahui cara menyembuhkannya kembali serta memperbaiki seperti semula.
c.     Bersifat belas kasih terhadap semua orang Islam, terutama mereka yang menjadi muridnya. Apabila melihat ada di antara mereka yang tidak dapat dengan segera meninggalkan kekurangan-kekurangan jiwanya, sehingga belum bisa menghindarkan diri dari kebiasaan-kebiasaannya yang kurang baik, maka dia bersikap sabar, memperbanyak maaf tidak bosan-bosan mengulang-ulang nasihatnya serta tidak tergesa-gesa memutuskan hubungan murid yang seperti itu dari silsilah  thareqatnya. Tetapi hendaknya dia tetap dengan penuh lemah lembut selalu bersedia memberikan bimbingan-bimbingannya kepada para murid asuhannya.
d.     Pandai menyimpan rahasia para muridnya, tidak membuka aib mereka terlebih di depan banyak orang. Tetapi sebaiknya tetap mengawasinya dengan pandangan mata kesufiannya yang tajam serta memperbaikinya dengan caranya yang bijaksana.
e.     Tidak menyalahgunakan amanah para muridnya, tidak menggunakan harta benda mereka dalam bentuk dan kesempatan apapun dan juga tidak menginginkan apa yang ada pada mereka.
f.      Tidak sekali-kali menyuruh para muridnya dengan suatu perbuatan kecuali jika yang demikian itu layak dan pantas dilakukan oleh dirinya sendiri. Demikian pula dalam hal melakukan ibadah yang sunnat atau menjauhi perbuatan yang makruh. Pendeknya dalam segala macam keadaan dan perasaan, dirinyalah yang harus menjadi contoh lebih dahulu, baru kemudian disampaikan suatu perintah atau larangan kepada para muridnya. Jika tidak demikian kesanggupannya, maka lebih baik hendaknya dia berdiam saja.
g.     Tidak terlalu banyak bergaul, apalagi bercengkerama dan bersenda gurau dengan para muridnya. Dia hanya bergaul dengan mereka sekali dalam sehari semalam dalam kesempatan dzikir dan wirid, sekaligus menyampaikan bimbingan-bimbingannya berkaitan dengan masalah syariat dan  thareqat dengan merujuk kepada kitab-kitab yang menjadi pegangan alirannya. Sehingga dengan demikian dia dapat menghindarkan segala keraguan dan dapat membimbing para muridnya dalam beribadah kepada Allah Swt dengan amalan-amalan yang sah.
h.     Mengusahakan agar segala perkataannya bersih dari pengaruh nafsu dan keinginan, terutama kata-kata yang pendapatnya itu akan memberi dampak pada batiniyah para muridnya.
i.       Bijaksana, lapang dada dan ikhlas. Tidak memerintahkan kepada para muridnya sesuatu yang menurutnya mereka tidak sanggup untuk itu, dan senantiasa bermurah hati di dalam memberikan pengajaran kepada mereka.
j.      Apabila dia melihat seorang murid, yang karena selalu bersama-sama dan berhubungan dengannya lalu menampakkan ketinggian hatinya, maka hendaknya segera dia perintahkan si murid tersebut pergi ber-khalwat (menyendiri) ke suatu tempat yang tidak terlalu jauh dan juga tidak terlalu dekat dengan dirinya.
k.     Apabila dia melihat kehormatan dirinya dirasa berkurang pada perasaan dan hati para muridnya, hendaknya dia segera mengambil inisiatif yang bijaksana untuk mencegah hal tersebut. Karena berkurangnya rasa percaya dan sikap hormat seorang murid kepada guru mursyidnya adalah merupakan suatu keburukan yang membahayakan bagi pribadi si murid.
l.       Memberikan petunjuk-petunjuk tertentu dan pada kesempatan-kesempatan tertentu kepada muridnya untuk memperbaiki ahwal (perilaku dan keadaan) mereka.
m.   Memberikan perhatian yang khusus pada kebanggaan ruhani yang sewaktu-waktu dapat timbul pada diri para muridnya yang masih dalam bimbingan dan pengajaran. Kadang ada seorang murid yang menceritakan suatu ru’yah (mimpi) yang dilihatnya, mukasyafah (tersingkapnya hal-hal gaib) yang terbuka baginya dan musyahadah (penyaksian hal-hal gaib) yang di dalamnya, di dalam semua itu terdapat hal-hal yang istimewa, maka hendaklah dia berdiam diri dan tidak banyak menanggapi hal tersebut. Sebaiknya, dia berikan kepada murid tersebut tambahan amalan yang dapat menolak sesuatu yang tidak benar. Sebab jika dia menanggapinya, dikhawatirkan justru akan terjadi sesuatu yang dapat merusakkan jiwa dan hati si murid. Karena memang seorang murid  thareqat bisa sewaktu-waktu mengalami peningkatan ruhani, tetapi sering terjadi hal-hal yang tidak benar menurunkan martabatnya kembali.
n.     Melarang para muridnya banyak berbicara dengan kawan-kawannya kecuali dalam hal-hal yang bermanfaat, terutama melarang mereka membicarakan tentang karamah-karamah atau wirid-wirid yang istimewa. Karena jika dia membiarkan hal tersebut, lambat laun si murid bisa menjadi rusak karenanya, sebab ia akan bermartabat takabur dan berbesar diri terhadap yang lainnya.
o.     Menyediakan tempat ber-khalwat (i’tikaf / suluk) yang khusus bagi para muridnya secara perorangan, yang tidak setiap orang boleh masuk kecuali untuk pertemuan khusus. Begitu pun dirinya, juga menyiapkan tempat khalwat khusus untuk dirinya dan sahabat-sahabatnya.
p.     Menjaga agar para muridnya tidak melihat segala gerak-geriknya, tidak melihat cara tidurnya, cara makan minumnya dan lain-lain sebagainya. Karena yang demikian itu, sewaktu-waktu bisa saja akan justru mengurangi penghormatan si murid kepadanya.
q.     Mencegah para murid memperbanyak makan, karena banyak makan itu bisa memperlambat tercapainya latihan-latihan ruhani yang dia berikan kepada mereka. Dan kebanyakan manusia itu adalah budak bagi kepentingan perutnya.
r.      Melarang para muridnya berhubungan aktif dengan mursyid  thareqat lain, karena yang demikian itu acap kali memberikan akibat yang kurang baik bagi mereka. Tetapi apabila dia melihat bahwa hal itu tidak akan mengurangi kecintaan para muridnya kepada dirinya dan tidak akan mengguncangkan pendirian mereka, maka yang demikian itu tidak apa-apa.
s.      Melarang para muridnya terlalu sering berhubungan dengan penguasa dan pejabat tanpa adanya keperluan tertentu, karena hal itu akan dapat membangkitkan dan membesarkan nafsu duniawi mereka serta membuat lupa bahwa mereka tengah dididik berjalan menggapai kebahagiaan akhirat yang hakiki.
t.      Menggunakan kata-kata yang lemah lembut serta menawan hati dan pikiran dalam khutbah-khutbahnya. Jangan sekali-sekali khutbahnya berisi kecaman dan ancaman, karena hal itu akan dapat membuat jiwa para muridnya jauh darinya.
u.     Apabila dia berada di tengah-tengah para muridnya, hendaklah dia duduk dengan tenang dan sabar, tidak banyak menoleh kanan, kiri, tidak mengantuk apalagi tidur, tidak menjulurkan kaki di tengah-tengah pertemuan, tidak memejamkan mata, tidak merendahkan suaranya ketika berbicara dan tidak melakukan hal-hal kurang etis lainnya. Karena semua yang dilakukannya itu akan diikuti oleh para muridnya yang menganggapnya sebagai contoh-contoh yang mesti mereka tiru.
v.     Tidak memalingkan muka ketika ada seorang atau beberapa orang muridnya menemuinya. Ketika akan menoleh ke arah lain, dipanggilnya muridnya itu meskipun tidak ada sesuatu yang akan dipertanyakan. Dan bila mendatangi para muridnya, dia tetap menjaga etika dan sopan santun yang sebaik-baiknya.
w.    Suka menanyakan muridnya yang tidak hadir pada pengajarannya dan mencari tahu sebabnya. Apabila murid itu ternyata sakit, dia segera berusaha menengoknya. Dan kalau ternyata sedang ada uzur, maka dia kirimkan salam kepadanya.
x.     Jika salah seorang muridnya menemuinya, maka ia jangan sampai memasamkan mukanya. Jika ia hendak keluar, hendaknya ia tetap mendo’akan para murid-muridnya walau tanpa diminta. Jika ia hendak menemui salah seorang muridnya, hendaknya ia dalam keadaan yang paling sempurna dan penampilan yang paling baik. (Amin al Kurdi, Tanwirul Qulub, hlm.528 – 531).

Prof. DR. H.S.S. Kadirun Yahya dalam bukunya, Ibarat Sekuntum Bunga Dari Taman Firdaus hlm.18 berkata, “Syarat-syarat bagi seorang mursyid amatlah berat, dan kalau saya ditanya, apakah saya telah memenuhi syarat untuk mursyid? Maka jawabnya adalah amat berat untuk mengatakan “ya,” atau kalau mau jawaban yang murah saja, “tidak tahu” Karena sebenarnya bukan saya sendiri yang harus menilai kualitas saya – begitulah beratnya kriteria mursyid – namun saya melaksanakan tugas dengan sepenuh tenaga, sepenuh jiwa dengan hati yang sebulat-bulatnya. Siap melaksanakan suruh dari pada guru saya yang juga merupakan suruh dari Allah dan Rasul, yaitu menegakkan dzikrullah dalam diri pribadi saya dan dalam pribadi umat. Jadi beliau-beliau yang diataslah yang menilai akan kualitas diri saya.”
Selanjutnya menurut beliau, kriteria guru mursyid dapat dilukiskan atau digambarkan secara riil ke dalam tujuh butir antara lain sebagai berikut :
a.       Pilih guru kamu yang mursyid, (dicerdikkan oleh Allah), bukan oleh yang lain-lain dengaan mendapat izin Allah dan ridla-Nya.
b.       Ia adalah kamil lagi mukamil (sempurna lagi menyempurnakan) karena karunia Allah.
c.        Yang memberi bekas pengajarannya, (kalau ia mengajar atau berdo’a, maka berbekas pada murid, si murid berubah ke arah kebaikan).
d.       Masyhur ke sana ke mari. Kawan dan lawan mengatakan “Ia seorang guru besar.”
e.        Tidak dapat dicela oleh orang yang berakal akan pengajarannya, yakni tidak dicela oleh al Qur’an dan al Hadits serta ilmu pengetahuan.
f.        Yang tidak kuat mengerjakan yang harus, umpamanya membuat hal-hal yang tidak murni halalnya.g.
g.         Tidak setengah kasih kepada dunia, karena bulat hatinya. Ia kasih akan Allah, ia bergelora dalam dunia, bekerja keras untuk mengabdi kepada Allah Swt bukan untuk mencintai dunia.

4.       Pandangan Ulama Tentang Pentingnya Bermursyid.
Abdul Qadir Isa dalam bukunya Hakaikut Tasawuf hlm. 36 menyebutkan, ulama-ulama tasawuf yang memandang pentingnya berguru di hadapan mursyid yang wali antara lain :
a.       Abu Hamid al Ghazali
Abu Hamid al Ghazali berkata, “Bergabung dengan kalangan sufi adalah fardhu ‘ain. Sebab tidak seorang pun terbebas dari aib atau kesalahan kecuali para nabi.” Selanjutnya ia menuturkan pengalamannya, sebab-sebab ia berguru:
“Pada awalnya aku adalah orang mengingkari kondisi spiritual orang-orang saleh dan derajat-derajat yang dicapai oleh para ahli makrifat. Hal itu terus berlanjut sampai akhirnya aku bergaul dengan mursyid-ku, Yusuf an Nasaj. Dia terus mendorongku untuk melakukan mujahadah, hingga akhirnya aku memperoleh karunia-karunia ilahiyah. Aku dapat melihat Allah di dalam mimpi. Dia berkata kepadaku, “Wahai Abu Hamid, tinggalkanlah segala kesibukanmu. Bergaullah dengan orang-orang yang telah Aku jadikan sebagai tempat pandangan-Ku di bumi-Ku. Mereka adalah orang-orang yang menggadaikan dunia dan akhirat karena mencintai Aku.” Aku berkata, “Demi kemuliaan-Mu, aku tidak akan melakukannya kecuali jika Engkau membuatku dapat merasakan sejuknya berbaik sangka terhadap mereka.” Allah berfirman, “Sungguh Aku telah melakukannya. Yang memutuskan hubungan antara engkau dan mereka adalah kesibukanmu mencintai dunia. Maka keluarlah dari kesibukanmu mencintai dunia dengan suka rela sebelum engkau keluar dari dunia dengan penuh kehinaan. Aku telah melimpahkan kepadamu cahaya-cahaya dari sisi-Ku Yang Maha Suci.” Aku bangun dengan penuh gembira. Lalu aku mendatangi Syaikh-ku, Yusuf an Nasaj, dan menceritakan tentang mimpiku itu. Dia tersenyum sambil berkata, “Wahai Abu Hamid, itu hanyalah lembaran-lembaran yang pernah kami peroleh di fase awal perjalanan kami. Jika engkau tetap bergaul denganku, maka mata hatiku akan semakin tajam.”
Abu Hamid al Ghazali juga berkata, “Di antara hal yang wajib bagi para salik yang menempuh jalan kebenaran adalah bahwa dia harus mempunyai seorang mursyid dan pendidik spiritual yang dapat memberinya petunjuk dalam perjalanannya, serta melenyapkan akhlak-akhlak yang tercela dan menggantinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji. Yang dimaksud dengan pendidikan di sini, hendaknya seorang pendidik spiritual menjadi seperti petani yang merawat tanamannya. Setiap kali dia melihat batu atau tumbuhan yang membahayakan tanamannya, maka dia langsung mencabut dan membuangnya. Dia juga selalu menyirami tanamannya agar dapat tumbuh dengan baik dan terawat, sehingga menjadi lebih baik dari tanaman lainnya. Apabila engkau telah mengetahui bahwa tanaman membutuhkan perawat, maka engkau akan mengetahui bahwa seorang salik harus mempunyai seorang mursyid. Sebab Allah mengutus para Rasul kepada umat manusia untuk membimbing mereka ke jalan yang lurus. Dan sebelum Rasulullah Saw wafat, Beliau telah menetapkan para khalifah sebagai wakil Beliau untuk menunjukkan manusia ke jalan Allah. Begitulah seterusnya, sampai hari kiamat. Oleh karena itu, seorang salik mutlak membutuhkan seorang mursyid.”
Di antara yang pernah dikatakan oleh al Ghazali adalah, “Murid membutuhkan seorang mursyid atau guru yang dapat diikutinya, agar dia menunjukkannya ke jalan yang lurus. Jalan agama sangatlah samar dan jalan-jalan Syetan sangat banyak dan jelas. Oleh karena itu, jika seseorang yang tidak mempunyai Syaikh yang membimbingnya, maka pasti Syetan akan menggiringnya menuju jalannya. Barang siapa berjalan di jalan yang berbahaya tanpa petunjuk, maka dia telah menjerumuskan dan membinasakan dirinya. Masa depannya ibarat pohon yang tumbuh sendiri. Pohon itu akan menjadi kering dalam waktu singkat. Apabila dia dapat bertahan hidup dan berdaun, dia tidak akan berubah. Yang menjadi pegangan seorang murid adalah Syaikhnya. Maka hendaklah dia berpegang teguh kepadanya.”
Di samping itu, Abu Hamid al Ghazali juga pernah menyatakan, “Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya, maka Dia akan memperlihatkan kepadanya penyakit-penyakit yang ada di dalam jiwanya. Barang siapa mata hatinya terbuka, niscaya dia akan dapat melihat segala penyakit. Apabila dia mengetahui penyakit itu dengan baik, maka dia dapat mengobatinya. Namun mayoritas manusia tidak dapat mengetahui penyakit-penyakit jiwa mereka sendiri. Seorang di antara mereka dapat melihat kotoran di mata saudaranya. Tapi dia tidak dapat melihat kotoran di matanya sendiri. Barang siapa ingin mengetahui penyakit-penyakit dirinya, maka dia harus menempuh empat cara. Pertama, dia harus duduk di hadapan seorang mursyid yang dapat mengetahui penyakit-penyakit jiwa dan menyingkap aib-aib yang tersembunyi. Dia harus mengendalikan hawa nafsunya dan mengikuti petunjuk mursyidnya itu dalam melakukan mujahadah. Inilah sikap seorang murid terhadap mursyidnya atau sikap seorang pelajar terhadap gurunya. Dengan demikian, mursyid atau gurunya akan dapat mengenalkannya tentang penyakit-penyakit yang ada dalam jiwanya dan cara mengobatinya.”

b.       Abdul Qadir al Jazairi
Dalam al Muwaqif, Abdul Qadir al Jazairi mengatakan bahwa Allah mengisahkan ucapan Musa as. kepada Khidir as, “Bolehkah aku mengikutimu, supaya engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. al Kahfi : 66)
Ketahuilah bahwa seorang murid tidak akan dapat mengambil manfaat dari ilmu dan kondisi spiritual Syaikhnya, kecuali jika dia tunduk secara sempurna kepadanya, melakukan apa saja yang diperintahkannya dan menjauhi apa-apa yang dilarangnya. Di samping itu, dia juga harus meyakini kemuliaan dan kesempurnaan yang dimiliki oleh Syaikhnya. Dia membutuhkan kedua hal itu. Sebagian orang meyakini kesempurnaan Syaikhnya, lalu menyangka bahwa itu sudah cukup untuk meraih apa yang dituju dan dicarinya, sehingga dia tidak melakukan apa yang diperintahkan oleh Syaikhnya dan tidak menjauhi apa yang dilarangnya.
Lihatlah Musa as. yang dengan kedudukannya yang mulia masih memohon untuk bertemu dengan Khidir as. dan menanyakan kepada beliau tentang jalan untuk bertemu dengan Tuhannya. Musa telah menanggung kesusahan dan keletihan dalam perjalanan, sebagaimana terekam dalam firman Allah, “Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini” (QS. al Kahfi : 62) Namun demikian, ketika Musa tidak mematuhi satu larangan saja, “Janganlah engkau bertanya kepadaku tentang apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu” (QS. al Kahfi : 70) Musa tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari ilmu-ilmu Khidir. Padahal Musa merasa yakin bahwa Khidir lebih mengetahui tentang Allah dari padanya. Hal ini terekam dalam firman Allah saat Musa berkata, “Aku tidak mengetahui ada seseorang yang lebih berilmu dariku.” Allah berfirman, “Ada, yakni hambaku, Khidir.” Di sini Musa tidak mengkhususkan sebagian ilmu atas sebagian yang lain, tapi menyebutnya secara umum.
Pada awalnya, Musa tidak mengetahui bahwa potensinya tidak cukup untuk menerima sesuatu dari ilmu-ilmu Khidir. Sementara Khidir sudah mengetahui itu sejak awal perjumpaan mereka. Dia berkata, “Sesungguhnya engkau tidak akan sabar bersama denganku” (QS. al Kahfi : 67). Ini merupakan salah satu bukti pengetahuan Khidir.
Setiap orang yang berakal hendaknya memperhatikan akhlak kedua orang yang mulia ini. Musa berkata, “Bolehkah aku mengikutimu, agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. al Kahfi : 66). Artinya : Apakah engkau mengizinkanku mengikutimu, agar aku dapat belajar kepadamu? Di dalam kalimat yang diungkapkan Musa ini terdapat kemanisan akhlak yang dapat dirasakan oleh setiap orang yang memiliki perasaan yang sehat.
Kemudian Khidir menjawab, “Jika engkau mengikutiku, maka jangan bertanya kepadaku tentang apapun, sampai aku sendiri menerangkan kepadamu.” (QS. al Kahfi:70). Khidir tidak menjawab dengan, “Jangan bertanya kepadaku”, lalu diam, hingga Musa menjadi bingung. Tapi dia berjanji akan menerangkan kepada Musa tentang ilmu atau hikmah dari apa yang dilakukannya. Dengan demikian, kesempurnaan Syaikh dalam ilmu yang dicari dan dituju tidak akan berguna apabila murid tidak menaati perintahnya dan tidak menjauhi larangannya.
Yang dapat diambil dari kesempurnaan Syaikh hanyalah petunjuknya yang dapat mengantarkan kepada apa yang dituju. Selebihnya Syaikh tidak dapat memberikan kepada muridnya kecuali apa yang diberikan oleh potensinya. Dan potensi seorang murid terletak pada diri dan perbuatannya. Ibarat seorang dokter ahli yang mendatangi seorang pasien dan menyuruhnya untuk meminum obat tertentu, tapi si pasien tidak meminumnya. Apakah si pasien dapat memanfaatkan sesuatu dari kepintaran dokter? Ketidakpatuhan pasien adalah bukti bahwa Allah tidak menghendaki kesembuhannya dari penyakit yang dideritanya. Sebab, apabila Allah menghendaki suatu perkara, maka Dia akan menyediakan sebab-sebabnya. Hanya saja, seorang murid diharuskan untuk mencari seorang Syaikh yang paling sempurna dan mulia. Sebab, dikhawatirkan dia akan dituntun oleh seorang yang tidak mengetahui jalan untuk sampai kepada maksud yang dituju, sehingga hal itu menjadi penyebab terjerumusnya dirinya ke dalam jurang kebinasaan.
c.        Ibnu Athaillah as Sakandari
Ibnu Athaillah as Sakandari berkata, “Seseorang yang bertekad untuk meraih petunjuk dan meniti jalan kebenaran hendaklah mencari seorang Syaikh dari ahli thareqat, yang meninggalkan hawa nafsunya dan teguh mengabdi kepada Tuhannya. Apabila dia menemukan seorang Syaikh yang seperti itu, maka hendaklah dia menaati apa yang diperintahkannya dan menjauhi apa saja yang dilarangnya.”
Ibnu Athaillah juga berkata, “Syaikhmu bukanlah orang yang kau perhatikan perkataannya, tapi Syaikhmu adalah orang yang dari engkau mengambil sesuatu yang positif. Syaikhmu bukanlah orang yang ungkapan-ungkapannya menebakmu, tapi Syaikhmu adalah orang yang petunjuk-petunjuknya mengalir dalam dirimu. Syaikhmu bukanlah orang yang mengajakmu menuju pintu, tapi Syaikhmu adalah orang yang menghilangkan tabir antara dirimu dan dirinya. Syaikhmu bukanlah orang yang menuntunnya dengan ucapannya, tapi Syaikhmu adalah orang yang membangkitkanmu dengan kondisi spiritualnya. Syaikhmu adalah orang yang mengeluarkan dari penjara hawa nafsu dan memasukkanmu ke hadapan Tuhan Yang Maha Mulia. Syaikhmu adalah orang yang senantiasa membersihkan cermin hatimu, sehingga tampak jelas padanya cahaya-cahaya Tuhanmu. Syaikhmu adalah orang yang membangkitkanmu untuk menuju Allah, lalu engkau bangkit menuju-Nya. Dan dia terus mendampingimu hingga engkau berada di hadapan-Nya. Lalu dia menuntunmu menuju cahaya ilahiyah sambil berkata kepadamu, “Inilah engkau dan Tuhanmu.”
Ibnu Athaillah juga berkata, “Jangan engkau bergaul dengan Syaikh yang tidak dapat membangkitkanmu dengan kondisi spiritualnya dan tidak dapat menunjukkanmu menuju Allah dengan ucapan-ucapannya.”

d.       Abdul Qadir al Jailani
Dalam Futuh al Ghaib, Abdul Qadir al Jailani menulis bait syair berikut,
Jika takdir membantumu atau kala menuntunmu
kepada Syaikh yang jujur dan ahli hakikat
maka bergurulah dengan rela dan ikutilah kehendaknya
Tinggalkanlah apa yang sebelumnya engkau lakukan
Sebab menentang berarti melawan
Dalam kisah Khidir yang mulia terdapat kecukupan
Dengan membunuh seorang anak dan Musa mendebatnya
Tatkala cahaya subuh telah menyingkap kegelapan malam
dan seseorang dapat menghunus pedangnya
Maka Musa pun meminta maaf
Demikian keindahan di dalam ilmu kaum (sufi)

e.        Abdul Wahab Asy Sya’rani
Asy Sya’rani berkata, “Kami pernah di baiat atas nama Rasulullah Saw agar kami melaksanakan shalat dua rakaat setiap kali selesai wudhu’, dengan syarat kami tidak boleh berbicara di dalam hati kami tentang sesuatu dari urusan dunia atau sesuatu yang tidak disyari’atkan di dalam shalat. Setiap orang yang hendak melakukan amal ini membutuhkan seorang Syaikh yang berjalan bersamanya, sehingga dia dapat melenyapkan segala keinginan yang membuatnya lupa akan perintah Allah.”
Lalu dia berkata, “Wahai saudaraku, berjalanlah engkau di bawah bimbingan seorang Syaikh yang selalu memberimu nasihat dan dapat membuatmu sibuk dengan Allah. sehingga dia dapat menghilangkan pembicaraan hatimu di kala engkau shalat, seperti ucapanmu, “Aku akan pergi ke sana”, “Aku akan melakukan ini dan itu”, “Aku akan mengatakan ini kepada fulan” dan sebagainya. Jika tidak, maka engkau akan selalu berbicara di dalam hati di setiap shalatmu. Dan tidak satu pun shalatmu yang dapat engkau bebaskan dari pembicaraan tersebut, baik shalat wajib maupun sunah. Ketahuilah hal itu! Engkau tidak akan dapat mencapai semua itu tanpa bimbingan seorang Syaikh. Ibarat orang-orang yang mendebat tanpa ilmu. Sikap seperti ini tidak baik bagimu.”
Asy Sya’rani juga berkata, “Apabila jalan kaum sufi dapat dicapai dengan pemahaman tanpa bimbingan seorang Syaikh, niscaya orang seperti al Ghazali dan Syaikh Izzuddin ibn Abdussalam tidak perlu berguru kepada seorang Syaikh. Sebelum memasuki dunia tasawuf, keduanya pernah mengatakan, “Setiap orang yang mengatakan bahwa ada jalan memperoleh ilmu selain apa yang ada pada kami, maka dia telah membuat kebohongan kepada Allah.” akan tetapi, setelah memasuki dunia tasawuf keduanya berkata, “Sungguh kami telah menyia-nyiakan umur kami dalam kesia-siaan dan hijab (tabir penghalang antara hamba dan Tuhan).” Akhirnya, keduanya mengakui jalan tasawuf dan bahkan memujinya.”
Asy Sya’rani melanjutkan, “Cukuplah kemuliaan bagi ahli thareqat perkataan Musa kepada Khidir, ” Bolehkah aku mengikutimu, agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. al Kahfi : 66). Juga pengakuan Ahmad ibn Hanbal bahwa Abu Hamzah al Baghdadi lebih utama darinya dan pengakuan Ahmad ibn Suraij bahwa Abu Qasim Junaid lebih utama darinya. al Ghazali juga mencari seorang Syaikh yang dapat menunjukkannya ke jalan tasawuf, padahal dia adalah Hujjatul Islam. Begitu juga, Syaikh Izzuddin ibn Abdussalam berkata, “Aku tidak mengetahui Islam sempurna kecuali setelah aku bergabung dengan Syaikh Abu Hasan asy Syadzili.” Apabila kedua ulama besar ini, yakni al Ghazali dan Syaikh Izzuddin ibn Abdussalam, membutuhkan seorang Syaikh, padahal keduanya adalah orang yang memiliki pengetahuan luas tentang ilmu syari’at, maka orang selain mereka berdua lebih membutuhkannya lagi.”

f.        Abu Ali ats Tsaqafi
Abu Ali ats Tsaqafi berkata, “Seandainya seseorang mempelajari semua jenis ilmu dan berguru kepada banyak ulama, maka dia tidak akan sampai ke tingkat para sufi kecuali dengan melakukan latihan-latihan spiritual bersama seorang Syaikh yang memiliki akhlak yang luhur dan dapat memberinya nasihat-nasihat. Dan barang siapa tidak mengambil akhlaknya dari seorang Syaikh yang memerintah dan melarangnya, serta memperlihatkan cacat-cacat dalam amalnya dan penyakit-penyakit dalam jiwanya, maka dia tidak boleh diikuti dalam memperbaiki muamalah.”
g.       Abu Madyan
Abu Madyan berkata, “Barang siapa tidak mengambil akhlaknya dari para Syaikh yang berakhlak mulia, maka dia akan merusak para pengikutnya.”

h.       Ahmad Zaruq
Dalam Qawa’id at Tashawwuf, Syaikh Ahmad Zaruq berkata, “Mengambil ilmu dan amalan dari para Syaikh adalah lebih baik dibanding mengambilnya dari selain mereka.” Sebenarnya al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. (QS. al Ankabut : 49). Dan ikutilah jalan orang yang telah kembali kepada-Ku. (QS. Lukman : 15)
Dengan demikian, mengangkat seorang Syaikh adalah suatu keharusan. Para sahabat sendiri mengambil ilmu dan amalan mereka dari Rasulullah. Rasulullah mengambil ilmu dan amalannya dari Jibril. Dan para tabi’in mengambil ilmu dan amalan dari para sahabat.
Setiap sahabat mempunyai para pengikut yang khusus. Ibnu Sirin, Ibnu Musayyab dan al A’raj, misalnya, adalah pengikut Abu Hurairah. Sementara Thawus, Wahhab dan Mujahid, adalah pengikut Ibnu Abbas. Demikian seterusnya. Pengambilan ilmu dan amalan ini sangat jelas, sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat mereka. Sedangkan pemanfaatan himmah (kemauan) dan kondisi spiritual ditunjukkan oleh Anas, “Belum lagi kami menghilangkan debu dari tangan kami setelah mengubur Rasulullah, tapi telah kami mencela hati kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Anas menjelaskan bahwa melihat pribadi Rasul yang mulia adalah bermanfaat bagi hati para sahabat. Oleh sebab itu, Beliau memerintahkan untuk bergaul dengan orang-orang saleh dan melarang bergaul dengan orang-orang fasik.

i.         Ali al Khawas
Ali al Khawas berkata dalam syairnya,
Jangan menempuh jalan yang tidak engkau kenal
tanpa penunjuk jalan, sehingga engkau terjerumus ke dalam jurang-jurangnya

Penunjuk jalan dan mursyid akan dapat mengantarkan seorang salik sampai ke pantai yang aman dan menjauhkannya dari gangguan-gangguan selama di perjalanan. Sebab, penunjuk jalan dan mursyid sebelumnya telah melewati jalan itu di bawah bimbingan seseorang yang telah mengetahui seluk beluk jalan tersebut, mengetahui tempat-tempat berbahaya dan tempat-tempat yang aman dan terus menemaninya sampai akhirnya dia sampai di tempat yang dituju. Kemudian orang tersebut memberinya izin untuk membimbing orang lain. Ibnu al Banna menjelaskan ini di dalam syairnya,
Kaum sufi tidak lain sedang melakukan perjalanan
Ke hadirat Tuhan Yang Maha Benar
Maka mereka membutuhkan penunjuk jalan
yang benar-benar mengenal seluk beluk jalan itu
Dia telah melalui jalan itu, lalu dia kembali
untuk mengabarkan apa yang telah didapat

j.         Syaikh Muhammad al Hasyimi
Syaikh Muhammad al Hasyimi berkata, “Wahai saudaraku, berjalanlah engkau di bawah bimbingan seorang Syaikh yang bermakrifat kepada Allah, tulus, selalu memberimu nasihat serta memiliki ilmu yang benar, niat yang luhur dan kondisi spiritual yang diridlai. Sebelumnya Syaikh itu telah menempuh thareqat di bawah bimbingan para mursyid, mengambil akhlaknya dari akhlak mereka dan mengetahui seluk beluk jalan menuju Allah. Jika demikian, maka dia akan dapat menyelamatkanmu dari jalan-jalan yang membinasakan, mengarahkanmu untuk bergabung dengan Allah dan mengajarimu untuk menjauh dari selain Allah. Dia akan berjalan bersamamu, hingga engkau sampai kepada Allah. Dia akan membebaskanmu dari penyakit-penyakit jiwamu dan memperkenalkanmu dengan kebaikan Allah kepadamu. Apabila engkau telah mengenal-Nya, maka engkau akan mencintainya. Apabila engkau telah mencintainya, maka engkau akan bermujahadah di jalan-Nya. Apabila engkau telah bermujahadah di jalan-Nya, maka dia akan menunjukkanmu kepada jalan-Nya dan memilihmu untuk berada di dekat-Nya.”
Allah berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. al Ankabut : 69). Oleh karena itu, hukum bergaul dengan Syaikh (mursyid) dan mengikutinya adalah wajib. Dasarnya adalah firman Allah, “Dan ikutilah jalan orang yang telah kembali kepada-Ku.” (QS. Lukman : 15) Dan firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.” (QS. at Taubah : 119)
Selain itu, di antara syarat seorang mursyid adalah bahwa dia telah mendapat izin untuk mendidik manusia dari seorang mursyid kamil yang memiliki mata hati yang cemerlang. Jangan sampai engkau mengatakan, “Di mana aku dapat menemui mursyid yang memiliki ciri-ciri seperti itu?” Aku akan mengatakan kepadamu seperti yang dikatakan oleh Abu Athaillah as Sakandari dalam Latha’if al Minan, “Engkau tidak akan kekurangan mursyid yang dapat menunjukkanmu ke jalan Allah. Tapi yang sulit bagimu adalah mewujudkan kesungguhan dalam mencari mereka.”
Oleh sebab itu, bersungguh-sungguhlah dengan tulus, niscaya engkau akan menemukan seorang mursyid yang memiliki ciri-ciri demikian. Seorang penyair sufi mengatakan,
Rahasia Allah didapat dengan pencarian yang benar
Betapa banyak hal menakjubkan yang telah diperlihatkan kepada para pelakunya

Dalam Latha’if al Minan, Ibnu Athaillah juga berkata, “Hendaklah engkau mengikuti seorang wali yang Allah telah menunjukkannya kepadamu dan memperlihatkan kepadamu sebagian dari kekhususan dirinya. Engkau memandang bahwa kemanusiaannya lenyap dalam kekhususan dirinya. Sehingga engkau tunduk untuk mengikutinya, dan dia berjalan bersamamu di jalan kebenaran.”
Dalam al Hikam, Ibnu Athaillah berkata, “Maha Suci Allah yang tidak memberikan petunjuk menuju para wali-Nya kecuali dengan petunjuk menuju dirinya, dan tidak menyampaikan seseorang kepada mereka kecuali yang dikehendaki-Nya untuk sampai kepadanya.” (Abdul Qodir Isa, Hakikat Tasawuf, hlm.36-48)

Rabithah MURSYID

Pengertian Rabithah
Rabithah dalam pengertian bahasa(lugat) artinya bertali, berkait atau berhubungan. Sedangkan dalam pengertian istilah thareqat, rabithah adalah menghubungkan ruhaniah murid dengan ruhaniah guru dengan cara menghadirkan rupa / wajah guru mursyid atau syaikh ke hati sanubari murid ketika berdzikir atau beramal guna mendapatkan wasilah dalam rangka perjalanan murid menuju Allah atau terkabuknya do’a. Hal ini dilakukan karena pada ruhaniah Syekh Mursyid itu terdapat Arwahul Muqaddasah Rasulullah Saw atau Nur Muhammad. Syaikh Mursyid adalah Khalifah Allah dan Khalifah Rasulullah. Mereka adalah wasilah atau pengantar menuju Allah. Jadi tujuan merobith adalah memperoleh wasilah.
Seorang murid dengan sungguh-sungguh menuntut ilmu dari gurunya, dan seorang guru dengan tulus ikhlas memberikan pendidikan dan pengajaran kepada muridnya, hingga dengan demikian terjadilah hubungan yang harmonis antara keduanya. Murid yang mendapatkan ilmu pengetahuan dari gurunya dengan cara demikian akan memperoleh ilmu yang berkah dan bermanfaat. Persambungan antara mereka itu lazim disebut dengan rabithah.
Kalau rabithah antara murid dengan guru biasa adalah transfer of knowledge, yakni mentransfer ilmu pengetahuan, maka rabithah antara murid dengan guru mursyid adalah transfer of spiritual, yakni mentransfer masalah-masalah keruhanian. Di sinilah letak perbedaannya. Kalau transfer of knowledge tidak bisa sempurna tanpa guru, apalagi transfer of spiritual yang jauh lebih halus dan tinggi perkaranya, maka tidak akan bisa terjadi tanpa guru mursyid.
                Dasar-dasar utamanya adalah penunjukan yang dilakukan oleh Tuhan lewat guru mursyid atau ilham dari Allah Swt Karena itu tidak semua orang bisa menjadi guru mursyid. Seorang mursyid adalah seorang yang ruhaninya sudah bertemu Allah dan berpangkat waliyan mursyida, yakni kekasih Allah yang layak menunjuki umat sesuai dengan hidayah Allah yang diterimanya. Hal iniseperti dijelaskan dalam surat al Kahfi ayat 17.
Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang Luas dalam gua itu. itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, Maka Dialah yang mendapat petunjuk; dan Barang siapa yang disesatkan-Nya, Maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. (QS. al Kahfi : 17)

Jadi jelas fungsi guru mursyid adalah sebagai pembimbing ruhani, di samping itu juga sebagai orang tua yang harus dipatuhi segala perintahnya dan dijauhi segala yang dilarangnya. Dengan demikian seorang murid merasa takut manakala meninggalkan perintah agama dan atau melanggar larangan agama, karena waktu itu akan terbayanglah bagaimana marahnya wajah guru mursyid manakala dia berbuat demikian.
Hal yang demikian ini pulalah yang menyebabkan nabi Yusuf merasa takut dan enggan ketika hendak diajak berzina oleh Siti Zulaikha. Terbayanglah oleh nabi Yusuf as wajah ayahnya (nabi Ya’kub) atau wajah suami Zulaikha (Qithfir) manakala ayahnya atau suami Zulaikha mengetahui apa yang akan diperbuatnya.
Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata Dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. (QS. Yusuf : 24)

Dasar-Dasar Rabithah Mursyid
Dasar-dasar hukum yang digunakan sebagai dalil terhadap rabithah adalah firman Allah Swt.
Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersikap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kamu kepada Allah Swt supaya kamu beruntung (sukses). (QS. Ali Imran : 200).

Kata warabithu dalam ayat ini adalah diambil arti hakikinya, lebih dalam dari sekedar makna lahiriahnya yaitu mengadakan penjagaan di pos-pos penting dalam situasi peperangan, agar musuh tidak menerobos. Kalau perang fisik, seseorang menjaga pertahanan wilayah dari serbuan musuh-musuh dari orang kafir, maka dalam perang metafisik, orang mengadakan rabithah di wilayah hati agar syetan tidak menyusup ke wilayah hati sanubari tersebut. Itulah yang menjadi dasar-dasar rabithah bagi para pakar tawasuf / thareqat. Menurut mereka rabithah mursyid adalah salah satu memperoleh wasilah menuju Allah. Firman Allah Swt.
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah / jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihatlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. al Maidah : 35)

Menurut pendapat ahli thareqat, mafhum al-wasilah dalam ayat ini bersifat umum. Wasilah dapat diartikan dengan amal-amal kebajikan Berkumpul dan bergandengan dengan guru mursyid secara lahir atau batin termasuk amal yang baik dan terpuji. Berkumpul dan bergabung itulah oleh kalangan ahli thareqat disebut dengan rabithah mursyid. Jika diperintah mencari wasilah, maka rabithah adalah wasilah yang terbaik diantara jenis wasilah yang lain. Firman Allah
Katakanlah : jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kamu. Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran : 31)

Ayat di atas menurut kalangan thareqat, isyarat kepada rabithah, sebab “mengikut” itu menghendaki melihat yang diikuti. Dan melihat yang diikuti ada kalanya melihat tubuhnya secara nyata (konkret) dan ada kalanya melihatnya secar hayal (abstrak). Melihat dalam hayal itulah yang dimaksud dengan rabithah. Jika tidak demikian, tentu tidak dapat dinamakan mengikut. Allah Swt berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah Swt dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (QS. at Taubah : 119)

Asy Syekh Ubaidillah Ahrar menafsirkan kebersamaan dengan orang-orang yang benar, yang diperintahkan oleh Allah Swt dalam ayat itu terbagi dua:
·         Bersama-sama jasmaniah, yaitu semajelis, sehingga kita mendapatkan keberuntungan dari orang-orang yang shiddiq.
·         Bersama-sama maknawi, yaitu bersama-sama ruhaniah yang diartikan dengan rabithah.

Asy Syekh Muhammad Amin al Kurdi menyatakan wajibnya seorang murid terus-menerus me-rabithah-kan ruhaniahnya kepada ruhaniah Syekh gurunya yang mursyid, guna mendapatkan karunia dari Allah Swt. Karunia yang didapati itu bukanlah karunia dari mursyid, sebab mursyid tidak memberi bekas. Yang memberi bekas sesungguhnya hanya Allah Swt, sebab di tangan Allah Swt sajalah seluruh perbendaharaan yang ada di langit dan di bumi, dan tidak ada yang dapat berbuat untuk men-tasaruf-kannya kecuali Allah Swt. Hanya saja Allah Swt men-tasaruf-kannya itu, melalui pintu-pintu atau corong-corong yang telah ditetapkan-Nya, antara lain melalui para kekasih-Nya, para wali-wali Allah Swt yang memberikan syafaat dengan izin-Nya (Amin al Kurdi: 1994, hlm. 448).
Adapun dalil sunah tentang rabithah antara lain tertera dibawah ini
Hadits Bukhari menyatakan:
أَنَّ اَبَا بَكْرِ الصِّدِّيْق رَضِىَ الله عَنْهُ شكا لِلنَّبِىِّ عَدَمَ انْفِكاَكِهِ. عَنْهُ حَتىَّ فِى الْخَلاَءِ
Bahwa Abu Bakar as Shiddik mengadukan halnya kepada Rasulullah Saw bahwa ia tidak pernah lekang (terpisah ruhaninya) dari Nabi Saw sampai ke dalam WC.

Sedangkan Sayyid Bakri berpendapat antara lain berbunyi sebagai berikut
وَيُضِمُّ أَيْضَا إِلىَ ذَلِكَ اسْتِمَضَارَشَيْخِهِ الْمُرْشِدِ لِيَكُوْنَ رَفِيْقَهُ فىِ السَّيِْر إِلىَ الله تَعَالَى
Dan menyertakan pula kepada (dzikir Allah Allah) itu, akan hadirnya Gurunya yang memberi petunjuk, agar supaya menjadi teman dalam perjalan menuju kepada Allah Ta’ala. (Sayyid al Bakri dalam kitab Kifayatul atqiya, hlm. 107).

Pendapat Para Imam Tasawuf Tentang Rabithah
a.       Imam Sya’rani dalam Nafahatu Adabidz Dzikri mengatakan, “Dianjurkannya kepada orang banyak supaya mereka mengamalkan adab dzikir yang 20 perkara itu. Dinyatakan adab yang ke-4: hendaklah sejak permulaan dzikir, himmah syaikhnya terus-menerus berada dalam kalbunya. Ke-5: dia menganggap bahwa limpahan dari gurunya itu pada hakikatnya adalah pancaran dari Nabi Saw karena syaikhlah merupakan wasilah murid dengan Nabi Saw. Dihayalkan rupa guru di depan matanya, inilah maksud rabithah, tidak lebih.
b.       Syaikh Tajuddin an Naqsyabandi dalam Risalah-nya, menyatakan bahwa apabila seseorang telah selesai dengan urusan dunianya, maka hendaklah ia mengambil wudhuk, lalu masuk ke tempat khalwatnya. Sesudah duduk, pertama-tama dia harus menghadirkan rupa guru.
c.        Syaikh Abdul Ghani an Nablusi dalam komentarnya tentang Risalah Syaikh Tajuddin an Naqsyabandi itu menyatakan bahwa itulah cara yang paling sempurna, sebab syaikh adalah merupakan pintunya ke hadirat Allah dan wasilah kepada-Nya. seperti Firman Allah dalam surat at Taubah ayat 119 di atas. Firman Allah dibawah ini menunjukkan bahwa rabithah mursyid adalah termasuk dzikir kepada Allah Swt yang maha rahman. Dzikir demikian itu mampu mengusir syetan. Bilamana orang enggan melakukan demikian, (dzikir dengan rabithah) maka Allah akan menyertakan orang tersebut dengan syetan yang selalu membelokkannya ke jalan yang lurus. Tetapi anehnya orang tersebut merasa mendapatkan petunjuk. Rasanya jauh api dengan panggang.
Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (al Qur’an), kami adakan baginya syetan (yang menyesatkan), maka syetan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya syetan-syetan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. (QS. az Zukhruf : 36 – 37)

d.       Syaikh Ubaidullah al Ahrar menyatakan bahwa maksud surat at Taubah ayat 119, yang artinya : Wahai orang-orang mukmin takutlah kepada Allah dan jadilah kalian bersama orang-orang yang benar. Di sini kita diperintahkan supaya berada bersama-sama dengan orang-orang yang benar, baik dari segi rupa maupun dari segi makna.

Namun demikian, walaupun rabithah merupakan faktor terpenting dalam thareqat, kalangan ulama di luar tasawuf masih menganggapnya sebagai bid’ah bahkan divonisnya sebagai perbuatan isyrak (menyerikatkan Allah) dengan guru atau syaikh. Dan permasalahan rabithah sampai kini masih tetap belum ada titik temu. Paham Wahabisme yang dijadikan ideologi Arab Saudi (sebagai negara Islam dan pusat peradaban Islam), sangat keras menentang rabithah, bahkan tidak hanya rabithah melainkan dzikir-dzikir dalam thareqat juga dianggap sebagai bid’ah.